Dengan gerakan cepat dan penuh keyakinan, Hao Feng menghunus pedangnya ke depan, lalu menerjang ke arah Du Shen.Angin berdesir tajam saat pedang itu melesat. Cahaya matahari memantul di sepanjang bilahnya, menciptakan kilatan perak yang menambah aura berbahaya dari teknik pedang yang ia gunakan. Ini bukan teknik sembarangan—tapi adalah teknik warisan keluarganya, sebuah seni pedang yang telah ditempa selama bertahun-tahun di bawah bimbingan Tetua Zhang atau kakeknya sendiri.Di sisi lain, Du Shen tetap berdiri tenang. Ia memasang kuda-kuda, tetapi di wajahnya tergambar ekspresi resah, seolah menghadapi tekanan besar. Namun, jika diperhatikan lebih saksama, ada sesuatu yang ganjil dalam sorot matanya. Jelas bahwa ia sedang melakukan sandiwara kecil.Para penonton yang berdiri mengelilingi arena mulai berbisik. Mengatakan cemoohan dan ketidak puasan mereka meliha Du Shen yang berani melawan pemuda yang di anggap sebagai jenius klan mereka."Sungguh bodoh! Pemuda itu terlalu sombong hin
Du Shen berdiri dengan tenang di tengah arena, matanya menatap tajam setiap gerakan Hao Feng. Sejujurnya, mengalahkan Hao Feng bukanlah hal sulit baginya. Namun, jika ia melakukannya terlalu cepat, hal itu justru akan menarik perhatian yang tidak diinginkan.Jadi, alih-alih menghabisi lawannya dalam sekejap, Du Shen memilih untuk berlagak kewalahan, bergerak menghindar dengan ekspresi dipenuhi kegugupan.“Jangan bilang kau cuma bisa menghindar saja, kan?” suara Hao Feng terdengar penuh ketidaksabaran, urat di dahinya tampak sedikit menonjol.Pemuda itu berusaha menyembunyikan kekesalannya, tapi amarah dalam suaranya tetap tersirat. Tebasan pedangnya yang tajam terus meleset, seolah lawannya bisa membaca gerakannya lebih cepat dari yang bisa ia antisipasi.“Aku... tak tahu harus melawan bagaimana. Kau terlalu cepat dan kuat.” balasnya. Nada suara Du Shen terdengar sedikit agak ragu-ragu, tapi justru kata-katanya bagaikan ejekan di telinga Hao Feng.‘Bajingan ini... Sejak tadi dia hanya
Arena latihan Klan Hao dipenuhi dengan ketegangan yang semakin menebal. Keringat menetes dari pelipis Hao Feng, dadanya naik turun dengan cepat seiring dengan napasnya yang mulai tak beraturan. Meski tubuhnya sudah hampir mencapai batas, ia tetap berusaha menyerang dengan teknik pedangnya yang paling mahir. Bilah pedangnya berkelebat, menciptakan kilatan tajam di udara, namun setiap tebasannya selalu meleset, seakan hanya mengiris bayangan.Sebaliknya, Du Shen tampak begitu tenang walaupun ekspresinya terlihat penuh sandiwara. Sesekali, dengan gerakan yang nyaris tanpa usaha, ia memukul mundur Hao Feng menggunakan pukulan ringan atau gerakan menghindar yang begitu elegan. Tiap kali Hao Feng berusaha menyerang, Du Shen selalu bisa menghindar dengan mudah, lalu membalas dengan satu atau dua pukulan yang cukup untuk mengacaukan keseimbangannya.Hao Feng menggeram, matanya menyala penuh kemarahan. Rasa frustrasi mulai menguasai dirinya. Ia sudah mengerahkan segalanya, namun lawannya sea
"Oh? Tentu saja," balas Du Shen dengan senyum ramahnya. Hao Yexin mengangguk, lalu melangkah maju dengan penuh percaya diri. Rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin saat ia mengambil posisi di tengah arena, matanya menatap lurus ke arah Du Shen tanpa ragu. Di pinggiran arena, para anggota klan kembali berbisik-bisik, kali ini dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu dan keterkejutan. "Huh? Jika Hao Feng saja kalah dari pemuda itu, kenapa Tuan Putri juga mau melawannya?" cibir Tetua Zhang, wajahnya mengernyit penuh ketidaksenangan. "Bukankah ini akan berakhir sama saja?" Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa rencananya mempermalukan Du Shen berakhir dengan kehinaan bagi cucunya sendiri. Di sisi lain, Tetua Jiang yang berdiri tak jauh darinya hanya terkekeh pelan. "Jangan salah, Tetua Kedua," katanya dengan nada santai namun menyelipkan sedikit ejekan. "Cucuku baru saja menerobos hingga beberapa tahap hanya dalam semalam. Aku percaya kultivasinya sekarang bahkan telah
Dengan begitu latih tanding itu berakhir yang langsung mengundang berbagai opini anggota klan Hao terhadap Du Shen. Beberapa orang masih diliputi akan rasa penasaran tentang seberapa kuat pemuda itu sebenarnya. Bagaimanapun itu semua orang hanya melihatnya menghindar tanpa perlawanan yang berarti, dan itu membuat mereka tak puas atau terhibur. Sebelum Du Shen melangkah menuju kerumunan para tetua dan kepala klan, Hao Yexin bergegas membuka mulutnya dan menghentikan langkah oemuda itu. "Tapi, apa maksudmu dengan bakat alami dalam berpedang?" tanya Hao Yexin dengan tatapan penuh kebingungan. "Sejak dulu, aku selalu ragu setiap kali mengayunkan pedang. Bagaimana bisa kau menilaiku begitu tinggi?" Du Shen menatapnya sejenak sebelum tersenyum tipis. "Setelah pertarungan singkat tadi, kau hampir membuatku merasa terancam. Entah bagaimana, aku bisa melihat sekilas Dao Pedang yang luar biasa keluar darimu." Hao Yexin tertegun mendengar kata-kata itu. "Dao Pedang?" gumamnya, semakin
Setelah latih tanding singkat itu, Hao Yexin merasa semangatnya membuncah. Kegembiraan yang jarang ia rasakan mengalir deras dalam dirinya. Tanpa berpikir panjang, ia segera menarik lengan Du Shen, mengajaknya berjalan menuju pusat kota Danau Hitam. "Ayo, aku akan membawamu berkeliling!" katanya penuh semangat, matanya berbinar melihat hiruk-pikuk pasar yang ramai. "Katakan saja apa yang kau mau, aku akan membelikannya untukmu!" Du Shen meliriknya dengan senyum samar. "Oh? Benarkah?" tanyanya dengan nada menggoda. "Apa kau punya uang sebanyak itu sampai berani membelikan sesuatu untukku?" Hao Yexin mengangkat dagunya dengan bangga. "Tentu saja! Aku ini putri Kepala Klan Hao! Tak perlu khawatir soal uang." serunya. Pasar Kota Danau Hitam dipenuhi pedagang yang berteriak menawarkan dagangan mereka—mulai dari kain sutra berkualitas tinggi, perhiasan berkilauan, hingga berbagai jenis makanan jalanan. Hingga aroma rempah-rempah dan makanan panggang tercium memenuhi udara, menciptakan
Begitu matanya menangkap sosok itu, ekspresi Hao Yexin langsung berubah. Tatapannya yang semula santai kini dipenuhi kejengkelan dan amarah yang mendidih. Ia hampir tak percaya dengan nasib sialnya hari ini.Dari sekian banyak tempat yang bisa ia kunjungi, kenapa harus bertemu dengan dia lagi?Pria itu—Murong Chen—berdiri dengan tangan disilangkan di dada, menatap mereka dengan senyum miring yang penuh ejekan. Wajahnya yang memang sudah menyebalkan kini semakin membuat darah Hao Yexin bergejolak."Huh? Kemanapun aku melangkah, kalian pasti mengikutiku," cibir Murong Chen, suaranya dipenuhi keangkuhan yang menjengkelkan. "Nona Hao, apa yang kau lakukan di sini?"Hao Yexin mengerutkan kening, tatapannya penuh ketidaksenangan."Huh? Aku harusnya mengatakan kalau aku benar-benar sial bertemu denganmu di tempat ini," balasnya sinis.Murong Chen terkekeh ringan, seakan menikmati kejengkelan di wajah Hao Yexin. Namun, sebelum ia bisa membalas, suara lain yang lebih feminin terdengar dari sam
Hong Xie mengangguk, meski ada sedikit keraguan di matanya. Dari interaksi yang berlangsung di depannya, ia mulai memahami beberapa hal. Tatapan matanya sesekali melirik ke arah Hao Yexin, yang gerak-geriknya tampak agak kaku, seolah menahan sesuatu dalam dirinya.Namun, sebagai pelayan yang terlatih, ia tetap mempertahankan ekspresi ramahnya. Dengan nada sopan, ia berkata,"Baiklah, Tuan. Saya akan menyiapkan Belati Iblis Bulan ini untuk Anda, dan untuk pembayarannya bisa—"Ucapan Hong Xie mendadak terhenti. Sebuah lambaian tangan yang tegas menghentikannya sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya.Du Shen. Pemuda itu berdiri tegak dengan ekspresi tidak senang. Tatapan tajamnya menusuk langsung ke arah pelayan tersebut, seakan menelanjangi setiap pikiran yang tersembunyi.Hong Xie merasakan dadanya sedikit bergetar. Ia menelan ludah, lalu menundukkan kepala dengan gugup. Ada sesuatu dalam tatapan pemuda itu yang berbeda—sebuah tekanan tak kasatmata yang membuatnya merasa kecil."A-
Tapi tekanan dari manifestasi tangan Qi itu begitu besar hingga bahkan dia sendiri mulai terdorong mundur, tubuhnya terseret di antara udara tipis yang kini nyaris menyusut karena gesekan energi.Sementara itu, Zhao Lao menoleh cepat ke arah seorang gadis muda yang berdiri kaku di balik formasi pelindung yang hampir runtuh."Artefak ini terlalu kuat... aku tak bisa mengendalikannya lebih lama. Tapi jika aku bisa memanfaatkan momen ini…"Dengan segenap kekuatan terakhir, Zhao Lao melepaskan sebagian kendali pada tangan Qi, dan mengalihkan sebagian besar energi spiritualnya untuk menciptakan portal dimensi kecil. Dalam sekejap, dia menerobos badai energi, dan meraih tubuh Han Jue."Gu-Guru!?" Han Jue tergagap, namun sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, tubuh mereka berdua telah terserap masuk ke dalam celah dimensi.Luo Ming, yang baru sadar akan hilangnya keberadaan Zhao Lao, meraung keras seperti binatang buas."Pengecut! Kau kabur saat aku lengah! Dasar tua bangka pengecut!"Namun,
Langit di atas Wilayah Dewa Leluhur telah berubah menjadi ungu gelap yang pekat, seolah menandakan bahwa malam ini bukanlah malam biasa. Dua bulan kembar menggantung di angkasa, menyinari tanah yang telah lama kehilangan kehangatan mentari. Namun cahaya lembut itu tak mampu mengusir hawa dingin yang menyelimuti beberapa sisi wilayah tersebut—tempat di mana dua ahli besar bertarung memperebutkan gelar terkuat dalam rivalitas mereka.Di atas tanah yang hangus dan retak oleh gelombang energi spiritual, Zhao Lao terhuyung sembari menekan dadanya yang terasa seperti diremuk dari dalam. Napasnya berat dan berderak, dan darah merah pekat mengalir dari sudut bibirnya. Meski tubuhnya nyaris tak mampu berdiri, sorot matanya masih memancarkan perlawanan yang dipenuhi tekad. Ia menatap lurus ke depan, ke arah lawannya: Luo Ming, yang juga tampak terluka namun masih berdiri tegak di atas udara, dengan dada naik-turun dalam tarikan napas yang lebih stabil.Tawa Luo Ming meledak di udara malam y
"A-aku hanya pesuruh dari kelompok kecil yang disebut Bandit Kapak Hitam," ucap Mu Gui dengan suara gemetar, napasnya tersengal, dan tubuhnya menggigil di bawah tekanan tak kasat mata. Pria berjubah hitam sebelumnya, yang kini telanjang bulat, tampak tak lebih dari seekor kambing malang yang tengah menunggu waktu untuk disembelih. Tubuhnya masih terangkat beberapa jengkal dari tanah, dicekik oleh tekanan Qi milik Du Shen yang begitu dingin dan menakutkan. Du Shen memandangnya dengan tatapan tajam, kilatan kebencian di sorot matanya menunjukkan betapa dalam amarahnya tersimpan. Namun saat mendengar nama "Kapak Hitam," seketika seluruh dunianya di penuhi oleh bara emosi yang meluap-luap. "Bandit Kapak Hitam?" ulang Du Shen dengan suara berat, bibirnya nyaris tak bergerak. "Apa hubungan kalian dengan Bandit Kapak Merah?" Seketika, wajah Mu Gui memucat. Napasnya terhenti sepersekian detik. Nama itu, bukan lah nama yang seharusnya keluar dari mulut sembarang orang. Itu adalah organisa
Sosok pria berjubah hitam itu terkekeh pelan, suaranya menggema di dalam gua yang mulai terasa sempit oleh aura membunuhnya. Di balik tudung yang menutupi sebagian wajahnya, deretan gigi putih berkilat tampak saat dia tersenyum licik."Sepertinya batu kristal emas itu memang harta karun langka dari tempat ini," ucapnya dengan nada cukup puas. "Dan berkat usahamu, kami tak perlu repot-repot mengmabilnya sendiri."Du Shen masih berdiri diam, meskipun ujung kapak besar pria itu nyaris menyentuh kulit lehernya. Ia bisa merasakan hawa pembunuhan yang nyaris membekukan darah di sekitarnya. Suasana terasa seperti berada dalam sarang predator yang siap menerkam kapan saja. Namun, bukan rasa takut yang membuatnya tak bergerak—melainkan berbagai spekulasi yang justru membuatnya penasaran.Setelah pertarungan sengit melawan boneka jiwa sebelumnya, sebagian besar energi Qi-nya telah terkuras habis. Nafasnya belum sepenuhnya stabil, dan tubuhnya masih menanggung efek dari penggunaan jiwa primord
Debu tebal mengepul di udara, menyelimuti sebagian kecil gua. Suara batuan runtuh dan hawa panas dari energi spiritual yang bertabrakan menciptakan atmosfer yang mencekam. Di tengah kekacauan itu, siluet seorang pemuda masih tampak berdiri tegak. Du Shen, dengan tubuhnya sedikit membungkuk dan tangan bersilang melindungi bagian kepala dan dadanya, tetap tidak goyah. Matanya yang tajam mengintip dari celah lengannya, menatap lurus ke depan dengan penuh kewaspadaan.Tebasan bilah energi keemasan tadi begitu cepat dan mematikan—hampir saja merenggut nyawanya jika ia tidak bereaksi tepat waktu. Potongan kecil rambutnya melayang di udara, menjadi saksi betapa tipisnya jarak antara hidup dan mati barusan.Du Shen menarik napas pelan, dadanya naik turun sesaat. "Siapa sangka," gumamnya lirih, "boneka jiwa ini... bahkan mampu menyamai kekuatan seorang kultivator di puncak ranah Golden Core."Ia menyipitkan mata, memperhatikan sosok lawannya yang kini melayang perlahan di udara. Boneka jiwa
Du Shen memutar otaknya. Jika saja ia bisa menghancurkan boneka itu dalam satu pukulan, ia pasti akan melakukannya. Namun dengan batu kristal emas yang tertanam di dadanya, ia tak bisa semena-mena jika tak ingin batu kristal emas itu ikut hancur. Bahkan jika ia mengerahkan kekuatan penuh, kemungkinan besar seluruh gua akan runtuh, dan ia bersama Hu Jiu—akan terkubur bersama tulang-belulang sosok di atas singgasana itu. Ia mendesah pelan, menghindari serangan susulan berupa tusukan lurus ke arah jantungnya, lalu membalas dengan semburan tajam energi Qi yang menabrak bahu boneka jiwa itu—hanya untuk melihatnya nyaris tak bergeming. "Hmm~ Tak bisa sembarangan menyerang..." Langkahnya ringan, berpindah dari satu titik ke titik lain dengan gerakan seperti menari. Ia mulai mengamati pola pergerakan boneka itu, seolah mencari celah untuk melakukan serangan telak. "Boneka jiwa ini sama sekali tak terpengatuh oleh tekanan Qi milikku. Apakah ini karena batu kristal emas itu? Aneh sekali," gu
Setelah menapaki lorong-lorong lembab ke dalam gua, Du Shen dan Hu Jiu akhirnya tiba di sebuah ruang besar yang tersembunyi di perut gua. Begitu mereka melangkah masuk, pandangan Du Shen langsung disambut oleh hamparan kabut emas yang melayang ringan di udara. Kabut itu tidak tebal, namun menyelimuti seluruh ruangan dalam pancaran berpendar—berkelap-kelip seperti kunang-kunang di malam hari, menyulap tempat itu menjadi sesuatu yang terasa mistis. Langkah kaki Du Shen terhenti. Matanya menyapu seluruh ruangan yang dikelilingi dinding batu berlumut. Sebuah tekanan halus membelai kulitnya, tekanan energi spiritual yang luar biasa padat, membuat Du Shen mengangkat alisnya. "Tempat apa ini?" gumam Du Shen agak terkejut dengan apa yang dia lihat dan rasakan. "Energi spiritual di tempat ini luar biasa pekat. Dan apa itu...?" Matanya menyipit menatap sebuah singgasana kuno di sisi terdalam ruangan. Singgasana itu terlihat seperti dipahat dari batu hitam, penuh ukiran rumit yang hampir
Langit di atas terdengar bergemuruh. Dengan satu lambaian tangan, Luo Ming mengendalikan bilah-bilah pedang energi yang mengelilinginya langsung melesat ke depan. Terdengar suara berdesis tajam saat pedang-pedang energi itu menembus udara, begitu cepat hingga membentuk garis-garis cahaya keemasan di langit. Setiap bilah energi memancarkan aura tajam dan dingin, seolah bisa membelah gunung atau memotong ombak laut dalam sekali tebas.Desiran itu mirip badai hujan yang menggetarkan udara di sekitar. Beberapa bilah pedang bahkan meninggalkan jejak cahaya yang masih membakar udara setelahnya. Tanah di bawah mereka mulai bergetar, dan batuan kecil terangkat melayang karena tekanan Qi yang luar biasa.Namun, Zhao Lao bukanlah lawan sembarangan. Ia mengangkat kedua tangannya ke samping, mengumpulkan energi dalam sebuah gerakan lambat namun presisi. Ujung jarinya menyala memancarkan energi Qi biru tua, dan dari pusaran energi itu terbentuk sebuah bola energi berkilau sebesar kepalan tanga
Bagian barat Wilayah Dewa Leluhur.Udara bergetar hebat. Alam seolah menahan napas ketika dua sosok tua berdiri saling berhadapan, terpisah dalam jarak seratus meter. Di antara mereka, hawa Qi keemasan dan biru tua berdesir di udara, memancarkan tekanan yang cukup untuk membuat tanah retak dan pepohonan di sekitar bergoyang liar. Binatanng buas yang tadinya berkeliaran di sekitar sana kini pergi menjauh, merasakan bahaya luar biasa dari pancaran Qi kedua sosok itu.Di sisi kiri, berdiri seorang pria tua berjubah biru tua yang mengibarkan simbol naga melingkar di punggungnya. Dialah Zhao Lao, salah satu tetua dari sekte Azure Dragon. Sorot matanya tajam, penuh kehormatan, namun kini diselimuti amarah yang ditahan. Tak jauh di hadapannya berdiri seorang pria tua lain, mengenakan jubah hijau tua yang seolah menyatu dengan alam—Luo Ming, atau dikenal sebagai Master Luo, sosok berpengaruh dari sekte Pedang Bulan.Di sisi lain, tak jauh dari kedua pria tua itu, berdiri beberapa sosok muda