Langit di atas Kerajaan Langit Timur terlihat lebih gelap dari biasanya. Bintang-bintang seakan bersembunyi di balik awan kelabu, sementara angin dingin mulai bertiup kencang, menambah kesan mencekam di sepanjang jalan yang mengarah keluar dari istana.
Di tengah suasana yang sunyi itu, Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga bersiap meninggalkan istana dengan kelompok kecil pasukan yang dipimpin oleh Jaka. Setiap langkah terasa berat, penuh dengan ketidakpastian dan ancaman yang bisa muncul dari mana saja.
“Apa semua sudah siap?” tanya Gema, memandangi wajah Jaka yang serius.
Jaka mengangguk, menggenggam erat Kuku Baja Tandingan di tangannya. “Aku sudah menyiapkan tiga belas orang terbaikku. Mereka semua bisa dipercaya. Kita akan bergerak cepat, tanpa banyak menarik perhatian.”
Di balik keheningan malam, Gema, Jaka, dan Roro terus bergerak cepat menyusuri jalan setapak sempit di dalam hutan. Suara angin yang menderu di antara pepohonan membuat suasana semakin mencekam, seakan alam sendiri memperingatkan mereka akan bahaya yang tak kasatmata. Mereka tahu, meski berhasil mengelabui para pembunuh bayaran Dewi Sekarwangi untuk sementara, mereka tidak bisa lengah. Setiap langkah yang mereka ambil bisa saja membawa mereka lebih dekat ke jebakan berikutnya."Roro, seberapa jauh kita dari perbatasan?" tanya Gema, memecah kesunyian. Matanya terus waspada menatap ke depan, memperhatikan gerakan di antara bayang-bayang pepohonan.Roro, yang kini berada di depan mereka untuk memandu jalan, memperkirakan dengan cepat. "Masih beberapa mil lagi. Jika kita terus bergerak tanpa henti, kita bisa sampai seb
Setelah kekalahan Kartanegara, Gema, Jaka, dan Roro segera bergerak menjauh dari tempat pertempuran. Mereka tahu bahwa kemenangan yang baru saja mereka raih hanyalah permulaan dari ancaman yang lebih besar. Dewi Sekarwangi tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja. Malam semakin pekat, dan angin dingin terus berhembus, membawa firasat buruk.Mereka berlari melalui hutan yang lebat, menembus gelapnya malam. Roro terus memantau tanda-tanda bahaya dengan telinganya yang tajam, sementara Jaka menjaga barisan belakang, siap melawan jika ada yang mengejar mereka. Gema memimpin di depan, matanya berkilat penuh tekad. Mereka harus mencapai perbatasan sebelum fajar, atau semua akan sia-sia.“Seberapa jauh lagi, Roro?” Gema bertanya dengan napas yang sedikit ter
Hutan mulai mereda seiring dengan langkah cepat Gema, Jaka, dan Roro yang bergerak menuju perbatasan. Cahaya rembulan samar-samar menembus celah pepohonan, memberikan sedikit penerangan di tengah kegelapan yang mengelilingi mereka. Meskipun berhasil melarikan diri dari Dewi Sekarwangi, mereka tidak bisa bernafas lega. Kekuatan racun ilusi dari kipas Sekarwangi masih mengganggu Roro, dan situasi semakin mendesak."Kita tidak punya banyak waktu," Gema berkata sambil terus memperhatikan keadaan sekitar. "Sekarwangi pasti sudah mengirim bala bantuan atau mengejar kita sendiri."Roro terlihat semakin lemah, peluh dingin mengalir di dahinya. "Racun ini... aku harus segera menetralisirnya, tapi tubuhku terlalu lemah sekarang."Jaka mengangguk, matanya berkedip tajam. "Kita har
Angin malam yang seharusnya membawa kesejukan kini berhembus penuh ketegangan, membawa aroma peperangan yang kian membara. Gema memutar Tombak Bumi Nusantara di tangannya, matanya terkunci pada Pangeran Arjuna yang berdiri di kejauhan, busur angin ilahinya siap untuk melepaskan serangan mematikan. Sementara itu, prajurit-prajurit yang berada di bawah komando Arjuna mulai mengepung Gema, Jaka, dan Roro, seperti kawanan serigala yang siap menerkam mangsanya."Apa yang kau kejar sebenarnya, Arjuna?" Gema berteriak di tengah dentuman pertempuran yang mulai meletus. "Kerajaan ini butuh pemimpin yang peduli pada rakyatnya, bukan seseorang yang hanya mengejar kekuasaan demi egonya!"Arjuna menyeringai, kakinya melangkah dengan tenang meski medan di sekitarnya bergetar oleh pe
Langit malam yang kelam mendadak disinari oleh kilatan-kilatan energi yang memancar dari medan pertempuran. Bentrokan antara Gema dan Pangeran Arjuna menggetarkan setiap sudut hutan perbatasan, menciptakan suasana mencekam yang dirasakan bahkan oleh mereka yang berjarak puluhan kilometer dari tempat kejadian. Namun, jauh dari sana, sesuatu yang lebih gelap dan mendalam sedang terjadi di dalam istana.Di ruang tersembunyi di bawah istana Kerajaan Langit Timur, Dewi Sekarwangi berdiri di depan sebuah altar kuno, tangannya memegang Kipas Bunga Mimpi yang terus bergetar, seolah merespons kekuatan yang ia panggil dari dimensi lain. Di hadapannya, simbol-simbol sihir terpancar dari lantai, menggambarkan pola yang rumit dan menyeramkan. Rencana besarnya sudah mendekati puncaknya, dan malam ini, ia akan memanggil kekuatan
Angin malam berembus kencang, mengusir debu-debu yang masih beterbangan di sekitar medan pertempuran. Hawa dingin bercampur dengan panasnya energi yang masih tersisa dari ledakan dahsyat tadi. Di tengah kawah besar, Gema berdiri dengan napas tersengal, menatap Arjuna yang bangkit kembali dari reruntuhan. Tubuhnya penuh luka, namun matanya menyala dengan keinginan kuat untuk menang. Tidak ada ketakutan, hanya tekad yang menggila.“Sudah kubilang,” seru Arjuna sambil tersenyum sinis, meskipun darah masih menetes dari sudut bibirnya. “Kau tidak akan bisa mengalahkanku, Gema. Aku telah menyiapkan ini selama bertahun-tahun. Segala kekuatan ini adalah milikku, dan aku akan menghancurkan siapa saja yang menghalangiku!”Gema mengepalkan tangan di sekitar Tombak Bumi Nusantara. Energi dari alam Nusan
Cahaya bulan yang redup menyinari medan pertempuran yang sudah hancur lebur. Debu-debu dari ledakan dahsyat yang terjadi beberapa saat lalu masih beterbangan di udara, menciptakan kabut tipis yang terasa berat dan penuh sesak. Di tengah reruntuhan, Gema berdiri goyah, napasnya tersengal setelah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mengalahkan Arjuna. Namun, saat semuanya seolah berakhir, kehadiran Dewi Sekarwangi menghancurkan secercah harapan yang baru saja ia miliki.Dewi Sekarwangi melangkah perlahan mendekati Gema, aura gelapnya semakin pekat di setiap langkah yang diambilnya. Senyumnya yang licik terlihat semakin jelas di bawah sinar bulan. Di tangannya, Kipas Bunga Mimpi berputar perlahan, memancarkan ilusi dan kekuatan mematikan yang bahkan bisa melumpuhkan siapa saja yang mendekatinya.
Angin dingin dari Benua Utara terus berembus, menebarkan kabut es yang menusuk sampai ke tulang. Gema, Roro, dan Jaka berdiri mematung di tengah dataran bersalju, mata mereka terpaku pada pemandangan luas yang seakan tak berujung. Pegunungan bersalju menjulang tinggi di kejauhan, dan hutan-hutan pinus yang sunyi membentang di hadapan mereka. Benua Utara ini benar-benar berbeda dari apa yang mereka ketahui di Kerajaan Langit Timur—terkesan lebih sunyi, lebih misterius, dan lebih ganas.“Kita benar-benar di Benua Utara,” gumam Gema, menatap dataran luas yang membentang di depan mereka. Hembusan angin yang dingin membuat napas mereka terlihat seperti kabut putih yang hilang di udara beku.Roro menggosok lengannya yang menggigil, memeluk tubuhnya erat-erat untuk menghangatkan diri. “Dingin sekal
Langkah Gema, Roro, dan Jaka semakin pelan ketika mereka memasuki Hutan Mistik Es, sebuah kawasan yang penuh misteri dan bahaya. Suasana di dalam hutan itu begitu sunyi, hanya desau angin dingin yang menghembus di antara pepohonan beku, membuat daun-daun es bergetar pelan. Meski tampak tenang di luar, ada sesuatu yang terasa aneh dan menekan. Ketiganya merasakan kegelisahan yang sama, seolah-olah mereka sedang diawasi oleh sesuatu yang tidak tampak.Hutan itu dipenuhi pepohonan raksasa yang batangnya menjulang tinggi, seluruhnya tertutupi lapisan es yang tebal. Setiap langkah mereka menghasilkan suara renyah dari salju yang terinjak, namun setiap suara kecil itu bergema dengan cara yang aneh, seolah ada gema dari suara lain yang mengikuti di belakang mereka.“Rasanya… seperti kita tidak sendiri di sini,” gumam Roro dengan nada cemas, matanya mengamati sekeliling dengan hati-hati. Tangan halusnya sudah siap meraih jarum-jarum akupunktur, jika ada sesuatu yang tiba-tiba muncul dari bali
Badai salju terus menderu, namun di tengah kegelapan dan dinginnya angin, Gema, Jaka, dan Roro berdiri tegak, memancarkan aura yang berbeda dari sebelumnya. Napas mereka teratur, meski suhu menggigit setiap inci tubuh mereka. Mata Gema menyala dengan kepercayaan diri yang semakin kuat, seolah-olah badai dan makhluk-makhluk es yang menghadang mereka hanyalah ujian kecil yang harus mereka lewati.Di sekitar mereka, Cheetah Es yang tersisa terus bergerak dengan kecepatan luar biasa, mengepung dari segala arah. Namun, kali ini Gema dan kedua kawannya sudah siap. Kekuatan yang telah mereka latih selama dua tahun di benua utara ini akhirnya mencapai puncaknya.“Sudah cukup,” gumam Gema pelan, namun penuh tekad. “Saatnya kita tunjukkan apa yang sebenarnya kita pelajari selama ini.”Jaka mengangguk, menatap musuh-musuh di depan mereka dengan senyuman penuh percaya diri. “Aku sudah menunggu saat ini. Tidak ada lagi yang bisa menghalangi kita.”Roro yang berada di sebelah mereka, meskipun dingi
Angin menderu hebat, membawa butiran salju yang terasa seperti ribuan jarum tajam menghantam kulit. Udara yang sedingin es menggigit tubuh mereka, meskipun pakaian tebal dari kulit hewan yang diberikan oleh Suku Wanuara cukup melindungi mereka dari hawa dingin yang menusuk. Pegunungan Utara tampak menjulang di kejauhan, puncaknya seolah menyentuh langit, diselimuti oleh kabut tipis yang menyatu dengan badai salju.Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga melangkah maju dengan susah payah, kaki mereka tenggelam dalam salju setinggi lutut. Napas mereka terlihat dalam bentuk embusan uap di udara dingin. Mata mereka terus waspada, namun badai salju yang semakin deras membuat jarak pandang terbatas. Hanya siluet-siluet gelap dari bebatuan besar dan pohon-pohon kerdil yang terlihat samar di kejauhan."Aku tidak menyangka cuacanya akan seburuk ini," gumam Roro, suaranya hampir tenggelam dalam raungan badai. "Aku bisa merasakan energi dingin ini mengalir langsung ke tulang-tulangku."Jaka, yang
Awan di atas desa Suku Wanuara terlihat lebih cerah dari biasanya. Meski udara dingin pegunungan masih menusuk tulang, sinar matahari yang terpantul dari salju memberikan sedikit kehangatan yang aneh. Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga bersiap untuk perjalanan mereka menuju Pegunungan Utara. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan bahaya, tapi tekad mereka sudah bulat.Di sekitar desa, para anggota suku telah berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ketiga tamu yang telah tinggal bersama mereka selama dua tahun. Di tengah kerumunan, Nyi Gandari berdiri dengan penuh wibawa, ditemani oleh Anggarajaya, Raksayudha, dan beberapa pemimpin suku lainnya.Gema memandang tumpukan perbekalan yang sudah disiapkan untuk mereka. Para tetua suku memberi mereka makanan, pakaian hangat, serta senjata yang bisa berguna untuk bertahan hidup di pegunungan yang keras. Ransel kulit berisi ramuan penghangat tubuh, beberapa buah kering, dan daging kering terikat dengan kuat. Sel
Di tengah dinginnya udara pegunungan utara yang menusuk tulang, Gema terbaring di dalam tendanya, mencoba memejamkan mata. Namun, pikirannya justru melayang ke masa lalu. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan, kenangan tentang seseorang yang sangat penting dalam hidupnya—Raden Jayabaya, sang guru, seorang bijak dari Benua Timur yang tak hanya mengajarinya seni bela diri dan sihir, tetapi juga rahasia-rahasia dunia yang tersembunyi.Saat malam semakin larut, Gema semakin sulit untuk tidur. Dia duduk dan mengamati api unggun yang berkedip-kedip di luar tendanya. Pikirannya kembali pada percakapan terakhirnya dengan Raden Jayabaya sebelum dia pergi meninggalkan Benua Timur, sebuah percakapan yang kini terasa semakin relevan."Ada sesuatu yang harus kau cari di masa depan, Gema," Raden Jayabaya pernah berkata sambil menatap langit, matanya tampak jauh memandang ke cakrawala. "Sebuah artefak kuno, tersembunyi di tempat yang tidak mudah dijangkau. Namun jika kau menemukannya, kekuatanmu ak
Setelah perburuan yang penuh tantangan melawan para Mammoth Raksasa, Gema, Jaka, dan Roro akhirnya berjalan kembali menuju desa Suku Wanuara. Mereka ditemani oleh Anggarajaya dan beberapa anggota suku lainnya, termasuk para pemburu berpengalaman yang ikut serta dalam perburuan. Matahari terbenam di cakrawala, menciptakan pemandangan langit merah keemasan yang memantulkan sinarnya ke atas hamparan es yang luas. Hembusan angin dingin yang menusuk tulang kini terasa lebih akrab, seolah menjadi sahabat lama bagi mereka yang telah bertahan di lingkungan keras ini.Setelah beberapa jam berjalan, mereka mulai melihat tanda-tanda desa suku di kejauhan. Tenda-tenda besar yang terbuat dari kulit binatang berjajar rapi, asap tipis mengepul dari perapian di tengah desa, dan suara-suara tawa serta obrolan hangat terdengar samar di udara. Ada rasa hangat yang langsung menyelimuti hati mereka begitu desa mulai terlihat. Meskipun mereka adalah pendatang di sini, Suku Wanuara telah menjadi seperti kel
Fajar menyingsing dengan cahaya keemasan yang terpancar lemah di atas bentangan es Benua Utara, memantulkan kilauan pada permukaan kristal salju yang memutih. Suhu yang beku di bawah nol tidak lagi menjadi musuh bagi Gema, Jaka, dan Roro. Setelah dua tahun beradaptasi dengan lingkungan keras ini, mereka telah belajar untuk tidak hanya bertahan hidup tetapi juga menjadi bagian dari kekuatan alam yang dingin dan ganas ini.Hari ini, perburuan terakhir mereka akan menjadi yang paling menantang. Anggarajaya memimpin kelompok suku Wanuara ke dataran beku yang disebut “Tanah Bersalju Tak Berujung,” di mana gerombolan Mammoth Raksasa berkeliaran. Makhluk-makhluk ini bukan hanya besar, tetapi juga sangat berbahaya dengan taring gading yang mampu menghancurkan benteng dan kulit tebal yang nyaris tak tertembus.“Perburuan hari ini berbeda,” ujar Anggarajaya dengan suara dalam. “Mammoth Raksasa adalah hewan yang langka di benua ini. Mereka kuat, cepat, dan tidak mudah diprediksi. Kalian harus me
Langit kelabu membentang di atas dataran es yang luas, seolah-olah menutupi dunia dalam selimut dingin abadi. Salju turun dengan lembut, menyelimuti permukaan bumi yang sudah beku, namun di bawah tenangnya lanskap ini, ketegangan menggantung di udara. Anggarajaya, Gema, Jaka, Roro, dan beberapa anggota Suku Wanuara lainnya berkumpul di tepi lembah yang dipenuhi es yang memantulkan cahaya samar dari langit. Hari ini, perburuan mereka bukanlah beruang kutub, melainkan makhluk yang lebih cepat, lebih berbahaya, dan jauh lebih mematikan: sekelompok Cheetah Es."Perburuan ini akan menjadi ujian terakhir kalian," kata Anggarajaya dengan nada tegas, tatapan matanya tajam seperti elang. "Cheetah Es terkenal dengan kecepatannya yang bisa membekukan aliran darah. Satu gigitan dari mereka, dan kau akan mati dalam hitungan detik."Gema mendengar peringatan itu dengan tenang. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang terus membara—kekuatan yang telah ia latih selama dua tahun terakhir di Benua Utara ini.
Es dan salju membentang sejauh mata memandang di dataran beku Benua Utara. Udara dingin menusuk tulang, dan setiap langkah di permukaan putih itu meninggalkan jejak yang cepat terhapus oleh angin kencang. Gema, Jaka, Roro, dan anggota Suku Wanuara kini bergerak di tengah alam liar yang lebih ganas dari sebelumnya. Kali ini, perburuan mereka bukanlah rusa yang damai, melainkan makhluk yang jauh lebih berbahaya: sekelompok beruang kutub besar yang menguasai wilayah ini.Anggarajaya, sang pemimpin perburuan kali ini, memberikan isyarat agar mereka berhenti. Di depan mereka, melalui kabut salju yang berputar, terlihat bayangan besar dari seekor beruang kutub. Ukurannya jauh lebih besar dari beruang biasa, dengan bulu putih tebal yang nyaris menyatu dengan lanskap sekitarnya. Hewan itu sedang merobek bangkai ikan besar di dekat sebuah sungai beku."Kita harus hati-hati," bisik Anggarajaya. "Beruang-beruang ini sangat kuat, dan mereka bergerak dalam kelompok. Kita tidak boleh gegabah."Gema