Nun jauh disana, tepatnya di pusat istana kerajaan Labodia. Seluruh penghuni istana sedang merayakan pesta yang digelar setiap tahun sekali.
Hampir semua penduduk tanah barat, terutama yang berdekatan dengan istana, datang berbondong-bondong.
Walau pun hanya untuk sekedar menyaksikan beberapa pertunjukan hiburan, tapi antusias mereka lumayan besar. Mungkin itu disebabkan pertunjukan sedikit menarik karena dilakoni beberapa hewan buas dan sang pawang.
Selain itu, pihak istana memberikan makanan dan hadiah bagi siapa pun yang berminat datang memenuhi undangan sang raja.
Namun di sisi lain ada juga penduduk desa yang tak ingin memenuhi seruan raja itu. Entah apa yang sebenarnya tengah terjadi?
Keadaan jiwa penduduk di sekitar istana kerajaan saat ini, seakan terusik.
"Tuan, sampai saat ini kita belum mendapatkan kabar mengenai anak dan wanita itu. Lalu apa yang akan tuan lakukan selanjutnya?" ucap Dado, basa-basi.
Dado merupakan seorang mata-mata berkedok penasihat kerajaan. Sudah 11 tahun ia bergabung dengan Kerajaan Labodia. Niatnya hanya satu yaitu mengacaukan kerajaan Labodia dari dalam, tanpa peperangan dan pertumpahan darah.
"Bagaimana dengan pasukan khusus yang telah kita sebar, apakah mereka memberikan kabar?" sahut Gantara yang sedang menikmati santapan siangnya.
"Belum tuan. Nampaknya mereka masih berusaha mencari tahu, di mana tempat persembunyian 2 orang itu!" lanjut Dado.
"Baiklah. Mungkin saat ini kita hanya bisa menunggu kabar dari mereka!" ungkap Gantara.
Mendengar perkataan Gantara, tiba-tiba Dado mengarahkan pandangan pada orang di sampingnya, ia bernama Jarko.
Layaknya sedang mengisyaratkan sesuatu, Dado dan Jarko terlihat saling berbalas pesan dengan bahasa rahasianya.
"Maaf tuan, hanya sekedar saran saja. Bagaimana jika kita mengundang semua sesepuh wilayah di kerajaan ini?" usul Jarko setelah melakukan perbincangan bersama Dado dengan bahasa isyaratnya.
"Jangankan sesepuh wilayah, mengundang semua penduduk negeri saja sangat sulit. Apalagi mengundang orang-orang itu!" timpal Gantara seakan putus asa.
"Tuan, jika tuan kesulitan untuk memanggil mereka. Biarkanlah aku yang menjalankan semuanya!" bujuk Dado. Lagi-lagi jurus penghasud milik mata-mata itu mulai di gunakan.
"Apa yang akan kalian lakukan?" celetuk Gantara. Sambil memutar sumpit yang ia gunakan.
"Kami akan paksa semua sesepuh wilayah dengan cara kami!" Dado menjelaskan rencananya.
Nampaknya Gantara sedang malas berfikir, entah mengapa? Kerap kali rasa kantuk datang padanya seakan tak kenal waktu.
"Baiklah, aku akan serahkan semua ini pada kalian berdua!" pungkas Gantara. Kemudian ia meninggalkan ruang utama kerajaan, menuju ruang pribadinya yang berada di sayap kanan istana.
Sang Raja terlihat sedikit murung, mungkinkah ia sedang memikirkan sesuatu?
Ya, Gantara sedang memikirkan bagaimana agar nama baiknya bisa kembali di hati rakyatnya sendiri. Selain itu, Gantara memikirkan keberadaan Sesepuh wilayah di kerajaannya.
Sesepuh wilayah, merupakan orang terpandang dan memiliki pengaruh besar di setiap pelosok desa. Setiap 2 tahun sekali, seluruh desa akan mengangkat seorang pemimpin diantara mereka. Pengangkatan sesepuh wilayah merupakan kebiasaan baru di kerajaan Labodia. Tapi kebiasaan itu seakan menjadi budaya yang wajib.
Hal ini berawal sejak 10 tahun terakhir, semenjak Gantara mengangkat 2 orang penasihat kerajaan.
Ini Aneh!
Padahal Gantara mempunyai kedudukan penting, ia merupakan seorang raja. Bukankah raja memiliki kebebasan dalam mengatur kekuasaannya?
Ya, sang raja memang memiliki tangan besi atau kekuasaan untuk bertindak sesukanya. Namun bukan tanpa alasan Gantara tidak memakai tangan besi itu. Melainkan, ada beberapa hal penting yang memang harus dipertimbangkan.
Akhir-akhir ini Gantara seakan menjadi seorang perasa. Ia selalu berpikir ulang jika akan melakukan sesuatu. Padahal sebelumnya, Gantara akan memaksa rakyat supaya mengikuti keinginannya.
Namun beberapa purnama lalu, ia mencoba mengendalikan diri. Sebab jika ia tetap keras kepala, maka peristiwa di masa lalu dikhawatirkan terjadi lagi.
Ya, 10 tahun lalu. Telah terjadi peristiwa yang sangat menegangkan. Hampir setiap desa memberikan kecaman pada pihak istana. Mereka menolak berbagai kebijakan baru kerajaan. Seperti, meminta jatah hasil bumi dengan takaran lebih tinggi dari biasanya. Kemudian membayar sewa tanah dengan harga yang sangat mahal.
Andai saja di waktu itu Gantara tak memikirkan kembali keputusannya, pertempuran tragis antara rakyat dan tentara kerajaan pasti tidak bisa terhindarkan.
***
Esok harinya. Setiap desa yang berada di wilayah kekuasaan Labodia, seakan dikejutkan dengan kedatangan pasukan berkuda.Ribuan tentara kerajaan datang layaknya menyerbu tanah jajahan baru.
Ratusan pasang mata rakyat, terpaku melihat laju pasukan berkuda itu.
Hal yang sama di berbagai penjuru desa, nampaknya menjadi tanda tanya besar. Ada apa gerangan? Begitu pun di tempat Sadarga bermukim, Desa Purbawati.
Saat puluhan tentara kerajaan tiba di Desa Purbawati. Mereka langsung menyebar dan menghampiri rumah para penduduk. Hal itu dianggapnya bisa menghemat waktu. Setiap rumah di datangi 2 tentara saja.'Inikah kesatria yang sering kakek ceritakan?' gumam Sadarga dalam batinnya. 2 pria dewasa saat ini tengah mendekatinya.Di setiap pelosok Negri, para kesatria seakan terlahir dengan sendirinya. Mereka merupakan orang-orang yang memiliki ilmu bela diri, sesuai dengan tingkatannya masing-masing.Kemudian, para Kesatria itu terbagi menjadi 2 golongan. Sebagian bergolongan putih, sebagian lagi bergolongan hitam. Para Kesatria di golongan putih, pasti mempunyai watak kepribadian yang baik, mereka selalu bersedia melindungi sesamanya. Tapi, para Kesatria di golongan hitam mempunyai watak sebaliknya. Mereka lebih condong mempunyai watak jahat.Kesatria golongan hitam sering menggunakan kemampuannya untuk mencari keuntungan sendiri, terkadang mereka merampas hak
"Wahai para kesatria, kalau boleh tahu. Ada apakah gerangan kalian datang ke tempat ku yang kotor ini?" ucap Tanu yang masih mengelus pakaian Jirah para utusan istana. Nada ucapan kakek tua itu seperti seorang pujangga yang dilanda mabuk asmara.'Tingkah kakek semakin aneh saja!' gerutu Sadarga, nampaknya ia kesal melihat tingkah kakek angkatnya.Karena mendapat perlakuan aneh dari Tanu, pria sipit nampaknya kegelian sendiri. Ia sekan tak nyaman mendapat perlakuan Tanu yang mirip seorang lelaki sedang merayu wanita."Ka-kami hanya menuruti perintah raja, Kek!""Aduhai senangnya diriku ini, didatangi 2 utusan kerajaan yang begitu murah hati. Tapi ... sepertinya ada maksud lain yang mendorong kalian datang ke tempat ini, jika tak keberatan mohon sedia beritahukan pada kakek tua ini!" tutur Tanu. Sepertinya ia benar-benar sedang merayu.Jelas saja, tingkah Tanu semakin membuat Sadarga gemas. "Kakek! Apa kamu baik-baik saja?" celetuk Sadarga."Hem
"Baiklah, ku rasa ... pertemuan kita kali ini sudah cukup! Jika esok hari rombongan itu belum datang. Maka kewaspadaan, harus tetap di dipertahankan. Karena, bisa saja kedatangan mereka mendadak di esok lusa," pungkas Tanu, mengakhiri pembicaraannya di malam itu.Setelah melakukan pertemuan dengan beberapa pendekar desa, Tanu langsung kembali ke rumahnya.Ternyata perkiraan Tanu memang terjadi dan semua rombongan dari kerajaan itu, saat ini sudah berada di depan mata.***Buur!Duar!Tiba-tiba terdengar dentuman dari balik bukit Desa Purbawati.Tepat di kaki bukit itu terdapat sebuah wilayah padat penduduk. Sadarga yang mendengarnya sontak saja terkejut, begitupun dengan 2 tamu dari istana. Walaupun mereka hanya saling menatap, tapi hal itu seakan memberi isyarat pada mereka bahea hal tak lajim sedang terjadi."Kakek! Suara apa itu?" tanya Sadarga pada Tanu. Kakek tua itu terlihat masih tenang saja."Hmmp,
"Bagaimana sudah siap, Nak?" tanya Tanu pada Sadarga. Nampak jelas bocah di hadapannya tengah selesai mengemas barang-barang."Ia Kek! Aku rasa ini semua sudah cukup," saut Sadarga."Baiklah, mari kita pergi!" pungkas Tanu.Di saat Kakek tua itu mulai melangkahkan kakinya, Sadarga hanya diam termenung. Entah apa yang dia lakukan? Sepertinya memikirkan sesuatu."Kek! Sebenarnya kita mau kemana? tanya Sadarga.Mengapa baru kali ini bocah itu bertanya? Padahal untuk sekedar berkemas barang saja, ia memerlukan waktu yang cukup lama."Kita akan pergi beberapa waktu dari tempat ini dan akan kembali lagi setelah keadaan mulai membaik," tutur Tanu memberikan penjelasan pada Sadarga."Jika begitu, mengapa tak menunggu Ibu dulu?"Sejak dari awal berkemas, Sadarga hanya memikirkan kepulangan ibunya. Pasalnya, dari pagi buta ia belum bertemu dengan Ningrum."Bagaimana ini? Atau sebaiknya ku katakan saja pada bocah ini, a
"Nak, sepertinya tempat ini lumayan aman," ucap Tanu sembari menurunkan Sadarga yang masih dalam gendongannya. "Ia, Kek!" sahut Sadarga. "Sebaiknya kita istirahat sejenak di tempat ini ... karena perjalanan kita tak akan ada akhirnya!" ucap Tanu dengan nada semakin pelan. Kakek tua itu segera membaringkan tubuh pada tanah yang di pijaknya. "Hah, tak ada akhir?" tanya Sadarga penuh penasaran. Mungkin dari tadi bocah itu menunggu kepastian, kemana tujuan Tanu sebenarnya? "Oh, tidak! Maksudku kita tak tahu arah tujuan kita," celetuk Tanu yang menggaruk kepalanya walau tak gatal. Namun kepekaan Sadarga nampaknya lebih dewasa dari usianya. Bocah itu seakan menyadari bahwa Tanu sedang menyembunyikan sesuatu. "Ayolah Kek! Jangan anggap aku masih kecil. Sebenarnya aku selalu mencurigai ibu dan Kakek. Tapi aku menunggu waktu untuk menanyakan kecurigaan itu pada kalian," cela Sadarga dengan alis mata naik sebelah. Sorot mata Sada
Saat ini Tanu tengah tertidur dengan pulas, Sadarga yang terus berteriak tak kunjung mendapatkan tanggapan."Sial! Kenapa kakek diam saja? Apa dia sudah tidur?" bisik Sadarga pada dirinya.Akhirnya bocah itu bergegas dari tempatnya. Tanpa mengetahui tujuan yang pasti, langkah kakinya terasa sedikit hampa.Namun entah apa yang terjadi pada tubuh Sadarga? Bocah itu seakan berjalan tak kenal lelah. Saat ini ratusan depa telah ia lalui tanpa hambatan apapun. Bahkan dirinya tak sadar, bahwa saat ini tengah berada di hutan belantara.Suara hewan buas mulai terdengar mengganggu telinga Sadarga, hawa dingin berkabut tiba-tiba menyelimuti. Pandangan Sadarga pun seakan terganggu dengan kemunculan kabut putih itu.Kerrr!Aaak! Aaaak! Aaak!"A-apa itu?" gumam Sadarga dalam batinnya. Ia langsung mengedarkan pandangan menyisiri setiap sudut hutan yang masih terjangkau olehnya.Setelah riuh suara hewan bersahutan, tiba-tiba Sadarga melihat baya
Setelah Sadarga memejamkan mata, tiba-tiba dalam hitam pekat pandangannya berubah menjadi hijau menyala. Dalam benak bocah itu sempat bertanya-tanya, apakah ia sedang bermimpi atau hidup dalam kenyataan. Rasa penasarannya semakin menjadi, setelah ia menyaksikan pemandangan di sekitarnya seolah berubah menjadi taman bunga.Saat ini Sadarga berada di antara pagar bunga yang menyerupai labirin. Mungkin ia perlu ketelitian, supaya bisa mencari jalan keluar. Andai saja bocah itu keluar dari kurungan labirin, entah pemandangan apa yang ada di balik pagar bunga tersebut."Di-dimana ini?" gumam Sadarga. Bocah itu nampak kebingungan. Sadarga mengedarkan pandangan ke sana - ke mari, hendak mencari tahu dimana dirinya berada.Suasana tegang yang dialaminya seakan menjadi sedikit tenang. Bahkan tengah membuatnya lupa diri. Bagaikan seorang yang mabuk dan mengabaikan suasana di sekitarnya."Hai, Nak!" ucap seorang wanita yang berada di balik bunga pagar.
Saat ini, jalan keluar dari labirin pagar bunga itu mulai tersingkap. Setiap jalan yang dilalui Sadarga, telah di tandainya dengan membuat simpul tali yang terbuat dari akar dan lerumputan.Tak ada satupun jalan labirin yang terlewatinya, hingga akhirnya hanya tersisa satu jalan saja. Namun sayangnya jalan ini di penuhi oleh rumput yang berduri."Mengapa harus jalan ini yang tersisa?" tanya Sadarga pada Ningrum yang bersemayam dalam jiwanya."Lalui saja dengan penuh keyakinan! Jangan pedulikan duri di sepanjang jalan itu! Nak, maafkan aku ... karena tak bisa menemanimu lebih lama lagi," pungkas Ningrum."Tu-tunggu, maksud ibu?"Sudah beberapa kali Sadarga memanggil ibunya. Namun sang ibu tak kunjung memberikan tanggapan sepatah kata pun. Wanita itu seolah datang tak diundang, pulang tak diantar."Ke-kemana ibu? Ibu! Ibuuuu!" teriak Sadarga.Seiring menghilangnya suara Ningrum, Sadarga terlihat begitu panik. Bocah itu nampa
"Hei, coba lihat! Bukankah dia utusan dari bumi?""Mungkin saja begitu.""Tapi, aku rasa ada yang tak biasa dengan bumi kali ini. Mengapa saat ini bumi mengutus seorang yang terlihat lemah seperti itu.""Ya, benar juga. Jika demikian maka karisma bumi seakan menjadi pudar.""Hahaha."Dari jarak yang lumayan jauh, terdengar percakapan beberapa orang yang sedang menggunjing. Sepertinya Sadarga belum peka terhadap percakapan tersebut. Karena sebenarnya yang sedang menjadi bahan pembicaraan adalah dirinya, sebagai utusan dari bumi."Apa yang harus aku lakukan? Mengapa tiba-tiba tempat ini menjadi ramai?" gumam Sadarga dalam batinnya. Pandangan lelaki itu terus menyisir setiap penjuru yang mampu dijangkaunya.Suasana di dataran lapang ini begitu riuh, kesunyian seakan lenyap dibuatnya. Bagaikan pesisir pantai yang jernih dan tiba-tiba dipenuhi buih yang teramat banyak. Hiruk pikuk para utusan dari berbagai penjuru alam semesta datang
Setelah sekian lama melakukan perjalanan, akhirnya selesai juga. Sampailah di sebuah permukaan datar penuh debu dan pasir.Jika menengadahkan kepala ke langit, Sadarga bisa melihat puluhan bola berukuran besar. Terkadang Sadarga menyaksikan Kilauan cahaya di bola itu, tapi sisi lainnya berwarna gelap."Paman, jika boleh tahu siapa namamu?" tanya Sadarga sembari mengarahkan pandangan ke atas langit. Lelaki ini memang terbiasa menggunakan sebutan Paman, kepada siapapun yang dianggapnya lebih tua."Hmp, maafkan aku... karena hampir saja lupa memberitahunya. Perkenalkan namaku Brama Rangga Dewata. Tapi terserahmu saja, kau bisa panggil sesukamu," sahut Brama dengan senyuman ramahnya. Simpulan bibir pria itu seperti menyiratkan sifat aslinya."Wah, namamu bagus sekali dan sangat panjang Paman. Mungkin aku akan memanggilmu menggunakan nama depannya saja.""Baiklah nak, terima kasih atas pujiannya. Perlu kamu ketahui kita ini hampir sampai. Jangan s
Sesuatu yang dilihat oleh Sadarga, sungguh membuatnya ingin muntah.Bagaimana tidak?Sebab saat ini terlihat dua orang lelaki dan tiga wanita yang sudah tak berpakaian. Lima orang itu masih memiliki wajah utuh, tapi dari leher hingga bagian kaki sudah tak nampak lazim.Bukan tanpa alasan keadaan lima orang itu menjadi sedemikian rupa. Hal tersebut ternyata diakibatkan ulah dari orang-orang yang mengerumuninya.Ya, lima orang bernasib buruk itu telah menjadi korban keganasan penyembah Pisaca.Karena tak tahan melihat tingkah orang-orang di sekelilingnya, dengan lantang Sadarga berteriak sekeras mungkin."Aaaaaaa!"Tak lama setelah teriakan menggema di ruang istana, pandangan pun berubah menjadi gelap. Sadarga hanya bisa melihat bintik cahaya bermacam warna, bagaikan pemandangan langit malam saat dilihat di atas gunung.Begitu terkejut Sadarga, setelah ia menyadari bahwa dirinya sudah berpindah tempat cepat sekali. Bu
"Tunggu! Ibu mau kemana?" teriak Sadarga setelah melihat Ningrum tiba-tiba pergi dengan cepat.Walaupun Sadarga berteriak sekerasnya dan tengah melakukan berulang kali.Sayang sekali!Ningrum terlihat acuh tak memberikan tanggapan.Begitu tergesa-gesa kepergian Ningrum. Entah apa yang membuatnya melakukan itu? Yang jelas saat ini Sadarga hanya seorang diri saja melayang menunggangi batu di lingkungan istana kerajaan.Ingin rasanya mengikuti sang ibu yang telah pergi meninggalkannya, tapi apa daya Sadarga? Batu yang ia tunggangi tak bisa bergerak sesuai keinginannya. Bahkan batu tersebut malah turun dari atas ketinggian, seakan meminta Sadarga tak menginjakan lagi kaki di atas permukaannya."Aaaaa!"Benar saja.Begitu terkejut Sadarga. Pria itu dibuat kaget oleh batu yang ditumpanginya. Tiba-tiba bongkahan batu itu melakukan putaran cepat, seakan memaksa Sadarga turun.Dari kejadian itu, menyebabkan Sada
Sampai saat ini, Utar terus melanjutkan perjalanannya hingga mencapai perut goa. Di kedalaman tersebut suara hujan deras sudah tak terdengar lagi.Bebatuan tajam yang bisa dirasakan alas kaki pun, sudah tak ditemui lagi. Entah apa yang bisa dilihat jika sepercik cahaya menerangi kegelapan saat ini."Hei, apa kalian baik-baik saja?"Suara Utar yang terpantul dinding goa, terdengar menggema. Entah berapa orang yang masih bersamanya, hanya suara langkah dan hembusan nafas saja yang didengarnya. Tak ada seorangpun yang berbicara saat ini.Mungkin rasa lelah karena perjalanan, menjadikan diam terasa lebih baik dari pada berbicara atau sekedar menggerakkan anggota tubuh."Baiklah, aku rasa di sini tempatnya cukup aman. Jadi, jika kalian ingin beristirahat silahkan saja,"Lelah. Lelah sekali. Sadarga yang merasakan suasana di dalam goa itu seakan tak berdaya lagi. Begitupun semua orang yang bersamanya.Hanya Utar dan Raka yang masih te
Setelah sampai di mulut goa, Sadarga merasakan keresahan dalam hatinya. Entah apa yang akan menimpanya kali ini. Namun itulah ungkapan dalam benaknya. Padahal sebelumnya Sadargalah orang paling ceria dan selalu menumbuhkan semangat bertahan hidup.Ya, semangat untuk tetap hidup.Karena sepanjang jalan menuju goa, angin kencang terus berhembus menumbangkan pepohonan hujan deras di iringi petir terus mengguyur membasahi tanah.Dari kejauhan terlihat laju tanah berjalan, terbawa arus air yang begitu kuat. Padahal itu hanyalah sebuah lumpur yang terbawa air dari hulu menuju hilir.Ada beberapa orang dari para pemuda desa Lanangjagat yang gugur melepaskan nyawanya akibat tak tahan lagi menahan gejolak amukan alam tersebut. Sungguh mengenaskan nasib mereka diterpa murka alam raya, yang datang secara tiba-tiba."Paman, sebaiknya kita mencari lagi tempat lain untuk berlindung," usul Sadarga pada Utar."Hei, bicara apa kau ini. Bukankah kamu yang men
Tak terasa tiga hari berlalu begitu saja. Semenjak peristiwa pertempuran Sadarga dan manusia berbulu, kini tak ditemukan lagi kekacauan yang mengganggu kehidupan di istana dan di berbagai wilayah lainnya.Suasana amanpun seakan dirasakan semua orang, termasuk para penduduk desa Lanangjagat yang kini berada di tempat pengungsian sementara.Di pagi hari yang sangat cerah, Sadarga terlihat berjalan dan membawa kayu bakar. Entah dari mana ia? Sebab Sadarga tak ditemani siapapun."Tuan, dari mana kayu bakar ini?" ucap Reni menyambut kedatangan Sadarga. Wanita ini merupakan seseorang yang menaruh simpati pada Sadarga.Ya, beberapa hari terakhir prasangka orang disekeliling Sadarga seakan terbagi. Ada yang menaruh simpati, ada juga yang berburuk sangka."Aku baru saja turun gunung, semalam aku tak bisa tidur. Jadi ku putuskan saja untuk mencari angin segar di malam hari."Sadarga terlihat berjalan terus tanpa melihat wajah Reni, pandangannya
"Ti-tidak. Aku hanya terkesima saja, melihat seranganmu yang begitu cepat. Sampai mengalahkan mahluk itu dengan mudah," kata Utar. Nampaknya ia tak bisa menyembunyikan isi hatinya. Sehingga segala perkataan batinnya diwujudkan dengan kata-kata yang keluar dari mulut.Bukan hanya itu, selain Utar masih banyak juga yang tak sanggup menahan isi hatinya. Begitu juga dengan Raka, si pria paling tangguh dari desa Lanangjagat.Kali ini Sadarga mendapatkan berbagai pujian yang mengangkat derajatnya. Berbeda dengan sebelumnya, disaat orang di sekeliling masih bertanya-tanya dan ragu dengan tingkah yang dilakukan Sadarga.Ya, terkadang Sadarga bertingkah diluar prasangka orang lain. Seperti perkataannya yang nyeleneh, tapi akhirnya orang lain dapat memahami maksud dari perkataan itu.Kemudian selama kebersamaannya dengan puluhan penduduk dari desa Lanangjagat, Sadarga sering kali memerintahkan hal yang tak masuk akal. Namun selang beberapa saat dari per
Setelah Sadarga menggenggam pedang milik Utar, ia bingung harus melakukan apa? Sebab seumur hidupnya Sadarga belum pernah menggunakan benda tajam itu.Semua orang yang melihat Sadarga tentu saja keheranan. Dalam benak mereka bertanya, apakah Sadarga tidak bisa menggunakan pedang? Lalu untuk apa ia meminjamnya?Ya, benar sekali. Sadarga memang belum mempelajari jurus dan seni menggunakan pedang. Namun sesekali ia menemukan keterangan dalam kitab Azura. Pada kitab itu terdapat satu bab husus yang membahas tentang berbagai jurus pedang. Tapi apa gunanya? Karena Sadarga hanya membaca ilmu pedang itu, tanpa mencobanya.Menyadari jika dirinya sedang diperhatikan banyak orang, Sadarga langsung memejamkan mata. Pria itu mencoba mengingat semua tulisan pada kitab Azura, yang membahas tentang ilmu dan seni menggunakan pedang."Jurus pedang angin!" bisik Sadarga sembari memasang kuda-kuda menyerang.Sontak saja, Utar terkejut. Sebab ia melihat Sadarga layakny