Setelah Sadarga memejamkan mata, tiba-tiba dalam hitam pekat pandangannya berubah menjadi hijau menyala. Dalam benak bocah itu sempat bertanya-tanya, apakah ia sedang bermimpi atau hidup dalam kenyataan. Rasa penasarannya semakin menjadi, setelah ia menyaksikan pemandangan di sekitarnya seolah berubah menjadi taman bunga.
Saat ini Sadarga berada di antara pagar bunga yang menyerupai labirin. Mungkin ia perlu ketelitian, supaya bisa mencari jalan keluar. Andai saja bocah itu keluar dari kurungan labirin, entah pemandangan apa yang ada di balik pagar bunga tersebut.
"Di-dimana ini?" gumam Sadarga. Bocah itu nampak kebingungan. Sadarga mengedarkan pandangan ke sana - ke mari, hendak mencari tahu dimana dirinya berada.
Suasana tegang yang dialaminya seakan menjadi sedikit tenang. Bahkan tengah membuatnya lupa diri. Bagaikan seorang yang mabuk dan mengabaikan suasana di sekitarnya.
"Hai, Nak!" ucap seorang wanita yang berada di balik bunga pagar.
Saat ini, jalan keluar dari labirin pagar bunga itu mulai tersingkap. Setiap jalan yang dilalui Sadarga, telah di tandainya dengan membuat simpul tali yang terbuat dari akar dan lerumputan.Tak ada satupun jalan labirin yang terlewatinya, hingga akhirnya hanya tersisa satu jalan saja. Namun sayangnya jalan ini di penuhi oleh rumput yang berduri."Mengapa harus jalan ini yang tersisa?" tanya Sadarga pada Ningrum yang bersemayam dalam jiwanya."Lalui saja dengan penuh keyakinan! Jangan pedulikan duri di sepanjang jalan itu! Nak, maafkan aku ... karena tak bisa menemanimu lebih lama lagi," pungkas Ningrum."Tu-tunggu, maksud ibu?"Sudah beberapa kali Sadarga memanggil ibunya. Namun sang ibu tak kunjung memberikan tanggapan sepatah kata pun. Wanita itu seolah datang tak diundang, pulang tak diantar."Ke-kemana ibu? Ibu! Ibuuuu!" teriak Sadarga.Seiring menghilangnya suara Ningrum, Sadarga terlihat begitu panik. Bocah itu nampa
Tak terasa waktu berlalu hingga matahari hampir terbenam. Sudah cukup lama Sadarga berada di antara alam ketidak sadaran dan alam sadarnya. Labirin yang terdapat di taman bunga itu, merupakan wujud ilusi dari sebuah jurus yang dimiliki Tanu. Namun suara wanita yang mengaku sebagai Ningrum, merupakan wujud asli wanita itu. Saat ini, Ningrum sedang berada di tempat persembunyian. Ia sedang dalam kejaran para tentara kerajaan. Di sela waktu kesendiriannya, tiba-tiba sukma Ningrum terpanggil untuk keluar dari dalam tubuhnya. Hingga pada akhirnya merasuki tubuh Sadarga dan mereka berdua bisa berjumpa di alam bawah sadar. Sungguh cerdas pemikiran Tanu. Kakek tua itu berhasil mempertemukan ibu dan anak walau hanya dalam alam bawah sadar. Namun ada sesuatu yang belum diketahui Sadarga. Bocah itu tidak tahu bahwa sebenarnya mahluk misterius yang berwujud seperti monyet besar dan telah mengejarnya, merupakan penguasa hutan gerbang kematian. Tapi keberuntu
"Pusi, apa kau mau ikut denganku?" ajak Sadarga, bocah itu berniat menjadikan si kucing untuk dijadikan hewan peliharaannya."Meow!" Pusi pun seakan menyahut ajakan Sadarga. Mungkin ia mengatakan bahwa dirinya bersedia. Lalu menjadikan Sadarga sebagai majikan barunya."Grrr!" geram Pusi mendengkur.Tak lama setelah Pusi menggeram, dua singa itu berdiri dan berjalan entah kemana. Dari kejauhan tiba-tiba terdengar suara menggaung. Mungkin suara itu berasal dari dua singa yang tengah berjalan dan hilang di kegelapan malam.Setelah itu sekelompok rusa pun berjalan menuju arah yang sama dengan dua singa tadi."Meow!"Tak lama setelah kepergian singa dan rusa, Pusi langsung berlari."Hei, mau kemana kalian? Sial, apakah kalian mau meninggalkanku?" pungkas Sadarga.Suasana di hutan saat ini sudah gelap. Sadarga mengalami kesulitan untuk melihat di malam itu, mungkin hal tersebut dikarenakan tak adanya alat bantu penerangan. 
"Hei, Nak! Ada apa denganmu? Mengapa malah melamun? Cepatlah pergi dan segera cari kayu bakar. Aku sudah tak sabar untuk melahap semua daging ini!" ucap Tanu. Kakek tua itu seakan begitu yakin, bahwa Sadargalah orang yang membawa sekelompok rusa ke tempatnya."Ba-baiklah, Kek!" sanggup Sadarga. Bocah itu nampak masih keheranan. Di sepanjang jalan ia terus berpikir. Bagaimana mungkin sekelompok rusa itu tiba-tiba datang?Namun setelah kepergiannya hingga matahari sampai di atas kepala, Sadarga belum kunjung kembali. Entah apa yang terjadi dengan bocah itu?Tanu yang masih menunggunya, memutuskan untuk melakukan penebangan pohon. Kemudian kakek tua itu memasak daging rusa seorang diri."Dasar bocah payah, kemana dia?" cibir Tanu. Kakek tua itu sepertinya sangat lapar. Hingga ia tak sadar, bahwa saat inj kumpulan tulang rusa sudah menumpuk di hadapannya. Dan itu semua sekaligus menjadi tanda, bahwa kakek tua itu sudah menghabiskan satu ekor rusa pangga
Suara teriakan dari lereng gunung terdengar begitu ricuh. Bukan hanya teriakan saja yang mengganggu telinga di siang ini, melainkan suara hentakan dari sepatu besi seakan mengganggu gendang telinga.Tanu yang masih bersandar di atas pohon, nampaknya telah tidur hingga lelap. Kakek tua itu awalnya hanya berniat melemaskan otot saja. Namun setelah kantuk datang, matanya seakan tak terkendalikan lagi."Paman, lebih baik kalian tunggu saja di sini. Aku akan naik kesana, dan menemui kakek! Aku hanya tak ingin dia marah, karena kedatanganku bersama kalian."Lain halnya dengan Sadarga. Bocah ini terlihat sangat bergairah."Baiklah Nak! Kami akan menunggu di sini," sahut pemimpin pasukan menyanggupi titah Sadarga.Dengan penuh semangat. Sadarga segera lari melewati jalan setapak yang menanjak. Entah apa yang membuat bocah itu bersemangat? Namun raut wajahnya seakan penuh harap.Akhirnya Sadarga tiba di tempat Tanu beristirahat."Kakek. Bangun
Tiga hari sebelumnya, disaat Sadarga terjebak di tengah hutan.Bocah itu diketemukan tengah terjerat lubang perangkap. Lubang parit yang tertutup rumput telah berhasil membuat Sadarga tak berkutik.Tak lama setelah Sadarga memasuki perangkap itu, tiba-tiba dua orang berbaju besi datang menghampirinya. Mereka sempat mengira bahwa Sadarga merupakan hewan buruan. Namun setelah diperiksa, ternyata tidak seperti dugaannya. Sontak saja pasukan berbaju besi itu segera menolong Sadarga.Dua orang berpakaian besi itu tak lain ialah Jiro -si tetua Desa Purbawati dan Utar sebegai adik kandungnya. Jiro sengaja melarikan diri ke tengah hutan dengan beberapa orang lainnya, hal itu disebabkan oleh kekacauan di seluruh wilayah pemukiman penduduk.Di saat Jiro hendak menuruni parit, sesuatu yang mengejutkan tiba-tiba terjadi.Pusi yang menampakan wujudnya sebagai mahluk misterius datang dari arah tak terduga."Hah! Mahluk apa itu?" ta
Tibalah saat hari yang telah dinantikan oleh Jiro. Sebentar lagi pria itu bisa menemui sesosok kakek yang terus diceritakan oleh Sadarga. Namun Jiro masih memiliki pertanyaan yang belum terjawab. Selama ini Jiro tengah merasakan keberadaan hawa dari benih energi segar, dan itu sangat dekat sekali. Setelah dengan susah payahnya memencari tahu, ternyata benih energi itu berasal dari dalam tubuh Sadarga. Dari sekian banyak pasukan desa, hanya Jiro dan Utar yang dapat merasakan keberadaan benih energi, sebab mereka berdua pun memiliki benih energi itu. Para pemilik benih energi itu hidup bagaikan laron yang berkumpul dalam kilauan cahaya. Mereka akan berkerumun pada sumber cahaya yang berada di kegelapan. Begitu pun dengan pemilik benih energi, mereka bisa saling mengenal satu sama lain, ketika merasakan hawa benih energi terpancar dari tubuh seseorang. Namun para pemilik benih energi harus sedikit berusaha, supaya mereka dapat merasakan keberadaan benih
"Jadi, apa yang sebaiknya harus kita lakukan?" tanya Sadarga. "Entahlah. Tunggu, Nak! Apa kau tahu siapa yang membangun gubuk itu?" tanya Jiro sambil menunjuk sebuah bangunan yang terbuat dari potongan kayu. "Hah, gubuk?" celetuk Sadarga. Sebenarnya ia juga belum menyadari bahwa ada gubuk sederhana di dekatnya,"Entahlah Paman, aku juga tak tahu siapa yang membuat rumah kecil itu. Namun seingatku, rumah itu belum ada saat aku dan kakek datang ke tempat ini." "Kalau begitu, kita cari saja ke sana! Siapa tahu kakekmu ada di dalamnya," pungkas Jiro. Pria itu langsung pergi mendekati gubuk kecil yang tertutup bilik bambu. Walau sederhana tapi gubuk ini terlihat cukup rapih dan lumayan nyaman untuk ditempati. "Kak, tunggu!" celetuk Utar. Sontak saja Jiro menghentikan langkah Jiro,"Apa kau merasakannya?" tanya Utar pada kakaknya. Kepala Jiro mengangguk pelan,"Ya, saat ini aku merasakan aura energi. Tapi entah dari mana asalnya, kedatangan aura
"Hei, coba lihat! Bukankah dia utusan dari bumi?""Mungkin saja begitu.""Tapi, aku rasa ada yang tak biasa dengan bumi kali ini. Mengapa saat ini bumi mengutus seorang yang terlihat lemah seperti itu.""Ya, benar juga. Jika demikian maka karisma bumi seakan menjadi pudar.""Hahaha."Dari jarak yang lumayan jauh, terdengar percakapan beberapa orang yang sedang menggunjing. Sepertinya Sadarga belum peka terhadap percakapan tersebut. Karena sebenarnya yang sedang menjadi bahan pembicaraan adalah dirinya, sebagai utusan dari bumi."Apa yang harus aku lakukan? Mengapa tiba-tiba tempat ini menjadi ramai?" gumam Sadarga dalam batinnya. Pandangan lelaki itu terus menyisir setiap penjuru yang mampu dijangkaunya.Suasana di dataran lapang ini begitu riuh, kesunyian seakan lenyap dibuatnya. Bagaikan pesisir pantai yang jernih dan tiba-tiba dipenuhi buih yang teramat banyak. Hiruk pikuk para utusan dari berbagai penjuru alam semesta datang
Setelah sekian lama melakukan perjalanan, akhirnya selesai juga. Sampailah di sebuah permukaan datar penuh debu dan pasir.Jika menengadahkan kepala ke langit, Sadarga bisa melihat puluhan bola berukuran besar. Terkadang Sadarga menyaksikan Kilauan cahaya di bola itu, tapi sisi lainnya berwarna gelap."Paman, jika boleh tahu siapa namamu?" tanya Sadarga sembari mengarahkan pandangan ke atas langit. Lelaki ini memang terbiasa menggunakan sebutan Paman, kepada siapapun yang dianggapnya lebih tua."Hmp, maafkan aku... karena hampir saja lupa memberitahunya. Perkenalkan namaku Brama Rangga Dewata. Tapi terserahmu saja, kau bisa panggil sesukamu," sahut Brama dengan senyuman ramahnya. Simpulan bibir pria itu seperti menyiratkan sifat aslinya."Wah, namamu bagus sekali dan sangat panjang Paman. Mungkin aku akan memanggilmu menggunakan nama depannya saja.""Baiklah nak, terima kasih atas pujiannya. Perlu kamu ketahui kita ini hampir sampai. Jangan s
Sesuatu yang dilihat oleh Sadarga, sungguh membuatnya ingin muntah.Bagaimana tidak?Sebab saat ini terlihat dua orang lelaki dan tiga wanita yang sudah tak berpakaian. Lima orang itu masih memiliki wajah utuh, tapi dari leher hingga bagian kaki sudah tak nampak lazim.Bukan tanpa alasan keadaan lima orang itu menjadi sedemikian rupa. Hal tersebut ternyata diakibatkan ulah dari orang-orang yang mengerumuninya.Ya, lima orang bernasib buruk itu telah menjadi korban keganasan penyembah Pisaca.Karena tak tahan melihat tingkah orang-orang di sekelilingnya, dengan lantang Sadarga berteriak sekeras mungkin."Aaaaaaa!"Tak lama setelah teriakan menggema di ruang istana, pandangan pun berubah menjadi gelap. Sadarga hanya bisa melihat bintik cahaya bermacam warna, bagaikan pemandangan langit malam saat dilihat di atas gunung.Begitu terkejut Sadarga, setelah ia menyadari bahwa dirinya sudah berpindah tempat cepat sekali. Bu
"Tunggu! Ibu mau kemana?" teriak Sadarga setelah melihat Ningrum tiba-tiba pergi dengan cepat.Walaupun Sadarga berteriak sekerasnya dan tengah melakukan berulang kali.Sayang sekali!Ningrum terlihat acuh tak memberikan tanggapan.Begitu tergesa-gesa kepergian Ningrum. Entah apa yang membuatnya melakukan itu? Yang jelas saat ini Sadarga hanya seorang diri saja melayang menunggangi batu di lingkungan istana kerajaan.Ingin rasanya mengikuti sang ibu yang telah pergi meninggalkannya, tapi apa daya Sadarga? Batu yang ia tunggangi tak bisa bergerak sesuai keinginannya. Bahkan batu tersebut malah turun dari atas ketinggian, seakan meminta Sadarga tak menginjakan lagi kaki di atas permukaannya."Aaaaa!"Benar saja.Begitu terkejut Sadarga. Pria itu dibuat kaget oleh batu yang ditumpanginya. Tiba-tiba bongkahan batu itu melakukan putaran cepat, seakan memaksa Sadarga turun.Dari kejadian itu, menyebabkan Sada
Sampai saat ini, Utar terus melanjutkan perjalanannya hingga mencapai perut goa. Di kedalaman tersebut suara hujan deras sudah tak terdengar lagi.Bebatuan tajam yang bisa dirasakan alas kaki pun, sudah tak ditemui lagi. Entah apa yang bisa dilihat jika sepercik cahaya menerangi kegelapan saat ini."Hei, apa kalian baik-baik saja?"Suara Utar yang terpantul dinding goa, terdengar menggema. Entah berapa orang yang masih bersamanya, hanya suara langkah dan hembusan nafas saja yang didengarnya. Tak ada seorangpun yang berbicara saat ini.Mungkin rasa lelah karena perjalanan, menjadikan diam terasa lebih baik dari pada berbicara atau sekedar menggerakkan anggota tubuh."Baiklah, aku rasa di sini tempatnya cukup aman. Jadi, jika kalian ingin beristirahat silahkan saja,"Lelah. Lelah sekali. Sadarga yang merasakan suasana di dalam goa itu seakan tak berdaya lagi. Begitupun semua orang yang bersamanya.Hanya Utar dan Raka yang masih te
Setelah sampai di mulut goa, Sadarga merasakan keresahan dalam hatinya. Entah apa yang akan menimpanya kali ini. Namun itulah ungkapan dalam benaknya. Padahal sebelumnya Sadargalah orang paling ceria dan selalu menumbuhkan semangat bertahan hidup.Ya, semangat untuk tetap hidup.Karena sepanjang jalan menuju goa, angin kencang terus berhembus menumbangkan pepohonan hujan deras di iringi petir terus mengguyur membasahi tanah.Dari kejauhan terlihat laju tanah berjalan, terbawa arus air yang begitu kuat. Padahal itu hanyalah sebuah lumpur yang terbawa air dari hulu menuju hilir.Ada beberapa orang dari para pemuda desa Lanangjagat yang gugur melepaskan nyawanya akibat tak tahan lagi menahan gejolak amukan alam tersebut. Sungguh mengenaskan nasib mereka diterpa murka alam raya, yang datang secara tiba-tiba."Paman, sebaiknya kita mencari lagi tempat lain untuk berlindung," usul Sadarga pada Utar."Hei, bicara apa kau ini. Bukankah kamu yang men
Tak terasa tiga hari berlalu begitu saja. Semenjak peristiwa pertempuran Sadarga dan manusia berbulu, kini tak ditemukan lagi kekacauan yang mengganggu kehidupan di istana dan di berbagai wilayah lainnya.Suasana amanpun seakan dirasakan semua orang, termasuk para penduduk desa Lanangjagat yang kini berada di tempat pengungsian sementara.Di pagi hari yang sangat cerah, Sadarga terlihat berjalan dan membawa kayu bakar. Entah dari mana ia? Sebab Sadarga tak ditemani siapapun."Tuan, dari mana kayu bakar ini?" ucap Reni menyambut kedatangan Sadarga. Wanita ini merupakan seseorang yang menaruh simpati pada Sadarga.Ya, beberapa hari terakhir prasangka orang disekeliling Sadarga seakan terbagi. Ada yang menaruh simpati, ada juga yang berburuk sangka."Aku baru saja turun gunung, semalam aku tak bisa tidur. Jadi ku putuskan saja untuk mencari angin segar di malam hari."Sadarga terlihat berjalan terus tanpa melihat wajah Reni, pandangannya
"Ti-tidak. Aku hanya terkesima saja, melihat seranganmu yang begitu cepat. Sampai mengalahkan mahluk itu dengan mudah," kata Utar. Nampaknya ia tak bisa menyembunyikan isi hatinya. Sehingga segala perkataan batinnya diwujudkan dengan kata-kata yang keluar dari mulut.Bukan hanya itu, selain Utar masih banyak juga yang tak sanggup menahan isi hatinya. Begitu juga dengan Raka, si pria paling tangguh dari desa Lanangjagat.Kali ini Sadarga mendapatkan berbagai pujian yang mengangkat derajatnya. Berbeda dengan sebelumnya, disaat orang di sekeliling masih bertanya-tanya dan ragu dengan tingkah yang dilakukan Sadarga.Ya, terkadang Sadarga bertingkah diluar prasangka orang lain. Seperti perkataannya yang nyeleneh, tapi akhirnya orang lain dapat memahami maksud dari perkataan itu.Kemudian selama kebersamaannya dengan puluhan penduduk dari desa Lanangjagat, Sadarga sering kali memerintahkan hal yang tak masuk akal. Namun selang beberapa saat dari per
Setelah Sadarga menggenggam pedang milik Utar, ia bingung harus melakukan apa? Sebab seumur hidupnya Sadarga belum pernah menggunakan benda tajam itu.Semua orang yang melihat Sadarga tentu saja keheranan. Dalam benak mereka bertanya, apakah Sadarga tidak bisa menggunakan pedang? Lalu untuk apa ia meminjamnya?Ya, benar sekali. Sadarga memang belum mempelajari jurus dan seni menggunakan pedang. Namun sesekali ia menemukan keterangan dalam kitab Azura. Pada kitab itu terdapat satu bab husus yang membahas tentang berbagai jurus pedang. Tapi apa gunanya? Karena Sadarga hanya membaca ilmu pedang itu, tanpa mencobanya.Menyadari jika dirinya sedang diperhatikan banyak orang, Sadarga langsung memejamkan mata. Pria itu mencoba mengingat semua tulisan pada kitab Azura, yang membahas tentang ilmu dan seni menggunakan pedang."Jurus pedang angin!" bisik Sadarga sembari memasang kuda-kuda menyerang.Sontak saja, Utar terkejut. Sebab ia melihat Sadarga layakny