Sesuatu yang dilihat oleh Sadarga, sungguh membuatnya ingin muntah.
Bagaimana tidak?
Sebab saat ini terlihat dua orang lelaki dan tiga wanita yang sudah tak berpakaian. Lima orang itu masih memiliki wajah utuh, tapi dari leher hingga bagian kaki sudah tak nampak lazim.
Bukan tanpa alasan keadaan lima orang itu menjadi sedemikian rupa. Hal tersebut ternyata diakibatkan ulah dari orang-orang yang mengerumuninya.
Ya, lima orang bernasib buruk itu telah menjadi korban keganasan penyembah Pisaca.
Karena tak tahan melihat tingkah orang-orang di sekelilingnya, dengan lantang Sadarga berteriak sekeras mungkin.
"Aaaaaaa!"
Tak lama setelah teriakan menggema di ruang istana, pandangan pun berubah menjadi gelap. Sadarga hanya bisa melihat bintik cahaya bermacam warna, bagaikan pemandangan langit malam saat dilihat di atas gunung.
Begitu terkejut Sadarga, setelah ia menyadari bahwa dirinya sudah berpindah tempat cepat sekali. Bu
Setelah sekian lama melakukan perjalanan, akhirnya selesai juga. Sampailah di sebuah permukaan datar penuh debu dan pasir.Jika menengadahkan kepala ke langit, Sadarga bisa melihat puluhan bola berukuran besar. Terkadang Sadarga menyaksikan Kilauan cahaya di bola itu, tapi sisi lainnya berwarna gelap."Paman, jika boleh tahu siapa namamu?" tanya Sadarga sembari mengarahkan pandangan ke atas langit. Lelaki ini memang terbiasa menggunakan sebutan Paman, kepada siapapun yang dianggapnya lebih tua."Hmp, maafkan aku... karena hampir saja lupa memberitahunya. Perkenalkan namaku Brama Rangga Dewata. Tapi terserahmu saja, kau bisa panggil sesukamu," sahut Brama dengan senyuman ramahnya. Simpulan bibir pria itu seperti menyiratkan sifat aslinya."Wah, namamu bagus sekali dan sangat panjang Paman. Mungkin aku akan memanggilmu menggunakan nama depannya saja.""Baiklah nak, terima kasih atas pujiannya. Perlu kamu ketahui kita ini hampir sampai. Jangan s
"Hei, coba lihat! Bukankah dia utusan dari bumi?""Mungkin saja begitu.""Tapi, aku rasa ada yang tak biasa dengan bumi kali ini. Mengapa saat ini bumi mengutus seorang yang terlihat lemah seperti itu.""Ya, benar juga. Jika demikian maka karisma bumi seakan menjadi pudar.""Hahaha."Dari jarak yang lumayan jauh, terdengar percakapan beberapa orang yang sedang menggunjing. Sepertinya Sadarga belum peka terhadap percakapan tersebut. Karena sebenarnya yang sedang menjadi bahan pembicaraan adalah dirinya, sebagai utusan dari bumi."Apa yang harus aku lakukan? Mengapa tiba-tiba tempat ini menjadi ramai?" gumam Sadarga dalam batinnya. Pandangan lelaki itu terus menyisir setiap penjuru yang mampu dijangkaunya.Suasana di dataran lapang ini begitu riuh, kesunyian seakan lenyap dibuatnya. Bagaikan pesisir pantai yang jernih dan tiba-tiba dipenuhi buih yang teramat banyak. Hiruk pikuk para utusan dari berbagai penjuru alam semesta datang
Siang hari di Pulau Labodia terasa canggung. Teriknya sinar matahari tak bisa dirasakan. Awan mendung hitam yang bergulung-gulung di langit menutupi pancaran sang surya. Di jalan-jalan pulau yang merupakan wilayah Kerajaan Tanah Barat itu, penduduk ramai membicarakan kelahiran seorang pangeran. Bayi yang ditunggu-tunggu itu telah lahir. Seorang bayi laki-laki, anak bungsu Sang Maharaja Gantara. Akan tetapi, berbeda dengan suasana gembira yang menyelimuti perasaan segenap rakyat, istana justru dipenuhi ketegangan semenjak kelahiran bayi tersebut. Pasalnya, pangeran yang baru dilahirkan Ningrum, Sang Permaisuri, membawa cacat pada kakinya. "Tuan Raja, apakah keputusan Tuan sudah bulat?" tanya Ningrum pada Gantara hari itu. Sang Permaisuri tengah mempertanyakan niat suaminya. Ia dapat memaklumi jika Maharaja Kerajaan Tanah Barat itu merasa menanggung aib besar atas kelahiran si bayi. Tapi sebagai ibu, rencana Gantara tak mungkin ia setujui begitu saja.
Setelah melakukan perjalanan beberapa lama, akhirnya Gantara dan Ningrum tiba di sebuah Desa yang bernama Purbawati. Kemudian dari desa itu, mereka mendaki ke sebuah bukit. Hingga sampailah di sebuah tempat yang masih dipenuhi pepohonan berukuran tinggi dan besar. Sepertinya Gantara memang berniat membuang bayinya di hutan belantara. Di Desa Purbawati, memang terdapat satu hutan yang masih dipenuhi oleh pepohonan besar dan menjadi sarang hewan buas. Terkadang isu kekuatan mistis menambah aura negatif yang menyeramkan. Semua orang mengenal hutan itu sebagai hutan gerbang kematian. Di saat kuda yang ditunggangi Gantara berlari dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba saja, Gantara menepikan tunggangannya di tepi jalan setapak. "Tempat apa ini?" tanya Ningrum. Tanpa sepatah kata pun Gantara langsung turun dari kudanya, lalu ia menarik sang bayi seakan merebut paksa dari genggaman Ningrum. "Bisakah kau memperlakukannya dengan sedikit kel
"Sejak kapan kau berani menentangku!" bentak Gantara. Lelaki itu langsung mendekati Ningrum dan berniat melayangkan telapak tangan untuk yang kedua kalinya. Sebelum tangannya mendarat di pipi sang isteri, sesuatu tak terduga datang begitu saja seakan mengalihkan perhatian Gantara.Bugh!Tiba-tiba sebuah benda asing melesat ke arah Gantara, lalu membentur tubuhnya. Dan lelaki itu terguling hingga beberapa depa.Sebelum sang bayi menyentuh tanah, dengan sigap Ningrum segera bergerak secepat kilat. Kemudian ia membawa pergi bayi itu dengan menggunakan caranya sendiri, walaupun suatu bahaya telah menantinya.Melalui dimensi ruang hampa, Ningrum pergi bersama bayinya. Sebuah lubang hitam yang terbentuk dari kumpulan bambu ciptaannya.Ningrum mendapatkan kekuatan itu dari seorang petapa yang masih hidup dan merupakan teman dekat kakek buyutnya.Alasan petapa itu memberikan sebuah kekuatan, karena ia mengetahui bahwa suatu saat nanti Ningrum
Setelah kesepakatan antara Gantara dan 2 orang yang masih belum diketahui dari mana asalnya. Sang Raja segera membubarkan pesta yang tengah diselenggarakannya.Hampir satu pekan penuh, Gantara memikirkan ucapan yang berbentuk ramalan itu. Terkadang ia ragu dan tak percaya, tapi sewaktu-waktu kegelisahan datang menghantuinya.Walaupun sang permaisuri tidak dalam masa kandungan. Namun entah mengapa firasat dari hati terdalam sang raja, seakan mempunyai pendapat lain."Mengapa aku harus memikirkan omong kosong itu?" bisik Gantara pada dirinya. Selama satu pekan juga, Gantara lebih memilih untuk menyepi. Firasat buruk dalam batinnya seakan makin menjadi.Beberapa orang yang memang berniat menemui sang raja kala itu, terpaksa harus menundanya. Sebab Gantara telah memberi perintah kepada pengawal pribadinya, supaya siapapun yang hendak bertamu ke istana agar di pulangkan saja dan kembali lagi dilain kesempatan.Tak terasa, seiring berjalannya waktu
Matahari sudah hilang dari pandangan dan langit terang sudah berganti menjadi gelap. Suara binatang malam terus bersahutan silih berganti meramaikan suasana sepi, dengan iringan bunyi yang dikeluarkan mulut para bangsa hewani itu. Hanya sinar rembulan saja di malam itu yang menjadi sumber cahaya dan membantu penerangan pada setiap pasang mata penduduk bumi. Begitu pun Tanu dan Ningrum. Dengan beralaskan tanah yang beratapkan injuk aren, sepertinya saat ini hanya mereka berdua saja yang berada di tengah hutan dan diam di gubuk tua tempat Tanu, menyepi. Menjelang purnama datang, Tanu memang selalu melakukan rutinitasnya. Tetua itu sangat gemar menahan haus dan lapar. Selain itu ia memang sudah tak menyukai keramaian. Namun khusus di hari ini, ia memutuskan untuk sekedar minum saja. Semua itu dilakukannya untuk memberi rasa hormat pada Ningrum, yang menjadi tamunya saat ini. "Sepertinya kau tak akan bisa lagi datang ke istana!" ungkap Tanu
Nun jauh disana, tepatnya di pusat istana kerajaan Labodia. Seluruh penghuni istana sedang merayakan pesta yang digelar setiap tahun sekali.Hampir semua penduduk tanah barat, terutama yang berdekatan dengan istana, datang berbondong-bondong.Walau pun hanya untuk sekedar menyaksikan beberapa pertunjukan hiburan, tapi antusias mereka lumayan besar. Mungkin itu disebabkan pertunjukan sedikit menarik karena dilakoni beberapa hewan buas dan sang pawang.Selain itu, pihak istana memberikan makanan dan hadiah bagi siapa pun yang berminat datang memenuhi undangan sang raja.Namun di sisi lain ada juga penduduk desa yang tak ingin memenuhi seruan raja itu. Entah apa yang sebenarnya tengah terjadi?Keadaan jiwa penduduk di sekitar istana kerajaan saat ini, seakan terusik."Tuan, sampai saat ini kita belum mendapatkan kabar mengenai anak dan wanita itu. Lalu apa yang akan tuan lakukan selanjutnya?" ucap Dado, basa-basi.Dado merupakan seorang
"Hei, coba lihat! Bukankah dia utusan dari bumi?""Mungkin saja begitu.""Tapi, aku rasa ada yang tak biasa dengan bumi kali ini. Mengapa saat ini bumi mengutus seorang yang terlihat lemah seperti itu.""Ya, benar juga. Jika demikian maka karisma bumi seakan menjadi pudar.""Hahaha."Dari jarak yang lumayan jauh, terdengar percakapan beberapa orang yang sedang menggunjing. Sepertinya Sadarga belum peka terhadap percakapan tersebut. Karena sebenarnya yang sedang menjadi bahan pembicaraan adalah dirinya, sebagai utusan dari bumi."Apa yang harus aku lakukan? Mengapa tiba-tiba tempat ini menjadi ramai?" gumam Sadarga dalam batinnya. Pandangan lelaki itu terus menyisir setiap penjuru yang mampu dijangkaunya.Suasana di dataran lapang ini begitu riuh, kesunyian seakan lenyap dibuatnya. Bagaikan pesisir pantai yang jernih dan tiba-tiba dipenuhi buih yang teramat banyak. Hiruk pikuk para utusan dari berbagai penjuru alam semesta datang
Setelah sekian lama melakukan perjalanan, akhirnya selesai juga. Sampailah di sebuah permukaan datar penuh debu dan pasir.Jika menengadahkan kepala ke langit, Sadarga bisa melihat puluhan bola berukuran besar. Terkadang Sadarga menyaksikan Kilauan cahaya di bola itu, tapi sisi lainnya berwarna gelap."Paman, jika boleh tahu siapa namamu?" tanya Sadarga sembari mengarahkan pandangan ke atas langit. Lelaki ini memang terbiasa menggunakan sebutan Paman, kepada siapapun yang dianggapnya lebih tua."Hmp, maafkan aku... karena hampir saja lupa memberitahunya. Perkenalkan namaku Brama Rangga Dewata. Tapi terserahmu saja, kau bisa panggil sesukamu," sahut Brama dengan senyuman ramahnya. Simpulan bibir pria itu seperti menyiratkan sifat aslinya."Wah, namamu bagus sekali dan sangat panjang Paman. Mungkin aku akan memanggilmu menggunakan nama depannya saja.""Baiklah nak, terima kasih atas pujiannya. Perlu kamu ketahui kita ini hampir sampai. Jangan s
Sesuatu yang dilihat oleh Sadarga, sungguh membuatnya ingin muntah.Bagaimana tidak?Sebab saat ini terlihat dua orang lelaki dan tiga wanita yang sudah tak berpakaian. Lima orang itu masih memiliki wajah utuh, tapi dari leher hingga bagian kaki sudah tak nampak lazim.Bukan tanpa alasan keadaan lima orang itu menjadi sedemikian rupa. Hal tersebut ternyata diakibatkan ulah dari orang-orang yang mengerumuninya.Ya, lima orang bernasib buruk itu telah menjadi korban keganasan penyembah Pisaca.Karena tak tahan melihat tingkah orang-orang di sekelilingnya, dengan lantang Sadarga berteriak sekeras mungkin."Aaaaaaa!"Tak lama setelah teriakan menggema di ruang istana, pandangan pun berubah menjadi gelap. Sadarga hanya bisa melihat bintik cahaya bermacam warna, bagaikan pemandangan langit malam saat dilihat di atas gunung.Begitu terkejut Sadarga, setelah ia menyadari bahwa dirinya sudah berpindah tempat cepat sekali. Bu
"Tunggu! Ibu mau kemana?" teriak Sadarga setelah melihat Ningrum tiba-tiba pergi dengan cepat.Walaupun Sadarga berteriak sekerasnya dan tengah melakukan berulang kali.Sayang sekali!Ningrum terlihat acuh tak memberikan tanggapan.Begitu tergesa-gesa kepergian Ningrum. Entah apa yang membuatnya melakukan itu? Yang jelas saat ini Sadarga hanya seorang diri saja melayang menunggangi batu di lingkungan istana kerajaan.Ingin rasanya mengikuti sang ibu yang telah pergi meninggalkannya, tapi apa daya Sadarga? Batu yang ia tunggangi tak bisa bergerak sesuai keinginannya. Bahkan batu tersebut malah turun dari atas ketinggian, seakan meminta Sadarga tak menginjakan lagi kaki di atas permukaannya."Aaaaa!"Benar saja.Begitu terkejut Sadarga. Pria itu dibuat kaget oleh batu yang ditumpanginya. Tiba-tiba bongkahan batu itu melakukan putaran cepat, seakan memaksa Sadarga turun.Dari kejadian itu, menyebabkan Sada
Sampai saat ini, Utar terus melanjutkan perjalanannya hingga mencapai perut goa. Di kedalaman tersebut suara hujan deras sudah tak terdengar lagi.Bebatuan tajam yang bisa dirasakan alas kaki pun, sudah tak ditemui lagi. Entah apa yang bisa dilihat jika sepercik cahaya menerangi kegelapan saat ini."Hei, apa kalian baik-baik saja?"Suara Utar yang terpantul dinding goa, terdengar menggema. Entah berapa orang yang masih bersamanya, hanya suara langkah dan hembusan nafas saja yang didengarnya. Tak ada seorangpun yang berbicara saat ini.Mungkin rasa lelah karena perjalanan, menjadikan diam terasa lebih baik dari pada berbicara atau sekedar menggerakkan anggota tubuh."Baiklah, aku rasa di sini tempatnya cukup aman. Jadi, jika kalian ingin beristirahat silahkan saja,"Lelah. Lelah sekali. Sadarga yang merasakan suasana di dalam goa itu seakan tak berdaya lagi. Begitupun semua orang yang bersamanya.Hanya Utar dan Raka yang masih te
Setelah sampai di mulut goa, Sadarga merasakan keresahan dalam hatinya. Entah apa yang akan menimpanya kali ini. Namun itulah ungkapan dalam benaknya. Padahal sebelumnya Sadargalah orang paling ceria dan selalu menumbuhkan semangat bertahan hidup.Ya, semangat untuk tetap hidup.Karena sepanjang jalan menuju goa, angin kencang terus berhembus menumbangkan pepohonan hujan deras di iringi petir terus mengguyur membasahi tanah.Dari kejauhan terlihat laju tanah berjalan, terbawa arus air yang begitu kuat. Padahal itu hanyalah sebuah lumpur yang terbawa air dari hulu menuju hilir.Ada beberapa orang dari para pemuda desa Lanangjagat yang gugur melepaskan nyawanya akibat tak tahan lagi menahan gejolak amukan alam tersebut. Sungguh mengenaskan nasib mereka diterpa murka alam raya, yang datang secara tiba-tiba."Paman, sebaiknya kita mencari lagi tempat lain untuk berlindung," usul Sadarga pada Utar."Hei, bicara apa kau ini. Bukankah kamu yang men
Tak terasa tiga hari berlalu begitu saja. Semenjak peristiwa pertempuran Sadarga dan manusia berbulu, kini tak ditemukan lagi kekacauan yang mengganggu kehidupan di istana dan di berbagai wilayah lainnya.Suasana amanpun seakan dirasakan semua orang, termasuk para penduduk desa Lanangjagat yang kini berada di tempat pengungsian sementara.Di pagi hari yang sangat cerah, Sadarga terlihat berjalan dan membawa kayu bakar. Entah dari mana ia? Sebab Sadarga tak ditemani siapapun."Tuan, dari mana kayu bakar ini?" ucap Reni menyambut kedatangan Sadarga. Wanita ini merupakan seseorang yang menaruh simpati pada Sadarga.Ya, beberapa hari terakhir prasangka orang disekeliling Sadarga seakan terbagi. Ada yang menaruh simpati, ada juga yang berburuk sangka."Aku baru saja turun gunung, semalam aku tak bisa tidur. Jadi ku putuskan saja untuk mencari angin segar di malam hari."Sadarga terlihat berjalan terus tanpa melihat wajah Reni, pandangannya
"Ti-tidak. Aku hanya terkesima saja, melihat seranganmu yang begitu cepat. Sampai mengalahkan mahluk itu dengan mudah," kata Utar. Nampaknya ia tak bisa menyembunyikan isi hatinya. Sehingga segala perkataan batinnya diwujudkan dengan kata-kata yang keluar dari mulut.Bukan hanya itu, selain Utar masih banyak juga yang tak sanggup menahan isi hatinya. Begitu juga dengan Raka, si pria paling tangguh dari desa Lanangjagat.Kali ini Sadarga mendapatkan berbagai pujian yang mengangkat derajatnya. Berbeda dengan sebelumnya, disaat orang di sekeliling masih bertanya-tanya dan ragu dengan tingkah yang dilakukan Sadarga.Ya, terkadang Sadarga bertingkah diluar prasangka orang lain. Seperti perkataannya yang nyeleneh, tapi akhirnya orang lain dapat memahami maksud dari perkataan itu.Kemudian selama kebersamaannya dengan puluhan penduduk dari desa Lanangjagat, Sadarga sering kali memerintahkan hal yang tak masuk akal. Namun selang beberapa saat dari per
Setelah Sadarga menggenggam pedang milik Utar, ia bingung harus melakukan apa? Sebab seumur hidupnya Sadarga belum pernah menggunakan benda tajam itu.Semua orang yang melihat Sadarga tentu saja keheranan. Dalam benak mereka bertanya, apakah Sadarga tidak bisa menggunakan pedang? Lalu untuk apa ia meminjamnya?Ya, benar sekali. Sadarga memang belum mempelajari jurus dan seni menggunakan pedang. Namun sesekali ia menemukan keterangan dalam kitab Azura. Pada kitab itu terdapat satu bab husus yang membahas tentang berbagai jurus pedang. Tapi apa gunanya? Karena Sadarga hanya membaca ilmu pedang itu, tanpa mencobanya.Menyadari jika dirinya sedang diperhatikan banyak orang, Sadarga langsung memejamkan mata. Pria itu mencoba mengingat semua tulisan pada kitab Azura, yang membahas tentang ilmu dan seni menggunakan pedang."Jurus pedang angin!" bisik Sadarga sembari memasang kuda-kuda menyerang.Sontak saja, Utar terkejut. Sebab ia melihat Sadarga layakny