Setelah melakukan perjalanan beberapa lama, akhirnya Gantara dan Ningrum tiba di sebuah Desa yang bernama Purbawati.
Kemudian dari desa itu, mereka mendaki ke sebuah bukit. Hingga sampailah di sebuah tempat yang masih dipenuhi pepohonan berukuran tinggi dan besar.
Sepertinya Gantara memang berniat membuang bayinya di hutan belantara.
Di Desa Purbawati, memang terdapat satu hutan yang masih dipenuhi oleh pepohonan besar dan menjadi sarang hewan buas. Terkadang isu kekuatan mistis menambah aura negatif yang menyeramkan. Semua orang mengenal hutan itu sebagai hutan gerbang kematian.
Di saat kuda yang ditunggangi Gantara berlari dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba saja, Gantara menepikan tunggangannya di tepi jalan setapak.
"Tempat apa ini?" tanya Ningrum.
Tanpa sepatah kata pun Gantara langsung turun dari kudanya, lalu ia menarik sang bayi seakan merebut paksa dari genggaman Ningrum.
"Bisakah kau memperlakukannya dengan sedikit kelembutan?" ucap Ningrum sedikit kesal. Wanita itu seakan diselimuti amarah. Bagaimana pun cara Gantara memisahkan si bayi dengan dirinya, Ningrum tak akan membiarkan itu terjadi.
Namun, nampaknya Gantara tak menghiraukan ucapan sang isteri, bahkan ia merasa yakin bahwa dirinya itu membuat keputusan terbaik, "Hmp, kelembutan, untuk anak ini? jangan harap itu dariku!"
Tanpa basa-basi lagi, Gantara bergegas pergi meninggalkan Ningrum yang masih berada di atas punggung kudanya.
Ningrum yang diacuhkan, nampaknya sudah terbiasa dengan sikap suaminya. Kemudian ia mencoba memeras pikirannya supaya bisa mengambil keputusan yang tepat.
Setelah Gantara hilang dari pandangan Ningrum, wanita itu segera menggunakan beberapa kemampuannya.
Dengan waktu yang cukup singkat, Nigrum berusaha menyusun rangkaian bambu lalu dibentuk sedemikian rupa. Tentu saja, wanita itu memiliki maksud terntentu.
Di kala sebuah rangkaian bambu menyerupai bentuk yang dituju, Ningrum menaburkan tanah dan dedaunan. Kemudian ia membisikan sesuatu dan meniup rangkaian bambu itu setelah ia membacakan mantra rahasia.
Memang tak ada yang mengetahui kemampuan tersembunyi Sang Permaisuri, begitupun Gantara. Suaminya tidak pernah tahu bahwa Ningrum merupakan cucu seorang petapa sakti dan telah diwarisi beberapa ilmu Kanuragan.
Setelah dirasa cukup menyiapkan rencana rahasianya, Ningrum segera menyusul Gantara. Hingga dalam sekejap, ia sudah berada tepat di belakang suaminya.
"Mau kau apakan dia?" tanya Ningrum.
Hampir saja Gantara melepaskan bayi yang berada dalam dekapannya, nampaknya ia sempat terkejut dengan kemunculan Ningrum yang datang dengan cara tiba-tiba. Bahkan Gantara tak bisa mendengar suara langkah kaki Sang Permaisuri saat mendekat padanya.
"Baiklah, aku akan membiarkan dia di tempat ini!" ucap Gantara. Seakan menutupi keterkejutannya.
"Apa? Yang benar saja!" protes Ningrum tidak menyetujui keputusan suaminya.
Melihat keadaan tanah yang cukup miring, Ningrum menjadi ngeri sendiri. Kemarahannya pada suami, seketika timbul. Bagaimana tidak? Jika bayi diletakan di tempat itu, tentu saja akan jatuh hingga dasar tanah yang tak tahu dimana ujungnya.
"Tak usah banyak bicara! Jika kau tak setuju, aku tak akan segan meninggalkanmu bersama bayi ini!" sahut Gantara seakan naik pitam. Entah apa yang merasuki dirinya? Lelaki itu sudah benar-benar kehilangan rasa belas kasih pada bayi dan istrinya sendiri.
"Sepertinya aku harus melakukan sesuatu!" gumam Ningrum dalam batinnya.
"Cukup, kesabaranku mulai habis!" lanjut Ningrum menggerutu pada suaminya.
"Hmp! Apa maksudmu?" cela Gantara sembari menyipitkan mata. Lelaki itu tak pernah menyangka sebelumnya, jika Ningrum marah bisa-bisa akan terjadi pertumpahan darah.
Bagaimana tidak? Wanita yang dikenalinya selama ini terlihat lugu dan anggun. Namun sekarang ia tengah menghunuskan sumpit tajam, yang mengarah tepat di depan mata.
"Selama ini, aku merasa sudah melakukan yang terbaik. Tapi mengapa? Sampai saat ini juga aku belum merasakan ketenangan dalam mengarungi kehidupan denganmu!" cerca Ningrum di puncak amarahnya.
"Haha, siapa juga yang ingin menikah denganmu! Apa kau lupa dengan perkataan ayahku? Beliaulah yang memaksaku untuk menikahimu!" keluh Gantara, seakan menyesali takdirnya.
Ya, keadaanlah yang memaksa Gantara menikahi Ningrum. Semua itu dikarenakan utang budi kerajaan pada seorang petua yang merupakan kakek buyut Ningrum.
Namun ayah Gantara belum sempat mengatakan alasan menikahkan anaknya dengan seorang wanita istimewa. Musibah penyakit yang diderita sang ayah, menyebabkan ia lumpuh sampai ajalnya tiba.
Ya, siapa sangka jika Ningrum merupakan pewaris ke-6 dari marga para pendekar dan petapa sakti di desanya. Namun marga ini lebih memilih menutup diri demi menjaga kedamaian, dan menghindari kembali terjadinya perang besar.
"Sejak kapan kau berani menentangku!" bentak Gantara. Lelaki itu langsung mendekati Ningrum dan berniat melayangkan telapak tangan untuk yang kedua kalinya. Sebelum tangannya mendarat di pipi sang isteri, sesuatu tak terduga datang begitu saja seakan mengalihkan perhatian Gantara.Bugh!Tiba-tiba sebuah benda asing melesat ke arah Gantara, lalu membentur tubuhnya. Dan lelaki itu terguling hingga beberapa depa.Sebelum sang bayi menyentuh tanah, dengan sigap Ningrum segera bergerak secepat kilat. Kemudian ia membawa pergi bayi itu dengan menggunakan caranya sendiri, walaupun suatu bahaya telah menantinya.Melalui dimensi ruang hampa, Ningrum pergi bersama bayinya. Sebuah lubang hitam yang terbentuk dari kumpulan bambu ciptaannya.Ningrum mendapatkan kekuatan itu dari seorang petapa yang masih hidup dan merupakan teman dekat kakek buyutnya.Alasan petapa itu memberikan sebuah kekuatan, karena ia mengetahui bahwa suatu saat nanti Ningrum
Setelah kesepakatan antara Gantara dan 2 orang yang masih belum diketahui dari mana asalnya. Sang Raja segera membubarkan pesta yang tengah diselenggarakannya.Hampir satu pekan penuh, Gantara memikirkan ucapan yang berbentuk ramalan itu. Terkadang ia ragu dan tak percaya, tapi sewaktu-waktu kegelisahan datang menghantuinya.Walaupun sang permaisuri tidak dalam masa kandungan. Namun entah mengapa firasat dari hati terdalam sang raja, seakan mempunyai pendapat lain."Mengapa aku harus memikirkan omong kosong itu?" bisik Gantara pada dirinya. Selama satu pekan juga, Gantara lebih memilih untuk menyepi. Firasat buruk dalam batinnya seakan makin menjadi.Beberapa orang yang memang berniat menemui sang raja kala itu, terpaksa harus menundanya. Sebab Gantara telah memberi perintah kepada pengawal pribadinya, supaya siapapun yang hendak bertamu ke istana agar di pulangkan saja dan kembali lagi dilain kesempatan.Tak terasa, seiring berjalannya waktu
Matahari sudah hilang dari pandangan dan langit terang sudah berganti menjadi gelap. Suara binatang malam terus bersahutan silih berganti meramaikan suasana sepi, dengan iringan bunyi yang dikeluarkan mulut para bangsa hewani itu. Hanya sinar rembulan saja di malam itu yang menjadi sumber cahaya dan membantu penerangan pada setiap pasang mata penduduk bumi. Begitu pun Tanu dan Ningrum. Dengan beralaskan tanah yang beratapkan injuk aren, sepertinya saat ini hanya mereka berdua saja yang berada di tengah hutan dan diam di gubuk tua tempat Tanu, menyepi. Menjelang purnama datang, Tanu memang selalu melakukan rutinitasnya. Tetua itu sangat gemar menahan haus dan lapar. Selain itu ia memang sudah tak menyukai keramaian. Namun khusus di hari ini, ia memutuskan untuk sekedar minum saja. Semua itu dilakukannya untuk memberi rasa hormat pada Ningrum, yang menjadi tamunya saat ini. "Sepertinya kau tak akan bisa lagi datang ke istana!" ungkap Tanu
Nun jauh disana, tepatnya di pusat istana kerajaan Labodia. Seluruh penghuni istana sedang merayakan pesta yang digelar setiap tahun sekali.Hampir semua penduduk tanah barat, terutama yang berdekatan dengan istana, datang berbondong-bondong.Walau pun hanya untuk sekedar menyaksikan beberapa pertunjukan hiburan, tapi antusias mereka lumayan besar. Mungkin itu disebabkan pertunjukan sedikit menarik karena dilakoni beberapa hewan buas dan sang pawang.Selain itu, pihak istana memberikan makanan dan hadiah bagi siapa pun yang berminat datang memenuhi undangan sang raja.Namun di sisi lain ada juga penduduk desa yang tak ingin memenuhi seruan raja itu. Entah apa yang sebenarnya tengah terjadi?Keadaan jiwa penduduk di sekitar istana kerajaan saat ini, seakan terusik."Tuan, sampai saat ini kita belum mendapatkan kabar mengenai anak dan wanita itu. Lalu apa yang akan tuan lakukan selanjutnya?" ucap Dado, basa-basi.Dado merupakan seorang
Saat puluhan tentara kerajaan tiba di Desa Purbawati. Mereka langsung menyebar dan menghampiri rumah para penduduk. Hal itu dianggapnya bisa menghemat waktu. Setiap rumah di datangi 2 tentara saja.'Inikah kesatria yang sering kakek ceritakan?' gumam Sadarga dalam batinnya. 2 pria dewasa saat ini tengah mendekatinya.Di setiap pelosok Negri, para kesatria seakan terlahir dengan sendirinya. Mereka merupakan orang-orang yang memiliki ilmu bela diri, sesuai dengan tingkatannya masing-masing.Kemudian, para Kesatria itu terbagi menjadi 2 golongan. Sebagian bergolongan putih, sebagian lagi bergolongan hitam. Para Kesatria di golongan putih, pasti mempunyai watak kepribadian yang baik, mereka selalu bersedia melindungi sesamanya. Tapi, para Kesatria di golongan hitam mempunyai watak sebaliknya. Mereka lebih condong mempunyai watak jahat.Kesatria golongan hitam sering menggunakan kemampuannya untuk mencari keuntungan sendiri, terkadang mereka merampas hak
"Wahai para kesatria, kalau boleh tahu. Ada apakah gerangan kalian datang ke tempat ku yang kotor ini?" ucap Tanu yang masih mengelus pakaian Jirah para utusan istana. Nada ucapan kakek tua itu seperti seorang pujangga yang dilanda mabuk asmara.'Tingkah kakek semakin aneh saja!' gerutu Sadarga, nampaknya ia kesal melihat tingkah kakek angkatnya.Karena mendapat perlakuan aneh dari Tanu, pria sipit nampaknya kegelian sendiri. Ia sekan tak nyaman mendapat perlakuan Tanu yang mirip seorang lelaki sedang merayu wanita."Ka-kami hanya menuruti perintah raja, Kek!""Aduhai senangnya diriku ini, didatangi 2 utusan kerajaan yang begitu murah hati. Tapi ... sepertinya ada maksud lain yang mendorong kalian datang ke tempat ini, jika tak keberatan mohon sedia beritahukan pada kakek tua ini!" tutur Tanu. Sepertinya ia benar-benar sedang merayu.Jelas saja, tingkah Tanu semakin membuat Sadarga gemas. "Kakek! Apa kamu baik-baik saja?" celetuk Sadarga."Hem
"Baiklah, ku rasa ... pertemuan kita kali ini sudah cukup! Jika esok hari rombongan itu belum datang. Maka kewaspadaan, harus tetap di dipertahankan. Karena, bisa saja kedatangan mereka mendadak di esok lusa," pungkas Tanu, mengakhiri pembicaraannya di malam itu.Setelah melakukan pertemuan dengan beberapa pendekar desa, Tanu langsung kembali ke rumahnya.Ternyata perkiraan Tanu memang terjadi dan semua rombongan dari kerajaan itu, saat ini sudah berada di depan mata.***Buur!Duar!Tiba-tiba terdengar dentuman dari balik bukit Desa Purbawati.Tepat di kaki bukit itu terdapat sebuah wilayah padat penduduk. Sadarga yang mendengarnya sontak saja terkejut, begitupun dengan 2 tamu dari istana. Walaupun mereka hanya saling menatap, tapi hal itu seakan memberi isyarat pada mereka bahea hal tak lajim sedang terjadi."Kakek! Suara apa itu?" tanya Sadarga pada Tanu. Kakek tua itu terlihat masih tenang saja."Hmmp,
"Bagaimana sudah siap, Nak?" tanya Tanu pada Sadarga. Nampak jelas bocah di hadapannya tengah selesai mengemas barang-barang."Ia Kek! Aku rasa ini semua sudah cukup," saut Sadarga."Baiklah, mari kita pergi!" pungkas Tanu.Di saat Kakek tua itu mulai melangkahkan kakinya, Sadarga hanya diam termenung. Entah apa yang dia lakukan? Sepertinya memikirkan sesuatu."Kek! Sebenarnya kita mau kemana? tanya Sadarga.Mengapa baru kali ini bocah itu bertanya? Padahal untuk sekedar berkemas barang saja, ia memerlukan waktu yang cukup lama."Kita akan pergi beberapa waktu dari tempat ini dan akan kembali lagi setelah keadaan mulai membaik," tutur Tanu memberikan penjelasan pada Sadarga."Jika begitu, mengapa tak menunggu Ibu dulu?"Sejak dari awal berkemas, Sadarga hanya memikirkan kepulangan ibunya. Pasalnya, dari pagi buta ia belum bertemu dengan Ningrum."Bagaimana ini? Atau sebaiknya ku katakan saja pada bocah ini, a
"Hei, coba lihat! Bukankah dia utusan dari bumi?""Mungkin saja begitu.""Tapi, aku rasa ada yang tak biasa dengan bumi kali ini. Mengapa saat ini bumi mengutus seorang yang terlihat lemah seperti itu.""Ya, benar juga. Jika demikian maka karisma bumi seakan menjadi pudar.""Hahaha."Dari jarak yang lumayan jauh, terdengar percakapan beberapa orang yang sedang menggunjing. Sepertinya Sadarga belum peka terhadap percakapan tersebut. Karena sebenarnya yang sedang menjadi bahan pembicaraan adalah dirinya, sebagai utusan dari bumi."Apa yang harus aku lakukan? Mengapa tiba-tiba tempat ini menjadi ramai?" gumam Sadarga dalam batinnya. Pandangan lelaki itu terus menyisir setiap penjuru yang mampu dijangkaunya.Suasana di dataran lapang ini begitu riuh, kesunyian seakan lenyap dibuatnya. Bagaikan pesisir pantai yang jernih dan tiba-tiba dipenuhi buih yang teramat banyak. Hiruk pikuk para utusan dari berbagai penjuru alam semesta datang
Setelah sekian lama melakukan perjalanan, akhirnya selesai juga. Sampailah di sebuah permukaan datar penuh debu dan pasir.Jika menengadahkan kepala ke langit, Sadarga bisa melihat puluhan bola berukuran besar. Terkadang Sadarga menyaksikan Kilauan cahaya di bola itu, tapi sisi lainnya berwarna gelap."Paman, jika boleh tahu siapa namamu?" tanya Sadarga sembari mengarahkan pandangan ke atas langit. Lelaki ini memang terbiasa menggunakan sebutan Paman, kepada siapapun yang dianggapnya lebih tua."Hmp, maafkan aku... karena hampir saja lupa memberitahunya. Perkenalkan namaku Brama Rangga Dewata. Tapi terserahmu saja, kau bisa panggil sesukamu," sahut Brama dengan senyuman ramahnya. Simpulan bibir pria itu seperti menyiratkan sifat aslinya."Wah, namamu bagus sekali dan sangat panjang Paman. Mungkin aku akan memanggilmu menggunakan nama depannya saja.""Baiklah nak, terima kasih atas pujiannya. Perlu kamu ketahui kita ini hampir sampai. Jangan s
Sesuatu yang dilihat oleh Sadarga, sungguh membuatnya ingin muntah.Bagaimana tidak?Sebab saat ini terlihat dua orang lelaki dan tiga wanita yang sudah tak berpakaian. Lima orang itu masih memiliki wajah utuh, tapi dari leher hingga bagian kaki sudah tak nampak lazim.Bukan tanpa alasan keadaan lima orang itu menjadi sedemikian rupa. Hal tersebut ternyata diakibatkan ulah dari orang-orang yang mengerumuninya.Ya, lima orang bernasib buruk itu telah menjadi korban keganasan penyembah Pisaca.Karena tak tahan melihat tingkah orang-orang di sekelilingnya, dengan lantang Sadarga berteriak sekeras mungkin."Aaaaaaa!"Tak lama setelah teriakan menggema di ruang istana, pandangan pun berubah menjadi gelap. Sadarga hanya bisa melihat bintik cahaya bermacam warna, bagaikan pemandangan langit malam saat dilihat di atas gunung.Begitu terkejut Sadarga, setelah ia menyadari bahwa dirinya sudah berpindah tempat cepat sekali. Bu
"Tunggu! Ibu mau kemana?" teriak Sadarga setelah melihat Ningrum tiba-tiba pergi dengan cepat.Walaupun Sadarga berteriak sekerasnya dan tengah melakukan berulang kali.Sayang sekali!Ningrum terlihat acuh tak memberikan tanggapan.Begitu tergesa-gesa kepergian Ningrum. Entah apa yang membuatnya melakukan itu? Yang jelas saat ini Sadarga hanya seorang diri saja melayang menunggangi batu di lingkungan istana kerajaan.Ingin rasanya mengikuti sang ibu yang telah pergi meninggalkannya, tapi apa daya Sadarga? Batu yang ia tunggangi tak bisa bergerak sesuai keinginannya. Bahkan batu tersebut malah turun dari atas ketinggian, seakan meminta Sadarga tak menginjakan lagi kaki di atas permukaannya."Aaaaa!"Benar saja.Begitu terkejut Sadarga. Pria itu dibuat kaget oleh batu yang ditumpanginya. Tiba-tiba bongkahan batu itu melakukan putaran cepat, seakan memaksa Sadarga turun.Dari kejadian itu, menyebabkan Sada
Sampai saat ini, Utar terus melanjutkan perjalanannya hingga mencapai perut goa. Di kedalaman tersebut suara hujan deras sudah tak terdengar lagi.Bebatuan tajam yang bisa dirasakan alas kaki pun, sudah tak ditemui lagi. Entah apa yang bisa dilihat jika sepercik cahaya menerangi kegelapan saat ini."Hei, apa kalian baik-baik saja?"Suara Utar yang terpantul dinding goa, terdengar menggema. Entah berapa orang yang masih bersamanya, hanya suara langkah dan hembusan nafas saja yang didengarnya. Tak ada seorangpun yang berbicara saat ini.Mungkin rasa lelah karena perjalanan, menjadikan diam terasa lebih baik dari pada berbicara atau sekedar menggerakkan anggota tubuh."Baiklah, aku rasa di sini tempatnya cukup aman. Jadi, jika kalian ingin beristirahat silahkan saja,"Lelah. Lelah sekali. Sadarga yang merasakan suasana di dalam goa itu seakan tak berdaya lagi. Begitupun semua orang yang bersamanya.Hanya Utar dan Raka yang masih te
Setelah sampai di mulut goa, Sadarga merasakan keresahan dalam hatinya. Entah apa yang akan menimpanya kali ini. Namun itulah ungkapan dalam benaknya. Padahal sebelumnya Sadargalah orang paling ceria dan selalu menumbuhkan semangat bertahan hidup.Ya, semangat untuk tetap hidup.Karena sepanjang jalan menuju goa, angin kencang terus berhembus menumbangkan pepohonan hujan deras di iringi petir terus mengguyur membasahi tanah.Dari kejauhan terlihat laju tanah berjalan, terbawa arus air yang begitu kuat. Padahal itu hanyalah sebuah lumpur yang terbawa air dari hulu menuju hilir.Ada beberapa orang dari para pemuda desa Lanangjagat yang gugur melepaskan nyawanya akibat tak tahan lagi menahan gejolak amukan alam tersebut. Sungguh mengenaskan nasib mereka diterpa murka alam raya, yang datang secara tiba-tiba."Paman, sebaiknya kita mencari lagi tempat lain untuk berlindung," usul Sadarga pada Utar."Hei, bicara apa kau ini. Bukankah kamu yang men
Tak terasa tiga hari berlalu begitu saja. Semenjak peristiwa pertempuran Sadarga dan manusia berbulu, kini tak ditemukan lagi kekacauan yang mengganggu kehidupan di istana dan di berbagai wilayah lainnya.Suasana amanpun seakan dirasakan semua orang, termasuk para penduduk desa Lanangjagat yang kini berada di tempat pengungsian sementara.Di pagi hari yang sangat cerah, Sadarga terlihat berjalan dan membawa kayu bakar. Entah dari mana ia? Sebab Sadarga tak ditemani siapapun."Tuan, dari mana kayu bakar ini?" ucap Reni menyambut kedatangan Sadarga. Wanita ini merupakan seseorang yang menaruh simpati pada Sadarga.Ya, beberapa hari terakhir prasangka orang disekeliling Sadarga seakan terbagi. Ada yang menaruh simpati, ada juga yang berburuk sangka."Aku baru saja turun gunung, semalam aku tak bisa tidur. Jadi ku putuskan saja untuk mencari angin segar di malam hari."Sadarga terlihat berjalan terus tanpa melihat wajah Reni, pandangannya
"Ti-tidak. Aku hanya terkesima saja, melihat seranganmu yang begitu cepat. Sampai mengalahkan mahluk itu dengan mudah," kata Utar. Nampaknya ia tak bisa menyembunyikan isi hatinya. Sehingga segala perkataan batinnya diwujudkan dengan kata-kata yang keluar dari mulut.Bukan hanya itu, selain Utar masih banyak juga yang tak sanggup menahan isi hatinya. Begitu juga dengan Raka, si pria paling tangguh dari desa Lanangjagat.Kali ini Sadarga mendapatkan berbagai pujian yang mengangkat derajatnya. Berbeda dengan sebelumnya, disaat orang di sekeliling masih bertanya-tanya dan ragu dengan tingkah yang dilakukan Sadarga.Ya, terkadang Sadarga bertingkah diluar prasangka orang lain. Seperti perkataannya yang nyeleneh, tapi akhirnya orang lain dapat memahami maksud dari perkataan itu.Kemudian selama kebersamaannya dengan puluhan penduduk dari desa Lanangjagat, Sadarga sering kali memerintahkan hal yang tak masuk akal. Namun selang beberapa saat dari per
Setelah Sadarga menggenggam pedang milik Utar, ia bingung harus melakukan apa? Sebab seumur hidupnya Sadarga belum pernah menggunakan benda tajam itu.Semua orang yang melihat Sadarga tentu saja keheranan. Dalam benak mereka bertanya, apakah Sadarga tidak bisa menggunakan pedang? Lalu untuk apa ia meminjamnya?Ya, benar sekali. Sadarga memang belum mempelajari jurus dan seni menggunakan pedang. Namun sesekali ia menemukan keterangan dalam kitab Azura. Pada kitab itu terdapat satu bab husus yang membahas tentang berbagai jurus pedang. Tapi apa gunanya? Karena Sadarga hanya membaca ilmu pedang itu, tanpa mencobanya.Menyadari jika dirinya sedang diperhatikan banyak orang, Sadarga langsung memejamkan mata. Pria itu mencoba mengingat semua tulisan pada kitab Azura, yang membahas tentang ilmu dan seni menggunakan pedang."Jurus pedang angin!" bisik Sadarga sembari memasang kuda-kuda menyerang.Sontak saja, Utar terkejut. Sebab ia melihat Sadarga layakny