Lily keluar dari kediaman Kenneth dengan dipapah oleh seorang pelayan. Wajahnya begitu tampak pucat dengan keringat banyak yang membasahi dahinya.
"Lebih baik Anda duduk di sini sebentar. Pak Sopir baru akan mengambil mobil dari garasi dalam," ujar si pelayan tadi lalu meninggalkan Lily duduk di atas sofa sendirian.Benak Lily langsung terngiang-ngiang saat dia mendengar cerita dari Kenneth dan Wina. Hatinya masih menyangkal soal fakta bahwa ayahnya pernah membunuh seorang bayi perempuan di masa lampau.Seingatnya, ayahnya adalah pria yang penuh kasih sayang dan perhatian. Sangat sulit baginya untuk menerima fakta itu.Pantas saja tatapan Kenneth terlihat ingin membunuh jika bertatap mata dengannya.Seorang pria paruh baya datang mendekat ke arah Lily dan berkata dengan sopan, "Mari, Nyonya. Saya antar Anda ke dalam mobil.""Tidak usah, saya bisa kok berjalan sendiri." Lily berjalan menggunakan tongkat kruk dengan susah. Kedua kakinya bergetar karena rasa saKerutan di kening Lily terlihat jelas dan mulutnya setengah terbuka. "Kau gila?" Pffft!Finley tak dapat lagi menahan tawanya. Wajah Lily terlihat konyol seperti jijik mendengar kata cinta. "Aku hanya bercanda." Lalu menyeka sudut matanya yang sedikit basah.Ketegangan di antara dua alis Lily langsung memudar."Aku berniat membantumu karena kau memang memiliki bakat yang hebat. Sangat sayang kalau bakat itu hanya dipendam," ucap Finley serius.Bukannya senang, raut wajah Lily malah menjadi muram. Tatapannya kembali ke arah bawah dan sedikit kosong. Sebentar lagi dia akan berpisah sejenak dari orang-orang yang dia kenal. Demi menggapai cita-cita, apa dia bisa melaluinya?"Sebenarnya tujuanmu datang kesini ingin membicarakan apa? Aku daritadi belum mendengar apapun." Lily yakin, Finley tidak akan datang kesini tanpa memiliki tujuan yang jelas."Aku hanya mau memberikanmu ini." Finley menyerahkan selembar kertas yang terdapat judul paling besar bertuliskan 'Surat kontrak.'"Surat kontr
Dua minggu kemudian.Berada di kantor Max, Eddie menjelaskan pada Max soal hasil pencariannya. "Aku sudah berusaha, tapi masih belum bisa ditemukan."Max menggebrak mejanya dengan keras. Tatapannya tajam dan kedua alisnya menukik tajam. "Sudah selama ini kenapa begitu sulit?""Sewa detektif kalau perlu!"Eddie memijat pangkal hidungnya dengan tenang. "Aku sudah menyewa detektif dan masih belum bisa membuahkan hasil."Max menghempaskan badannya ke senderan kursi lalu melonggarkan dasinya agar dadanya tak terlalu sesak. "Ini terlalu mencurigakan. Pasti ada seseorang yang berada di belakangnya.""Apa itu Vina Prajaya?" tanya Eddie berusaha menebak.Max mengelus dagunya yang sedikit berbulu. "Mungkin, tapi baiknya kita mencari tahu dulu untuk memastikan.""Apa kau tidak berlebihan? Kau tidak seperti itu saat Olivia pergi dulu," keluh Eddie. Sejujurnya, Eddie sudah merasa bosan karena harus menyelidiki keberadaan Lily. Itu bukanlah tugas utamanya."Kamu tidak ingin bonus? Kalau tidak ingin
Olivia menatap Max dengan wajah yang tenang. Dia mendekatkan diri ke arah Max, lalu menjatuhkan diri ke dalam pelukannya. "Eddie bilang kau sedang tidak ingin diganggu, jadi dia menarik tanganku agar aku tidak mengganggumu."Hembusan napas hangat segera menerpa wajah Max yang kaku. Olivia mengelus dada Max dan menatapnya penuh minat. "Apa benar kau sedang tak ingin diganggu, Max?"Belaian Olivia membuat Max merasa tak nyaman namun dia memaksakan senyumnya, tangannya menarik lembut tangan nakal milik Olivia seraya berkata, "Tidak...""Apa yang membuatmu tiba-tiba datang ke kantor?" tanya Max.Olivia mengedipkan matanya, tak menyadari ketidaknyamanan yang dirasakan Max. Tangannya satu yang masih bebas berusaha menelusuri leher dan wajah Max yang ditumbuhi bulu halus. Kali ini Max membiarkannya."Ku dengar dari Tante Fernita kalau akhir-akhir kau sangat sibuk, jadi aku berinisiatif mengajakmu makan siang di sebuah restoran.""Kau mau kan?" Pertanyaan dari Olivia lebih terdengar seperti
Donna Alberta adalah wanita campuran yang memiliki kecantikan khas. Usianya sudah hampir menginjak kepala enam namun kulit di wajahnya masih terlihat kencang.Tak heran dia bisa melahirkan bibit yang bagus seperti Finley.Lily bertemu dengan Donna dan memulai pendekatan. Tak disangka jika Donna adalah seorang guru yang mengajar di Belle School, tempatnya akan belajar nanti.Siapa sangka jika bertemu dengan Finley adalah sebuah keberuntungan untuknya. Lily pun memanfaatkan hal ini agar kehidupannya di Belle School nanti berjalan dengan baik."Lily, aku sungguh suka denganmu. Kau memiliki bakat dan ketulusan hati yang membuatku tersentuh. Aku ingin, kamu segera menikah dengan Finley dan memberiku seorang cucu."Ucapan dari Donna seketika membuat wajah Lily menegang."Ibu... Lily baru saja berkenalan denganmu. Bagaimana mungkin tiba-tiba kamu memintanya untuk menikah denganku dan melahirkan seorang cucu?"Hubungannya dengan Lily hanya sebatas saling men
"Serius juga tidak masalah." Finley menatap Lily dengan tatapan horor. Lily tertawa lepas hingga menampakkan deretan giginya yang rapi. "Aku bercanda... Harusnya aku foto wajahmu tadi. Kau terlihat seperti arwah yang mati penasaran." Wajah Lily yang cantik dan begitu cerah membuat Finley menatapnya lekat. Lily terlihat seperti bunga yang sedang mekar. "Finley! Awas!" teriak Lily yang membuat Finley terperanjat. Ckiit!! Finley menginjak rem dengan kuat. Beruntung mobil mereka hanya menabrak pinggiran jalan dan tidak terlalu keras. Wajah mereka sangat pucat namun saat mereka saling memandang, tiba-tiba keduanya menyemburkan tawa bersamaan. "Kau hampir membuat kita benar-benar jadi arwah penasaran." *** Di sebuah restoran. Eddie duduk berseberangan dengan Max di sebuah restoran untuk makan siang. Tatapannya gelap dan rahangnya mengetat. Matanya terus tertuju pada sisa kiss mark di leher Max yang membuat hatinya serasa diremas. Tanpa dibilang pun Eddie tahu kalau
Di dalam mobil. Sorot mata Max nampak muram dan dia mengendarai mobil dengan lamban. Beberapa menit yang lalu dia baru saja selesai berbicara dengan Inda. Dia baru saja mengetahui fakta yang membuat hatinya tercubit. Rupanya selama ini Lily selalu mengirim seluruh uang bulanan yang diberikannya untuk ibu tirinya. Dengan harapan ibu tirinya itu dapat menggunakan uang tersebut dengan baik, salah satunya sebagai pengobatan adiknya yang menderita autisme. Namun ternyata ibu tirinya menyia-nyiakan uang tersebut untuk kesenangan pribadi. Selama ini, Max mengira Lily adalah wanita matre yang hanya menginginkan uang. "Sial!" Max memukul kemudi setirnya dengan kesal. Lalu menepikan mobilnya ke pinggir jalan. Dia menyenderkan kepalanya ke kemudi setir dengan galau. Tadi Inda juga mengatakan kalau Lily pergi ke Paris untuk belajar sekolah desain. Tak disangka jika Lily memiliki bakat di bidang desain. Pantas saja Lily memilih bercerai lalu bekerja di butik Sandra. Bodohnya dia.
"Sebentar lagi aku ada urusan di Paris. James Dean memintaku untuk datang ke sana, membicarakan bisnis yang akan dia kembangkan di Eropa." Max menyesap kopi hitamnya, menyembunyikan tatapan dinginnya dari Eddie."James Dean?" Kening Eddie mengerut dalam. "Bukannya seminggu yang lalu dia baru saja kesini? Kenapa tiba-tiba mengajak bertemu di Paris?""Entahlah, mungkin dia sedang menemui keluarganya di sana." Eddie menatap lurus ke arah Max. "Aku akan ikut?" "Tentu saja tidak." Mendengar jawaban itu, Eddie sedikit lega. Pasalnya, dengan kepergian Max, sudah pasti dia akan bebas untuk bertemu dengan Olivia."Kau akan kuberi tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan di sini. Mungkin aku akan sedikit lama di Paris," lanjut Max.Eddie menyembunyikan rasa senangnya. "Oh ya? Berapa lama?""Mungkin sekitar tiga minggu. Aku akan mengajaknya Olivia juga bersamaku..."Raut wajah Eddie menegang. "Ke-kenapa? Ma-maksudku kau tidak mengajakku, tapi malah mengaja
Meskipun Max sudah menolak permintaan ibunya untuk ikut pergi ke Paris, namun akhirnya Max membiarkan sang ibu untuk ikut. Sepanjang perjalanan pergi ke bandara, ibunya dengan girang berbicara panjang dengan Olivia di bangku belakang. Sedangkan Max nampak santai duduk di depan mereka sambil fokus menatap ponsel. "Harusnya kau saja yang menjadi menantuku, bukan si gadis lumpuh yang gak berguna itu!" Suara Fernita terdengar penuh kebencian. Entah apa yang mereka bicarakan tadi, mau tak mau Max sedikit mendongakkan kepalanya karena penasaran. "Jangan begitu, Tante. Meskipun aku bukan menantu Tante, aku sudah menganggap Tante sebagai ibuku sendiri kok." Seperti biasa, Olivia bersikap sopan, ramah dan selalu bisa menyenangkan hati ibunya. "Tentu saja harus begitu... kau sudah lama kehilangan ibu, jadi anggap saja aku ini ibumu." Fernita menepuk punggung tangan Olivia dengan lembut. "Tapi, alangkah baiknya kalau kamu benar-benar bisa menikah dengan Max. Dari segi
"Setelah mencari tahu, ternyata dalang dibalik kebakaran butik itu adalah Olivia." Lily tidak menunjukkan keterkejutannya. Dia malah menundukkan kepalanya dengan sedih. "Vina... maafkan aku. Sebenarnya aku sudah tahu tapi aku menyembunyikannya."Vina tertegun sejenak."Apa dia mengancam mu waktu itu?""Ya." Lily mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Dia melakukannya karena tidak suka denganku. Waktu itu aku berada di titik terendah. Tidak tahu harus berbuat apa-apa, jadi aku memilih diam dan menuruti perkataannya untuk pergi dari hadapan Max.""Kau tidak memberitahuku dan meminta bantuan? Malah diam saja?" Suara Vina terdengar kecewa. Teringat beberapa kali Lily telah menolak bantuan yang diberikan olehnya. Lily menatap Vina yang terlihat kecewa. "Aku sudah banyak merepotkan mu, jadi aku-""Kamu keterlaluan, Lily," potong Vina dengan kedua mata memerah."Apa aku memang tidak begitu berguna? Apa karena aku bukan dari keluarga berpengaruh seperti Fi
Bibir Olivia semakin mengerut dan wajahnya semakin menggelap. "Apa yang akan aku lakukan padanya, itu bukan lagi urusanmu, Max. kau dan dia sudah lama berpisah, harusnya itu tidak jadi masalah.""Tentu saja itu jadi urusanku!" bentak Max. "Kalau kau mengusik hidup Lily lagi, aku yang akan menghukum mu." Olivia pun segera berdiri. "Kenapa? Apa kau masih mencintainya? Wanita itu, sudah pergi meninggalkanmu dan memilih bersama pria lain. Tapi kenapa kau masih membela si jalang itu?"Plak!Max menampar Olivia cukup keras hingga Olivia terjatuh di atas sofa.Napas Max masih memburu dan dia melihat tangannya dengan tak percaya. Dia tak pernah lepas kontrol seperti ini sebelumnya.Sedang Olivia memegang pipi sebelah kirinya dengan perasaan terluka. Kedua matanya memerah dan sudah basah. Max tidak pernah menamparnya seperti ini."Olivia... aku..." Max tak sanggup untuk bersuara, membela diri atas perbuatannya barusan.Olivia menundukkan kepalanya dan suarany
Bukan hanya karena janji itu saja. Pengalamannya dalam menangani seorang wanita sangat minim ditambah dia memiliki ego yang tinggi, membuatnya tak bisa tampil sebagai seorang suami yang baik untuk Lily.Olivia selalu mengatur Max dan Max akan mematuhinya. Sedangkan Lily adalah wanita yang patuh dan taat selama menikah. Mereka sangat berbeda.Hal-hal itu sebenarnya sudah mampu membuat hati Max goyah, namun karena Max masih memegang janji pada Olivia dan ingin menepatinya, maka dia terus mengabaikan Lily.Lagipula kakeknya dulu mengajarkannya harus keras sebagai seorang suami, membuatnya tak ada pilihan lain.Bahkan saat Olivia pergi ke Paris, meninggalkannya selama setahun setelah Max menikah saja, Max masih setia.Tapi akhirnya Max runtuh setelah Lily benar-benar ingin bercerai darinya. Keinginannya untuk tidak berpisah dari Lily semakin tinggi di saat pernikahannya sudah berada di ujung tanduk.Dia baru menyadari kalau dia lebih membutuhkan sosok wanita
Max menghela napasnya singkat. "Aku turut bersedih atas apa yang menimpa padamu.""Tapi soal membantu, kenapa kau begitu yakin kalau aku akan membantu? Bukannya kau tadi yakin kalau aku dikendalikan oleh Olivia?"Serena memiringkan kepala sambil mengingat-ingat informasi yang telah dia kumpulkan selama beberapa hari. "Sebelum datang aku sudah mengumpulkan banyak informasi tentangmu.""Olivia pernah meninggalkanmu tapi kau tetap menerimanya disaat dia kembali. Awalnya aku berpikir kau begitu bodoh karena mudah dikendalikan oleh seorang wanita. Tapi setelah aku cari tahu lagi, rupanya keluargamu memiliki hutang budi pada keluarga Olivia. Jadi aku menebak, kau pasti tetap berada di sisi Olivia karena ingin balas budi."Mendengar itu, Max segera tahu jika Serena benar-benar memiliki dendam yang dalam pada Olivia. Hatinya terasa tercubit. Bagaimanapun dia adalah orang yang mengenalkan Olivia pada Ernes dulu, jadi secara tidak langsung Max turut andil dalam kerusakan rumah tangga itu.Max t
Pada jam delapan malam di sebuah restoran mewah. Max berjalan menuju ke sebuah meja yang sudah dipesan oleh Fernita untuknya. Demi menghindari suara cerewet dari ibunya yang setiap hari memekakkan telinga, akhirnya Max setuju untuk menemui salah satu wanita pilihan ibunya.Dari kejauhan, Max dapat melihat seorang wanita yang duduk begitu anggun di depan meja. Memiliki wajah yang cantik dan rambut panjangnya terurai ke belakang menutupi kulit punggungnya yang sedikit terekspos. Warna kulitnya sawo matang tapi terlihat sangat terawat dan sehat. Wanita itu mendongakkan kepalanya begitu mendengar suara langkah kaki yang mendekati mejanya. Senyumannya terbit begitu indah dan menciptakan lesung pipi yang menawan. "Maxwell?" Suaranya bahkan terdengar lembut tapi tidak lemah. "Ya. Nona Serena?" Serena menganggukkan kepalanya dan mempersilahkan Max untuk duduk. Max duduk dengan santai. Tujuannya datang hanya untuk menenangkan hati ibunya agar tidak menuntutn
"Apa mau kalian?" Saphira berusaha memberontak. Kedua tangannya sudah terikat oleh jaket yang dikenakan Lily tadi.Tak dia sangka akan berakhir dengan dia yang diikat oleh Lily sampai tidak bisa bergerak. Awalnya dia kira Lily akan menusuk atau membunuhnya saat itu juga.Rupanya Lily hanya ingin mengikat kedua tangannya di belakang badan, membuatnya tidak bisa banyak bergerak."Brengsek! Aku tidak terima. Aku akan segera teriak kalau kalian tidak segera melepaskan ku!" Saphira berusaha mengancam. Akan ada banyak orang di rumah sakit ini yang bisa mendengar suara teriakannya meski di sepanjang lorong begitu sepi."Teriak saja. Tidak akan ada orang yang akan menolongmu." Vina terdengar tidak takut. Dia memainkan pisau milik Lily di tangannya setelah berhasil mengikat kedua kaki Saphira dengan tali sepatu milik Saphira sendiri.Lily tengah menelepon seseorang. Dia berdiri agak jauh dari posisi Vina dan Saphira sekarang.Saphira menatap ke sekeliling lorong, harusnya saat mendengar keribu
Saphira menatap penampilan Lily yang sudah jauh berbeda. Anak tirinya itu tak lagi duduk di atas kursi roda. Badannya tegap, kedua kakinya lurus dan jenjang. Wajahnya halus, bersih dan juga lembut. Setiap apa yang dia pakai mencerminkan kemakmuran dan kesejahteraannya saat ini.Diam-diam Saphira mengepalkan tangannya yang terlipat, menaruh rasa iri karena keadaan mereka yang begitu jomplang.Setelah pulang dari penjara, Saphira sangat kesusahan untuk makan. Usianya yang sudah tua dan tidak memiliki pengalaman bekerja yang baik, membuatnya harus mengerjakan pekerjaan yang berat agar mempunyai uang. Terkadang Saphira lebih memilih memulung dibandingkan kerja di bawah perintah orang.Dirinya yang dulu selalu menyuruh orang, bagaimana bisa tiba-tiba disuruh-suruh oleh seseorang demi beberapa lembar uang? Saphira meninggikan egonya hingga alhasil dia kerap kesusahan mencari uang untuk makan.'Ini semua karena anak durhaka itu!' batinnya dengan kesal."Aku gak nyangka
Saat ini Lily sudah tiba dan disambut oleh Inda yang kedua matanya terlihat membengkak. "Nona, maafkan saya." Hanya itu kata yang terucap begitu melihat kedatangan Inda. "Saya telah gagal."Lily tidak menanggapi ucapan Inda namun malah memeluknya dengan erat. "Ini bukan salahmu, Inda. Kamu sudah berusaha keras, kita akan mencari Arsan sama-sama."Inda tak memiliki daya dan hanya mengangguk lemah. Saat memeluknya, Lily merasa tubuh Inda lebih kurus dari terakhir kali saat dia bertemu. Lily segera melepas pelukannya dan menatap Inda dengan sedih. "Kamu terlihat lebih kurus, pasti kamu sudah mengalami kesulitan selama tiga tahun ini."Sudut bibir Inda terangkat tipis. "Tidak, Nona. Kesulitan saya tidak begitu berarti karena telah menganggap Arsan seperti adik saya sendiri." Inda benar-benar melakukan tugasnya dengan tulus. Mengasuh Arsan selama tiga tahun membuatnya menganggap Arsan seperti adik kandungnya sendiri. Makanya dia merasa sangat kehilangan saat tiba-tiba Arsan menghilang.
"Untuk apa?" Suara Max terdengar dingin dan raut wajahnya nampak tidak peduli tapi sebenarnya dalam hatinya dipenuhi kesenangan karena akan melihat Lily kembali dalam jarak dekat.Sudah tiga tahun lamanya dia menahan rindu dan egonya agar tidak mengacaukan kehidupan Lily di Paris. Dia bahkan menyetujui perceraian demi Lily yang ingin mewujudkan cita-citanya.Max sudah mengalah dan berusaha melupakan. Namun semakin berusaha, Max semakin tak bisa. Bagaimanapun, Lily adalah wanita yang berada di sisinya selama dia terpuruk.Olivia yang dulu dia cintai saja tega meninggalkannya.Apalagi Max akhirnya mengetahui bahwa Lily melupakan cita-cita dan kesenangannya sendiri saat bersedia menikah dengan Max. Tapi Max malah menyia-nyiakannya."Adik kandungnya yang bernama Arsan tengah sakit keras lalu dikabarkan dia hilang dari pengawasan pengasuh. Setelah saya selidiki, petugas rumah sakit mengatakan kalau Arsan dipindahkan oleh ibunya sendiri ke rumah sakit besar yang memili