Dua minggu kemudian.Berada di kantor Max, Eddie menjelaskan pada Max soal hasil pencariannya. "Aku sudah berusaha, tapi masih belum bisa ditemukan."Max menggebrak mejanya dengan keras. Tatapannya tajam dan kedua alisnya menukik tajam. "Sudah selama ini kenapa begitu sulit?""Sewa detektif kalau perlu!"Eddie memijat pangkal hidungnya dengan tenang. "Aku sudah menyewa detektif dan masih belum bisa membuahkan hasil."Max menghempaskan badannya ke senderan kursi lalu melonggarkan dasinya agar dadanya tak terlalu sesak. "Ini terlalu mencurigakan. Pasti ada seseorang yang berada di belakangnya.""Apa itu Vina Prajaya?" tanya Eddie berusaha menebak.Max mengelus dagunya yang sedikit berbulu. "Mungkin, tapi baiknya kita mencari tahu dulu untuk memastikan.""Apa kau tidak berlebihan? Kau tidak seperti itu saat Olivia pergi dulu," keluh Eddie. Sejujurnya, Eddie sudah merasa bosan karena harus menyelidiki keberadaan Lily. Itu bukanlah tugas utamanya."Kamu tidak ingin bonus? Kalau tidak ingin
Olivia menatap Max dengan wajah yang tenang. Dia mendekatkan diri ke arah Max, lalu menjatuhkan diri ke dalam pelukannya. "Eddie bilang kau sedang tidak ingin diganggu, jadi dia menarik tanganku agar aku tidak mengganggumu."Hembusan napas hangat segera menerpa wajah Max yang kaku. Olivia mengelus dada Max dan menatapnya penuh minat. "Apa benar kau sedang tak ingin diganggu, Max?"Belaian Olivia membuat Max merasa tak nyaman namun dia memaksakan senyumnya, tangannya menarik lembut tangan nakal milik Olivia seraya berkata, "Tidak...""Apa yang membuatmu tiba-tiba datang ke kantor?" tanya Max.Olivia mengedipkan matanya, tak menyadari ketidaknyamanan yang dirasakan Max. Tangannya satu yang masih bebas berusaha menelusuri leher dan wajah Max yang ditumbuhi bulu halus. Kali ini Max membiarkannya."Ku dengar dari Tante Fernita kalau akhir-akhir kau sangat sibuk, jadi aku berinisiatif mengajakmu makan siang di sebuah restoran.""Kau mau kan?" Pertanyaan dari Olivia lebih terdengar seperti
Donna Alberta adalah wanita campuran yang memiliki kecantikan khas. Usianya sudah hampir menginjak kepala enam namun kulit di wajahnya masih terlihat kencang.Tak heran dia bisa melahirkan bibit yang bagus seperti Finley.Lily bertemu dengan Donna dan memulai pendekatan. Tak disangka jika Donna adalah seorang guru yang mengajar di Belle School, tempatnya akan belajar nanti.Siapa sangka jika bertemu dengan Finley adalah sebuah keberuntungan untuknya. Lily pun memanfaatkan hal ini agar kehidupannya di Belle School nanti berjalan dengan baik."Lily, aku sungguh suka denganmu. Kau memiliki bakat dan ketulusan hati yang membuatku tersentuh. Aku ingin, kamu segera menikah dengan Finley dan memberiku seorang cucu."Ucapan dari Donna seketika membuat wajah Lily menegang."Ibu... Lily baru saja berkenalan denganmu. Bagaimana mungkin tiba-tiba kamu memintanya untuk menikah denganku dan melahirkan seorang cucu?"Hubungannya dengan Lily hanya sebatas saling men
"Serius juga tidak masalah." Finley menatap Lily dengan tatapan horor. Lily tertawa lepas hingga menampakkan deretan giginya yang rapi. "Aku bercanda... Harusnya aku foto wajahmu tadi. Kau terlihat seperti arwah yang mati penasaran." Wajah Lily yang cantik dan begitu cerah membuat Finley menatapnya lekat. Lily terlihat seperti bunga yang sedang mekar. "Finley! Awas!" teriak Lily yang membuat Finley terperanjat. Ckiit!! Finley menginjak rem dengan kuat. Beruntung mobil mereka hanya menabrak pinggiran jalan dan tidak terlalu keras. Wajah mereka sangat pucat namun saat mereka saling memandang, tiba-tiba keduanya menyemburkan tawa bersamaan. "Kau hampir membuat kita benar-benar jadi arwah penasaran." *** Di sebuah restoran. Eddie duduk berseberangan dengan Max di sebuah restoran untuk makan siang. Tatapannya gelap dan rahangnya mengetat. Matanya terus tertuju pada sisa kiss mark di leher Max yang membuat hatinya serasa diremas. Tanpa dibilang pun Eddie tahu kalau
Di dalam mobil. Sorot mata Max nampak muram dan dia mengendarai mobil dengan lamban. Beberapa menit yang lalu dia baru saja selesai berbicara dengan Inda. Dia baru saja mengetahui fakta yang membuat hatinya tercubit. Rupanya selama ini Lily selalu mengirim seluruh uang bulanan yang diberikannya untuk ibu tirinya. Dengan harapan ibu tirinya itu dapat menggunakan uang tersebut dengan baik, salah satunya sebagai pengobatan adiknya yang menderita autisme. Namun ternyata ibu tirinya menyia-nyiakan uang tersebut untuk kesenangan pribadi. Selama ini, Max mengira Lily adalah wanita matre yang hanya menginginkan uang. "Sial!" Max memukul kemudi setirnya dengan kesal. Lalu menepikan mobilnya ke pinggir jalan. Dia menyenderkan kepalanya ke kemudi setir dengan galau. Tadi Inda juga mengatakan kalau Lily pergi ke Paris untuk belajar sekolah desain. Tak disangka jika Lily memiliki bakat di bidang desain. Pantas saja Lily memilih bercerai lalu bekerja di butik Sandra. Bodohnya dia.
"Sebentar lagi aku ada urusan di Paris. James Dean memintaku untuk datang ke sana, membicarakan bisnis yang akan dia kembangkan di Eropa." Max menyesap kopi hitamnya, menyembunyikan tatapan dinginnya dari Eddie."James Dean?" Kening Eddie mengerut dalam. "Bukannya seminggu yang lalu dia baru saja kesini? Kenapa tiba-tiba mengajak bertemu di Paris?""Entahlah, mungkin dia sedang menemui keluarganya di sana." Eddie menatap lurus ke arah Max. "Aku akan ikut?" "Tentu saja tidak." Mendengar jawaban itu, Eddie sedikit lega. Pasalnya, dengan kepergian Max, sudah pasti dia akan bebas untuk bertemu dengan Olivia."Kau akan kuberi tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan di sini. Mungkin aku akan sedikit lama di Paris," lanjut Max.Eddie menyembunyikan rasa senangnya. "Oh ya? Berapa lama?""Mungkin sekitar tiga minggu. Aku akan mengajaknya Olivia juga bersamaku..."Raut wajah Eddie menegang. "Ke-kenapa? Ma-maksudku kau tidak mengajakku, tapi malah mengaja
Meskipun Max sudah menolak permintaan ibunya untuk ikut pergi ke Paris, namun akhirnya Max membiarkan sang ibu untuk ikut. Sepanjang perjalanan pergi ke bandara, ibunya dengan girang berbicara panjang dengan Olivia di bangku belakang. Sedangkan Max nampak santai duduk di depan mereka sambil fokus menatap ponsel. "Harusnya kau saja yang menjadi menantuku, bukan si gadis lumpuh yang gak berguna itu!" Suara Fernita terdengar penuh kebencian. Entah apa yang mereka bicarakan tadi, mau tak mau Max sedikit mendongakkan kepalanya karena penasaran. "Jangan begitu, Tante. Meskipun aku bukan menantu Tante, aku sudah menganggap Tante sebagai ibuku sendiri kok." Seperti biasa, Olivia bersikap sopan, ramah dan selalu bisa menyenangkan hati ibunya. "Tentu saja harus begitu... kau sudah lama kehilangan ibu, jadi anggap saja aku ini ibumu." Fernita menepuk punggung tangan Olivia dengan lembut. "Tapi, alangkah baiknya kalau kamu benar-benar bisa menikah dengan Max. Dari segi
"Belum pernah seperti itu?" Lily mengulangi ucapan Finley dengan menyatukan kedua alisnya. "Apa maksudnya?""Ah, tidak." Finley langsung menggelengkan kepalanya. "Mungkin hanya perasaanku saja."Lily memiringkan kepalanya, tatapannya terus lurus ke arah Finley yang terlihat gugup. Dia seperti sedang menyembunyikan sesuatu."Intinya, kalau tiba-tiba Larissa berbuat tidak baik padamu, katakan saja."***Setelah makan siang bersama Finley, Lily segera balik ke studio desain milik Larissa. Suasana di studio masih sepi karena Lily memang datang di saat jam istirahat, jadi Lily duduk di depan meja panjang sambil mengeluarkan buku sketsanya.Tadi pagi dia hanya menghadiri kelas selama dua jam saja, jadi dia memiliki waktu luang untuk jalan bersama Finley menyusuri keindahan kota Paris.Selang tak lama, tiba-tiba ada seseorang yang menaruh tas jinjing dengan keras di atas meja hingga mengagetkan Lily."Siapa yang suruh kamu untuk duduk di kursiku." Tatapan mata Cassandra nampak tidak bersahab
"Hamil?" gumam Finley pelan. Kejadian hamil tidak pernah terbayangkan dalam hidup Finley. Dia selalu melakukan hubungan dengan aman, tidak pernah menumpahkan cairannya di dalam rahim lawan mainnya."Nikah saja kalau begitu," jawabnya enteng.Vina membuang pandangannya seraya mendengus pelan. Kedua sudut matanya sudah memerah dan juga nampak berair. "Entengnya kamu bicara," ujar Vina kesal sambil menatap ke arah jendela dengan menahan air matanya yang hendak keluar.Finley ikut berdiri dan menatap punggung Vina dengan kening mengernyit. "Kalau begitu mau kamu apa? Nasi sudah menjadi bubur, tidak mungkin kita kembali ke masa lalu untuk memperbaikinya."Vina nampak terdiam, tidak ada gerakan apapun dari arah punggungnya. Finley pun melanjutkan, "Yang bisa kita lakukan hanyalah mengatasi masalah yang akan timbul setelah perbuatan semalam."Tatapan Finley nampak muram tetapi tetap ada keseriusan di dalam sorot matanya. "Kalau memang kamu hamil nantinya, aku bersedia untuk bertanggung jaw
Vina menatap Finley tanpa mengedipkan mata, sesaat ada tatapan kecewa namun itu hanya sebentar.Vina tertawa dengan keras lalu berkata, "Kalau ingin membuatku menyerah, jangan berkata omong kosong. Mana mungkin Ivan yang gagah macho itu malah menyukai pria?"Tawa Vina begitu keras hingga keluar air mata dari sudut matanya. Finley begitu kejam, mengatakan hal-hal yang tak masuk akal demi membuatnya menyerah.Finley memutar kedua bola matanya dengan malas. "Terserah."Lalu kembali meminum botol alkoholnya hingga habis. Vina melihat Finley yang tengah minum dengan perasaan kacau. Jika Ivan hanya tidak menyukainya, dia bisa terus berjuang agar Ivan bisa melihat ke arahnya.Tetapi kalau benar Ivan suka pria, mau Vina berguling-guling atau memohon pun Ivan tak akan menyukainya.Vina membuang pandangannya lalu menatap ke sembarang arah dengan mata buram.Pantas saja Ivan selalu bersikap dingin dan cuek padanya.Setelah dipikir-pikir, Ivan selalu begitu pada setiap wanita. Awalnya dia berpi
Vina sedang ada acara keluarga di hotel bintang lima yang kemudian tak sengaja melihat Ivan saat sedang berjalan ke arah lift."Ivan? Rupanya yang aku lihat itu benar kamu?" tanyanya setelah memastikan jika seorang pria bertubuh tegap dan tinggi itu adalah Ivan.Ivan terlihat tak nyaman, dia mengalihkan pandangannya dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Saya sedang ditugaskan di sini."Meskipun Ivan selalu bersikap cuek dan dingin padanya, tetap Vina tidak menyerah. Baginya sikap Ivan yang seperti itu malah membuatnya semakin tergila-gila. Ivan semakin tampan dengan wajahnya yang dingin itu."Oh ya? Kebetulan sekali dong, aku juga sedang ada acara di sini. Jangan-jangan kita berjodoh kali ya..."Vina terkekeh pelan dan terdapat semburat merah di pipinya saat ini.Ivan merasa malu, lalu menoleh ke arah temannya, Norman yang sedang menahan tawanya saat ini."Kalau begitu, saya permisi dulu, Nona. Saya masih harus bertugas menjaga Tuan Finley."Vina segera menghentikan Ivan. "Apa?
"Bu, sebenarnya aku dan Lily hanya pura-pura berpacaran."Saat ini Finley yang tengah duduk berhadapan dengan sang ibu, hanya mampu menundukkan pandangannya, tak berani bertatapan langsung.Tadi Donna bersikeras untuk mengajak Finley menjenguk Lily di rumah sakit. Donna berkata, "Kau sangat tidak perhatian pada kekasihmu sendiri, Finley. Lily sedang sakit, harusnya kamu lebih sering berkunjung dan menemaninya supaya lebih cepat pulih."Sebenarnya Donna sudah dijadwalkan pulang sejak beberapa hari yang lalu, namun Donna memutuskan untuk tinggal lebih lama setelah mendengar kabar kemalangan yang menimpa Lily.Karena Finley merasa tidak enak jika terus menerus membohongi sang ibu, akhirnya Finley berterus terang agar ibunya tak lagi terus berharap.Pada awalnya Finley merasa bisa menjadikan Lily sebagai pacar yang sesungguhnya. Namun lambat laun dia tersadar, kalau yang dia rasakan bukan perasaan cinta. Melainkan hanya perasaan nyaman karena sudah terbiasa. Selain itu, ketika Lily meno
"Tapi..." Sebenarnya Inda merasa ragu kalau Lily akan merasa lebih baik jika tinggal bersama dengan Kenneth dan Wina.Bukankah alasan Lily menjadi depresi karena belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah anak kandung Darrel?Tetapi, Inda tidak berani mengatakannya secara langsung. Bagaimanapun dia sedang berhadapan dengan Kenneth, seorang pengusaha besar yang memiliki kekayaan dan kekuasaan.Wina mengetahui soal keraguan Inda. "Aku tahu kalau kamu ragu soal hal ini. Tapi kami adalah orang tua kandung Lily, kami juga ingin menjadi dekat dengannya meskipun dia masih syok atas kenyataan ini.""Lagipula kau juga sibuk mengurusi Arsan, bukan? Aku tidak yakin kau bisa mengurus dua manusia yang sedang mengalami gangguan kesehatan mental."Ucapan Wina ada benarnya bagi Inda. Dengan terpaksa Inda menyetujui permintaan Kenneth dan Wina untuk membawa Lily setelah pengobatan di rumah sakit selesai.Keesokannya.Dokter membolehkan Lily untuk pulang dan menjalani rawat jalan. Hal itu dit
Pupil mata Olivia bergetar. "Jadi kau juga menyalahkanku, Max?" Suaranya juga terdengar bergetar."Olivia, sadarlah..."Olivia menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa kalau orang lain yang menyalahkanku, tapi kau juga?"Butiran kristal menetes melalui matanya. "Bukankah kau dan aku sudah seperti saudara? Kenapa kau jadi seperti ini?"Dulu semasa mereka tumbuh bersama, berulang kali para orang tua mengatakan kalau mereka adalah saudara yang harus saling membantu."Justru karena aku menganggapmu sebagai saudara, makanya aku harus membuatmu sadar. Bertobatlah selagi kau masih hidup, Olivia," tukas Max tegas. Olivia menatap Max dibalik matanya yang buram, berusaha mencari-cari rasa kasih sayang yang selama ini Max tunjukkan padanya.Tetapi nyatanya tidak ada."Apa semua ini karena wanita jalang itu kau jadi seperti ini? Lily Orlantha?" tanya Olivia geram.Max mengeraskan rahangnya. "Ini tidak ada hubungannya dengan siapapun dan-""Tapi kau tidak pernah seperti ini sebelumnya!" jerit Oliv
"Nona..."Lily membuka kedua matanya yang masih basah oleh linangan air mata. Suara sesenggukan masih keluar dari mulutnya kemudian dia melihat Inda berdiri di sampingnya begitu dekat."Nona tidak apa-apa?" tanya Inda begitu khawatir. "Kenapa Nona berteriak dan menangis?"Lily mengerjapkan mata berulang kali, masih mencoba mencerna apa yang telah terjadi barusan.Kemudian dia menyadari kalau dia sehabis bermimpi bertemu ayahnya.Lily semakin terisak. Dia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan sambil menangis tersedu-sedu.Inda melihat itu dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Butiran kristal ikut turut meluncur membasahi baju Lily. Hatinya ikut sedih melihat Lily yang begitu sakit dan kecewa. Apalagi terdengar suara lirih yang bersamaan dengan suara tangisan itu."Ayah... ayah..."Inda tahu betapa kecewanya Lily terhadap kenyataan yang kemarin dia dapatkan.Perkataan saja mungkin tidak akan didengar oleh Lily, jadi Inda memilih untuk diam saja sembari memeluk tubuh Lily yang rin
Pagi-pagi sekali, Inda datang setelah mengantar Arsan ke sekolah untuk dititipkan.Dia sudah mendengar kabar dari Finley soal keadaan Lily, jadi dia ingin menjenguknya sepagi mungkin.Dan disinilah dia sekarang, menatap Lily yang juga sudah bangun tapi tatapannya masih kosong mengarah ke luar melalui jendela.Hati Inda merasa sakit, melihat Lily luka yang belum mengering dengan wajah begitu pucat.Inda meletakkan tasnya di atas meja lalu menarik kursi, mencoba memulai obrolan."Nona, saya sudah ada di sini," lirihnya sambil memegang punggung tangan Lily.Tapi tidak ada respon apapun dari Lily.Inda menghela napasnya panjang. Sepertinya fakta soal dia merupakan putri kandung Kenneth benar-benar menghantam mentalnya.Hidupnya memang penuh dengan kejutan.Selang dua jam.Vina datang untuk kembali menjenguk Lily.Dia datang langsung duduk di atas kursi dan bertanya pada Inda, "Dia sudah makan?"Saat ini Lily sudah kembali tertidur karena efek obat yang dikonsumsinya.Inda menggeleng pelan
Dengan tergagap Max menjawab, "I-iya, saya suaminya."Perawat itu tersenyum lalu mulai merobek kemasan berisi jarum suntik baru. "Dokter sudah meresepkan untuk istri Anda beberapa obat, salah satunya obat tidur melalui suntikan.""Baik, Sus."Setelah itu perawat memberi suntikan pada Lily lewat jarum infus. Tak butuh lama, perawat sudah selesai lalu mengemas barangnya dan berpamitan pergi.Fernita juga masih ada di dalam ruangan, bedanya dia terduduk di atas sofa."Sebaiknya ibu pulang dulu saja," ujar Max tanpa mengalihkan pandangannya dari Lily."Tapi-"Brak!!Ucapan Fernita terpotong oleh suara pintu yang dibuka dengan keras.Fernita terkejut begitupun dengan Max.Seseorang yang membuka pintu dengan keras itu adalah Finley.Dia menatap Max dengan tajam lalu berjalan cepat ke arahnya dan melayangkan tinju ke wajah Max yang tidak sempat untuk menghindar. Alhasil, tubuhnya tersungkur di atas lantai."Max!!" jerit Fernita karena terkejut."Brengsek kau!" umpat Finley penuh amarah dan m