Olivia menatap Max dengan wajah yang tenang. Dia mendekatkan diri ke arah Max, lalu menjatuhkan diri ke dalam pelukannya. "Eddie bilang kau sedang tidak ingin diganggu, jadi dia menarik tanganku agar aku tidak mengganggumu."Hembusan napas hangat segera menerpa wajah Max yang kaku. Olivia mengelus dada Max dan menatapnya penuh minat. "Apa benar kau sedang tak ingin diganggu, Max?"Belaian Olivia membuat Max merasa tak nyaman namun dia memaksakan senyumnya, tangannya menarik lembut tangan nakal milik Olivia seraya berkata, "Tidak...""Apa yang membuatmu tiba-tiba datang ke kantor?" tanya Max.Olivia mengedipkan matanya, tak menyadari ketidaknyamanan yang dirasakan Max. Tangannya satu yang masih bebas berusaha menelusuri leher dan wajah Max yang ditumbuhi bulu halus. Kali ini Max membiarkannya."Ku dengar dari Tante Fernita kalau akhir-akhir kau sangat sibuk, jadi aku berinisiatif mengajakmu makan siang di sebuah restoran.""Kau mau kan?" Pertanyaan dari Olivia lebih terdengar seperti
Donna Alberta adalah wanita campuran yang memiliki kecantikan khas. Usianya sudah hampir menginjak kepala enam namun kulit di wajahnya masih terlihat kencang.Tak heran dia bisa melahirkan bibit yang bagus seperti Finley.Lily bertemu dengan Donna dan memulai pendekatan. Tak disangka jika Donna adalah seorang guru yang mengajar di Belle School, tempatnya akan belajar nanti.Siapa sangka jika bertemu dengan Finley adalah sebuah keberuntungan untuknya. Lily pun memanfaatkan hal ini agar kehidupannya di Belle School nanti berjalan dengan baik."Lily, aku sungguh suka denganmu. Kau memiliki bakat dan ketulusan hati yang membuatku tersentuh. Aku ingin, kamu segera menikah dengan Finley dan memberiku seorang cucu."Ucapan dari Donna seketika membuat wajah Lily menegang."Ibu... Lily baru saja berkenalan denganmu. Bagaimana mungkin tiba-tiba kamu memintanya untuk menikah denganku dan melahirkan seorang cucu?"Hubungannya dengan Lily hanya sebatas saling men
"Serius juga tidak masalah." Finley menatap Lily dengan tatapan horor. Lily tertawa lepas hingga menampakkan deretan giginya yang rapi. "Aku bercanda... Harusnya aku foto wajahmu tadi. Kau terlihat seperti arwah yang mati penasaran." Wajah Lily yang cantik dan begitu cerah membuat Finley menatapnya lekat. Lily terlihat seperti bunga yang sedang mekar. "Finley! Awas!" teriak Lily yang membuat Finley terperanjat. Ckiit!! Finley menginjak rem dengan kuat. Beruntung mobil mereka hanya menabrak pinggiran jalan dan tidak terlalu keras. Wajah mereka sangat pucat namun saat mereka saling memandang, tiba-tiba keduanya menyemburkan tawa bersamaan. "Kau hampir membuat kita benar-benar jadi arwah penasaran." *** Di sebuah restoran. Eddie duduk berseberangan dengan Max di sebuah restoran untuk makan siang. Tatapannya gelap dan rahangnya mengetat. Matanya terus tertuju pada sisa kiss mark di leher Max yang membuat hatinya serasa diremas. Tanpa dibilang pun Eddie tahu kalau
Di dalam mobil. Sorot mata Max nampak muram dan dia mengendarai mobil dengan lamban. Beberapa menit yang lalu dia baru saja selesai berbicara dengan Inda. Dia baru saja mengetahui fakta yang membuat hatinya tercubit. Rupanya selama ini Lily selalu mengirim seluruh uang bulanan yang diberikannya untuk ibu tirinya. Dengan harapan ibu tirinya itu dapat menggunakan uang tersebut dengan baik, salah satunya sebagai pengobatan adiknya yang menderita autisme. Namun ternyata ibu tirinya menyia-nyiakan uang tersebut untuk kesenangan pribadi. Selama ini, Max mengira Lily adalah wanita matre yang hanya menginginkan uang. "Sial!" Max memukul kemudi setirnya dengan kesal. Lalu menepikan mobilnya ke pinggir jalan. Dia menyenderkan kepalanya ke kemudi setir dengan galau. Tadi Inda juga mengatakan kalau Lily pergi ke Paris untuk belajar sekolah desain. Tak disangka jika Lily memiliki bakat di bidang desain. Pantas saja Lily memilih bercerai lalu bekerja di butik Sandra. Bodohnya dia.
"Sebentar lagi aku ada urusan di Paris. James Dean memintaku untuk datang ke sana, membicarakan bisnis yang akan dia kembangkan di Eropa." Max menyesap kopi hitamnya, menyembunyikan tatapan dinginnya dari Eddie."James Dean?" Kening Eddie mengerut dalam. "Bukannya seminggu yang lalu dia baru saja kesini? Kenapa tiba-tiba mengajak bertemu di Paris?""Entahlah, mungkin dia sedang menemui keluarganya di sana." Eddie menatap lurus ke arah Max. "Aku akan ikut?" "Tentu saja tidak." Mendengar jawaban itu, Eddie sedikit lega. Pasalnya, dengan kepergian Max, sudah pasti dia akan bebas untuk bertemu dengan Olivia."Kau akan kuberi tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan di sini. Mungkin aku akan sedikit lama di Paris," lanjut Max.Eddie menyembunyikan rasa senangnya. "Oh ya? Berapa lama?""Mungkin sekitar tiga minggu. Aku akan mengajaknya Olivia juga bersamaku..."Raut wajah Eddie menegang. "Ke-kenapa? Ma-maksudku kau tidak mengajakku, tapi malah mengaja
Meskipun Max sudah menolak permintaan ibunya untuk ikut pergi ke Paris, namun akhirnya Max membiarkan sang ibu untuk ikut. Sepanjang perjalanan pergi ke bandara, ibunya dengan girang berbicara panjang dengan Olivia di bangku belakang. Sedangkan Max nampak santai duduk di depan mereka sambil fokus menatap ponsel. "Harusnya kau saja yang menjadi menantuku, bukan si gadis lumpuh yang gak berguna itu!" Suara Fernita terdengar penuh kebencian. Entah apa yang mereka bicarakan tadi, mau tak mau Max sedikit mendongakkan kepalanya karena penasaran. "Jangan begitu, Tante. Meskipun aku bukan menantu Tante, aku sudah menganggap Tante sebagai ibuku sendiri kok." Seperti biasa, Olivia bersikap sopan, ramah dan selalu bisa menyenangkan hati ibunya. "Tentu saja harus begitu... kau sudah lama kehilangan ibu, jadi anggap saja aku ini ibumu." Fernita menepuk punggung tangan Olivia dengan lembut. "Tapi, alangkah baiknya kalau kamu benar-benar bisa menikah dengan Max. Dari segi
"Belum pernah seperti itu?" Lily mengulangi ucapan Finley dengan menyatukan kedua alisnya. "Apa maksudnya?""Ah, tidak." Finley langsung menggelengkan kepalanya. "Mungkin hanya perasaanku saja."Lily memiringkan kepalanya, tatapannya terus lurus ke arah Finley yang terlihat gugup. Dia seperti sedang menyembunyikan sesuatu."Intinya, kalau tiba-tiba Larissa berbuat tidak baik padamu, katakan saja."***Setelah makan siang bersama Finley, Lily segera balik ke studio desain milik Larissa. Suasana di studio masih sepi karena Lily memang datang di saat jam istirahat, jadi Lily duduk di depan meja panjang sambil mengeluarkan buku sketsanya.Tadi pagi dia hanya menghadiri kelas selama dua jam saja, jadi dia memiliki waktu luang untuk jalan bersama Finley menyusuri keindahan kota Paris.Selang tak lama, tiba-tiba ada seseorang yang menaruh tas jinjing dengan keras di atas meja hingga mengagetkan Lily."Siapa yang suruh kamu untuk duduk di kursiku." Tatapan mata Cassandra nampak tidak bersahab
Cassandra menatap Lily dengan senyuman seringainya. "Siapa suruh berani merebut posisiku. Rasakan itu...," gumamnya penuh dendam.Lily memasuki ruangan khusus milik Larissa. Di dalam sana, dia duduk berhadapan dengan Larissa dan hanya sebuah meja yang menjadi penghalang mereka."Kau tahu kesalahanmu?" Alis Larissa yang tebal terlihat meninggi, sorot matanya tajam dan angkuh."Tidak tahu karena aku tidak bersalah." Lily berkata dengan datar. Dirinya memang tidak bersalah, jadi untuk apa mengatakan kalau dia salah?Larissa memijat pangkal hidungnya dengan pelan. "Kau itu kurang teliti, Lily."Kening Lily mengerut dalam. "Apa?"Kini sorot mata Larissa sedikit melembut. "Seharusnya kau mampu melindungi apa yang menjadi milikmu. Untuk proyek sekecil ini saja kau tidak bisa menjaganya, lalu bagaimana kalau kau menerima proyek yang lebih besar?"Lily terdiam, masih tak mengerti dengan ucapan Larissa."Kau tahu kalau aku akan ikut acara Paris Fashion Week bukan?" tanya Larissa."Tahu.""Kau
Di tengah terpaan angin sepoi malam yang dingin. Vina memegang erat cangkir mug yang berisi susu cokelat hangat.Vina sendiri merasa heran, sejak kapan dirinya jadi menyukai segelas susu rasa cokelat sedang dulunya dia lebih menyukai kopi susu yang diberi es batu di dalamnya.Mungkin sejak dirinya diberitahu dokter untuk tidak mengonsumsi minuman yang mengandung alkohol dan kafein. Vina jadi lebih memperhatikan minuman yang akan dia minum.Sebuah senyuman tipis terbit di wajahnya yang manis sambil mengelus perutnya yang masih rata."Meskipun nanti kau lahir dari keluarga yang tidak lengkap, tapi aku pastikan kasih sayang untukmu tidak akan pernah kurang," ucapnya pada janinnya yang berada di dalam rahim.Vina belum bisa menerima kehamilannya, sampai seminggu yang lalu dia memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan dan melihat janin kecil yang tumbuh dengan menakjubkan.Suara detak jantung janin yang teratur dan pernyataan dokter kalau janinnya berkembang sehat dan baik membuat pe
"Apa? Hamil?" Lily hampir berteriak jika tidak mengingat kalau dirinya ada di sebuah acara penting."Finley, kau becanda kan?" bisik Lily takut ada seseorang yang mendengar.Helaan napas keluar dari mulut Finley. "Aku tahu ini terdengar seperti lelucon. Tapi aku berkata jujur, kami tak sengaja melakukan..."Finley ikut memelankan suaranya. "...hubungan intim saat kami mabuk."Lily tidak tahu lagi apa yang harus dia katakan karena saat ini dia benar-benar terkejut.Vina dan Finley? Berhubungan intim? Terdengar tidak masuk akal."Aku tahu kamu pasti kaget, tapi ini benar adanya. Aku hanya khawatir padanya karena beberapa hari ini dia tidak bisa dihubungi. Dia bahkan bersembunyi, seolah tidak mau diajak bertemu." Raut wajah Finley nampak muram membuat Lily sedikit merasa kasihan.Keheningan terjadi sesaat."Kamu datang ke acara ini berharap aku bisa memberi informasi soal Vina?" tanya Lily yang dijawab Finley dengan anggukan kepala."Sayangnya aku sudah lama tidak menghubunginya," ujar L
"Lily?"Suara dari arah belakang yang memanggil membuat Lily menoleh. Kedua matanya terbelalak lebar mendapati Finley berjalan perlahan ke arahnya."Finley?" serunya yang membuat orang-orang disekitarnya terheran-heran."Ah, Tuan Finley. Kau sudah bersedia datang ke acaraku. Sungguh suatu kehormatan untukku." Arneth dan Samantha mendekati Finley yang membuatnya menghentikan langkah.Finley menoleh ke arah mereka berdua dan berkata, "Oh, Nyonya Arneth? Kau sudah sembuh? Ku dengar kau sehabis mengalami cidera di pergelangan tangan setelah bermain golf."Arneth tersenyum senang mendengar Finley sedikit perhatian padanya. "Benar, tapi sudah sembuh berkat putri saya yang telaten mengurus."Beberapa keponakan Kenneth memutar kedua bola matanya malas. Semua orang yang melihat pasti bisa menduga kalau Arneth sedang mempromosikan putrinya di depan Finley."Apa Tuan sedang mencari sesuatu?" tanya Samantha dengan memegang lengan Finley. Berada dekat dengan Finley adalah suatu kebanggan. Ketampan
"Dia adalah putriku, Laura Owen," jelas Kenneth sambil memperhatikan reaksi dari anggota keluarga besarnya.Beberapa dari mereka nampak terkejut hingga tidak bersuara tapi ada juga yang tertawa sinis seperti Samantha."Paman Kenneth, apa karena saking putus asa nya Paman sampai menganggap wanita murahan itu sebagai Laura?" Kenneth menatap tajam ke arah Samantha yang lagi-lagi bermulut tajam."Jangan marah dulu, Paman. Itu karena ucapan Paman terdengar mengada-ada." Ucapan Samantha dibenarkan oleh anggota keluarga yang lain."Samantha benar, Ken. Ucapanmu terdengar mengada-ada. Mana mungkin Laura yang dulunya sudah dinyatakan meninggal malah tiba-tiba muncul sebagai wanita yang sehat? Aku yakin dia pasti sudah menipumu!"Wina nampak panik, tetapi tidak dengan Lily. Dia yakin kalau Kenneth telah menyiapkan semuanya untuk menjelaskan kebenaran pada anggota keluarganya sendiri."Usir dia sekarang, Ken! Aku tidak sudi kalau dia mengotori hariku yang bahagia!" seru Arneth memojokkan Wina,
Sama seperti dirinya, Wina mengenakan gaun buatan Lily yang nampak mewah.Gaun panjang berwarna hijau emerald yang sudah lama Lily buat akhirnya dia pakai sekarang. Warna gaun itu menjadikan kulit Wina nampak lebih putih dan bersih. Meski gaun tersebut memiliki potongan yang sederhana, tetapi hiasan berupa berlian putih dua karat yang berada di sekeliling gaun menjadikannya nampak mewah dan istimewa.Lily menatap bangga pada hasil buatannya sendiri. Terlebih aura old money yang terpancar dari tubuh Wina menjadikan gaun itu melekat sempurna ditubuhnya."Mama juga nampak luar biasa," ujar Lily tersenyum bangga."Berkat karyamu yang sangat luar biasa, Sayang."Wina juga merasa begitu bangga mengenakan gaun buatan putrinya sendiri. Apalagi saat bercermin, Wina seperti merasa tidak mengenali diri sendiri.Bahkan perias yang memoles wajahnya tadi sempat terkejut dan menatapnya kagum dengan gaun yang nampak mewah."Anda terlihat sepuluh tahun lebih muda, Nyonya," puji si perias tadi tanpa di
"Nona, lihat apa?" Suara Grace memecah lamunan Lily.Helaan napas lega keluar dari mulut Lily saat melihat ke arah jalanan. Sudah tak lagi terlihat mobil milik Max yang baru saja meninggalkan rumahnya lewat jalan yang berlawanan arah dari Grace barusan.Tadinya Lily sudah hendak menyuruh Max pergi karena takut Grace melihat, tapi untungnya Max pergi sebelum Lily mengusirnya setelah menerima telepon yang Lily sendiri tidak tahu itu dari siapa.Wajah Max nampak khawatir dan juga marah saat menerima telepon tadi."Nona tidak apa-apa?" Grace kembali bertanya karena tak kunjung mendapat jawaban dari Lily.Lily menggeleng lemah. "Tidak apa-apa, aku hanya mengkhawatirkan mu tadi karena kamu tidak kunjung datang.""Maaf, Nona. Tadi jalanan cukup padat dan sempat macet." Grace menyeka keningnya yang sedikit berkeringat sambil menghela napas terlihat lelah. "Aku bahkan hampir pingsan karena cuaca yang cukup terik di luar," lanjutnya dengan mengeluh.Bibir Lily mengulas senyuman tipis dan menat
Max mendongak. Matanya tak sengaja melihat ke arah belakang Arsan--tepatnya yang berdiri di depan pintu.Max berdiri perlahan dan tertegun melihat kedatangan Lily yang secara tiba-tiba.Lily yang ditatap lama seperti itu menjadi salah tingkah hingga dia tak tahu harus menatap ke arah mana.Inda yang seolah paham pun berjalan mundur ke arah dapur. Dia ingin membiarkan ruang untuk kedua mantan majikannya itu bertemu.Berjalan perlahan, tatapan Max tak beralih dari Lily. Degupnya tiba-tiba berdebar lebih kencang. Tubuh Lily nampak lebih kurus dari terakhir kali bertemu.Untungnya luka-luka yang dulu pernah Max lihat sudah memudar, hanya menyisakan kulit putih yang bersih dan sehat.Tepat berada di depan Lily, Max bersuara, "Hai, apa kabar?" Lily sedikit terkejut, lalu menyelipkan anak rambut yang jatuh ke belakang telinganya. Entah mengapa dia begitu canggung berhadapan dengan Max. Rasa kecewa dan sakit di hatinya pada Max dulu entah menguap kemana."Kabarku baik," jawab Lily singkat."
Vina sedikit terkejut namun beberapa saat kemudian dia menyadari kalau lambat laun ibunya akan mengetahui soal kehamilannya.Tangan Vina memegang perutnya yang masih rata sambil bertanya, "Bagaimana Mama bisa tahu?"Sandra memegang keningnya yang berdenyut nyeri. "Ternyata itu benar," ujarnya lirih.Kemudian Sandra duduk di atas sofa panjang yang letaknya tak jauh dari ranjang Vina."Dokter yang memeriksa mengambil darahmu untuk cek lab. Dari sana Mama tahu kalau kamu hamil," lanjutnya.Dari ranjangnya, Vina menatap ibunya dengan rasa bersalah. Dapat dia rasakan betapa kecewanya sang ibu, melihat dari gerak-geriknya."Maafkan aku, Ma."Sandra menatap putri satu-satunya tersebut dengan sorot mata serius."Katakan pada Mama, siapa ayah dari janin itu? Mama tidak pernah tahu kamu pernah dekat dengan seseorang."Vina menggigit bibir bawahnya dengan resah."Itu-"Ucapan Vina terhenti oleh suara pintu yang dibuka dengan keras."Vina, apa benar kalau kamu hamil?" tanya Ayahnya, nampak marah
"Ku rasa insiden di masa lalu tidak perlu kita ungkit lagi, Ma." Lily menatap ibunya penuh kelembutan. kedua bola matanya nampak berkaca-kaca jika mengingat pernikahannya di masa lalu."Aku sudah bercerai dengan Max dan tidak ingin berhubungan apa-apa lagi dengannya," lanjutnya lirih.Grace yang sudah mendengar soal pernikahan Lily dengan Max pun menyentuh bahu Lily dan mengusapnya lembut."Nona benar. Untuk apa masih memikirkan masa lalu? Lebih baik mengikhlaskan kejadian buruk di masa lalu dan memilih melanjutkan kehidupan kini dengan sebaik-baiknya," tutur Grace memberi nasehat. Lily hanya tersenyum menanggapi itu."Sepertinya kamu sudah benar-benar ikhlas. Padahal Mama sudah menyiapkan rencana kalau kamu memang ingin membalaskan dendammu pada Max," ucap Wina.Lily menggigit bibir bawahnya. "Bukannya dia telah menyelamatkanku sewaktu penculikan kemarin terjadi? Anggap saja dia telah menebus kesalahannya di masa pernikahan kita dulu."Wina menatap Lily cukup lama sebelum akhirnya m