"Sebentar lagi aku ada urusan di Paris. James Dean memintaku untuk datang ke sana, membicarakan bisnis yang akan dia kembangkan di Eropa." Max menyesap kopi hitamnya, menyembunyikan tatapan dinginnya dari Eddie.
"James Dean?" Kening Eddie mengerut dalam. "Bukannya seminggu yang lalu dia baru saja kesini? Kenapa tiba-tiba mengajak bertemu di Paris?""Entahlah, mungkin dia sedang menemui keluarganya di sana."Eddie menatap lurus ke arah Max. "Aku akan ikut?""Tentu saja tidak." Mendengar jawaban itu, Eddie sedikit lega. Pasalnya, dengan kepergian Max, sudah pasti dia akan bebas untuk bertemu dengan Olivia."Kau akan kuberi tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan di sini. Mungkin aku akan sedikit lama di Paris," lanjut Max.Eddie menyembunyikan rasa senangnya. "Oh ya? Berapa lama?""Mungkin sekitar tiga minggu. Aku akan mengajaknya Olivia juga bersamaku..."Raut wajah Eddie menegang. "Ke-kenapa? Ma-maksudku kau tidak mengajakku, tapi malah mengajaMeskipun Max sudah menolak permintaan ibunya untuk ikut pergi ke Paris, namun akhirnya Max membiarkan sang ibu untuk ikut. Sepanjang perjalanan pergi ke bandara, ibunya dengan girang berbicara panjang dengan Olivia di bangku belakang. Sedangkan Max nampak santai duduk di depan mereka sambil fokus menatap ponsel. "Harusnya kau saja yang menjadi menantuku, bukan si gadis lumpuh yang gak berguna itu!" Suara Fernita terdengar penuh kebencian. Entah apa yang mereka bicarakan tadi, mau tak mau Max sedikit mendongakkan kepalanya karena penasaran. "Jangan begitu, Tante. Meskipun aku bukan menantu Tante, aku sudah menganggap Tante sebagai ibuku sendiri kok." Seperti biasa, Olivia bersikap sopan, ramah dan selalu bisa menyenangkan hati ibunya. "Tentu saja harus begitu... kau sudah lama kehilangan ibu, jadi anggap saja aku ini ibumu." Fernita menepuk punggung tangan Olivia dengan lembut. "Tapi, alangkah baiknya kalau kamu benar-benar bisa menikah dengan Max. Dari segi
"Belum pernah seperti itu?" Lily mengulangi ucapan Finley dengan menyatukan kedua alisnya. "Apa maksudnya?""Ah, tidak." Finley langsung menggelengkan kepalanya. "Mungkin hanya perasaanku saja."Lily memiringkan kepalanya, tatapannya terus lurus ke arah Finley yang terlihat gugup. Dia seperti sedang menyembunyikan sesuatu."Intinya, kalau tiba-tiba Larissa berbuat tidak baik padamu, katakan saja."***Setelah makan siang bersama Finley, Lily segera balik ke studio desain milik Larissa. Suasana di studio masih sepi karena Lily memang datang di saat jam istirahat, jadi Lily duduk di depan meja panjang sambil mengeluarkan buku sketsanya.Tadi pagi dia hanya menghadiri kelas selama dua jam saja, jadi dia memiliki waktu luang untuk jalan bersama Finley menyusuri keindahan kota Paris.Selang tak lama, tiba-tiba ada seseorang yang menaruh tas jinjing dengan keras di atas meja hingga mengagetkan Lily."Siapa yang suruh kamu untuk duduk di kursiku." Tatapan mata Cassandra nampak tidak bersahab
Cassandra menatap Lily dengan senyuman seringainya. "Siapa suruh berani merebut posisiku. Rasakan itu...," gumamnya penuh dendam.Lily memasuki ruangan khusus milik Larissa. Di dalam sana, dia duduk berhadapan dengan Larissa dan hanya sebuah meja yang menjadi penghalang mereka."Kau tahu kesalahanmu?" Alis Larissa yang tebal terlihat meninggi, sorot matanya tajam dan angkuh."Tidak tahu karena aku tidak bersalah." Lily berkata dengan datar. Dirinya memang tidak bersalah, jadi untuk apa mengatakan kalau dia salah?Larissa memijat pangkal hidungnya dengan pelan. "Kau itu kurang teliti, Lily."Kening Lily mengerut dalam. "Apa?"Kini sorot mata Larissa sedikit melembut. "Seharusnya kau mampu melindungi apa yang menjadi milikmu. Untuk proyek sekecil ini saja kau tidak bisa menjaganya, lalu bagaimana kalau kau menerima proyek yang lebih besar?"Lily terdiam, masih tak mengerti dengan ucapan Larissa."Kau tahu kalau aku akan ikut acara Paris Fashion Week bukan?" tanya Larissa."Tahu.""Kau
Melihat Lily meringis kesakitan. Anastasia semakin menekan tangan Lily. Tatapannya penuh antusias, seolah menyiksa orang adalah hal yang menyenangkan baginya. "Kau menggunakan tangan kananmu untuk menggambar bukan? Bagaimana kalau aku patahkan? Apa kau masih bisa menggambar nantinya?" Kedua mata Lily melebar. "Jangan!" Lily menggelengkan kepalanya kuat.Cassandra dan Anastasia kompak tertawa. Bahagia di atas penderitaan Lily.Tok. Tok. Tok.Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. "Apa ada orang di dalam? Kenapa pintu toilet dikunci?" Suara Jane terdengar dari arah luar.Cassandra dan Anastasia saling memandang lalu memberi isyarat. Anastasia melepas cengkeramannya dengan kasar. "Kau beruntung kali ini."Lily meringis kesakitan, memegang tangannya yang memerah dan terasa nyeri."Tunggu sebentar! Aku tidak sengaja mengunci pintunya," teriak Cassandra dari dalam. "Hei, Wanita Asia. Jangan senang dulu... urusan kita belum selesai. Aku hanya menund
Di kediaman Finley. Lily duduk di atas sofa dengan perasaan gelisah. Dia diajak Finley untuk menemani sang ibu makan malam. Sekarang mereka berdua duduk menunggu Donna dandan. Kebetulan ayahnya Finley tidak ikut karena sedang pergi ke luar negeri. "Kamu kenapa?" Finley menurunkan ponselnya setelah menyadari wajah Lily yang nampak resah. Lily mendongakkan kepalanya. "Apa kau tahu soal keluarga Blanchet?" Tatapan Finley berubah menjadi serius. "Blanchet?" "Ya, kebetulan rekan timku ada yang dari keluarga Blanchet, aku hanya penasaran saja karena belum pernah mendengar mereka." "Apa mereka mengusikmu?" Finley menatap lekat ke arah Lily. "Setahuku keluarga Blanchet memiliki bisnis haram yang sudah menjadi rahasia umum. Kau jangan terlalu dekat dengan anak keturunan mereka. Banyak dari mereka yang selalu berbuat onar tapi selalu terbebas dari hukuman." "Se-berbahaya itukah mereka?" Raut wajah Lily nampak takut, namun entah mengapa di mata Finley itu n
Lily mengedarkan pandangannya ke sekitaran saat dia sudah berada di luar restoran, namun sama sekali tidak terlihat keberadaan Finley. Gegas dia berjalan memutari restoran, barang kali Finley berada di belakang restoran.Saat pikirannya panik dan berada di tempat yang sepi, tiba-tiba tangannya ditarik seseorang ke arah ruangan kecil yang sedikit gelap.Lily langsung memejamkan matanya dan berteriak. "Jangan apa-apa kan aku!""Ssst!" Mulut Lily langsung dibekap. "Jangan berisik, nanti ada yang tahu."Suara rendah dan berat itu seketika membuat Lily membuka matanya. 'Max?' Lily menjerit dalam hati begitu melihat wajah Max yang tersorot sedikit cahaya dari luar, tengah membekap mulutnya dan menahan dirinya.Lily memberontak namun Max menahannya dengan keras. "Diamlah... ada seseorang yang membuntuti mu daritadi."Mendengar itu Lily langsung terdiam. Dia memutuskan untuk menatap Max yang sedang fokus memantau sekitar.Tubuhnya bergetar hebat karena tak menyangka bisa bertemu kembali deng
"Finley, tiba-tiba aku merasa tidak enak badan. Apa bisa aku pulang duluan?" tanya Lily setelah melepas pelukannya. Perasaannya menjadi sedikit baikan setelah melepas air mata yang tadi menggenang. Lalu baru menyadari jika kemeja Finley jadi basah karenanya. "Maaf, sudah buat kemeja mu jadi basah.""Tidak apa-apa." Finley menaikkan dagu Lily, untuk memeriksa apakah Lily benar-benar tidak enak badan. Namun mata Lily yang nampak sayu serta bibir tipis yang nampak kemerahan justru membuat Finley jadi tak fokus. "Ehem." Finley segera memalingkan wajahnya, mengusir rasa tak nyaman yang mendadak menggelitik nafsunya."Apa kamu tak nyaman dengan tempat ini? Kita bisa pindah tempat kalau kamu mau," tawarnya.Bukannya menjawab, Lily malah menatap ke samping--tepatnya ke arah jalanan dimana Max tadi berada. Max sudah pergi entah kemana.Finley mengikuti arah pandang Lily, lalu menjadi paham. "Apa yang aku lihat tadi benar-benar Maxwell?" Lily mengedipkan ma
Finley mengajak ibunya untuk pindah dari restoran sebelumnya ke sebuah restoran yang tempatnya agak jauh.Meski Donna heran, dia tidak banyak bertanya. Dia malah banyak tanya pada Lily karena Lily sedang tidak enak badan. Terlihat wajahnya pucat dan sorot matanya layu. "Kamu benar tidak mau minum wine?" tanya Donna setelah menyesap wine miliknya.Lily menggelengkan kepalanya lemah. "Tidak, Bu. Aku minum air putih saja, aku tidak terbiasa minum minuman beralkohol."Mendengar penjelasan Lily membuat Donna berpikir lebih keras. Dari tadi dia menduga kalau Lily tengah mengandung. "Lily, kapan menstruasi terakhirmu?""Menstruasi terakhir?" Lily mengerutkan keningnya dalam."Ya. Coba katakan kapan," desak Donna tak sabar.Finley yang mendengar hanya bersikap acuh tak acuh sambil menyesap winenya. Obrolan di antara wanita hanya akan dimengerti oleh wanita. Finley sama sekali tak mengerti apa yang sedang dimaksud ibunya."Emm... mungkin sekitar satu minggu y
"Hei, siapa yang kau sebut busuk, hah?" teriak Vina tak terima. "Justru yang busuk itu temanmu! Dia lah yang mencuri karya desain milik Lily."Dengan cepat Lily menarik lengan Vina dan menenangkannya. "Sudahlah, Vina. Jangan sampai ikut terpengaruh.""Kau tidak ingin membela diri? Dia sudah menjelek-jelekkanmu, Lily."Selain Vina, beberapa timnya yang mendengar keributan juga mulai keluar dan menunjuk wajah Olivia dengan berani."Iya, justru kalianlah yang menjiplak karya milik Nona Lily. Kalau bukan karena Nona Lily berbakat, kami pasti sudah dianggap plagiat. Padahal kalian lah yang mencuri karya desain milik Nona Lily secara diam-diam."Para tamu mulai gaduh karena saling berspekulasi.Seorang MC yang masih berada di situ pun nampak bingung dan berinisiatif menengahi permasalahan. "Mohon untuk tetap tenang. Acara ini bukan untuk ajang menjadi yang terbaik, jadi lebih baik tidak saling menyerang."Olivia ingin kembali bersuara untuk membuat para tamu terpengaruh ucapannya, namun ti
Beberapa jam setelahnya, acara sudah selesai dan berlangsung dengan lancar.Semua model dan para desainer berkumpul di tengah panggung untuk menikmati bagian akhir dari acara, yaitu penampilan salah satu dari penyanyi terkenal.Setelah musik berhenti, semua tamu mulai berdiri dan banyak diantara mereka mendatangi desainer kesukaan mereka.Diantara para desainer, terlihat Tamara dan Lily mendapat antusiasme tinggi."Hebat, aku sangat bangga kita memiliki desainer muda yang hebat.""Benar, aku yakin karya Tamara dan Lily bisa bersaing dengan karya desainer luar nantinya.Vina yang mendengar suara pujian-pujian itu hanya mampu memutar kedua bola matanya.Siapa yang bilang kalau itu karyanya Tamara? Itu semua adalah karya Lily yang dicuri oleh Tamara!"Lily, katakan apa yang sebenarnya terjadi tadi?" bisik Vina di telinga Lily.Masih dengan senyuman di wajahnya, Lily berbisik, "Nanti akan aku ceritakan waktu pulang. Ada banyak orang, tidak enak kalau
Setelah mendengar ucapan para karyawan yang setuju, Lily mulai menggenggam liontin kalung yang sudah lama dia kenakan saat hendak melakukan sesuatu yang besar.Kalung itu yang sempat dicuri oleh Mira dan kini mulai dia kenakan kembali karena ingin membuat ayahnya terus berada di sisinya di saat-saat yang genting.Dengan mengingat itu, Lily kembali tenang dan bisa berpikir dengan jernih."Baiklah, kita tidak boleh membiarkan lawan mengambil apa yang sudah kita kerjakan dengan keras. Siang dan malam sudah kita lalui dengan keringat bercucuran dan kedua tangan yang menjadi kapalan. Jangan sampai pihak lawan yang malah mengambil semua pujian dan keuntungan!""Itu benar!" Para tim mulai kembali bersemangat dan mendengarkan instruksi dari Lily.Setengah jam kemudian.Kini giliran Tamara untuk maju. Urutannya berada di nomor dua terakhir, itu sebelum milik Lily yang tampil menjadi penutup acara.Dengan percaya diri, Olivia memimpin para model untuk masuk.Pa
"Seseorang telah datang ke studio kita sebulan yang lalu." Lily duduk menghadap ke arah Vina yang tengah serius menatap layar laptop.Seketika Vina mendongak dengan tatapan bingung. "Seseorang? Siapa?"Lily menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu. Kemarin malam Linda memberitahu kalau pemilik ruko pernah memergoki seorang pria datang ke studio saat larut malam. Awalnya pemilik ruko mengira kalau pria itu bagian dari tim kita tapi akhirnya dia menyadari kalau tidak ada pria dalam tim kita."Wajah Vina semakin serius. "Kau sudah tanya ke pemilik ruko?""Sudah. Beliau bilang tidak terlalu memperhatikan sosoknya bagaimana. Hanya yakin kalau itu seorang pria. Pria itu mengenakan jaket dan wajahnya tertutupi masker."Vina menekan pangkal hidungnya. "Ini hal yang serius. Tim kita semuanya perempuan, akan sangat berbahaya jika sampai pria itu datang kembali lagi saat masih ada orang. Aku akan memasang kamera pengawas dan memberitahu para karyawan untuk jangan tinggal se
Lily keluar dari rumah Serena dengan perasaan tidak puas. Sebenarnya dia masih ingin tahu apa yang sedang Max lakukan di rumah Serena.Bukan karena peduli dengan Max, melainkan karena khawatir dengan Serena. Lily tahu Max hanya mencintai Olivia, dia takut kalau Serena akan menjadi sasaran Max yang selanjutnya. Serena adalah wanita yang baik. Meski dia berstatus janda, tapi usianya belum terlalu tua dan masih produktif. Kulitnya masih sangat kencang dan wajahnya juga menarik serta mempesona, sangat disayangkan jika hanya menjalin hubungan dengan Max yang tidak pernah mau membuka hatinya untuk wanita lain.Tetapi Lily harus fokus ke studio desain. Tadi saat Serena pamit untuk ke kamar mandi, Lily mendapat pesan dari Linda. Ada satu gaun yang belum selesai karena ada bahan kain yang telah habis stoknya.Jadi Lily harus pergi untuk membelinya terlebih dahulu lalu kembali ke studio desain.Waktu pelaksanaan fashion week sudah tinggal tujuh hari lagi. Lily merasa
Saat ini Serena sudah membawa Max ke tempat yang lebih nyaman, yaitu di sebuah ruangan yang dulunya dijadikan ruang kerja milik Ernes.Semua perabotan masih tertata rapi di sana, hanya saja tidak ada berkas ataupun barang di dalam lemari ataupun atas meja karena tidak ada lagi yang menggunakan ruangan ini.Serena menyuruh pelayan membawakan minuman dingin untuk Max. Cuaca sedang sedikit panas, akan terasa menyegarkan jika meminum sesuatu yang dingin seperti es teh.Mereka duduk berseberangan di sofa panjang lalu Max membuka suaranya dengan tenang, "Sekarang aku sudah tahu alasan Ernes begitu patuh pada Olivia."Mendengar itu, sorot mata Serena nampak muram lalu tersenyum pahit. Kiranya Max akan menyampaikan sesuatu yang penting, rupanya hanya hal sepele.Dia berharap terlalu tinggi."Memangnya ada alasan lain selain cinta buta pada Olivia?"Serena memang tidak tahu apa-apa. Yang dia ingat, Ernes menceraikannya lewat pesan singkat dan tidak menjelaskan apapun soal alasannya.Namun sete
"A-aku..." Max bingung bagaimana menjelaskannya pada Lily. Hubungannya dengan Serena sebenarnya hanya sekedar berteman saja. Tapi dia sudah membuat kesepakatan dengan Serena untuk menjadi kekasih pura-pura demi membalas dendam pada Olivia.Namun sejenak kemudian dia berpikir mengapa Lily menanyakan hal itu. Apa ada kemungkinan Lily masih peduli dengannya?"Tunggu, kenapa kau menanyakannya?" Max memiringkan kepalanya sembari berpikir.Lalu langkahnya sudah mendekat ke arah Lily begitu saja, mengikis jarak di antara mereka dengan perlahan. "Apa kau cemburu?" tanyanya sambil tersenyum menyeringai.Jarak mereka sudah sangat dekat namun Lily tak gentar. Meski dia dapat menghirup aroma napas Max yang segar dan juga melihat ketampanan Max yang begitu dekat. Dia harus tetap berdiri tegap.Sekilas, ingatan masa lalu saat Max pernah menjamah tubuhnya pun terlintas. Membuat Lily tanpa sadar memundurkan langkahnya."Aku hanya sekedar ingin bertanya, Max. Tidak ada hal lain." Lily berusaha bersi
Seperti biasa, Andri datang ke kantor Max saat malam. Dia akan melaporkan hasil pencariannya tentang alasan Ernes sangat patuh pada Olivia.Ini sedikit sulit karena Ernes adalah pria yang tertutup.Untung saja pencarian itu membuahkan hasil saat anak buah Andri yang terus membuntuti Ernes, mendapati kalau Ernes sangat sering mengunjungi sebuah rumah sakit. Tepatnya dia mendatangi dokter spesialis anak yang memang terkenal di rumah sakit tersebut.Dari situlah Andri mengetahui tentang sesuatu."Saya sudah mengetahui tentang alasan Ernes sangat patuh pada Nona Olivia, Tuan."Kedua mata Max menyipit dan terlihat tidak sabar. "Katakan.""Tuan Ernes membutuhkan darah Nona Olivia untuk anak sulung pertamanya."Kening Max mengerut dalam. "Apa maksudmu, Andri? Ceritakan lebih jelas lagi."Andri pun menceritakan soal pencariannya dari awal. Lalu dia menemukan fakta dari rumah sakit kalau putri sulung Ernes yang bernama Alina menderita penyakit hemofilia.Penyakit itu membuat Alina harus bergan
"Tidak perlu dipikirkan, Nona. Hati manusia memang bisa berubah. Mungkin saja dia mendapati penyesalan setelah perceraian dengan Nona tiga tahun lalu."Penjelasan Inda dapat menenangkan hati Lily sedikit.Terdapat tatapan sendu di mata Lily. "Kau benar. Memang menyebalkan sekali karena dia baru berubah setelah aku meminta perpisahan." "Lebih baik Nona segera istirahat dan jangan lagi memikirkan soal Tuan Max." Inda sangat mengetahui bagaimana dulu Max memperlakukan Lily selama mereka menikah.Tidak ada cinta dan kepedulian terhadap Lily yang membuat Inda tidak rela jika Lily memikirkan Max lagi. "Saya takut kalau Tuan Max membuat hati Nona menjadi berantakan lagi. Ingatlah soal mimpi-mimpi Nona yang masih banyak belum tercapai...""Ya, kau benar, Inda." Lily yang sempat goyah kembali mendapat pendiriannya lagi.'Max akan menjadi penghalangku lagi kalau sampai aku goyah,' batinnya.***Satu bulan berlalu.Kehidupan Lily berjalan dengan baik. Dia bisa fokus mengerjakan proyek gaun yan