"Finley, tiba-tiba aku merasa tidak enak badan. Apa bisa aku pulang duluan?" tanya Lily setelah melepas pelukannya.
Perasaannya menjadi sedikit baikan setelah melepas air mata yang tadi menggenang. Lalu baru menyadari jika kemeja Finley jadi basah karenanya. "Maaf, sudah buat kemeja mu jadi basah.""Tidak apa-apa."Finley menaikkan dagu Lily, untuk memeriksa apakah Lily benar-benar tidak enak badan. Namun mata Lily yang nampak sayu serta bibir tipis yang nampak kemerahan justru membuat Finley jadi tak fokus."Ehem." Finley segera memalingkan wajahnya, mengusir rasa tak nyaman yang mendadak menggelitik nafsunya."Apa kamu tak nyaman dengan tempat ini? Kita bisa pindah tempat kalau kamu mau," tawarnya.Bukannya menjawab, Lily malah menatap ke samping--tepatnya ke arah jalanan dimana Max tadi berada. Max sudah pergi entah kemana.Finley mengikuti arah pandang Lily, lalu menjadi paham. "Apa yang aku lihat tadi benar-benar Maxwell?"Lily mengedipkan maFinley mengajak ibunya untuk pindah dari restoran sebelumnya ke sebuah restoran yang tempatnya agak jauh.Meski Donna heran, dia tidak banyak bertanya. Dia malah banyak tanya pada Lily karena Lily sedang tidak enak badan. Terlihat wajahnya pucat dan sorot matanya layu. "Kamu benar tidak mau minum wine?" tanya Donna setelah menyesap wine miliknya.Lily menggelengkan kepalanya lemah. "Tidak, Bu. Aku minum air putih saja, aku tidak terbiasa minum minuman beralkohol."Mendengar penjelasan Lily membuat Donna berpikir lebih keras. Dari tadi dia menduga kalau Lily tengah mengandung. "Lily, kapan menstruasi terakhirmu?""Menstruasi terakhir?" Lily mengerutkan keningnya dalam."Ya. Coba katakan kapan," desak Donna tak sabar.Finley yang mendengar hanya bersikap acuh tak acuh sambil menyesap winenya. Obrolan di antara wanita hanya akan dimengerti oleh wanita. Finley sama sekali tak mengerti apa yang sedang dimaksud ibunya."Emm... mungkin sekitar satu minggu y
Wajah Olivia seketika memucat. Kalau Max semalam berada di rumah sakit, lalu siapa yang tidur dengannya kemarin malam?"Olivia? Olivia? Kamu masih di sana?" seru Fernita."Ah, e... yah." Olivia terlihat gugup dan bingung, pikirannya mengembara kemana-mana. "Apa kau bisa tidur dengan nyenyak tadi malam? Kemarin wajahmu terlihat sangat pucat," tukas Fernita khawatir."Te-tentu saja. Tidurku... tadi malam sangatlah nyenyak." Tangan Olivia terkepal erat. Saking nyenyak tidurnya, dia bahkan tidak bisa mengingat siapa pria yang sudah tidur bersamanya tadi malam."Syukurlah." Terdengar hembusan napas lega."Olivia, aku masih penasaran soal minuman yang sudah kau campur dengan obat perangsang tadi malam. Kenapa Max tidak bereaksi apapun? Dokter juga tidak mengatakan penyebab sakitnya karena sebuah obat perangsang atau sejenisnya, hanya mengatakan kalau yang dirasakan oleh Max karena masih ada keterkaitan dari kecelakaan dua tahun yang lalu."Tangan dan kaki Olivia menjadi terasa dingin. "M-
"Tidak mungkin. Mungkin Max hanya mengada-ada." Lily terlihat tidak peduli.Mengingat Max hanya akan membuat perasaannya tak karuan, jadi Lily berusaha untuk tidak menggubris.Lagipula, orang mana yang rela membuntutinya? Dia sendiri tidak merasa istimewa.Pasti Max hanya omong kosong untuk mengusik kehidupannya.Finley menatap ke arah Lily dengan perasaan cemas. Instingnya berkata kalau dia tidak tenang jika meninggalkan Lily sendirian di apartemen. "Bagaimana kalau ikut denganku ke luar kota?" tawarnya.Lily menolehkan kepala dengan mulut setengah terbuka. "Kenapa kamu berlebihan seperti itu? Sudah ku bilang kalau aku bukan anak kecil." Lily paling tidak suka dianggap tidak bisa.Masa dua tahun saat dia lumpuh telah membuat kenangan pahit yang membuatnya tak mau dipandang sebelah mata lagi oleh orang lain. "Kalau kamu benar-benar peduli, harusnya kamu yakin kalau aku bisa menjaga diriku dengan baik." Nada suara Lily terdengar meninggi. Raut wajahnya terlihat begitu kesal karena Fi
Saat terbangun, Lily menyadari jika dia sedang ada di rumah sakit. Tubuhnya tidak ada yang terasa sakit, hanya terasa lemas luar biasa. Punggung tangannya sudah tertancap infus, hal itu mengingatkan saat dirinya pingsan setelah berhubungan ranjang dengan Max.Seketika dia terbangun, takut jika semalam dia benar-benar diperkosa oleh pria berambut pirang kemarin. "Kau sudah bangun?" Suara berat itu mengejutkan Lily. Dia menoleh ke arah samping, menemukan Max sedang duduk menatapnya dari atas sofa."Max? Bagaimana bisa..." Lily menyipitkan matanya, berusaha mengingat saat-saat terakhir dia sebelum pingsan.Seingatnya saat pingsan, bukan Max yang keluar dari mobil. Lantas kenapa tiba-tiba Max sudah ada bersamanya di rumah sakit?"Aku sedang naik taksi saat aku perjalanan pulang dan tidak sengaja hampir menabrak mu yang berlari ke jalanan," jelas Max. Lalu dia berdiri dan menghampiri Lily dengan tatapan serius."Katakan, Lily. Apa yang sebenarnya terjadi? Kau ter
Satu bulan setelahnya, di apartemen Eddie.Bruk!Eddie mendorong Olivia hingga punggungnya terbentur dengan tembok. Olivia meringis kesakitan, merasakan punggungnya terasa ngilu saat berbenturan dengan tembok cukup keras."Apa katamu? Hamil?" bisik Eddie dengan kesal. Kedua tangannya mencengkeram bahu Olivia dengan erat. Tatapannya tajam dan rahangnya mengeras dengan otot-otot wajah yang sangat terlihat."Kamu pikir aku bodoh? Kamu pergi ke Paris selama kurang lebih satu bulan lalu sebulan kemudian kamu datang mengadu padaku kalau kamu hamil?" Eddie tertawa pahit, terlihat kilatan amarah di sorot matanya. "Kamu ngaco!""Kita hanya berhubungan badan selama satu kali setelah kepulangan mu dari Paris, itupun aku mengeluarkan milikku saat pelepasan. Katakan Olivia... benih siapa yang berada di rahimmu? Tidak mungkin itu milik Max kan?" Jika Olivia mengandung anak Max, tidak mungkin dia malah datang kemari sambil berkata kalau dia hamil anak Eddie.Sambil men
"Ternyata Finley yang membukakan jalan untuk istrimu di sini, Max. Pria itu memiliki koneksi yang besar dengan mengandalkan latar belakang keluarganya." James menyodorkan minuman soda ke gelas Max.Keduanya berada di kediaman James setelah menemukan informasi tentang Finley yang diminta Max.Max menatap minuman itu dengan pandangan menerawang, perkataan Lily saat di rumah sakit kemarin masih terngiang-ngiang dalam benaknya."Tentang pria berambut pirang, aku rasa bawahan ku sudah menemukan tentangnya. Terpantau di rekaman pengawas di lorong apartemen, ada pria berambut pirang yang mengejar istrimu dan dia bagian dari keluarga Blanchet." James mendekatkan wajahnya ke arah Max yang duduk berseberangan dengannya. "Menariknya rekan kerja Lily ada yang berasal dari keluarga Blanchet. Entah ini ada hubungannya atau tidak, aku belum mendapat info lanjutannya."Kening Max mengerut dalam. "Rekan kerja?"James menatap Max dengan tatapan mengejek. "Dia itu istrimu atau buka
Tiga tahun kemudian.Lily telah menyelesaikan pendidikan sekolah desain selama dua tahun lalu mencoba mendirikan sebuah brand fashion bersama Vina yang mengerti tentang bisnis.Brand fashion tersebut bernama Elvi merupakan singkatan dari nama Lily dan Vina. Hanya dalam waktu satu tahun setelah Elvi didirikan, Elvi dapat bersaing dengan fashion brand terkenal lainnya yang berada di Paris.Vina berjuang mati-matian saat mendirikan perusahaan bersama Lily. Tadinya orang-orang meremehkan karena produk awal yang Lily buat dinilai tidak mampu bersaing dengan produk brand-brand lainnya. Tapi Vina tidak menyerah, dia mengerahkan uang dan waktunya untuk promosi produk-produk Elvi agar terus laku di pasaran. Tak lupa dia dan Lily terus mengamati tren yang diinginkan di pasaran.Tepat dua bulan yang lalu, tiba-tiba produk Elvi meledak di pasaran dan nama mereka menjadi perbincangan banyak orang. Itu karena mereka telah berhasil membuat kerja sama dengan artis dunia ya
Untungnya, setelah mengatakan itu Finley langsung tak sadarkan diri. Jadi Lily tak harus bersusah payah menjawab ucapan Finley.Perasaannya pada Finley hanya sebatas kagum karena kebaikan yang dilakukan Finley untuknya begitu luar biasa.Lily hanya akan merasa canggung jika dia menolak perasaan Finley namun juga tidak mau menerima cintanya karena tidak ingin terikat dengan seorang pria, setidaknya untuk saat ini saja.Lily pun mencari ponselnya di dalam tas jinjing lalu menelepon Hana untuk menyuruh seseorang membopong Finley pulang.Beberapa saat kemudian.Hana datang dengan dua pria berseragam dan bertubuh tegap.Lily menduga, dua pria itu adalah seorang bodyguard jika dilihat dari jenis seragamnya."Maaf, karena telah merepotkan. Entah kenapa akhir-akhir ini Tuan Finley menjadi seorang pemabuk, aku bahkan tidak tahu kalau Tuan pergi ke apartemen Nona," ujar Hana merasa tidak enak.Tatapan Hana muram saat melihat Finley yang masih tergeletak di lant
Atas instruksi sang sopir, Lily berhasil mengemudikan mobil sampai ke rumah sakit yang paling dekat. Sang sopir langsung ditangani oleh dokter dan dijadwalkan operasi untuk mengambil sisa peluru yang masuk ke dalam kaki.Sesaat kemudian, Lily dijemput oleh Kenneth dan beberapa pengawal. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Kenneth sambil meneliti tubuh Lily dengan seksama. "Tidak ada yang terluka, Kan?"Lily menggelengkan kepalanya. "Aku tidak apa-apa, Pa. Hanya Pak sopir yang terluka di bagian kaki karena terkena tembakan."Helaan napas berat keluar dari mulut Kenneth. "Syukurlah. Dia sudah menjalankan tugasnya dengan baik."Mendengar itu, Lily menatap Kenneth dengan air muka serius. "Pa, sebenarnya apa yang terjadi?""Masuk dulu ke dalam mobil. Akan Papa ceritakan semuanya di dalam nanti," jawab Kenneth.Mereka pun masuk ke dalam mobil. Saat beberapa meter mobil sudah berjalan, Lily mendesak Kenneth untuk berbicara."Begini, Lily. Sebenarnya dari dulu Papa sudah mengetahui ada sesuatu yang
Di tengah perjalanan pulang, Lily masih memikirkan soal ucapan Inda. Sengaja dia pulang tanpa berpamitan dengan Max karena ingin menghindar dulu. Untuk saat ini, Lily sendiri tidak tahu apakah bisa menahan diri jika bertemu dengan Max lagi. Pesona yang dipancarkannya sekarang sangat berbeda dengan dulu.Kalau dulu Max nampak dingin, tak tersentuh dan juga kaku. Kalau sekarang, Max terlihat lebih hangat dan juga terang-terangan terus menggoda Lily. Bagi Lily itu tentu saja bahaya. Mereka adalah pasangan mantan suami-istri, bukan suami-istri yang saling mencintai.Ponselnya yang sudah dia charge sebelumnya terus berdering. Lily melihat layar ponsel sejenak lalu mengabaikan dering tersebut.Panggilan telepon itu datang dari Max. Lily ingin menghindarinya sejenak sampai dia sudah siap.Beberapa saat kemudian, ponselnya kembali berdenting singkat. Sebuah pesan dari Vina masuk.[Aku tahu kamu sibuk, tapi bisakah kamu datang ke rumah untuk menemaniku? Aku sangat sedang butuh seseorang seka
Lamunan Lily buyar saat Max menurunkan Lily di depan bath tub. Selimut langsung terlepas karena Lily tidak memeganginya. Otomatis, Lily memegangi tubuhnya dengan kedua tangan.Max kembali tertawa lalu meraih dagu Lily dengan lembut."Ngapain ditutupin? Aku udah melihat semuanya, Lily. Sekujur tubuhmu itu rasanya... sangat manis."Ucapan Max terdengar sangat lembut dan mesra. Apalagi sorot matanya yang nampak berkabut dan penuh gairah, membuat Lily membayangkan lagi adegan saat mereka bermesraan di atas ranjang. Seharusnya Lily segera menjauh karena tidak ingin terlena lagi oleh bualan manis dari mantan suaminya itu. Tapi apa daya, Lily ingin sekali lagi merasakan kehangatan yang ditawarkan oleh Max.Alhasil, saat bibir Max mendarat di bibirnya, Lily langsung membalas dan terjadi pergulatan lagi di dalam kamar mandi.Entah mereka melakukannya yang ke-berapa kali, yang jelas perlakuan Max membuat Lily menjadi candu.Inikah yang dinamakan gairah? Membuat candu dan begitu dahsyatnya hin
Pagi menjelang. Matahari masih nampak malu-malu untuk keluar, angin dingin berhembus kencang yang membuat Inda merapatkan jaketnya untuk menutupi tubuhnya yang menggigil kedinginan.Semalam hujan terus turun yang membuat jalanan masih basah, membuat Inda yang baru pulang dari kampung halaman berjalan perlahan memasuki rumah agar tidak terpeleset.Keningnya mengernyit saat melihat ada dua mobil yang terparkir rapi di depan rumah. Seingatnya, hanya Max yang seharusnya datang ke rumah untuk menemani Arsan. "Yang satu mobil milik Tuan Max dan yang satunya lagi milik siapa?" Inda bertanya dalam gumaman.Mengabaikan hal itu, Inda segera masuk agar mengetahui siapa yang datang ke rumah selain Max.Begitu masuk, Inda terkejut melihat ada seorang pria yang tertidur di atas sofa. Dari seragamnya, Inda yakin kalau dia hanyalah seorang sopir.Firasatnya menjadi tidak baik. Tempat pertama yang dia tuju adalah kamar Arsan. Inda selalu khawatir pada Arsan karena telah meninggalkannya selama sehari
Sekujur tubuh Lily meremang. Otaknya membeku saat Lily dapat merasakan bibir Max yang kenyal, basah dan juga dingin, menempel erat di bibirnya yang hangat.Detik selanjutnya, Lily langsung tersadar. Dia segera melepaskan diri lalu memukul bahu Max dengan keras."Apa-apaan kamu, Max?"Namun Max malah menyengir kuda. "Pipimu merah padahal itu baru permulaan." Lily memegang pipinya yang memang terasa panas. "Apa maksudmu pipiku tidak-"Belum sempat Lily meneruskan ucapannya, Max sudah membungkam mulut Lily lagi dengan bibirnya. Kedua mata Lily membulat. Dia memberontak sekuat tenaga, tapi tenaga Max begitu kuat. Tangan kiri memegang leher Lily sedang tangan kanannya meraih pinggang Lily dengan kuat.Lily berusaha memukul dada Max agar ciumannya terlepas, tapi malah ciuman Max semakin dalam. Dia ingin protes, tapi bibirnya yang terbuka malah membuat Max semakin mudah melancarkan pagutannya.Pagutan Max terasa begitu lembut di bibir bawahnya, diiringi dengan pagutan yang lain di bibir a
"Tapi tadi dia nyariin kamu, Max. Bukan nyari seekor anak anjing," kata Lily. "Kecuali kalau anak anjing itu panggilannya juga sama denganmu."Alih-alih tersinggung, Max malah tertawa. "Mungkin Arsan ke sana karena berharap aku akan datang untuk menemuinya di sana. Aku cukup sering datang ke warung itu."Meskipun Lily sangat terkejut mendengar perkataan Max soal dia yang sering datang ke warung itu, Lily memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. Baginya urusan Max tidak lagi menjadi urusannya.Lalu pandangan Lily jatuh ke arah baju Max yang tepiannya basah. "Bajumu basah. Apa kau bawa baju ganti?""Tidak.""Kalau gitu pakai handuk yang ada di kamar mandi dulu, nanti aku buatkan baju baru untukmu.""Kau akan buatkan baju untukku?""Ya. Kenapa? Di sini gak ada baju pria yang ukurannya pas buat kamu, kecuali kalau kamu mau pakai baju wanita. Gimana? Kamu mau?""Enggak," jawab Max menggeleng cepat. "Aku hanya takut kalau merepotkanmu."Wajah Max yang terlihat takut membuat Lily menahan t
"Adik, Nona?" Kedua alis si sopir saling menyatu. "Kayaknya gak ada siapapun yang keluar lewat sini, Nona. Dari tadi saya duduk di kursi teras ini kok."Pikiran Lily langsung kacau. Arsan bukanlah anak yang suka keluar dan bertemu dengan orang. Kalau sampai Arsan panik dan tantrum di jalan, itu bisa membahayakan dirinya sendiri. Apalagi jalanan sangat ramai oleh kendaraan pribadi.Lily memutuskan untuk mengecek seluruh isi rumah sekali lagi. Setelahnya dia baru sadar kalau Arsan keluar melalui pintu belakang, tepatnya yang menjadi penghubung antara teras belakang dengan dapur. "Kemana kamu, Arsan?" gumam Lily penuh khawatir.Karena Lily tidak tahu harus mencari dimana, Lily mengajak sang sopir untuk mencari Arsan dengan mobil. "Mau dicari kemana, Nona?" tanya si sopir."Kemana aja, Pak. Asal adik saya bisa ketemu.""Tapi, Non. Kata Nyonya Wina, Anda harus segera pulang. Kalau saya gak bisa nganterin Nona pulang tepat waktu, bisa-bisa saya yang akan kena omel nantinya.""Gak usah kha
Lily tersentak dan menjadi canggung. "Mmm... baru saja," jawabnya sambil menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Seketika dia tersadar atas apa yang dilakukannya. Dia pun kembali meluruskan anak rambutnya.Max tersenyum lebar. Rasanya dia sudah lama tidak melihat Lily. Wajahnya nampak lebih segar dan pipinya semakin bulat. Jika dia pikir-pikir, keadaan Lily jauh berbeda dibanding saat menikah dengannya dulu."Mau ketemu dengan Arsan? Kebetulan aku mau pulang karena ada urusan, jadi aku bisa menitipkannya padamu sebentar," ucap Max."Memangnya Inda kemana? Kenapa dia menitipkannya padamu?""Tadi pagi dia ditelepon kalau ada saudaranya yang meninggal. Jadi dia harus pulang selama sehari semalam. Mungkin besok pagi dia baru pulang."Kening Lily mengerut dalam. "Kok dia gak ngabarin aku? Malah ngasih tahu kamu?"Max mengangkat kedua bahunya. "Entah. Mungkin karena kamu sulit untuk dihubungi? Ini bukan pertama kalinya kok. Dia juga pernah menitipkan Arsan padaku selama dua hari.""Dua
Di tengah keramaian kafe, Lily melihat Vina yang duduk di salah satu kursi sendirian di antara banyaknya pengunjung. Dia sudah menghubungi Vina untuk bertemu di kafe saja.Mata Lily berkilat senang, pasalnya sudah lama dia tidak bertemu dengan sahabatnya itu. Tangannya segera terangkat untuk melambai dan memanggil namanya. Sahabatnya itu segera menoleh dan senyuman lebar langsung merekah di wajahnya."Lily!" teriaknya sambil berdiri menyambut kedatangan Lily.Mereka berdua pun saling berpelukan erat."Bagaimana kabarmu?" tanya Vina begitu pelukan mereka sudah terlepas."Aku baik. Bahkan lebih baik."Vina bernapas lega, ada perasaan senang melihat wajah Lily yang nampak lebih cantik dan segar. "Syukurlah... apa Tuan Kenneth dan Nyonya Wina memperlakukanmu dengan baik?""Tentu saja. Mereka orang tua kandungku, tidak mungkin mereka menyia-nyiakan anak yang telah lama mereka kira sudah meninggal." Lily meneliti wajah Vina yang nampak kusam dan juga letih. "Lalu bagaimana denganmu? Kuden