Di kediaman Finley.
Lily duduk di atas sofa dengan perasaan gelisah. Dia diajak Finley untuk menemani sang ibu makan malam. Sekarang mereka berdua duduk menunggu Donna dandan. Kebetulan ayahnya Finley tidak ikut karena sedang pergi ke luar negeri. "Kamu kenapa?" Finley menurunkan ponselnya setelah menyadari wajah Lily yang nampak resah. Lily mendongakkan kepalanya. "Apa kau tahu soal keluarga Blanchet?" Tatapan Finley berubah menjadi serius. "Blanchet?" "Ya, kebetulan rekan timku ada yang dari keluarga Blanchet, aku hanya penasaran saja karena belum pernah mendengar mereka." "Apa mereka mengusikmu?" Finley menatap lekat ke arah Lily. "Setahuku keluarga Blanchet memiliki bisnis haram yang sudah menjadi rahasia umum. Kau jangan terlalu dekat dengan anak keturunan mereka. Banyak dari mereka yang selalu berbuat onar tapi selalu terbebas dari hukuman." "Se-berbahaya itukah mereka?" Raut wajah Lily nampak takut, namun entah mengapa di mata Finley itu nLily mengedarkan pandangannya ke sekitaran saat dia sudah berada di luar restoran, namun sama sekali tidak terlihat keberadaan Finley. Gegas dia berjalan memutari restoran, barang kali Finley berada di belakang restoran.Saat pikirannya panik dan berada di tempat yang sepi, tiba-tiba tangannya ditarik seseorang ke arah ruangan kecil yang sedikit gelap.Lily langsung memejamkan matanya dan berteriak. "Jangan apa-apa kan aku!""Ssst!" Mulut Lily langsung dibekap. "Jangan berisik, nanti ada yang tahu."Suara rendah dan berat itu seketika membuat Lily membuka matanya. 'Max?' Lily menjerit dalam hati begitu melihat wajah Max yang tersorot sedikit cahaya dari luar, tengah membekap mulutnya dan menahan dirinya.Lily memberontak namun Max menahannya dengan keras. "Diamlah... ada seseorang yang membuntuti mu daritadi."Mendengar itu Lily langsung terdiam. Dia memutuskan untuk menatap Max yang sedang fokus memantau sekitar.Tubuhnya bergetar hebat karena tak menyangka bisa bertemu kembali deng
"Finley, tiba-tiba aku merasa tidak enak badan. Apa bisa aku pulang duluan?" tanya Lily setelah melepas pelukannya. Perasaannya menjadi sedikit baikan setelah melepas air mata yang tadi menggenang. Lalu baru menyadari jika kemeja Finley jadi basah karenanya. "Maaf, sudah buat kemeja mu jadi basah.""Tidak apa-apa." Finley menaikkan dagu Lily, untuk memeriksa apakah Lily benar-benar tidak enak badan. Namun mata Lily yang nampak sayu serta bibir tipis yang nampak kemerahan justru membuat Finley jadi tak fokus. "Ehem." Finley segera memalingkan wajahnya, mengusir rasa tak nyaman yang mendadak menggelitik nafsunya."Apa kamu tak nyaman dengan tempat ini? Kita bisa pindah tempat kalau kamu mau," tawarnya.Bukannya menjawab, Lily malah menatap ke samping--tepatnya ke arah jalanan dimana Max tadi berada. Max sudah pergi entah kemana.Finley mengikuti arah pandang Lily, lalu menjadi paham. "Apa yang aku lihat tadi benar-benar Maxwell?" Lily mengedipkan ma
Finley mengajak ibunya untuk pindah dari restoran sebelumnya ke sebuah restoran yang tempatnya agak jauh.Meski Donna heran, dia tidak banyak bertanya. Dia malah banyak tanya pada Lily karena Lily sedang tidak enak badan. Terlihat wajahnya pucat dan sorot matanya layu. "Kamu benar tidak mau minum wine?" tanya Donna setelah menyesap wine miliknya.Lily menggelengkan kepalanya lemah. "Tidak, Bu. Aku minum air putih saja, aku tidak terbiasa minum minuman beralkohol."Mendengar penjelasan Lily membuat Donna berpikir lebih keras. Dari tadi dia menduga kalau Lily tengah mengandung. "Lily, kapan menstruasi terakhirmu?""Menstruasi terakhir?" Lily mengerutkan keningnya dalam."Ya. Coba katakan kapan," desak Donna tak sabar.Finley yang mendengar hanya bersikap acuh tak acuh sambil menyesap winenya. Obrolan di antara wanita hanya akan dimengerti oleh wanita. Finley sama sekali tak mengerti apa yang sedang dimaksud ibunya."Emm... mungkin sekitar satu minggu y
Wajah Olivia seketika memucat. Kalau Max semalam berada di rumah sakit, lalu siapa yang tidur dengannya kemarin malam?"Olivia? Olivia? Kamu masih di sana?" seru Fernita."Ah, e... yah." Olivia terlihat gugup dan bingung, pikirannya mengembara kemana-mana. "Apa kau bisa tidur dengan nyenyak tadi malam? Kemarin wajahmu terlihat sangat pucat," tukas Fernita khawatir."Te-tentu saja. Tidurku... tadi malam sangatlah nyenyak." Tangan Olivia terkepal erat. Saking nyenyak tidurnya, dia bahkan tidak bisa mengingat siapa pria yang sudah tidur bersamanya tadi malam."Syukurlah." Terdengar hembusan napas lega."Olivia, aku masih penasaran soal minuman yang sudah kau campur dengan obat perangsang tadi malam. Kenapa Max tidak bereaksi apapun? Dokter juga tidak mengatakan penyebab sakitnya karena sebuah obat perangsang atau sejenisnya, hanya mengatakan kalau yang dirasakan oleh Max karena masih ada keterkaitan dari kecelakaan dua tahun yang lalu."Tangan dan kaki Olivia menjadi terasa dingin. "M-
"Tidak mungkin. Mungkin Max hanya mengada-ada." Lily terlihat tidak peduli.Mengingat Max hanya akan membuat perasaannya tak karuan, jadi Lily berusaha untuk tidak menggubris.Lagipula, orang mana yang rela membuntutinya? Dia sendiri tidak merasa istimewa.Pasti Max hanya omong kosong untuk mengusik kehidupannya.Finley menatap ke arah Lily dengan perasaan cemas. Instingnya berkata kalau dia tidak tenang jika meninggalkan Lily sendirian di apartemen. "Bagaimana kalau ikut denganku ke luar kota?" tawarnya.Lily menolehkan kepala dengan mulut setengah terbuka. "Kenapa kamu berlebihan seperti itu? Sudah ku bilang kalau aku bukan anak kecil." Lily paling tidak suka dianggap tidak bisa.Masa dua tahun saat dia lumpuh telah membuat kenangan pahit yang membuatnya tak mau dipandang sebelah mata lagi oleh orang lain. "Kalau kamu benar-benar peduli, harusnya kamu yakin kalau aku bisa menjaga diriku dengan baik." Nada suara Lily terdengar meninggi. Raut wajahnya terlihat begitu kesal karena Fi
Saat terbangun, Lily menyadari jika dia sedang ada di rumah sakit. Tubuhnya tidak ada yang terasa sakit, hanya terasa lemas luar biasa. Punggung tangannya sudah tertancap infus, hal itu mengingatkan saat dirinya pingsan setelah berhubungan ranjang dengan Max.Seketika dia terbangun, takut jika semalam dia benar-benar diperkosa oleh pria berambut pirang kemarin. "Kau sudah bangun?" Suara berat itu mengejutkan Lily. Dia menoleh ke arah samping, menemukan Max sedang duduk menatapnya dari atas sofa."Max? Bagaimana bisa..." Lily menyipitkan matanya, berusaha mengingat saat-saat terakhir dia sebelum pingsan.Seingatnya saat pingsan, bukan Max yang keluar dari mobil. Lantas kenapa tiba-tiba Max sudah ada bersamanya di rumah sakit?"Aku sedang naik taksi saat aku perjalanan pulang dan tidak sengaja hampir menabrak mu yang berlari ke jalanan," jelas Max. Lalu dia berdiri dan menghampiri Lily dengan tatapan serius."Katakan, Lily. Apa yang sebenarnya terjadi? Kau ter
Satu bulan setelahnya, di apartemen Eddie.Bruk!Eddie mendorong Olivia hingga punggungnya terbentur dengan tembok. Olivia meringis kesakitan, merasakan punggungnya terasa ngilu saat berbenturan dengan tembok cukup keras."Apa katamu? Hamil?" bisik Eddie dengan kesal. Kedua tangannya mencengkeram bahu Olivia dengan erat. Tatapannya tajam dan rahangnya mengeras dengan otot-otot wajah yang sangat terlihat."Kamu pikir aku bodoh? Kamu pergi ke Paris selama kurang lebih satu bulan lalu sebulan kemudian kamu datang mengadu padaku kalau kamu hamil?" Eddie tertawa pahit, terlihat kilatan amarah di sorot matanya. "Kamu ngaco!""Kita hanya berhubungan badan selama satu kali setelah kepulangan mu dari Paris, itupun aku mengeluarkan milikku saat pelepasan. Katakan Olivia... benih siapa yang berada di rahimmu? Tidak mungkin itu milik Max kan?" Jika Olivia mengandung anak Max, tidak mungkin dia malah datang kemari sambil berkata kalau dia hamil anak Eddie.Sambil men
"Ternyata Finley yang membukakan jalan untuk istrimu di sini, Max. Pria itu memiliki koneksi yang besar dengan mengandalkan latar belakang keluarganya." James menyodorkan minuman soda ke gelas Max.Keduanya berada di kediaman James setelah menemukan informasi tentang Finley yang diminta Max.Max menatap minuman itu dengan pandangan menerawang, perkataan Lily saat di rumah sakit kemarin masih terngiang-ngiang dalam benaknya."Tentang pria berambut pirang, aku rasa bawahan ku sudah menemukan tentangnya. Terpantau di rekaman pengawas di lorong apartemen, ada pria berambut pirang yang mengejar istrimu dan dia bagian dari keluarga Blanchet." James mendekatkan wajahnya ke arah Max yang duduk berseberangan dengannya. "Menariknya rekan kerja Lily ada yang berasal dari keluarga Blanchet. Entah ini ada hubungannya atau tidak, aku belum mendapat info lanjutannya."Kening Max mengerut dalam. "Rekan kerja?"James menatap Max dengan tatapan mengejek. "Dia itu istrimu atau buka
"Hamil?" gumam Finley pelan. Kejadian hamil tidak pernah terbayangkan dalam hidup Finley. Dia selalu melakukan hubungan dengan aman, tidak pernah menumpahkan cairannya di dalam rahim lawan mainnya."Nikah saja kalau begitu," jawabnya enteng.Vina membuang pandangannya seraya mendengus pelan. Kedua sudut matanya sudah memerah dan juga nampak berair. "Entengnya kamu bicara," ujar Vina kesal sambil menatap ke arah jendela dengan menahan air matanya yang hendak keluar.Finley ikut berdiri dan menatap punggung Vina dengan kening mengernyit. "Kalau begitu mau kamu apa? Nasi sudah menjadi bubur, tidak mungkin kita kembali ke masa lalu untuk memperbaikinya."Vina nampak terdiam, tidak ada gerakan apapun dari arah punggungnya. Finley pun melanjutkan, "Yang bisa kita lakukan hanyalah mengatasi masalah yang akan timbul setelah perbuatan semalam."Tatapan Finley nampak muram tetapi tetap ada keseriusan di dalam sorot matanya. "Kalau memang kamu hamil nantinya, aku bersedia untuk bertanggung jaw
Vina menatap Finley tanpa mengedipkan mata, sesaat ada tatapan kecewa namun itu hanya sebentar.Vina tertawa dengan keras lalu berkata, "Kalau ingin membuatku menyerah, jangan berkata omong kosong. Mana mungkin Ivan yang gagah macho itu malah menyukai pria?"Tawa Vina begitu keras hingga keluar air mata dari sudut matanya. Finley begitu kejam, mengatakan hal-hal yang tak masuk akal demi membuatnya menyerah.Finley memutar kedua bola matanya dengan malas. "Terserah."Lalu kembali meminum botol alkoholnya hingga habis. Vina melihat Finley yang tengah minum dengan perasaan kacau. Jika Ivan hanya tidak menyukainya, dia bisa terus berjuang agar Ivan bisa melihat ke arahnya.Tetapi kalau benar Ivan suka pria, mau Vina berguling-guling atau memohon pun Ivan tak akan menyukainya.Vina membuang pandangannya lalu menatap ke sembarang arah dengan mata buram.Pantas saja Ivan selalu bersikap dingin dan cuek padanya.Setelah dipikir-pikir, Ivan selalu begitu pada setiap wanita. Awalnya dia berpi
Vina sedang ada acara keluarga di hotel bintang lima yang kemudian tak sengaja melihat Ivan saat sedang berjalan ke arah lift."Ivan? Rupanya yang aku lihat itu benar kamu?" tanyanya setelah memastikan jika seorang pria bertubuh tegap dan tinggi itu adalah Ivan.Ivan terlihat tak nyaman, dia mengalihkan pandangannya dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Saya sedang ditugaskan di sini."Meskipun Ivan selalu bersikap cuek dan dingin padanya, tetap Vina tidak menyerah. Baginya sikap Ivan yang seperti itu malah membuatnya semakin tergila-gila. Ivan semakin tampan dengan wajahnya yang dingin itu."Oh ya? Kebetulan sekali dong, aku juga sedang ada acara di sini. Jangan-jangan kita berjodoh kali ya..."Vina terkekeh pelan dan terdapat semburat merah di pipinya saat ini.Ivan merasa malu, lalu menoleh ke arah temannya, Norman yang sedang menahan tawanya saat ini."Kalau begitu, saya permisi dulu, Nona. Saya masih harus bertugas menjaga Tuan Finley."Vina segera menghentikan Ivan. "Apa?
"Bu, sebenarnya aku dan Lily hanya pura-pura berpacaran."Saat ini Finley yang tengah duduk berhadapan dengan sang ibu, hanya mampu menundukkan pandangannya, tak berani bertatapan langsung.Tadi Donna bersikeras untuk mengajak Finley menjenguk Lily di rumah sakit. Donna berkata, "Kau sangat tidak perhatian pada kekasihmu sendiri, Finley. Lily sedang sakit, harusnya kamu lebih sering berkunjung dan menemaninya supaya lebih cepat pulih."Sebenarnya Donna sudah dijadwalkan pulang sejak beberapa hari yang lalu, namun Donna memutuskan untuk tinggal lebih lama setelah mendengar kabar kemalangan yang menimpa Lily.Karena Finley merasa tidak enak jika terus menerus membohongi sang ibu, akhirnya Finley berterus terang agar ibunya tak lagi terus berharap.Pada awalnya Finley merasa bisa menjadikan Lily sebagai pacar yang sesungguhnya. Namun lambat laun dia tersadar, kalau yang dia rasakan bukan perasaan cinta. Melainkan hanya perasaan nyaman karena sudah terbiasa. Selain itu, ketika Lily meno
"Tapi..." Sebenarnya Inda merasa ragu kalau Lily akan merasa lebih baik jika tinggal bersama dengan Kenneth dan Wina.Bukankah alasan Lily menjadi depresi karena belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah anak kandung Darrel?Tetapi, Inda tidak berani mengatakannya secara langsung. Bagaimanapun dia sedang berhadapan dengan Kenneth, seorang pengusaha besar yang memiliki kekayaan dan kekuasaan.Wina mengetahui soal keraguan Inda. "Aku tahu kalau kamu ragu soal hal ini. Tapi kami adalah orang tua kandung Lily, kami juga ingin menjadi dekat dengannya meskipun dia masih syok atas kenyataan ini.""Lagipula kau juga sibuk mengurusi Arsan, bukan? Aku tidak yakin kau bisa mengurus dua manusia yang sedang mengalami gangguan kesehatan mental."Ucapan Wina ada benarnya bagi Inda. Dengan terpaksa Inda menyetujui permintaan Kenneth dan Wina untuk membawa Lily setelah pengobatan di rumah sakit selesai.Keesokannya.Dokter membolehkan Lily untuk pulang dan menjalani rawat jalan. Hal itu dit
Pupil mata Olivia bergetar. "Jadi kau juga menyalahkanku, Max?" Suaranya juga terdengar bergetar."Olivia, sadarlah..."Olivia menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa kalau orang lain yang menyalahkanku, tapi kau juga?"Butiran kristal menetes melalui matanya. "Bukankah kau dan aku sudah seperti saudara? Kenapa kau jadi seperti ini?"Dulu semasa mereka tumbuh bersama, berulang kali para orang tua mengatakan kalau mereka adalah saudara yang harus saling membantu."Justru karena aku menganggapmu sebagai saudara, makanya aku harus membuatmu sadar. Bertobatlah selagi kau masih hidup, Olivia," tukas Max tegas. Olivia menatap Max dibalik matanya yang buram, berusaha mencari-cari rasa kasih sayang yang selama ini Max tunjukkan padanya.Tetapi nyatanya tidak ada."Apa semua ini karena wanita jalang itu kau jadi seperti ini? Lily Orlantha?" tanya Olivia geram.Max mengeraskan rahangnya. "Ini tidak ada hubungannya dengan siapapun dan-""Tapi kau tidak pernah seperti ini sebelumnya!" jerit Oliv
"Nona..."Lily membuka kedua matanya yang masih basah oleh linangan air mata. Suara sesenggukan masih keluar dari mulutnya kemudian dia melihat Inda berdiri di sampingnya begitu dekat."Nona tidak apa-apa?" tanya Inda begitu khawatir. "Kenapa Nona berteriak dan menangis?"Lily mengerjapkan mata berulang kali, masih mencoba mencerna apa yang telah terjadi barusan.Kemudian dia menyadari kalau dia sehabis bermimpi bertemu ayahnya.Lily semakin terisak. Dia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan sambil menangis tersedu-sedu.Inda melihat itu dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Butiran kristal ikut turut meluncur membasahi baju Lily. Hatinya ikut sedih melihat Lily yang begitu sakit dan kecewa. Apalagi terdengar suara lirih yang bersamaan dengan suara tangisan itu."Ayah... ayah..."Inda tahu betapa kecewanya Lily terhadap kenyataan yang kemarin dia dapatkan.Perkataan saja mungkin tidak akan didengar oleh Lily, jadi Inda memilih untuk diam saja sembari memeluk tubuh Lily yang rin
Pagi-pagi sekali, Inda datang setelah mengantar Arsan ke sekolah untuk dititipkan.Dia sudah mendengar kabar dari Finley soal keadaan Lily, jadi dia ingin menjenguknya sepagi mungkin.Dan disinilah dia sekarang, menatap Lily yang juga sudah bangun tapi tatapannya masih kosong mengarah ke luar melalui jendela.Hati Inda merasa sakit, melihat Lily luka yang belum mengering dengan wajah begitu pucat.Inda meletakkan tasnya di atas meja lalu menarik kursi, mencoba memulai obrolan."Nona, saya sudah ada di sini," lirihnya sambil memegang punggung tangan Lily.Tapi tidak ada respon apapun dari Lily.Inda menghela napasnya panjang. Sepertinya fakta soal dia merupakan putri kandung Kenneth benar-benar menghantam mentalnya.Hidupnya memang penuh dengan kejutan.Selang dua jam.Vina datang untuk kembali menjenguk Lily.Dia datang langsung duduk di atas kursi dan bertanya pada Inda, "Dia sudah makan?"Saat ini Lily sudah kembali tertidur karena efek obat yang dikonsumsinya.Inda menggeleng pelan
Dengan tergagap Max menjawab, "I-iya, saya suaminya."Perawat itu tersenyum lalu mulai merobek kemasan berisi jarum suntik baru. "Dokter sudah meresepkan untuk istri Anda beberapa obat, salah satunya obat tidur melalui suntikan.""Baik, Sus."Setelah itu perawat memberi suntikan pada Lily lewat jarum infus. Tak butuh lama, perawat sudah selesai lalu mengemas barangnya dan berpamitan pergi.Fernita juga masih ada di dalam ruangan, bedanya dia terduduk di atas sofa."Sebaiknya ibu pulang dulu saja," ujar Max tanpa mengalihkan pandangannya dari Lily."Tapi-"Brak!!Ucapan Fernita terpotong oleh suara pintu yang dibuka dengan keras.Fernita terkejut begitupun dengan Max.Seseorang yang membuka pintu dengan keras itu adalah Finley.Dia menatap Max dengan tajam lalu berjalan cepat ke arahnya dan melayangkan tinju ke wajah Max yang tidak sempat untuk menghindar. Alhasil, tubuhnya tersungkur di atas lantai."Max!!" jerit Fernita karena terkejut."Brengsek kau!" umpat Finley penuh amarah dan m