Kania Langit Amaranata POV
"Hari Senin, minggu ketiga bulan ini, aku akan datang ke sekolahmu. Temui aku di ruang BK, ya!"
Sepenggal tulisan itu membuatku berdebar. Tulisan Mas Angga yang rapi telah terbaca olehku. Membuat sebuah simpul senyum di bibirku. Ah senangnya dia akan datang. Surat yang penuh kabar bahagia. Memang klasik dan kuno sih. Konon seorang Airlangga menulis surat karena tak mau kalah dari saingannya, Wirya Samudra Dewandana, kakak kelasku.
Iya, pada akhirnya setelah adegan pematang sawah itu, Mas Angga jadi rajin menulis surat. Senang deh, bisa membaca tulisannya. Terasa lebih nyata saja dibanding cuma telepon sembunyi-sembunyi. Ingin rasanya aku cepat ke minggu depan, iya senin minggu depan.
Kabarnya, Sermatutar Airlangga Sakha Handojo akan datang ke sekolahku. Katanya sih mau reuni dengan guru-guru. Sekalian kasih pesan pada junior-junior. Oh iya, untuk promo Akademi Militer kata dia. Aduh tanpa dipromo juga udah terkenal. Apalagi setelah artis sekolah masuk ke sana, makin banyak siswa lelaki yang ingin mengikuti jejaknya.
Termasuk salah satu pengagumku yang bikin Mas Angga kesel, Mas Wirya. Emang sih kata Mas Angga masuk Akmil itu nggak kayak masuk mall. Namun, Mas Wirya itu bisa loh. Buktinya, dia sekarang udah jadi taruna. Hebat ya bisa mewujudkan mimpi. Jadi pengen.
Ngomong-ngomong tentang mimpi, aku yang udah kelas tiga SMA selalu saja masih bingung. Apa tujuanku hidup? Apa hanya untuk mencintai Mas Angga? Kenapa aku nggak punya pikiran lain selain jadi pasangannya? Terlalu sempit dan naif pikiranku.
Namun, kalau dijelajahi isi otakku, memang cuma nama Mas Angga di sana. Dia penghuni tetap sejak aku kelas 1 SMP. Mau dikata apa, dia cinta pertama dan mungkin terakhirku. Ya semoga dia jadi yang terakhir. Walau kayaknya jauh sekali harapan itu. Apalah aku dibanding dia. Aku tak sepopuler tak secantik wanita yang mendekatinya.
Sebenarnya aku galau akut. Karena satu nama, Aruni. Ya nama yang indah, seperti wajahnya. Dia adalah wanita yang disebut dekat dengan Mas Angga. Satu akademi gitu dengannya. Masih seangkatan dengan Mas Wirya gitulah. Darimana aku tahu, dari Mas Wirya. Dia nggak bohong, ada buktinya. Selembar foto mereka pernah bersama. Sempit dunia ini. Itu-itu saja.
Hubungan tanpa status yang kujalani ini penuh dilema. Mau menuntut apa, Mas Angga tak pernah mengakuiku sebagai kekasihnya. Baginya, aku adik kecil yang sangat dicintainya. Adik kecil yang ingin dia jadikan keluarga. Bukan istri ya, keluarga. Sebab dia tak pernah membahas tentang kata 'istri'. Mungkin terlalu dini untuk anak sekolahan sepertiku.
Kalaupun dia pernah mengajakku menikah, pasti itu hanya guyonan. Seorang Airlangga gitu. Tidak mungkin semudah itu, 'kan? Seleranya pasti lebih tinggi dariku. Lebih cantik, kaya, anak pejabat, dan itu pasti. Makanya akhir hubungan kami masih abu-abu, suram, bahkan mungkin hitam.
Ah, aku lelah dan merebahkan kepalaku di atas meja. Memikirkan ujian nasional saja sudah pusing. Ditambah mikirin dia. Yang mungkin sudah lupa. Namunn, aku kadung cinta. Sumpah sejauh apapun aku pergi, justru kami makin dekat. Semakin aku lupa, justru makin ingat. Tuhan, aku cinta Mas Angga.
Tiga hari aku memikirkan ini. Tiga hari nggak enak makan. Nggak bisa tidur. Pengen dengar suaranya tapi nggak bisa. Ini kali ya yang namanya galau. Super rasanya, campur aduk seperti mi instan.
"Eh ada Erlan. Ih ganteng ...!" teriak teman-temanku di lorong kelas.
"Mana? Mana?" sahut yang lain kehebohan sendiri.
"Itu jalan di koridor."
"Ha, Mas Angga," gumamku kaget. Aku gelagapan, bak bangun dari mimpi.
Halo kemana saja kamu, Kania? Saking galaunya kamu sampai lupa ini hari apa. Ini hari senin minggu ketiga dan Mas Angga akan datang ke sekolah. Bahkan, katanya sudah datang. Aku langsung terburu menuju kerumunan anak-anak.
Benar saja, tubuh tegapnya sedang berjalan di koridor kelas. Sangat gagah dan selalu jadi perhatian siapa saja. Kalau diperhatikan lagi Mas Angga memang mirip artis FTV. Kenapa aku tak pernah sadar selama ini? Apa karena terlalu terpesona padanya?
"Mas Angga!" panggilku saat berhasil menghampirinya. Dia hanya melengos melihat wajah girangku.
Seorang siswi genit menyeringai jijik padaku, "kepedean kamu ih. Sok cantik!"
"Duh lupa!" celetukku malu. Iyalah di depan banyak orang, 'kan, kami kayak nggak kenal.
Dasar es batu. Dia tetap berjalan tanpa menoleh padaku. Padahal aku sangat merindukannya. Beneran tega nih orang. Kalau lagi berdua aja sikapnya manis, walau galak. Namun, kalau di depan banyak orang sangat menyebalkan.
---Daripada kesel mikirin seorang Airlangga mending jajan gorengan di kantin. Jam kosong, tapi kantin kosong. Anak-anak lain mungkin lagi bokek jadi milih nongkrong di taman depan. Lumayanlah aku bisa makan sepuasnya. Melupakan sejenak sikap menyebalkan Mas Angga.
Iya, aku memang suka sikap dan sifatnya, tapi nggak selalu. Kadang aku juga makan hati, sama seperti manusia normal pada umumnya. Aku juga ingin diperlakukan manis dan baik. Diperlakukan seperti gadis paling berharga di dunia oleh dia. Impian klasik upik abu mungkin.
"Gorengan terus! Awas gendut, jelek!" Suara itu mengagetkanku. Rasanya bala-bala ini hampir nyelonong ke tenggorokan.
"Mas Angga!" ucapku terkesima.
Dia tersenyum manis, sangat, "merindukanku?" tanyanya manis.
"Enggak!" jawabku ketus.
"Kamu nggak pantes judes, Bocah!" Dia mendorong kepalaku.
"Ayo ikut aku!" Mas Angga menarik tanganku tanpa sempat kujawab.
Diajaknya aku menyusuri koridor kelas yang sedang jam pelajaran. Dan tentu saja memancing kehebohan tersendiri. Ini bukan mimpi, 'kan, ya? Seorang Airlangga melakukan hal konyol macam ini? Cuma demi seorang Kania?
"Mas Angga kok tadi jahat banget sih. Seenggaknya senyum kek ... Aku jadi ...." Kalimatku tak selesai karena tiba-tiba dia mengusap mulutku dengan sapu tangan.
"Banyak minyak, jorok. Oke lanjutkan," komandonya.
"Diejek sama anak-anak lain," desahku pasrah.
"Mas Angga sebenarnya kangen nggak sih sama aku? Bisa nggak sikapnya manis terus kayak gitu?" tanyaku cepat-cepat.
Dia menatapku lekat, "next question!"
Aku pias. Mana mungkin dia menjawab pertanyaan seaneh itu, "Aruni itu gimana?"
"Kamu tahu Aruni dari siapa?" tanyanya tegas tanpa babibu.
"Nggak mau jawab juga?" alihku pias.
"Pasti si Bocah Wirya yang kasih tahu kamu, 'kan!"
"Cantik, ya?" tambahku pelan tanpa menatap wajahnya.
"Iya cantik banget, kenapa?"
Boleh nggak sih air mataku jatuh? Baru kali ini hatiku sakit karena Mas Angga. Aku tak pernah sakit hati karena sikapnya. Namun, saat dia memuji wanita lain, itu sangat menyakitkan. Tanpa sadar aku menangis. Pertama kalinya, tangis tanpa suara dan hanya ada air mata.
"Kania?" guncang Mas Angga pelan pada bahu ringkihku.
"Kania!" bentaknya kali ini.
"Kumohon jangan memuji wanita lain di depanku. Sekalipun Mas Angga mencintai wanita itu," ujarku lirih.
Mas Angga menyentuh bahuku erat, "Kania, sebenarnya kamu kenapa? Apa ini sangat menyakitimu?"
"Apa Mas Angga beneran pacaran sama Mbak Aruni itu?"
"Pertanyaan apa sih itu, Kania?" Selalu saja menghindar.
"Kalau nggak jawab artinya iya, 'kan?"
Dengan cepat Mas Angga menangkup kedua pipiku, air mata ini dihapusnya dengan sapu tangan warna coklat. Dia membelai pelan pipi tembemku. Pandangannya hangat dan lekat.
"Kania Langit Amaranata, gadis bodoh kesayanganku, mudah sekali kamu termakan omongan orang. Dia bukan siapapun di hatiku. Dia cuma adik asuhku, cuma adik asuh. Jangan membuat definisi lain lagi, ya?" jelasnya manis.
"Tugasku sudah berat, sebentar lagi aku ujian skripsi dan sidang. Cukup dukung aku dalam doamu. Kudukung kamu dalam doaku, semoga ujianmu lancar. Hingga kita bisa merangkai mimpi kita. Kamu masih setuju, 'kan?" lanjutnya sambil menatapku lekat.
Aku mengangguk pelan, "Mas adalah bumi tempatku berpijak. Kalau Mas nggak ada, aku bisa habis terbakar inti bumi. Kumohon jangan hilang, ya? Aku ingin hidup."
Dia ternyata juga telah menatapku dengan pandangan yang susah dijelaskan, "menurutmu darimana aku bisa melihat bintang kesukaanku kalau bukan dari langit. Mana mungkin bumi bisa berdiri sendiri tanpa dipayungi langit. Pasti nilai fisikamu dapat 0, ya?"
Aku terkekeh sambil menghapus air mata. Aku kangen guyonannya, lelucon kasarnya. Mas Angga tetap Mas Angga yang kukenal. Lelaki jujur dan selalu taat prinsip. Dia selalu berkata jujur karena menurutnya bohong itu susah. Tentu aku percaya. Aku kenal tak cuma sehari dua hari, 'kan.
"Habis ini kita jajan batagor, ya?" ajakku.
"Aku masih pakai seragam lho, Ka!" elaknya tak suka.
"Emang biasanya nggak gitu?" sambungku.
"Hem, iya sih."
Kami terkekeh bersama. Selalu saja indah seperti biasa. Apa iya kami ini match made in heaven? If you go, i go. If you stay, i stay. I hope so...
***Bersambung..."Hai Dek Kania.""Mau apa Mas Wirya ke sini?""Tentu mengunjungimu.""Jangan pengaruhi pikiran saya lagi tentang Mas Angga. Saya nggak mau salah paham lagi."Mas Wirya terlihat lemas. Senyum berpendarnya lesu setelah percakapan singkat kami. Dia duduk begitu saja di teras rumahku yang sederhana dengan pandangan aneh. Padahal dia terlihat cakap dalam balutan seragam taruna. Mirip seperti Mas Angga."Waktu itu memang salah saya, Dek. Saya tidak kroscek dulu langsung asal bicara. Saya minta maaf, ya?" ucapnya pelan sambil menatapku lekat.Aku hanya diam tak tahu harus berkata apa, "saya masih boleh menemuimu, 'kan?" tanyanya pelan."Apa Bang Airlangga melarang Dek Kania untuk berhubungan dengan saya? Apa hubungan kalian sangat spesial?" imbuhnya lagi karena aku hanya diam tanpa menjawab."Apa seragam yang Mas pakai itu susah dapatnya?" tanyaku yang dijawab dengan anggukannya."Lantas kenapa buat ketemuan dengan orang macam
Airlangga Sakha Handojo POV"Tuh 'kan, kita jadi dilihatin satu mal. Malas ah ...."Kudengar keluhan imut itu berulangkali terucap. Kutahu dia sedang tidak nyaman dengan situasi ini. Dilihatin sebagian besar pengunjung pusat perbelanjaan karena sedang jalan dengan seorang taruna berseragam. Itulah kenapa dia tidak suka jika aku berseragam. Memang sih, siapa yang suka jadi pusat perhatian."Mau gimana lagi, seragam ini nggak boleh dilepas!" ucapku datar."'Kan bisa pakai jaket," keluhnya lagi."Panas, ogah. Biar aja kenapa sih. Angkat dagu dan busungkan dada ajalah. Bangga gitu jalan sama calon perwira, ganteng pula.""Idih narsis. Bangga itu cukup dalam hati Mas. Nggak perlu publikasi. Berlebihan namanya." Gadis kesayanganku ini tetap menggerutu, semakin gemas.Aku menatapnya lurus, "ya udah aku lepas baju aja, shirtless. Biar heboh satu mal. Gimana?"Dia bergidik ngeri sambil mengangkat bahun
Kania Langit Amaranata POVSaat terpisah dengan Mas Angga, aku selalu banyak berpikir. Kebanyakan mengingat masa lalu kami bersama. Bagaimana kami bertemu. Bagaimana kami banyak menghabiskan waktu bersama. Bagaimana perangai galak dan menyebalkannya.Kadang aku jalan ke tempat kenangan kami sambil mengingat momen itu. Ke warung mi ayam favorit sejak SMA. Selalu saja dia dilihat orang banyak karena seragamnya. Tidak selalu seragam sih, kadang wajah gantengnya saja sudah menarik orang.Mas Angga memang bak medan magnet. Bisa menarik kutub yang berlawanan dengannya. Banyak yang terpaku dengannya. Begitu pun denganku. Aku rela menjalani separuh waktu hidupku untuk mencintainya. Walau itu tanpa status, aku rela. Padahal aku sama, wanita yang butuh status.Berjauhan dengannya membuatku banyak berpikir. Bagaimana aku bisa menjalani waktu ini. Saat dulu dia masih daftar tentara, kami selalu bersama. Tentu dengan sembunyi-sembunyi. Aku se
Kania Langit POVKunci berhubungan dengan lelaki berseragam itu adalah sabar. Itu kataku, tentu pada diriku sendiri. Apalagi jika harus menjalani hubungan tersembunyi seperti ini. Harus makin sabar dong. Walau itu terasa menelan pil pahit tanpa air. Kebayang, 'kan, gimana rasanya?Sejak awal, kata sabar adalah kunciku untuk Mas Angga. Dia yang galak, dingin, tak banyak bicara, bahkan kadang sadis. Dia lebih suka mengajakku berjalan jauh demi bicara banyak. Padahal kami bisa ngobrol di kedai es atau bawah pohon ceri. Dia senang bertindak kasar untuk menunjukkan perhatian dan cintanya. Padahal halus pun sangat menyenangkan.Ya itulah Mas Angga dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Cuek selangit adalah sifat paling menyebalkan sedunia. Dia tahu, kami saling rindu. Namun, dia enggan menghubungiku. Iyalah aku nomor kesekian dalam hidupnya, tapi nggak gini juga. Aku kangen, tapi takut menghubunginya.Balas suratku lagilah atau mun
Aku menatap gadis cantik di sebelah yang sedang manyun. Sebenarnya hatiku bak ombak yang naik turun. Tak mudah mengekspresikan rasa rindu ini. Seorang Erlan bisa jadi manusia aneh jika sedang rindu macam begini. Ingin rasanya melakukan hal lain lebih dari pelukan. Namun, aku takut melakukannya. Sebab Kania perempuan pertama yang dekat denganku sejak masa puber.Ya cuma ini caraku menunjukkan betapa rindunya aku pada Kania. Setelah berbulan-bulan tak bertemu, dia makin cantik saja. Calon dokter lagi. Cita-cita yang tak pernah dia katakan padaku. Bahkan, mungkin terbesit saja tak pernah. Kesayanganku akan jadi calon dokter. Bangga punya dia."Ayo dong mulai cerita!" ujarku setelah kami berhenti di jalanan yang sepi.Seperti ada gundukan es yang runtuh, "akhirnya, disuruh cerita juga.""Iya calon Ibu Dokter, gimana sih ceritanya? Bagaimana bisa kamu mau jadi dokter? Yakin kamu bisa? Mau jadi dokter apa memangnya?" cerocosku seperti petasan rawit."Kan
Kedua insan itu bergandengan tangan di sepanjang jalan setapak lapangan Rampal. Tak banyak bicara, hanya diam sambil menikmati dinginnya Kota Malang. Kania menunduk sembari menatap kaki mungilnya. Sesekali dia melihat kaki tegas Erlan. Berbeda dengan Erlan yang sesekali mencuri wajah Kania. Tak henti dikaguminya wajah cantik itu."Kania cemong Mas?" tanya Kania tiba-tiba yang membuat Erlan kaget."Iya, jelek banget!" jawab Erlan spontan yang membuat Kania mendongak.Dia bergegas mengelap mulutnya, "aduh kenapa gak bilang dari tadi sih, Mas?""Biarin, biar kamu jelek dan gak dilirik sama siapa-siapa!" jawab Erlan sekenanya."Gak adil Mas Erlan ih!" protes Kania."Terus apa, kamu mau tebar pesona sama tamtama remaja yang lagi korve itu?" tanya Erlan setengah cemburu."Siapa juga yang tebar pesona? Mas Erlan cemburu, ya? Dari tadi aku nggak lihat kemana-mana. Aku nunduk terus karena mau jaga pandangan. Aku jaga hatinya Mas Erlan. Mas kal
"Terimalah hukumanmu, Kania! Ha ha ha!"Seorang lelaki tegap cekikikan sendiri sambil tengkurap. Wajahnya terlihat sangat puas. Keringat membasahi kulit putihnya. Sementara itu, si wanita terlihat lemas dan kesal. Tangan mungilnya terasa hampir putus. Itu karena hukuman yang diberikan si lelaki alias Erlan setiap malam. Hukuman itu adalah Kania harus memijat punggung Erlan sampai lelah."Kenapa sih pacaran sama Mas Erlan gini amat," keluh Kania pelan.Erlan mendongak dan melihat Kania, "kenapa kamu mau yang lebih?""Eng ... enggak kok Mas," ucap Kania terbata. Dia takut Erlan melakukan hal yang lebih apalagi mereka sering berdua di rumah."Kok takut gitu. Gak level kali aku sama kamu, Ka," ejek Erlan seolah membaca pikiran Kania."Gak level kok cinta sih," alih Kania sambil duduk dan menyilangkan tangannya di hadapan Erlan. Wajahnya terlihat lelah namun manis."Terpaksa," sahut Erlan sekenanya."Padahal Mas Erlan bisa
"Melihatmu memperlakukan gadis itu, pasti dia sangat spesial ya?""Emangnya gue gimana?""Lo nggak bisa sembunyikan itu dari gue, Lan. Bahkan, untuk kita yang nggak terlalu dekat, kalian itu kentara banget.""Hati gue emang milik dia, Nu.""Jadi artis akademi kita ini beneran jatuh cinta?""Gue jadi elek-elekan karena dia!""Itulah cinta, Lan."Erlan mengusap mata tajamnya yang beriris coklat. Ingatan tentang percakapannya dengan Ibnu kemarin kembali terputar. Ternyata perasaannya pada Kania sangat terlihat. Padahal sebisa mungkin dia menyembunyikan itu, tapi gesture tubuhnya tak dapat dibohongi. Akankah hubungan diam-diam selama bertahun-tahun ini akan terungkap? Memikirkan saja sudah membuat Erlan berdebar.Erlan kembali merebahkan tubuhnya di kasur mess perwira di batalyonnya. Dia lelah setelah tradisi masuk satuan. Namun, matanya belum bisa terpejam kar
Sembilan bulan yang lalu..."Untuk kamu yang kusuka, terus terang aku tak pandai berkata-kata. Puisi-puisiku seringkali tak bermakna. Kata-kataku seperti bualan yang menguap ke udara. Namun, dirimu tak pernah sekalipun hampa. Selalu mengisi hatiku, mengisi hariku. Membuat setiap huruf dalam hidupku bernapas. Langit yang cerah tersenyumlah selalu. Kamu cantik tiada tara. WSD, 3 IPA 1."Aku tersenyum sendiri membaca tulisan rapinya dari puluhan tahun silam. Benar sekali, telah kubaca berulangkali surat cinta dari Mas Wirya dulu. Surat cinta yang pernah kubahas dengan Mas Erlan dan membuatnya cemburu itu. Jika kubaca sekarang, perasaanku justru rindu membiru. Aku merindukan suamiku, Mas Wirya. Telah sebulan kami berpisah.Surat ini sungguh manis. Tak kusadari itu dulu, sebab masih ada nama lain di hatiku. Untung saja surat ini belum k
Angin pagi membelai wajahku. Terasa segar dan meneduhkan. Sisa semalam terasa masih lekat di badan ini. Aroma tubuhnya yang wangi masih melekat di pelukanku. Cumbu hangatnya masih terasa di pipi ini. Bibir ini masih terasa manis oleh kata-katanya. Malam-malam selalu indah semenjak bersamanya. Saat ini aku benar-benar tergila oleh suamiku. Berlayar di samuderanya membuatku bahagia seperti ini.Pagi ini kupandangi dia yang sedang merapikan kerah seragam lorengnya. Sembari mengaca dan merapikan rambutnya yang tadi berantakan. Aroma tubuhnya wangi selepas mandi. Aroma sabun favoritku yang menjadi favoritnya juga. Sesekali dia melirikku yang berpura-pura tidur. Dia tak tahu aku diam-diam mengamati tingkahnya.Tubuhnya tinggi semampai, khas tentara pada umumnya. Proposional tentu saja karena hobinya memang olahraga. Apalagi dia terbisa berdiri dan berjalan tegap semenjak muda. Kulitnya sedikit menggelap setelah cuti dua mi
Kini aku dan Mas Wirya telah satu dunia. Kami satu frekuensi. Sering bertemu, bertukar sapa, bertukar senyum, dan bahkan cumbuan. Kami merayu satu sama lain, seperti pasangan lain yang kasmaran. Indah sekali pacaran setelah resmi menikah. Mau berbuat apa saja tak ada yang mencela.Meski masih ada negara di antara kami, tapi dia berusaha mendekat padaku setiap saat. Saat waktu dinas telah usai, tubuhnya menjadi milikku. Aku bisa menikmati senyumnya yang lepas tanpa batasan apapun. Senyumnya yang manis bagaikan candu telah memabukkanku.Setiap hari aku menghias rumah tipe 70 miliknya. Menaruh vas bunga mawar putih di meja ruang tamu, ruang tengah, dan ruang keluarga. Menghabiskan tabunganku selama kuliah di kedokteran demi manisnya rumah ini. Tak apalah, aku tak merasa rugi. Sebab ini salah satu impianku, menjadi ibu rumah tangga.“Terima kasih ya Cinta atas mak
Aku positif jatuh cinta pada suami pernikahan konyol ini. Resmi menjadi koramil alias korban rayuan militer. Tingkah dan perilaku Kak Erlan berhasil membuatku klepek-klepek seperti ikan mujaer. Aku jatuh dalam rayuannya. Menikmati setiap cumbuannya. Memang hatiku tak bisa berbohong, seorang Abel jatuh cinta pada pandang pertama pada seorang Erlan. Berhasil membuatku lupa pada sosok Kak Imran yang menyebalkan itu.Aku menikmati setiap sentuhannya. Setiap pelukannya. Setiap aroma tubuhnya. Setiap cumbu rayunya. Membasuh telingaku hingga basah kuyup. Aku sangat menyukai suamiku saat ini. Lucu ya hidup seorang Nabilla? Dari acak kadul hingga mulai tertata seperti ini. Sungguh aku berterima kasih pada Tuhan dan kedua orang tua yang telah mempertemukan kami. Sepertinya aku menemukan bagian hatiku yang hilang, separuh jiwaku. Dan mungkin saja belahan jiwaku.Ah, entahlah. Aku sedang berusaha mengenal Kak Erlan. Dia tak begi
Kulihat wajahnya yang tenang seperti samudera. Dia selalu terlihat teduh, kalem, dan tenang sekalipun sedang bimbang seperti ini. Beda denganku yang ribut bagai badai karena masalah Surat Izin Menikah. Tanggal pernikahan kami tinggal dua minggu lagi, tapi surat itu belum selesai. Entah terkendala dimana, mungkin status ibuku yang tak jelas.Aku memilih untuk tenggelam dalam aktivitas memasak sup ayam. Di minggu pagi sedikit mendung, Mas Wirya telah menyambangi rumahku. Katanya ingin makan masakanku dengan bapak. Kami memang meminggirkan tradisi pingitan demi mengurus surat menyurat itu. Tenang, dia sangat menjaga kontak fisik denganku kendati hatinya membara."Tolong yaSuh. Pernikahanku tinggal dua minggu."Kudengar dia berkata setengah berbisik di telepon. Mungkin denga
Airlangga Sakha Handojo POV“Kok kamu marah sih, Kak? Bukannya aku istrimu? Kata ayah, aku berhak atas dirimu! Kenapa kamu marah saat aku cuma buka ponselmu!?” katanya kesal.“Gak secepat ini, Abel! Gak kayak gitu caramu ingin tahu tentang aku!Just asking me!Tanya saja jangan cari tahu sendiri!” tegasku.“Tapi kamu selalu jaga jarak sama aku. Kamu selalu jual mahal dan menggodaku. Membuatku malas mendekatimu secara langsung. Sebenarnya kamu marah karena aku buka ponselmu atau karena aku tahu masa lalumu?!” ujarnya memanas. Aku menatapnya lekat, ingin rasanya kubungkam mulut cerewet itu.“Gimana ya caranya jelasin ke anak seumuranmu? Abel, it
Sumpah demi apa saja kali ini aku seperti sedang bermimpi. Sebab seseorang di depanku itu benar-benar nyata. Dia adalah perempuan yang selalu jadi benang merah antara aku dan Mas Erlan, Aruni. Namun, kenapa ia sekarang tetap ada di hubunganku bersama Mas Wirya. Sebenarnya dia siapa hingga bisa masuk ke hidup siapa saja. Nama Aruni bak mengikuti hidup Kania kemana saja.Benar sekali, seseorang yang baru datang dan sedang duduk bersama kami di meja makan ini adalah Aruni. Aruni dari Jakarta, mantan kekasih Mas Erlan atau cuma kekasih pura-pura. Dia sedang tertawa penuh arti bersama kedua orang tua Mas Wirya. Entah apa artinya? Apa mungkin aku akan dipermainkan lagi kali ini? Atau mungkin Aruni akan jadi ganjalan bagiku dan Mas Wirya.Apa maksud kedatangannya ke sini? Dia kenal keluarga Mas Wirya? Lalu Mas Wirya tidak tahu apa hubungan Aruni, Mas Erlan, dan aku? Semua terasa membingungkan hingga suara Pak Hutama memecah
Nasi goreng jawa sudah matang di sore yang mendung dan dingin ini. Mungkin musim hujan akan datang, hingga mendung sering berkunjung. Walau suram, tapi hatiku cerah. Sebab bunga cinta sedang tumbuh dan bersemi. Walau masih berjuang tumbuh, tapi akan terus kusirami.Bapak baru saja pulang dinas saat aku selesai memasak. Sore ini aku tak sibuk di rumah sakit hingga bisa menemani bapak makan di rumah. Sore yang langka dan aku sangat bahagia. Sebab aku merindukan bapak. Wajahnya berbinar melihat piring nasi goreng buatanku. Tak lama langsung duduk dan bersiap makan.“Tok…tok…tok!”“Siapa ya yang datang?” gumam Bapak sambil menatap pintu ruang tamu.“Biar Kania yang buka, Pak.”&
Airlangga Sakha POVSenja mulai merayapi langit Jakarta yang sedikit mendung. Hawanya dingin membuatku malas melakukan apapun. Sepulang dinas kupilih duduk di ruang tengah sambil menatap TV, bukan menonton. Sebab perhatianku lebih tertuju pada istri pernikahan konyol ini, Nabilla alias Abel. Abel sedang menyapu teras depan sambil sesekali melenguh kesal, karena daun yang disapunya bertebaran lagi ditiup angin. Tiap tingkahnya menggelikan.Sesekali aku tersenyum tanpa sadar sebab tingkah Abel mengingatkanku padanya. Dia ceroboh, kekanakan, ceria, dan apa yang dikerjakannya selalu tak beres. Membuatku gemas sendiri dan ikut turun langsung. Ah, aku tak sedang ingin mengingatnya. Pasti dia juga sedang tertawa lepas bersama lelaki itu.Tentang Nabilla alias Abel. D