"Hai Dek Kania."
"Mau apa Mas Wirya ke sini?"
"Tentu mengunjungimu."
"Jangan pengaruhi pikiran saya lagi tentang Mas Angga. Saya nggak mau salah paham lagi."
Mas Wirya terlihat lemas. Senyum berpendarnya lesu setelah percakapan singkat kami. Dia duduk begitu saja di teras rumahku yang sederhana dengan pandangan aneh. Padahal dia terlihat cakap dalam balutan seragam taruna. Mirip seperti Mas Angga.
"Waktu itu memang salah saya, Dek. Saya tidak kroscek dulu langsung asal bicara. Saya minta maaf, ya?" ucapnya pelan sambil menatapku lekat.
Aku hanya diam tak tahu harus berkata apa, "saya masih boleh menemuimu, 'kan?" tanyanya pelan.
"Apa Bang Airlangga melarang Dek Kania untuk berhubungan dengan saya? Apa hubungan kalian sangat spesial?" imbuhnya lagi karena aku hanya diam tanpa menjawab.
"Apa seragam yang Mas pakai itu susah dapatnya?" tanyaku yang dijawab dengan anggukannya.
"Lantas kenapa buat ketemuan dengan orang macam saya? Lebih baik ketemu dengan orang penting, 'kan?"
"Kamu penting bagi saya, Dek," simpulnya.
"Saya sudah nolak Mas Wirya, 'kan?" tolakku kuat.
"Apa tandanya kita harus berjarak?" Pertanyaan itu membuatku gamang, sepertinya kejam sekali.
"Bukankah sudah jelas saya milih siapa. Saya nggak mau bikin Mas Angga cemburu," tutupku pelan.
Dia tersenyum tipis, "ternyata seragam yang saya pakai ini tidak bikin jarak kita dekat, ya? Kamu setia menjaga cinta dengan Bang Angga. Saya salut, Dek. Masih mending seragam SMA dulu, bisa ketemu kamu tiap hari."
"Makasih, saya cuma pengen jadi perempuan baik-baik."
"Itu bagus. Baiklah, sebagai seorang ksatria, saya tidak akan melanggar prinsip Dek Kania. Saya tidak akan mengganggu hidup Dek Kania lagi."
"Makasih," ujarku pendek, dingin tentu saja. Tak ingin kasih harapan.
"Sama-sama. Makasih juga, ya, udah mau nemuin saya. Ini izin bermalam saya yang pertama, dan saya menghabiskan 10 menit denganmu." Mas Wirya terlihat tegar.
"Hati-hati di jalan, Mas," pungkasku tak mau berlama-lama. Aku lanjut masuk ke dalam rumah.
"Tunggu," cegahnya, "jika suatu saat kita ketemu lagi, jangan pernah sungkan untuk menyapa saya, ya? Jika kamu sedang menangis, jangan takut bersandar pada saya."
Aku membalik badan sambil terperangah. Apa maksud perkataannya? Jadi dia menyumpahiku untuk selalu bersedih, gitu? Dia sakit hati karena kutolak? Sungguh tidak dewasa manusia ini. Ditolak cintanya kok jadi gitu.
"Tapi saya berharap kita bertemu dalam bahagia. Saya ingin tertawa bersama denganmu. Selamat sore." Dia lantas berpamitan pergi. Terlihat punggung tegapnya yang semakin menghilang.
Sore ini sungguh aneh. Membuatku tak percaya berulangkali bahwa seorang Wirya bisa berkata seperti itu. Seorang kakak kelas yang populer di sekolah dulu tergila padaku. Dengan mudahnya kutolak demi Mas Angga. Dan baru saja aku kembali mengecewakannya. Sungguh aneh Kania ini.
---Jarak ada saat dua orang saling terpisah. Terpisah tempat, waktu, dan mungkin juga hati. Antara aku dan Mas Wirya ada jarak, karena hati kami tak satu. Aku dengan Mas Angga dan dia dengan mencintaiku. Antara aku dan Mas Angga ada rindu, antara Mas Wirya dan aku juga ada rindu. Cinta segitiga mungkin. Seorang Kania bisa terlibat cinta segitiga?
Jarak yang memisah antara aku dan Mas Angga juga kian menyiksa. Tak ada komunikasi akhir-akhir ini. Waktu IB banyak dia habiskan di Magelang daripada mengunjungiku di Malang. Memang, kami terpisah ratusan kilo antara Malang-Magelang. Kota ini punya ratusan cerita tentang aku dan Mas Angga.
Jarak ratusan kilo, mungkin sama dengan hati kami. Dia jarang menghubungiku karena sibuk. Entah sibuk beneran atau sok sibuk. Entah dia mulai menghindar dan mungkin ketemu perempuan baru. Hm, aku terlalu sempit pikir. Namun, nyata rasanya kami makin jauh.
Padahal minggu depan aku Ujian Nasional. Aku butuh suntikan energi semangat. Aku butuh uap hangat dari bumiku. Langit ini sedang merindu. Memang benar jarak menciptakan rindu. Walau aku tak tahu dia merindukanku atau tidak.
Andai dia muncul di sini, tiba-tiba gitu. Lucu kali kalau aku tiba-tiba berlari memeluknya. Persis seperti adegan di sinetron. Dia muncul dengan seragam kebanggaannya dan menyapaku hangat. Kayak jatuh di antara bintang-bintang kali, ya?
"Gadis Bodoh!"
Suara siapa itu?
Kutoleh ke arah jendela, nihil, "siapa, ya?" gumamku.
"Arah pintu kali!" Suara itu sangat kukenal.
"Mas Erlan!" Aku langsung berlari menuju pintu kaca rumah sederhana ini.
Dia tersenyum tipis, "dasar norak. Kangen banget, ya, sampai panggil nama akrabku?"
"Hah, kapan?" tanyaku bingung. Dia menjunduku.
"Begonya nggak kurang-kurang." Dia selalu mencibirku.
Namun, dia malah mundur selangkah dari badanku, "kejutan!"
Aku hanya melongo mendengarnya bicara begitu dengan ekspresi datar, "oh oke, aku terkejut."
"Nggak natural," kata Mas Angga lesu. Aku meringis.
"Silahkan masuk, Mas. Kok bisanya datang tiba-tiba setelah nggak ada kabar."
"Di teras aja, lebih adem. Nggak enak di dalam, kamu sendirian di rumah, 'kan?"
"Kok tahu, Mas?" tanyaku bingung.
Dia menunjuk garasi, "motor bapak nggak ada."
Aku meringis malu lagi. Enaknya ngobrol sama Mas Angga tuh gini, kita nggak usah ngomong panjang lebar dia udah tahu. Pikirannya selalu beberapa langkah di depan. Serba sistematis, pokoknya sempurna. Jadi aku merasa terjaga. Eh, Mas Wirya dulu juga gitu, ya? Eh, apaan sih lupakan dulu dialah. Fokus sama Mas Anggaku dulu aja.
"Mau minum nggak, Mas?" tawarku.
"Nggak usah, kamu ganti baju aja, kita jalan. Kebetulan hari ini kita nggak ke pematang sawah atau warung bakso. Kita ke mal, pakai mobil. Mau nggak?"
"Ha ...." Sudah jelas aku melongo.
"Udah nggak usah kayak kebo gitu melongo segala. Cepetan!" buyarnya.
"Oke ...," jawabku pendek.
Aku gelagapan, serba cepat. Ganti baju cepat. Poles wajah cepat. Entah mau dandan apa. Entah mau pakai baju model apa. Entah mau diapain ini badan jelek baru mandi. Duh Mas Angga, nggak pernah berubah. Selalu saja penuh kejutan. Membuat hubungan kami nggak pernah datar.
"5 menit udah abis. Ayo keluar Kania!" suruhnya tegas.
"Iya sebentar ...," jawabku terburu-buru.
"Dandan atau nggak sama aja, tetep jelek. Ayo cepetan!" teriaknya lagi. Duh, manusia satu ini.
"Iya Bawel!" sahutku tak mau kalah.
Oke, daripada nanti rumah ini hancur karena dihantam apa gitu, mendingan aku keluar apa adanya. Toh aku begini saja nggak ada yang spesial. Semoga dia nggak ketiban sial ngajak aku jalan ke mal. Jarang sih ke mal, paling bagus cuma ke warung bakso. Sederhana, tapi romantis.
"Dandan model nasi mawut gini doang lima menit? Ck ck ck!" oloknya.
"Tuh, 'kan ... jahat. Mas Angga nggak pantas jahat loh!" ucapku ngeles. Dia menggeleng heran.
"Luar biasa anak SMA satu ini. Teman-temanmu sudah pandai dandan, kamu masih saja kayak gini. Oke, nggak apalah masih sedap dipandang kok."
Sabar Kania.
Aku menahan tangannya lembut, "Mas Angga, sikap kayak gitu jahat banget loh. Jangan gitu dong, jelek gini aku selalu ada buatmu lho. Nggak apa aku jelek asal Mas Angga selalu ganteng."
"Aku cuma guyon, Ka." Air mukanya berubah, nada suaranya lebih rendah.
"Kamu selalu cantik, makanya aku nggak bisa berpaling darimu."
"Gombal!"
"Serius, mana pernah seorang Erlan bohong."
"Aih norak!"
"Norak tapi beken, 'kan?"
"Hiii ... geli."
"Nggak diapa-apain kok. Cewek norak!" oloknya makin seru.
"Ha ... ha ... ha ...." Kami tertawa bersama.
Selalu tertawa, selalu bercanda, kami bahagia. Ini cara kami, mungkin beda, tapi intinya sama, dimabuk cinta.
***Bersambung...
Airlangga Sakha Handojo POV"Tuh 'kan, kita jadi dilihatin satu mal. Malas ah ...."Kudengar keluhan imut itu berulangkali terucap. Kutahu dia sedang tidak nyaman dengan situasi ini. Dilihatin sebagian besar pengunjung pusat perbelanjaan karena sedang jalan dengan seorang taruna berseragam. Itulah kenapa dia tidak suka jika aku berseragam. Memang sih, siapa yang suka jadi pusat perhatian."Mau gimana lagi, seragam ini nggak boleh dilepas!" ucapku datar."'Kan bisa pakai jaket," keluhnya lagi."Panas, ogah. Biar aja kenapa sih. Angkat dagu dan busungkan dada ajalah. Bangga gitu jalan sama calon perwira, ganteng pula.""Idih narsis. Bangga itu cukup dalam hati Mas. Nggak perlu publikasi. Berlebihan namanya." Gadis kesayanganku ini tetap menggerutu, semakin gemas.Aku menatapnya lurus, "ya udah aku lepas baju aja, shirtless. Biar heboh satu mal. Gimana?"Dia bergidik ngeri sambil mengangkat bahun
Kania Langit Amaranata POVSaat terpisah dengan Mas Angga, aku selalu banyak berpikir. Kebanyakan mengingat masa lalu kami bersama. Bagaimana kami bertemu. Bagaimana kami banyak menghabiskan waktu bersama. Bagaimana perangai galak dan menyebalkannya.Kadang aku jalan ke tempat kenangan kami sambil mengingat momen itu. Ke warung mi ayam favorit sejak SMA. Selalu saja dia dilihat orang banyak karena seragamnya. Tidak selalu seragam sih, kadang wajah gantengnya saja sudah menarik orang.Mas Angga memang bak medan magnet. Bisa menarik kutub yang berlawanan dengannya. Banyak yang terpaku dengannya. Begitu pun denganku. Aku rela menjalani separuh waktu hidupku untuk mencintainya. Walau itu tanpa status, aku rela. Padahal aku sama, wanita yang butuh status.Berjauhan dengannya membuatku banyak berpikir. Bagaimana aku bisa menjalani waktu ini. Saat dulu dia masih daftar tentara, kami selalu bersama. Tentu dengan sembunyi-sembunyi. Aku se
Kania Langit POVKunci berhubungan dengan lelaki berseragam itu adalah sabar. Itu kataku, tentu pada diriku sendiri. Apalagi jika harus menjalani hubungan tersembunyi seperti ini. Harus makin sabar dong. Walau itu terasa menelan pil pahit tanpa air. Kebayang, 'kan, gimana rasanya?Sejak awal, kata sabar adalah kunciku untuk Mas Angga. Dia yang galak, dingin, tak banyak bicara, bahkan kadang sadis. Dia lebih suka mengajakku berjalan jauh demi bicara banyak. Padahal kami bisa ngobrol di kedai es atau bawah pohon ceri. Dia senang bertindak kasar untuk menunjukkan perhatian dan cintanya. Padahal halus pun sangat menyenangkan.Ya itulah Mas Angga dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Cuek selangit adalah sifat paling menyebalkan sedunia. Dia tahu, kami saling rindu. Namun, dia enggan menghubungiku. Iyalah aku nomor kesekian dalam hidupnya, tapi nggak gini juga. Aku kangen, tapi takut menghubunginya.Balas suratku lagilah atau mun
Aku menatap gadis cantik di sebelah yang sedang manyun. Sebenarnya hatiku bak ombak yang naik turun. Tak mudah mengekspresikan rasa rindu ini. Seorang Erlan bisa jadi manusia aneh jika sedang rindu macam begini. Ingin rasanya melakukan hal lain lebih dari pelukan. Namun, aku takut melakukannya. Sebab Kania perempuan pertama yang dekat denganku sejak masa puber.Ya cuma ini caraku menunjukkan betapa rindunya aku pada Kania. Setelah berbulan-bulan tak bertemu, dia makin cantik saja. Calon dokter lagi. Cita-cita yang tak pernah dia katakan padaku. Bahkan, mungkin terbesit saja tak pernah. Kesayanganku akan jadi calon dokter. Bangga punya dia."Ayo dong mulai cerita!" ujarku setelah kami berhenti di jalanan yang sepi.Seperti ada gundukan es yang runtuh, "akhirnya, disuruh cerita juga.""Iya calon Ibu Dokter, gimana sih ceritanya? Bagaimana bisa kamu mau jadi dokter? Yakin kamu bisa? Mau jadi dokter apa memangnya?" cerocosku seperti petasan rawit."Kan
Kedua insan itu bergandengan tangan di sepanjang jalan setapak lapangan Rampal. Tak banyak bicara, hanya diam sambil menikmati dinginnya Kota Malang. Kania menunduk sembari menatap kaki mungilnya. Sesekali dia melihat kaki tegas Erlan. Berbeda dengan Erlan yang sesekali mencuri wajah Kania. Tak henti dikaguminya wajah cantik itu."Kania cemong Mas?" tanya Kania tiba-tiba yang membuat Erlan kaget."Iya, jelek banget!" jawab Erlan spontan yang membuat Kania mendongak.Dia bergegas mengelap mulutnya, "aduh kenapa gak bilang dari tadi sih, Mas?""Biarin, biar kamu jelek dan gak dilirik sama siapa-siapa!" jawab Erlan sekenanya."Gak adil Mas Erlan ih!" protes Kania."Terus apa, kamu mau tebar pesona sama tamtama remaja yang lagi korve itu?" tanya Erlan setengah cemburu."Siapa juga yang tebar pesona? Mas Erlan cemburu, ya? Dari tadi aku nggak lihat kemana-mana. Aku nunduk terus karena mau jaga pandangan. Aku jaga hatinya Mas Erlan. Mas kal
"Terimalah hukumanmu, Kania! Ha ha ha!"Seorang lelaki tegap cekikikan sendiri sambil tengkurap. Wajahnya terlihat sangat puas. Keringat membasahi kulit putihnya. Sementara itu, si wanita terlihat lemas dan kesal. Tangan mungilnya terasa hampir putus. Itu karena hukuman yang diberikan si lelaki alias Erlan setiap malam. Hukuman itu adalah Kania harus memijat punggung Erlan sampai lelah."Kenapa sih pacaran sama Mas Erlan gini amat," keluh Kania pelan.Erlan mendongak dan melihat Kania, "kenapa kamu mau yang lebih?""Eng ... enggak kok Mas," ucap Kania terbata. Dia takut Erlan melakukan hal yang lebih apalagi mereka sering berdua di rumah."Kok takut gitu. Gak level kali aku sama kamu, Ka," ejek Erlan seolah membaca pikiran Kania."Gak level kok cinta sih," alih Kania sambil duduk dan menyilangkan tangannya di hadapan Erlan. Wajahnya terlihat lelah namun manis."Terpaksa," sahut Erlan sekenanya."Padahal Mas Erlan bisa
"Melihatmu memperlakukan gadis itu, pasti dia sangat spesial ya?""Emangnya gue gimana?""Lo nggak bisa sembunyikan itu dari gue, Lan. Bahkan, untuk kita yang nggak terlalu dekat, kalian itu kentara banget.""Hati gue emang milik dia, Nu.""Jadi artis akademi kita ini beneran jatuh cinta?""Gue jadi elek-elekan karena dia!""Itulah cinta, Lan."Erlan mengusap mata tajamnya yang beriris coklat. Ingatan tentang percakapannya dengan Ibnu kemarin kembali terputar. Ternyata perasaannya pada Kania sangat terlihat. Padahal sebisa mungkin dia menyembunyikan itu, tapi gesture tubuhnya tak dapat dibohongi. Akankah hubungan diam-diam selama bertahun-tahun ini akan terungkap? Memikirkan saja sudah membuat Erlan berdebar.Erlan kembali merebahkan tubuhnya di kasur mess perwira di batalyonnya. Dia lelah setelah tradisi masuk satuan. Namun, matanya belum bisa terpejam kar
"Udah kamu unggah foto terbaruku?" tanyaku tegas pada seseorang di seberang telepon."Siap Abang Sayang..." balasnya kurang ajar."Heh, jangan kurang ajar kamu ya!" ancamku tak suka."Terus saya harus gimana Bang. Katanya kita pacaran, masak harus izin-izinan segala," kata perempuan tomboy itu, sebut saja dia Aruni."Iya, tahu tempatmu ya!" kataku seram.Dia berdehem kecil, "siap Bang!""Suaramu yang enak. Jangan malas kamu jawab saya!" ancamku lagi. Aku tak suka kelihatan lemah di depannya."Siap Bang. Sudah saya unggah foto terbaru Abang di Instagram saya demi pencitraan di jejaring sosial. Laporan selesai.""Oke, lanjutkan. Kita tetap pada perjanjian awal kan, aku dapat status palsu dan kamu dapat ketenaran. Jangan melanggar itu, jangan sampai bocor kemana-mana.""Siap Bang!" jawab Aruni pelan.Telepon kututup. Ya ya ya, aku memang jahat sama Aruni, hanya sama dia. Sama perempuan lain sebut saja Kania, tentu ti
Sembilan bulan yang lalu..."Untuk kamu yang kusuka, terus terang aku tak pandai berkata-kata. Puisi-puisiku seringkali tak bermakna. Kata-kataku seperti bualan yang menguap ke udara. Namun, dirimu tak pernah sekalipun hampa. Selalu mengisi hatiku, mengisi hariku. Membuat setiap huruf dalam hidupku bernapas. Langit yang cerah tersenyumlah selalu. Kamu cantik tiada tara. WSD, 3 IPA 1."Aku tersenyum sendiri membaca tulisan rapinya dari puluhan tahun silam. Benar sekali, telah kubaca berulangkali surat cinta dari Mas Wirya dulu. Surat cinta yang pernah kubahas dengan Mas Erlan dan membuatnya cemburu itu. Jika kubaca sekarang, perasaanku justru rindu membiru. Aku merindukan suamiku, Mas Wirya. Telah sebulan kami berpisah.Surat ini sungguh manis. Tak kusadari itu dulu, sebab masih ada nama lain di hatiku. Untung saja surat ini belum k
Angin pagi membelai wajahku. Terasa segar dan meneduhkan. Sisa semalam terasa masih lekat di badan ini. Aroma tubuhnya yang wangi masih melekat di pelukanku. Cumbu hangatnya masih terasa di pipi ini. Bibir ini masih terasa manis oleh kata-katanya. Malam-malam selalu indah semenjak bersamanya. Saat ini aku benar-benar tergila oleh suamiku. Berlayar di samuderanya membuatku bahagia seperti ini.Pagi ini kupandangi dia yang sedang merapikan kerah seragam lorengnya. Sembari mengaca dan merapikan rambutnya yang tadi berantakan. Aroma tubuhnya wangi selepas mandi. Aroma sabun favoritku yang menjadi favoritnya juga. Sesekali dia melirikku yang berpura-pura tidur. Dia tak tahu aku diam-diam mengamati tingkahnya.Tubuhnya tinggi semampai, khas tentara pada umumnya. Proposional tentu saja karena hobinya memang olahraga. Apalagi dia terbisa berdiri dan berjalan tegap semenjak muda. Kulitnya sedikit menggelap setelah cuti dua mi
Kini aku dan Mas Wirya telah satu dunia. Kami satu frekuensi. Sering bertemu, bertukar sapa, bertukar senyum, dan bahkan cumbuan. Kami merayu satu sama lain, seperti pasangan lain yang kasmaran. Indah sekali pacaran setelah resmi menikah. Mau berbuat apa saja tak ada yang mencela.Meski masih ada negara di antara kami, tapi dia berusaha mendekat padaku setiap saat. Saat waktu dinas telah usai, tubuhnya menjadi milikku. Aku bisa menikmati senyumnya yang lepas tanpa batasan apapun. Senyumnya yang manis bagaikan candu telah memabukkanku.Setiap hari aku menghias rumah tipe 70 miliknya. Menaruh vas bunga mawar putih di meja ruang tamu, ruang tengah, dan ruang keluarga. Menghabiskan tabunganku selama kuliah di kedokteran demi manisnya rumah ini. Tak apalah, aku tak merasa rugi. Sebab ini salah satu impianku, menjadi ibu rumah tangga.“Terima kasih ya Cinta atas mak
Aku positif jatuh cinta pada suami pernikahan konyol ini. Resmi menjadi koramil alias korban rayuan militer. Tingkah dan perilaku Kak Erlan berhasil membuatku klepek-klepek seperti ikan mujaer. Aku jatuh dalam rayuannya. Menikmati setiap cumbuannya. Memang hatiku tak bisa berbohong, seorang Abel jatuh cinta pada pandang pertama pada seorang Erlan. Berhasil membuatku lupa pada sosok Kak Imran yang menyebalkan itu.Aku menikmati setiap sentuhannya. Setiap pelukannya. Setiap aroma tubuhnya. Setiap cumbu rayunya. Membasuh telingaku hingga basah kuyup. Aku sangat menyukai suamiku saat ini. Lucu ya hidup seorang Nabilla? Dari acak kadul hingga mulai tertata seperti ini. Sungguh aku berterima kasih pada Tuhan dan kedua orang tua yang telah mempertemukan kami. Sepertinya aku menemukan bagian hatiku yang hilang, separuh jiwaku. Dan mungkin saja belahan jiwaku.Ah, entahlah. Aku sedang berusaha mengenal Kak Erlan. Dia tak begi
Kulihat wajahnya yang tenang seperti samudera. Dia selalu terlihat teduh, kalem, dan tenang sekalipun sedang bimbang seperti ini. Beda denganku yang ribut bagai badai karena masalah Surat Izin Menikah. Tanggal pernikahan kami tinggal dua minggu lagi, tapi surat itu belum selesai. Entah terkendala dimana, mungkin status ibuku yang tak jelas.Aku memilih untuk tenggelam dalam aktivitas memasak sup ayam. Di minggu pagi sedikit mendung, Mas Wirya telah menyambangi rumahku. Katanya ingin makan masakanku dengan bapak. Kami memang meminggirkan tradisi pingitan demi mengurus surat menyurat itu. Tenang, dia sangat menjaga kontak fisik denganku kendati hatinya membara."Tolong yaSuh. Pernikahanku tinggal dua minggu."Kudengar dia berkata setengah berbisik di telepon. Mungkin denga
Airlangga Sakha Handojo POV“Kok kamu marah sih, Kak? Bukannya aku istrimu? Kata ayah, aku berhak atas dirimu! Kenapa kamu marah saat aku cuma buka ponselmu!?” katanya kesal.“Gak secepat ini, Abel! Gak kayak gitu caramu ingin tahu tentang aku!Just asking me!Tanya saja jangan cari tahu sendiri!” tegasku.“Tapi kamu selalu jaga jarak sama aku. Kamu selalu jual mahal dan menggodaku. Membuatku malas mendekatimu secara langsung. Sebenarnya kamu marah karena aku buka ponselmu atau karena aku tahu masa lalumu?!” ujarnya memanas. Aku menatapnya lekat, ingin rasanya kubungkam mulut cerewet itu.“Gimana ya caranya jelasin ke anak seumuranmu? Abel, it
Sumpah demi apa saja kali ini aku seperti sedang bermimpi. Sebab seseorang di depanku itu benar-benar nyata. Dia adalah perempuan yang selalu jadi benang merah antara aku dan Mas Erlan, Aruni. Namun, kenapa ia sekarang tetap ada di hubunganku bersama Mas Wirya. Sebenarnya dia siapa hingga bisa masuk ke hidup siapa saja. Nama Aruni bak mengikuti hidup Kania kemana saja.Benar sekali, seseorang yang baru datang dan sedang duduk bersama kami di meja makan ini adalah Aruni. Aruni dari Jakarta, mantan kekasih Mas Erlan atau cuma kekasih pura-pura. Dia sedang tertawa penuh arti bersama kedua orang tua Mas Wirya. Entah apa artinya? Apa mungkin aku akan dipermainkan lagi kali ini? Atau mungkin Aruni akan jadi ganjalan bagiku dan Mas Wirya.Apa maksud kedatangannya ke sini? Dia kenal keluarga Mas Wirya? Lalu Mas Wirya tidak tahu apa hubungan Aruni, Mas Erlan, dan aku? Semua terasa membingungkan hingga suara Pak Hutama memecah
Nasi goreng jawa sudah matang di sore yang mendung dan dingin ini. Mungkin musim hujan akan datang, hingga mendung sering berkunjung. Walau suram, tapi hatiku cerah. Sebab bunga cinta sedang tumbuh dan bersemi. Walau masih berjuang tumbuh, tapi akan terus kusirami.Bapak baru saja pulang dinas saat aku selesai memasak. Sore ini aku tak sibuk di rumah sakit hingga bisa menemani bapak makan di rumah. Sore yang langka dan aku sangat bahagia. Sebab aku merindukan bapak. Wajahnya berbinar melihat piring nasi goreng buatanku. Tak lama langsung duduk dan bersiap makan.“Tok…tok…tok!”“Siapa ya yang datang?” gumam Bapak sambil menatap pintu ruang tamu.“Biar Kania yang buka, Pak.”&
Airlangga Sakha POVSenja mulai merayapi langit Jakarta yang sedikit mendung. Hawanya dingin membuatku malas melakukan apapun. Sepulang dinas kupilih duduk di ruang tengah sambil menatap TV, bukan menonton. Sebab perhatianku lebih tertuju pada istri pernikahan konyol ini, Nabilla alias Abel. Abel sedang menyapu teras depan sambil sesekali melenguh kesal, karena daun yang disapunya bertebaran lagi ditiup angin. Tiap tingkahnya menggelikan.Sesekali aku tersenyum tanpa sadar sebab tingkah Abel mengingatkanku padanya. Dia ceroboh, kekanakan, ceria, dan apa yang dikerjakannya selalu tak beres. Membuatku gemas sendiri dan ikut turun langsung. Ah, aku tak sedang ingin mengingatnya. Pasti dia juga sedang tertawa lepas bersama lelaki itu.Tentang Nabilla alias Abel. D