Airlangga Sakha Handojo POV
"...hei yang suka sama aku lebih cantik daripada kamu. Amit-amit suka sama kamu. Najis!"
Perkataan itu justru jadi boomerang. Saat ini aku justru sangat menyukainya. Kania oh Kania, bocah perempuan yang kukenal sejak tubuhku masih tak berbentuk hingga sekarang dikagumi perempuan. Ternyata aku mencintai anak pelatihku sendiri.
Siapa yang sangka anak yang sekarang duduk di kelas 2 SMA ini jadi penghuni hatiku sejak saat itu. Dia yang selalu kuperhatikan di sela kesibukan menempa pendidikan di lembah Tidar. Dia yang selalu kuingat di sela beratnya aktivitas sebagai seorang taruna Akmil. Dia yang selalu kutemui diam-diam saat libur atau izin bermalam. Dia yang selalu kutelepon dengan sembunyi-sembunyi. Saat yang lain asyik terbuai mimpi, aku justru memikirkannya.
Aneh, ya, mungkin lucu. Aku bisa jatuh cinta, pada anak kecil pula. Sebenarnya selisih usia kami cuma 4 tahun, tapi kelihatan jauh karena aku yang sok dewasa, sok tua. Seorang Erlan nggak mungkin jadi sosok menye-menye. Sosok chessy dan norak. Seleraku juga pasti bukan seperti dia.
Namun, lagi-lagi termakan omongan sendiri. Hatiku sering berdebar saat melihatnya. Dia yang jadi alasanku sering latihan. Sebab dia selalu nempel bapaknya, pelatih fisikku. Wajah anehnya justru lucu. Suka saja melihatnya. Dia nggak cantik, tapi nyenengin. Gimana sih, ya gitulah. Jatuh cinta susah dideskripsikan.
Dia alasanku jadi kurus. Aku harus menarik perhatiannya. Seiring aku kurus, dia makin cantik. Rambutnya yang kumal tiba-tiba dipotong sebahu. Kelihatan lebih segar. Aroma tubuhnya biasanya nggak jelas, jadi beraroma Molto. Lucu sih, mengingatkanku pada sosok adik kecil yang selama ini kudamba.
"Aku suka kegalakan Mas Erlan. Lucu, aku nggak takut."
Begitu katanya. Dasar anak aneh. Nggak punya gentar sama aku. Nggak ada takutnya sekalipun aku sering membentaknya. Kata dia, wajahku jadi lucu saat marah. Wajahku terlalu ganteng untuk judes. Ah, dasar pembual kecil.
"Mas Angga!" Sebuah suara memecah lamunanku. Aku benci panggilan itu.
"Lama banget!" sambutku tak bersahabat, seperti biasalah.
Dia tersenyum hangat, "iya, tadi masih remidi Bahasa Indonesia."
"Apa, remidi lagi? Kamu nih orang mana sih. Bahasa sendiri kok begonya minta ampun," ejekku kasar, seperti biasalah.
"Soalnya waktu ulangan aku kepikiran Mas. Makanya nggak konsen." Ah mulai lagi anak ini.
"Kumat!" vonisku. Dia terkekeh sambil menggelayut manja.
Kami duduk di bangku belakang sekolah yang sepi. Kami bertemu diam-diam lagi saat aku sedang libur. Tentu saja aku masih berseragam taruna, itu sudah protap. Untuk menutupinya, kupakai jaket kulit. Supaya tidak menarik perhatian saja. Sekalian kutambah topi deh. Malas saja kalau menarik perhatian orang. Aku ingin leluasa bercengkrama dengan Kania, berdua saja.
"Mas libur berapa hari?" tanya Kania pelan.
"3 hari. Kenapa?" jawabku cuek.
"Waktu untukku berapa hari?" Pertanyaan yang menjebak.
"Maumu berapa?" tanyaku sok galak.
"Seumur hidup," jawabnya yang membuatku tak kuasa menahan senyuman.
"Kamu ..." desahku.
"Cantik, ya?" Dia menaikturunkan alis.
Banget, batinku berteriak penuh semangat.
"Jelek!" simpulku kesal. Dia hanya mendengus, imut sekali.
"Mas, Kania dapat ini lo!" ujarnya sambil menyodorkan sepucuk amplop warna jingga.
Aku mengamati amplop yang ternyata wangi itu, "dapat darimana kamu?"
"Anak kelas 3 IPA, namanya Wirya. Dia suka sama aku. Mau aku jadi pacarnya."
Jawaban Kania membuatku buyar. Dan lagi, dia dapat surat cinta dari kakak kelasnya. Kemarin dari anak kelas 3 IPS lalu anak kelas 1. Sekarang dari kakak kelas lagi. Rupanya lagi naik daun. Oh tidak bisa. Kania hanya milikku walau ... kami tanpa status yang jelas.
"Terima atau nggak, ya, Mas?" godanya, seperti biasa.
"Terserah kamu," jawabku sewot.
"Dia ganteng sih Mas. Potongannya kayak Mas Angga. Cepak gitu soalnya mau daftar Akmil juga. Semoga dia masuk, ya?" ucapnya melantur.
"Ngapain juga kamu harus sibuk ngurusin dia. Mau dia masuk kek, enggak kek, bukan urusanmu, 'kan! Dikira masuk Akmil kayak masuk ke mal. Gampang gitu?" jawabku kasar.
"Kok sewot sih. Cemburu, yaaa? Cemburu, 'kan?" godanya sambil memasang wajah imut. Sungguh ingin kugigit hidung mungilnya itu.
"Kamu ini! Niat ketemu nggak sih. Kamu nggak ngerasa kangen sama aku?" uraiku begitu saja. Norak kan.
"Haha, imut sekali kalau cemburu. Sini ih, kangen dong." Kania lantas melingkarkan tangannya pada lenganku.
Andai saja aku tak berseragam.
"Makan yuk!" ajakku semangat. Mengubah suasana aneh tadi jadi suasana yang sedikit hangat.
"Jadi diterima nggak nih Mas Wiryanya," tegasnya menyebalkan.
"Ah...bodoh amat!" ucapku gusar.
---"Emangnya nggak boleh Kania pacaran sama orang lain?" tanyanya saat kami di warung bakso dekat sekolah.
"Emangnya kamu nggak cinta aku?" tanyaku posesif.
"Emang status kita apa sih, Mas?" Pertanyaan yang selalu muncul, apalagi akhir-akhir ini.
"Bukannya kita nggak butuh status. Sejak kapan sih kamu meributkan status?" ujarku sedikit merendahkan suara. Nggak enaklah di warung bakso bahas ginian.
"Ya biar jelas aja, Mas. Kania, 'kan, sama kayak cewek lain," jawabnya penuh harap.
"Oh jadi sekarang udah jadi cewek," alihku.
"Ih Mas Angga. Mau lihat buktinya? Aku lagi mens lho!" ujarnya keras. Amit-amit cewek satu ini.
"Gila lo!" Dia terkekeh. Bener-bener nggak jaga muka ini anak.
"Kania tahu kok kalau mas Angga lagi menghindar. Ya udah deh, nggak perlu dibahas lagi. Sebenarnya kenapa sih kok kita nggak butuh status? Apa karena Kania nggak pantes, ya, dikasih status?" Wajahnya cukup melas.
"Katanya nggak mau bahas, tapi kok banyak tanya. Dasar plin-plan."
"Jawab sajalah, Mas Angga!"
"Panggil yang bener!"
"Iya, Mas Erlan. Kasih jawaban dong biar aku lega."
"Harus, ya, di warung bakso gini?"
Dia tersenyum lembut sambil menatapku, "bukannya tempat kita bicara bisa di mana aja? Bukannya kita nggak pernah bicara di tempat lain selain tempat kayak gini. Yakin mau di rumah Mas? Bisa heboh, 'kan?"
Kuhela napasku berat. Benar juga katanya. Selama kami berhubungan, tak ada yang tahu. Kami menjalin cinta tanpa status dan tanpa diketahui oleh siapapun. Ini adalah keputusanku. Sebab terlanjur janji pada ayah, bahwa cita-cita sebagai tentara adalah nomor satu. Lagi pula, memang bisa heboh kalau aku jatuh cinta pada Kania. Mana mungkin seorang Erlan. Ah sudahlah.
"Kujawab di tempat yang lain. Yang lebih indah," putusku kemudian.
"Oke, baiklah." Kania pasrah.
---"Jadi tempat indahnya di pinggir sawah?" tanya Kania kecewa.
Aku menyeringai, "kenapa kamu nggak suka?"
Dia mengangkat kedua bahunya lantas duduk di pematang sawah yang hijau, "suka. Dimana aja asal sama Mas Angga."
"Bisa nggak sih jangan panggil aku kayak gitu?" Aku protes.
"Bisa nggak sih langsung jawab pertanyaanku?" kata Kania dengan mimik serius. Tumben nih anak. Mungkin dia memang ingin kejelasan.
"Aku nggak mau cinta kita terkotak cuma dengan status. Status pacaran, putus jadi mantan. Aku nggak mau putus, aku juga nggak suka kata 'mantan'. Jelas?" jelasku padat, singkat, dan jelas.
Dia menatapku lurus, "aku juga nggak mau kita pisah. Aku mau selamanya sama Mas Angga. Aku mau suatu hari bisa manggil nama Erlan dengan leluasa karena udah jadi keluarga. Walau aku nggak tahu selamanya itu sampai kapan."
"Kamu mau panggil aku Erlan aja nggak sih?" tegasku. Dia menggeleng.
"Kenapa sih Kania? Apa itu terlalu sulit? Apa benar menyinggung prinsipmu?" tegasku lagi.
"Sama seperti prinsip Mas Angga yang nggak mau kasih status demi cita-cita. Aku juga nggak mau manggil dengan seakrab itu. Karena aku masih sungkan, kaku. Kita belum jadi keluarga, 'kan. Di depan masih abu-abu." Kania tampak dewasa saat menjelaskan semua itu. Dewasa sekaligus menusuk perasaanku.
"Dasar sok dewasa kamu, Ka!" olokku demi mencairkan suasana.
"Jadi boleh dong aku kasih Mas Wirya status. 'Kakak kelas yang kukenal', gitu nggak buruk, 'kan?" godanya usil.
"Kamu mulai lagi, ya? Kenapa nggak sekalian aja 'kakak kelas ganjen yang kutolak'. Norak!" olokku tak mau kalah.
"Cemburu, ya, 'kan ...." Aku berlalu meninggalkannya di pematang sawah.
Dasar norak. Iya aku yang norak. Udah keren pakai baju Taruna Akmil, malah main di sawah. Jajan bakso sama anak SMA. Nggak elit banget liburan ini. Namun, mau dikata apa, semua demi bisa bercanda bersenda gurau dengannya. Walau tak manis manja, tapi inilah caraku menikmati hubungan ini. Kania baik saja dengan caraku.
Ah, jadi melantur. Gara-gara surat cinta dari siapa tadi, Waria eh Wirya, pembahasan kami jadi ke mana-mana. Akhirnya malah bahas status. Runyam kalau kami sampai berantem. Ya, walau setiap ketemu pasti berantem nggak jelas sih. Namun nggak serius, cuma guyonan, bukan? Untung saja tadi nggak runyam. Ah, surat cinta sial.
"Nanti Mas Angga tulis surat dari Magelang bolehlah," seloroh Kania santai.
"Kurang kerjaan amat aku!" ujarku galak.
***Bersambung...
Kania Langit Amaranata POV"Hari Senin, minggu ketiga bulan ini, aku akan datang ke sekolahmu. Temui aku di ruang BK, ya!"Sepenggal tulisan itu membuatku berdebar. Tulisan Mas Angga yang rapi telah terbaca olehku. Membuat sebuah simpul senyum di bibirku. Ah senangnya dia akan datang. Surat yang penuh kabar bahagia. Memang klasik dan kuno sih. Konon seorang Airlangga menulis surat karena tak mau kalah dari saingannya, Wirya Samudra Dewandana, kakak kelasku.Iya, pada akhirnya setelah adegan pematang sawah itu, Mas Angga jadi rajin menulis surat. Senang deh, bisa membaca tulisannya. Terasa lebih nyata saja dibanding cuma telepon sembunyi-sembunyi. Ingin rasanya aku cepat ke minggu depan, iya senin minggu depan.Kabarnya, Sermatutar Airlangga Sakha Handojo akan datang ke sekolahku. Katanya sih mau reuni dengan guru-guru. Sekalian kasih pesan pada junior-junior. Oh iya, untuk promo Akademi Militer kata dia. Aduh tanpa dipromo juga udah terkenal. Apa
"Hai Dek Kania.""Mau apa Mas Wirya ke sini?""Tentu mengunjungimu.""Jangan pengaruhi pikiran saya lagi tentang Mas Angga. Saya nggak mau salah paham lagi."Mas Wirya terlihat lemas. Senyum berpendarnya lesu setelah percakapan singkat kami. Dia duduk begitu saja di teras rumahku yang sederhana dengan pandangan aneh. Padahal dia terlihat cakap dalam balutan seragam taruna. Mirip seperti Mas Angga."Waktu itu memang salah saya, Dek. Saya tidak kroscek dulu langsung asal bicara. Saya minta maaf, ya?" ucapnya pelan sambil menatapku lekat.Aku hanya diam tak tahu harus berkata apa, "saya masih boleh menemuimu, 'kan?" tanyanya pelan."Apa Bang Airlangga melarang Dek Kania untuk berhubungan dengan saya? Apa hubungan kalian sangat spesial?" imbuhnya lagi karena aku hanya diam tanpa menjawab."Apa seragam yang Mas pakai itu susah dapatnya?" tanyaku yang dijawab dengan anggukannya."Lantas kenapa buat ketemuan dengan orang macam
Airlangga Sakha Handojo POV"Tuh 'kan, kita jadi dilihatin satu mal. Malas ah ...."Kudengar keluhan imut itu berulangkali terucap. Kutahu dia sedang tidak nyaman dengan situasi ini. Dilihatin sebagian besar pengunjung pusat perbelanjaan karena sedang jalan dengan seorang taruna berseragam. Itulah kenapa dia tidak suka jika aku berseragam. Memang sih, siapa yang suka jadi pusat perhatian."Mau gimana lagi, seragam ini nggak boleh dilepas!" ucapku datar."'Kan bisa pakai jaket," keluhnya lagi."Panas, ogah. Biar aja kenapa sih. Angkat dagu dan busungkan dada ajalah. Bangga gitu jalan sama calon perwira, ganteng pula.""Idih narsis. Bangga itu cukup dalam hati Mas. Nggak perlu publikasi. Berlebihan namanya." Gadis kesayanganku ini tetap menggerutu, semakin gemas.Aku menatapnya lurus, "ya udah aku lepas baju aja, shirtless. Biar heboh satu mal. Gimana?"Dia bergidik ngeri sambil mengangkat bahun
Kania Langit Amaranata POVSaat terpisah dengan Mas Angga, aku selalu banyak berpikir. Kebanyakan mengingat masa lalu kami bersama. Bagaimana kami bertemu. Bagaimana kami banyak menghabiskan waktu bersama. Bagaimana perangai galak dan menyebalkannya.Kadang aku jalan ke tempat kenangan kami sambil mengingat momen itu. Ke warung mi ayam favorit sejak SMA. Selalu saja dia dilihat orang banyak karena seragamnya. Tidak selalu seragam sih, kadang wajah gantengnya saja sudah menarik orang.Mas Angga memang bak medan magnet. Bisa menarik kutub yang berlawanan dengannya. Banyak yang terpaku dengannya. Begitu pun denganku. Aku rela menjalani separuh waktu hidupku untuk mencintainya. Walau itu tanpa status, aku rela. Padahal aku sama, wanita yang butuh status.Berjauhan dengannya membuatku banyak berpikir. Bagaimana aku bisa menjalani waktu ini. Saat dulu dia masih daftar tentara, kami selalu bersama. Tentu dengan sembunyi-sembunyi. Aku se
Kania Langit POVKunci berhubungan dengan lelaki berseragam itu adalah sabar. Itu kataku, tentu pada diriku sendiri. Apalagi jika harus menjalani hubungan tersembunyi seperti ini. Harus makin sabar dong. Walau itu terasa menelan pil pahit tanpa air. Kebayang, 'kan, gimana rasanya?Sejak awal, kata sabar adalah kunciku untuk Mas Angga. Dia yang galak, dingin, tak banyak bicara, bahkan kadang sadis. Dia lebih suka mengajakku berjalan jauh demi bicara banyak. Padahal kami bisa ngobrol di kedai es atau bawah pohon ceri. Dia senang bertindak kasar untuk menunjukkan perhatian dan cintanya. Padahal halus pun sangat menyenangkan.Ya itulah Mas Angga dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Cuek selangit adalah sifat paling menyebalkan sedunia. Dia tahu, kami saling rindu. Namun, dia enggan menghubungiku. Iyalah aku nomor kesekian dalam hidupnya, tapi nggak gini juga. Aku kangen, tapi takut menghubunginya.Balas suratku lagilah atau mun
Aku menatap gadis cantik di sebelah yang sedang manyun. Sebenarnya hatiku bak ombak yang naik turun. Tak mudah mengekspresikan rasa rindu ini. Seorang Erlan bisa jadi manusia aneh jika sedang rindu macam begini. Ingin rasanya melakukan hal lain lebih dari pelukan. Namun, aku takut melakukannya. Sebab Kania perempuan pertama yang dekat denganku sejak masa puber.Ya cuma ini caraku menunjukkan betapa rindunya aku pada Kania. Setelah berbulan-bulan tak bertemu, dia makin cantik saja. Calon dokter lagi. Cita-cita yang tak pernah dia katakan padaku. Bahkan, mungkin terbesit saja tak pernah. Kesayanganku akan jadi calon dokter. Bangga punya dia."Ayo dong mulai cerita!" ujarku setelah kami berhenti di jalanan yang sepi.Seperti ada gundukan es yang runtuh, "akhirnya, disuruh cerita juga.""Iya calon Ibu Dokter, gimana sih ceritanya? Bagaimana bisa kamu mau jadi dokter? Yakin kamu bisa? Mau jadi dokter apa memangnya?" cerocosku seperti petasan rawit."Kan
Kedua insan itu bergandengan tangan di sepanjang jalan setapak lapangan Rampal. Tak banyak bicara, hanya diam sambil menikmati dinginnya Kota Malang. Kania menunduk sembari menatap kaki mungilnya. Sesekali dia melihat kaki tegas Erlan. Berbeda dengan Erlan yang sesekali mencuri wajah Kania. Tak henti dikaguminya wajah cantik itu."Kania cemong Mas?" tanya Kania tiba-tiba yang membuat Erlan kaget."Iya, jelek banget!" jawab Erlan spontan yang membuat Kania mendongak.Dia bergegas mengelap mulutnya, "aduh kenapa gak bilang dari tadi sih, Mas?""Biarin, biar kamu jelek dan gak dilirik sama siapa-siapa!" jawab Erlan sekenanya."Gak adil Mas Erlan ih!" protes Kania."Terus apa, kamu mau tebar pesona sama tamtama remaja yang lagi korve itu?" tanya Erlan setengah cemburu."Siapa juga yang tebar pesona? Mas Erlan cemburu, ya? Dari tadi aku nggak lihat kemana-mana. Aku nunduk terus karena mau jaga pandangan. Aku jaga hatinya Mas Erlan. Mas kal
"Terimalah hukumanmu, Kania! Ha ha ha!"Seorang lelaki tegap cekikikan sendiri sambil tengkurap. Wajahnya terlihat sangat puas. Keringat membasahi kulit putihnya. Sementara itu, si wanita terlihat lemas dan kesal. Tangan mungilnya terasa hampir putus. Itu karena hukuman yang diberikan si lelaki alias Erlan setiap malam. Hukuman itu adalah Kania harus memijat punggung Erlan sampai lelah."Kenapa sih pacaran sama Mas Erlan gini amat," keluh Kania pelan.Erlan mendongak dan melihat Kania, "kenapa kamu mau yang lebih?""Eng ... enggak kok Mas," ucap Kania terbata. Dia takut Erlan melakukan hal yang lebih apalagi mereka sering berdua di rumah."Kok takut gitu. Gak level kali aku sama kamu, Ka," ejek Erlan seolah membaca pikiran Kania."Gak level kok cinta sih," alih Kania sambil duduk dan menyilangkan tangannya di hadapan Erlan. Wajahnya terlihat lelah namun manis."Terpaksa," sahut Erlan sekenanya."Padahal Mas Erlan bisa
Sembilan bulan yang lalu..."Untuk kamu yang kusuka, terus terang aku tak pandai berkata-kata. Puisi-puisiku seringkali tak bermakna. Kata-kataku seperti bualan yang menguap ke udara. Namun, dirimu tak pernah sekalipun hampa. Selalu mengisi hatiku, mengisi hariku. Membuat setiap huruf dalam hidupku bernapas. Langit yang cerah tersenyumlah selalu. Kamu cantik tiada tara. WSD, 3 IPA 1."Aku tersenyum sendiri membaca tulisan rapinya dari puluhan tahun silam. Benar sekali, telah kubaca berulangkali surat cinta dari Mas Wirya dulu. Surat cinta yang pernah kubahas dengan Mas Erlan dan membuatnya cemburu itu. Jika kubaca sekarang, perasaanku justru rindu membiru. Aku merindukan suamiku, Mas Wirya. Telah sebulan kami berpisah.Surat ini sungguh manis. Tak kusadari itu dulu, sebab masih ada nama lain di hatiku. Untung saja surat ini belum k
Angin pagi membelai wajahku. Terasa segar dan meneduhkan. Sisa semalam terasa masih lekat di badan ini. Aroma tubuhnya yang wangi masih melekat di pelukanku. Cumbu hangatnya masih terasa di pipi ini. Bibir ini masih terasa manis oleh kata-katanya. Malam-malam selalu indah semenjak bersamanya. Saat ini aku benar-benar tergila oleh suamiku. Berlayar di samuderanya membuatku bahagia seperti ini.Pagi ini kupandangi dia yang sedang merapikan kerah seragam lorengnya. Sembari mengaca dan merapikan rambutnya yang tadi berantakan. Aroma tubuhnya wangi selepas mandi. Aroma sabun favoritku yang menjadi favoritnya juga. Sesekali dia melirikku yang berpura-pura tidur. Dia tak tahu aku diam-diam mengamati tingkahnya.Tubuhnya tinggi semampai, khas tentara pada umumnya. Proposional tentu saja karena hobinya memang olahraga. Apalagi dia terbisa berdiri dan berjalan tegap semenjak muda. Kulitnya sedikit menggelap setelah cuti dua mi
Kini aku dan Mas Wirya telah satu dunia. Kami satu frekuensi. Sering bertemu, bertukar sapa, bertukar senyum, dan bahkan cumbuan. Kami merayu satu sama lain, seperti pasangan lain yang kasmaran. Indah sekali pacaran setelah resmi menikah. Mau berbuat apa saja tak ada yang mencela.Meski masih ada negara di antara kami, tapi dia berusaha mendekat padaku setiap saat. Saat waktu dinas telah usai, tubuhnya menjadi milikku. Aku bisa menikmati senyumnya yang lepas tanpa batasan apapun. Senyumnya yang manis bagaikan candu telah memabukkanku.Setiap hari aku menghias rumah tipe 70 miliknya. Menaruh vas bunga mawar putih di meja ruang tamu, ruang tengah, dan ruang keluarga. Menghabiskan tabunganku selama kuliah di kedokteran demi manisnya rumah ini. Tak apalah, aku tak merasa rugi. Sebab ini salah satu impianku, menjadi ibu rumah tangga.“Terima kasih ya Cinta atas mak
Aku positif jatuh cinta pada suami pernikahan konyol ini. Resmi menjadi koramil alias korban rayuan militer. Tingkah dan perilaku Kak Erlan berhasil membuatku klepek-klepek seperti ikan mujaer. Aku jatuh dalam rayuannya. Menikmati setiap cumbuannya. Memang hatiku tak bisa berbohong, seorang Abel jatuh cinta pada pandang pertama pada seorang Erlan. Berhasil membuatku lupa pada sosok Kak Imran yang menyebalkan itu.Aku menikmati setiap sentuhannya. Setiap pelukannya. Setiap aroma tubuhnya. Setiap cumbu rayunya. Membasuh telingaku hingga basah kuyup. Aku sangat menyukai suamiku saat ini. Lucu ya hidup seorang Nabilla? Dari acak kadul hingga mulai tertata seperti ini. Sungguh aku berterima kasih pada Tuhan dan kedua orang tua yang telah mempertemukan kami. Sepertinya aku menemukan bagian hatiku yang hilang, separuh jiwaku. Dan mungkin saja belahan jiwaku.Ah, entahlah. Aku sedang berusaha mengenal Kak Erlan. Dia tak begi
Kulihat wajahnya yang tenang seperti samudera. Dia selalu terlihat teduh, kalem, dan tenang sekalipun sedang bimbang seperti ini. Beda denganku yang ribut bagai badai karena masalah Surat Izin Menikah. Tanggal pernikahan kami tinggal dua minggu lagi, tapi surat itu belum selesai. Entah terkendala dimana, mungkin status ibuku yang tak jelas.Aku memilih untuk tenggelam dalam aktivitas memasak sup ayam. Di minggu pagi sedikit mendung, Mas Wirya telah menyambangi rumahku. Katanya ingin makan masakanku dengan bapak. Kami memang meminggirkan tradisi pingitan demi mengurus surat menyurat itu. Tenang, dia sangat menjaga kontak fisik denganku kendati hatinya membara."Tolong yaSuh. Pernikahanku tinggal dua minggu."Kudengar dia berkata setengah berbisik di telepon. Mungkin denga
Airlangga Sakha Handojo POV“Kok kamu marah sih, Kak? Bukannya aku istrimu? Kata ayah, aku berhak atas dirimu! Kenapa kamu marah saat aku cuma buka ponselmu!?” katanya kesal.“Gak secepat ini, Abel! Gak kayak gitu caramu ingin tahu tentang aku!Just asking me!Tanya saja jangan cari tahu sendiri!” tegasku.“Tapi kamu selalu jaga jarak sama aku. Kamu selalu jual mahal dan menggodaku. Membuatku malas mendekatimu secara langsung. Sebenarnya kamu marah karena aku buka ponselmu atau karena aku tahu masa lalumu?!” ujarnya memanas. Aku menatapnya lekat, ingin rasanya kubungkam mulut cerewet itu.“Gimana ya caranya jelasin ke anak seumuranmu? Abel, it
Sumpah demi apa saja kali ini aku seperti sedang bermimpi. Sebab seseorang di depanku itu benar-benar nyata. Dia adalah perempuan yang selalu jadi benang merah antara aku dan Mas Erlan, Aruni. Namun, kenapa ia sekarang tetap ada di hubunganku bersama Mas Wirya. Sebenarnya dia siapa hingga bisa masuk ke hidup siapa saja. Nama Aruni bak mengikuti hidup Kania kemana saja.Benar sekali, seseorang yang baru datang dan sedang duduk bersama kami di meja makan ini adalah Aruni. Aruni dari Jakarta, mantan kekasih Mas Erlan atau cuma kekasih pura-pura. Dia sedang tertawa penuh arti bersama kedua orang tua Mas Wirya. Entah apa artinya? Apa mungkin aku akan dipermainkan lagi kali ini? Atau mungkin Aruni akan jadi ganjalan bagiku dan Mas Wirya.Apa maksud kedatangannya ke sini? Dia kenal keluarga Mas Wirya? Lalu Mas Wirya tidak tahu apa hubungan Aruni, Mas Erlan, dan aku? Semua terasa membingungkan hingga suara Pak Hutama memecah
Nasi goreng jawa sudah matang di sore yang mendung dan dingin ini. Mungkin musim hujan akan datang, hingga mendung sering berkunjung. Walau suram, tapi hatiku cerah. Sebab bunga cinta sedang tumbuh dan bersemi. Walau masih berjuang tumbuh, tapi akan terus kusirami.Bapak baru saja pulang dinas saat aku selesai memasak. Sore ini aku tak sibuk di rumah sakit hingga bisa menemani bapak makan di rumah. Sore yang langka dan aku sangat bahagia. Sebab aku merindukan bapak. Wajahnya berbinar melihat piring nasi goreng buatanku. Tak lama langsung duduk dan bersiap makan.“Tok…tok…tok!”“Siapa ya yang datang?” gumam Bapak sambil menatap pintu ruang tamu.“Biar Kania yang buka, Pak.”&
Airlangga Sakha POVSenja mulai merayapi langit Jakarta yang sedikit mendung. Hawanya dingin membuatku malas melakukan apapun. Sepulang dinas kupilih duduk di ruang tengah sambil menatap TV, bukan menonton. Sebab perhatianku lebih tertuju pada istri pernikahan konyol ini, Nabilla alias Abel. Abel sedang menyapu teras depan sambil sesekali melenguh kesal, karena daun yang disapunya bertebaran lagi ditiup angin. Tiap tingkahnya menggelikan.Sesekali aku tersenyum tanpa sadar sebab tingkah Abel mengingatkanku padanya. Dia ceroboh, kekanakan, ceria, dan apa yang dikerjakannya selalu tak beres. Membuatku gemas sendiri dan ikut turun langsung. Ah, aku tak sedang ingin mengingatnya. Pasti dia juga sedang tertawa lepas bersama lelaki itu.Tentang Nabilla alias Abel. D