"Bagiku, kamu adalah langitku."
"Bagiku, kamu adalah bumiku."
Di sebuah taman kota yang teduh, pepohonan yang rindang dan sepi kedua insan itu tertawa lepas bersama. Sejenak kemudian diam. Terutama si lelaki yang memang tak begitu suka tertawa. Lelaki itu lebih memilih untuk kembali dalam hening dan mengunyah sebutir buah ceri. Beda dengan si perempuan yang lebih semringah. Tentu saja dia senang memadu cinta, dan menunjukkannya pada dunia.
"Kita kayak pasangan norak, ya?" tanya si perempuan.
"Kamu sih. Aku jadi kehilangan wibawa." Si lelaki memasang wajah jutek.
"Kenapa harus malu sih, Mas? Di sini, 'kan, cuma ada aku. Gak ada orang lain. Ayo lepas saja seragammu!" perempuan ayu itu mencolek lelaki tercintanya.
"Tuh 'kan kamu mulai lagi..." elak si lelaki enggan.
Tampaknya si perempuan bukan orang yang mudah menyerah. Dengan cekatan dia menarik lengan ketat seragam kekasihnya. Seragam coklat itu sedikit kusut karena ulah jahil perempuan muda berkulit putih itu. Si lelaki kesal. Walau cinta, dia tetap memegang prinsip dan keteguhan sikapnya, dingin.
"Balikin chevron gue, Bego!" desis si lelaki kesal. Si perempuan tertawa-tawa.
"Bodoh amat, wuee! Aku nggak suka Mas Angga pakai seragam kalau pacaran sama aku!"
Lelaki bernama Angga itu mengejar kekasihnya. Dia tak suka tanda segitiga di bajunya diambil, apalagi dipakai mainan. Seragam itu adalah hidupnya. Nyawanya, segalanya. Dengan darah dan air mata itu dia dapatkan. Dia tak suka dipakai mainan.
"Sini dong! Kamu jangan main-main sama tentara, ya!" ujar Angga.
"Kania!" panggil Angga sekali lagi.
"Sinilah Mas ambil sendiri, wue!" Kania masih saja seperti kanak-kanak yang asyik menggoda Angga.
"Jangan serius terus nanti Mas Angga cepet tua!" seloroh Kania.
"Satu!" Seperti biasa Angga mulai menghitung angka. Seperti itulah caranya menghentikan tingkah manja Kania.
"Dua ...!" Kania membalas sambil menjulurkan lidah sok imut.
"Oh ... kamu, ya!"
Tanpa pikir panjang, Anggapun langsung mengejar Kania. Tentu saja itu sangat mudah. Dia calon tentara, Kania cuma anak SMA biasa. Fisik Kania sangat kalah dibanding Angga. Tak butuh lama, gadis itu terkunci dalam dekapan badan besar Angga. Dia terlihat menahan tawa ketika Angga justru terlihat sangat marah.
"Kamu jangan main-main sama seragamku, ya!" ucap Angga tegas.
"Aku nggak main-main kok. Aku hormat sama Mas Angga. Hormat!" Kania berpura-pura memberikan hormat dengan tangannya.
"Masih main-main, ya!" ancam Angga. Kania terkekeh.
"Hei Bocah, kamu tahu betapa susahnya aku dapat semua ini. Seragam yang nggak kamu suka ini, tanda chevron ini, semua pakai keringat!" kata Angga tegas.
"Iya Mas Angga ... Kania ngerti," ucap Kania pelan.
"Hei kamu masih main-main, ya, sama aku!" kata Angga masih kesal.
"Nggak Mas Angga," celetuk Kania usil.
"Panggil namaku yang bener! Aku beneran marah, ya!" sambung Angga yang kini jadi marah. Tatapannya terlihat beringas walau itu pada kekasihnya.
"Siap ... salah!" ujar Kania akhirnya takut.
"Yang bener!" tegas Angga. Wataknya memang dingin seperti es batu.
"Maafkan Kania Langit Amaranata, ya, Sermadatar Airlangga Sakha Handojo. Kania tidak bermaksud bermain-main. Kania hanya ingin bercanda dengan Mas Taruna," ucap Kania sambil menunduk.
Angga alias Airlangga tersenyum simpul. Tentu saja marahnya hanya tipuan. Supaya suasana enak saja. Itu caranya memadu kasih dengan perempuan yang empat tahun lebih muda darinya itu. Tak lama kemudian, Angga meraih kedua belah pipi tembem Kania. Dipencetnya hingga bibir Kania seperti bebek.
"Adik Kecilku takut, ya?" olok Angga.
"Ih Mas Angga!" Kania kesal dan memukul lengan Angga keras. Tentu saja Angga cuma tertawa keras. Pukulan yang tak terasa.
"Sstt, panggil gue Erlan, Bocah! Aku nggak suka dipanggil gitu!" kata Angga lagi.
"Nggak mau. Panggilan itu 'kan buat keluarga. Aku 'kan bukan keluargamu, wue!"
"Nanti kan juga jadi keluargaku!" sambung Angga.
"Nggak maulah," balas Kania.
"Lho kenapa, emang kamu nggak mau jadi istriku?"
"Nggak maulah ..." jawab Kania.
"Kenapa? Katanya kamu cinta sama aku, Kania." Angga mulai bingung.
"Iya aku nggak mau, soalnya masih sekolah. Banyak ulangan, ujian kenaikan kelas juga!"
Angga terkekeh, "ya ampun anak ini. Anak SMAku, memang menggemaskan. Okay deh, jaga diri baik-baik buatku, ya."
"Mas Tarunaku juga jaga diri baik-baik, ya," balas Kania sambil tersenyum manis.
"Tentu, ya, udah sini chevron-ku. Seragam ini harus terus dipakai. Nggak boleh rusak atau hilang atribut. Kamu boleh bermain denganku, tapi tidak dengan seragamku. Setuju?" tandas Angga sekali lagi.
Kania mengangguk, "iya Mas Angga..."
"Nah gitu lagi! Malas akulah!" ucap Angga kesal.
"Siap Mas Erlan. Buminya Kania."
"Norak kamu, Langitnya Erlan!"
"Kamu yang norak, Mas."
Keduanya kembali terkekeh. Lagi dan lagi. Lantas kembali mencolek pipi atau poni. Kadang Angga atau Erlan mencubit gemas pipi montok Kania. Kania juga kadang memukul kecil lengan atletis Angga. Keduanya bahagia, sekalipun tak ada yang tahu. Manusia lain mungkin tak pernah tahu cinta mereka. Namun, dunia menjadi saksi setiap detik kisah mereka. Yang entah di mana muaranya.
***Bersambung...Hai namaku Kania, Kania Langit Amaranata. Usiaku tujuh belas tahun. Kata orang usia yang indah untuk jatuh cinta. Nyatanya aku merasakan cinta yang indah sejak umur tiga belas tahun. Aku jatuh cinta pada kakak kelasku saat duduk di kelas satu SMP. Dia empat tahun lebih tua dariku, bernama Airlangga Sakha Handojo. Saat ada nama ini, ingatanku kembali pada saat itu.Aku lebih suka memanggilnya Angga. Namun, karena dia selalu marah maka aku terpaksa memanggilnya Erlan. Seperti semua anggota keluarga memanggilnya. Padahal aku punya batasan, tak memanggil nama akrab teman lelaki. Ya sudahlah, aku tak mau berdebat dengannya. Terlalu makan waktu.Siapapun panggilan Erlan, nyatanya aku telah jatuh cinta pada nama itu. Saat mendengar namanya seolah ada angin semilir bertiup di telingaku. Sejuk dan dingin. Hebat benar Bapak Handojo memberi nama anaknya. Keluarga itu memang sangat keren sih.
Airlangga Sakha Handojo POV"...hei yang suka sama aku lebih cantik daripada kamu. Amit-amit suka sama kamu. Najis!"Perkataan itu justru jadi boomerang. Saat ini aku justru sangat menyukainya. Kania oh Kania, bocah perempuan yang kukenal sejak tubuhku masih tak berbentuk hingga sekarang dikagumi perempuan. Ternyata aku mencintai anak pelatihku sendiri.Siapa yang sangka anak yang sekarang duduk di kelas 2 SMA ini jadi penghuni hatiku sejak saat itu. Dia yang selalu kuperhatikan di sela kesibukan menempa pendidikan di lembah Tidar. Dia yang selalu kuingat di sela beratnya aktivitas sebagai seorang taruna Akmil. Dia yang selalu kutemui diam-diam saat libur atau izin bermalam. Dia yang selalu kutelepon dengan sembunyi-sembunyi. Saat yang lain asyik terbuai mimpi, aku justru memikirkannya.Aneh, ya, mungkin lucu. Aku bisa jatuh cinta, pada anak kecil pula. Sebenarnya selisih usia kami cuma 4 tahun, tapi kelihatan j
Kania Langit Amaranata POV"Hari Senin, minggu ketiga bulan ini, aku akan datang ke sekolahmu. Temui aku di ruang BK, ya!"Sepenggal tulisan itu membuatku berdebar. Tulisan Mas Angga yang rapi telah terbaca olehku. Membuat sebuah simpul senyum di bibirku. Ah senangnya dia akan datang. Surat yang penuh kabar bahagia. Memang klasik dan kuno sih. Konon seorang Airlangga menulis surat karena tak mau kalah dari saingannya, Wirya Samudra Dewandana, kakak kelasku.Iya, pada akhirnya setelah adegan pematang sawah itu, Mas Angga jadi rajin menulis surat. Senang deh, bisa membaca tulisannya. Terasa lebih nyata saja dibanding cuma telepon sembunyi-sembunyi. Ingin rasanya aku cepat ke minggu depan, iya senin minggu depan.Kabarnya, Sermatutar Airlangga Sakha Handojo akan datang ke sekolahku. Katanya sih mau reuni dengan guru-guru. Sekalian kasih pesan pada junior-junior. Oh iya, untuk promo Akademi Militer kata dia. Aduh tanpa dipromo juga udah terkenal. Apa
"Hai Dek Kania.""Mau apa Mas Wirya ke sini?""Tentu mengunjungimu.""Jangan pengaruhi pikiran saya lagi tentang Mas Angga. Saya nggak mau salah paham lagi."Mas Wirya terlihat lemas. Senyum berpendarnya lesu setelah percakapan singkat kami. Dia duduk begitu saja di teras rumahku yang sederhana dengan pandangan aneh. Padahal dia terlihat cakap dalam balutan seragam taruna. Mirip seperti Mas Angga."Waktu itu memang salah saya, Dek. Saya tidak kroscek dulu langsung asal bicara. Saya minta maaf, ya?" ucapnya pelan sambil menatapku lekat.Aku hanya diam tak tahu harus berkata apa, "saya masih boleh menemuimu, 'kan?" tanyanya pelan."Apa Bang Airlangga melarang Dek Kania untuk berhubungan dengan saya? Apa hubungan kalian sangat spesial?" imbuhnya lagi karena aku hanya diam tanpa menjawab."Apa seragam yang Mas pakai itu susah dapatnya?" tanyaku yang dijawab dengan anggukannya."Lantas kenapa buat ketemuan dengan orang macam
Airlangga Sakha Handojo POV"Tuh 'kan, kita jadi dilihatin satu mal. Malas ah ...."Kudengar keluhan imut itu berulangkali terucap. Kutahu dia sedang tidak nyaman dengan situasi ini. Dilihatin sebagian besar pengunjung pusat perbelanjaan karena sedang jalan dengan seorang taruna berseragam. Itulah kenapa dia tidak suka jika aku berseragam. Memang sih, siapa yang suka jadi pusat perhatian."Mau gimana lagi, seragam ini nggak boleh dilepas!" ucapku datar."'Kan bisa pakai jaket," keluhnya lagi."Panas, ogah. Biar aja kenapa sih. Angkat dagu dan busungkan dada ajalah. Bangga gitu jalan sama calon perwira, ganteng pula.""Idih narsis. Bangga itu cukup dalam hati Mas. Nggak perlu publikasi. Berlebihan namanya." Gadis kesayanganku ini tetap menggerutu, semakin gemas.Aku menatapnya lurus, "ya udah aku lepas baju aja, shirtless. Biar heboh satu mal. Gimana?"Dia bergidik ngeri sambil mengangkat bahun
Kania Langit Amaranata POVSaat terpisah dengan Mas Angga, aku selalu banyak berpikir. Kebanyakan mengingat masa lalu kami bersama. Bagaimana kami bertemu. Bagaimana kami banyak menghabiskan waktu bersama. Bagaimana perangai galak dan menyebalkannya.Kadang aku jalan ke tempat kenangan kami sambil mengingat momen itu. Ke warung mi ayam favorit sejak SMA. Selalu saja dia dilihat orang banyak karena seragamnya. Tidak selalu seragam sih, kadang wajah gantengnya saja sudah menarik orang.Mas Angga memang bak medan magnet. Bisa menarik kutub yang berlawanan dengannya. Banyak yang terpaku dengannya. Begitu pun denganku. Aku rela menjalani separuh waktu hidupku untuk mencintainya. Walau itu tanpa status, aku rela. Padahal aku sama, wanita yang butuh status.Berjauhan dengannya membuatku banyak berpikir. Bagaimana aku bisa menjalani waktu ini. Saat dulu dia masih daftar tentara, kami selalu bersama. Tentu dengan sembunyi-sembunyi. Aku se
Kania Langit POVKunci berhubungan dengan lelaki berseragam itu adalah sabar. Itu kataku, tentu pada diriku sendiri. Apalagi jika harus menjalani hubungan tersembunyi seperti ini. Harus makin sabar dong. Walau itu terasa menelan pil pahit tanpa air. Kebayang, 'kan, gimana rasanya?Sejak awal, kata sabar adalah kunciku untuk Mas Angga. Dia yang galak, dingin, tak banyak bicara, bahkan kadang sadis. Dia lebih suka mengajakku berjalan jauh demi bicara banyak. Padahal kami bisa ngobrol di kedai es atau bawah pohon ceri. Dia senang bertindak kasar untuk menunjukkan perhatian dan cintanya. Padahal halus pun sangat menyenangkan.Ya itulah Mas Angga dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Cuek selangit adalah sifat paling menyebalkan sedunia. Dia tahu, kami saling rindu. Namun, dia enggan menghubungiku. Iyalah aku nomor kesekian dalam hidupnya, tapi nggak gini juga. Aku kangen, tapi takut menghubunginya.Balas suratku lagilah atau mun
Aku menatap gadis cantik di sebelah yang sedang manyun. Sebenarnya hatiku bak ombak yang naik turun. Tak mudah mengekspresikan rasa rindu ini. Seorang Erlan bisa jadi manusia aneh jika sedang rindu macam begini. Ingin rasanya melakukan hal lain lebih dari pelukan. Namun, aku takut melakukannya. Sebab Kania perempuan pertama yang dekat denganku sejak masa puber.Ya cuma ini caraku menunjukkan betapa rindunya aku pada Kania. Setelah berbulan-bulan tak bertemu, dia makin cantik saja. Calon dokter lagi. Cita-cita yang tak pernah dia katakan padaku. Bahkan, mungkin terbesit saja tak pernah. Kesayanganku akan jadi calon dokter. Bangga punya dia."Ayo dong mulai cerita!" ujarku setelah kami berhenti di jalanan yang sepi.Seperti ada gundukan es yang runtuh, "akhirnya, disuruh cerita juga.""Iya calon Ibu Dokter, gimana sih ceritanya? Bagaimana bisa kamu mau jadi dokter? Yakin kamu bisa? Mau jadi dokter apa memangnya?" cerocosku seperti petasan rawit."Kan
Sembilan bulan yang lalu..."Untuk kamu yang kusuka, terus terang aku tak pandai berkata-kata. Puisi-puisiku seringkali tak bermakna. Kata-kataku seperti bualan yang menguap ke udara. Namun, dirimu tak pernah sekalipun hampa. Selalu mengisi hatiku, mengisi hariku. Membuat setiap huruf dalam hidupku bernapas. Langit yang cerah tersenyumlah selalu. Kamu cantik tiada tara. WSD, 3 IPA 1."Aku tersenyum sendiri membaca tulisan rapinya dari puluhan tahun silam. Benar sekali, telah kubaca berulangkali surat cinta dari Mas Wirya dulu. Surat cinta yang pernah kubahas dengan Mas Erlan dan membuatnya cemburu itu. Jika kubaca sekarang, perasaanku justru rindu membiru. Aku merindukan suamiku, Mas Wirya. Telah sebulan kami berpisah.Surat ini sungguh manis. Tak kusadari itu dulu, sebab masih ada nama lain di hatiku. Untung saja surat ini belum k
Angin pagi membelai wajahku. Terasa segar dan meneduhkan. Sisa semalam terasa masih lekat di badan ini. Aroma tubuhnya yang wangi masih melekat di pelukanku. Cumbu hangatnya masih terasa di pipi ini. Bibir ini masih terasa manis oleh kata-katanya. Malam-malam selalu indah semenjak bersamanya. Saat ini aku benar-benar tergila oleh suamiku. Berlayar di samuderanya membuatku bahagia seperti ini.Pagi ini kupandangi dia yang sedang merapikan kerah seragam lorengnya. Sembari mengaca dan merapikan rambutnya yang tadi berantakan. Aroma tubuhnya wangi selepas mandi. Aroma sabun favoritku yang menjadi favoritnya juga. Sesekali dia melirikku yang berpura-pura tidur. Dia tak tahu aku diam-diam mengamati tingkahnya.Tubuhnya tinggi semampai, khas tentara pada umumnya. Proposional tentu saja karena hobinya memang olahraga. Apalagi dia terbisa berdiri dan berjalan tegap semenjak muda. Kulitnya sedikit menggelap setelah cuti dua mi
Kini aku dan Mas Wirya telah satu dunia. Kami satu frekuensi. Sering bertemu, bertukar sapa, bertukar senyum, dan bahkan cumbuan. Kami merayu satu sama lain, seperti pasangan lain yang kasmaran. Indah sekali pacaran setelah resmi menikah. Mau berbuat apa saja tak ada yang mencela.Meski masih ada negara di antara kami, tapi dia berusaha mendekat padaku setiap saat. Saat waktu dinas telah usai, tubuhnya menjadi milikku. Aku bisa menikmati senyumnya yang lepas tanpa batasan apapun. Senyumnya yang manis bagaikan candu telah memabukkanku.Setiap hari aku menghias rumah tipe 70 miliknya. Menaruh vas bunga mawar putih di meja ruang tamu, ruang tengah, dan ruang keluarga. Menghabiskan tabunganku selama kuliah di kedokteran demi manisnya rumah ini. Tak apalah, aku tak merasa rugi. Sebab ini salah satu impianku, menjadi ibu rumah tangga.“Terima kasih ya Cinta atas mak
Aku positif jatuh cinta pada suami pernikahan konyol ini. Resmi menjadi koramil alias korban rayuan militer. Tingkah dan perilaku Kak Erlan berhasil membuatku klepek-klepek seperti ikan mujaer. Aku jatuh dalam rayuannya. Menikmati setiap cumbuannya. Memang hatiku tak bisa berbohong, seorang Abel jatuh cinta pada pandang pertama pada seorang Erlan. Berhasil membuatku lupa pada sosok Kak Imran yang menyebalkan itu.Aku menikmati setiap sentuhannya. Setiap pelukannya. Setiap aroma tubuhnya. Setiap cumbu rayunya. Membasuh telingaku hingga basah kuyup. Aku sangat menyukai suamiku saat ini. Lucu ya hidup seorang Nabilla? Dari acak kadul hingga mulai tertata seperti ini. Sungguh aku berterima kasih pada Tuhan dan kedua orang tua yang telah mempertemukan kami. Sepertinya aku menemukan bagian hatiku yang hilang, separuh jiwaku. Dan mungkin saja belahan jiwaku.Ah, entahlah. Aku sedang berusaha mengenal Kak Erlan. Dia tak begi
Kulihat wajahnya yang tenang seperti samudera. Dia selalu terlihat teduh, kalem, dan tenang sekalipun sedang bimbang seperti ini. Beda denganku yang ribut bagai badai karena masalah Surat Izin Menikah. Tanggal pernikahan kami tinggal dua minggu lagi, tapi surat itu belum selesai. Entah terkendala dimana, mungkin status ibuku yang tak jelas.Aku memilih untuk tenggelam dalam aktivitas memasak sup ayam. Di minggu pagi sedikit mendung, Mas Wirya telah menyambangi rumahku. Katanya ingin makan masakanku dengan bapak. Kami memang meminggirkan tradisi pingitan demi mengurus surat menyurat itu. Tenang, dia sangat menjaga kontak fisik denganku kendati hatinya membara."Tolong yaSuh. Pernikahanku tinggal dua minggu."Kudengar dia berkata setengah berbisik di telepon. Mungkin denga
Airlangga Sakha Handojo POV“Kok kamu marah sih, Kak? Bukannya aku istrimu? Kata ayah, aku berhak atas dirimu! Kenapa kamu marah saat aku cuma buka ponselmu!?” katanya kesal.“Gak secepat ini, Abel! Gak kayak gitu caramu ingin tahu tentang aku!Just asking me!Tanya saja jangan cari tahu sendiri!” tegasku.“Tapi kamu selalu jaga jarak sama aku. Kamu selalu jual mahal dan menggodaku. Membuatku malas mendekatimu secara langsung. Sebenarnya kamu marah karena aku buka ponselmu atau karena aku tahu masa lalumu?!” ujarnya memanas. Aku menatapnya lekat, ingin rasanya kubungkam mulut cerewet itu.“Gimana ya caranya jelasin ke anak seumuranmu? Abel, it
Sumpah demi apa saja kali ini aku seperti sedang bermimpi. Sebab seseorang di depanku itu benar-benar nyata. Dia adalah perempuan yang selalu jadi benang merah antara aku dan Mas Erlan, Aruni. Namun, kenapa ia sekarang tetap ada di hubunganku bersama Mas Wirya. Sebenarnya dia siapa hingga bisa masuk ke hidup siapa saja. Nama Aruni bak mengikuti hidup Kania kemana saja.Benar sekali, seseorang yang baru datang dan sedang duduk bersama kami di meja makan ini adalah Aruni. Aruni dari Jakarta, mantan kekasih Mas Erlan atau cuma kekasih pura-pura. Dia sedang tertawa penuh arti bersama kedua orang tua Mas Wirya. Entah apa artinya? Apa mungkin aku akan dipermainkan lagi kali ini? Atau mungkin Aruni akan jadi ganjalan bagiku dan Mas Wirya.Apa maksud kedatangannya ke sini? Dia kenal keluarga Mas Wirya? Lalu Mas Wirya tidak tahu apa hubungan Aruni, Mas Erlan, dan aku? Semua terasa membingungkan hingga suara Pak Hutama memecah
Nasi goreng jawa sudah matang di sore yang mendung dan dingin ini. Mungkin musim hujan akan datang, hingga mendung sering berkunjung. Walau suram, tapi hatiku cerah. Sebab bunga cinta sedang tumbuh dan bersemi. Walau masih berjuang tumbuh, tapi akan terus kusirami.Bapak baru saja pulang dinas saat aku selesai memasak. Sore ini aku tak sibuk di rumah sakit hingga bisa menemani bapak makan di rumah. Sore yang langka dan aku sangat bahagia. Sebab aku merindukan bapak. Wajahnya berbinar melihat piring nasi goreng buatanku. Tak lama langsung duduk dan bersiap makan.“Tok…tok…tok!”“Siapa ya yang datang?” gumam Bapak sambil menatap pintu ruang tamu.“Biar Kania yang buka, Pak.”&
Airlangga Sakha POVSenja mulai merayapi langit Jakarta yang sedikit mendung. Hawanya dingin membuatku malas melakukan apapun. Sepulang dinas kupilih duduk di ruang tengah sambil menatap TV, bukan menonton. Sebab perhatianku lebih tertuju pada istri pernikahan konyol ini, Nabilla alias Abel. Abel sedang menyapu teras depan sambil sesekali melenguh kesal, karena daun yang disapunya bertebaran lagi ditiup angin. Tiap tingkahnya menggelikan.Sesekali aku tersenyum tanpa sadar sebab tingkah Abel mengingatkanku padanya. Dia ceroboh, kekanakan, ceria, dan apa yang dikerjakannya selalu tak beres. Membuatku gemas sendiri dan ikut turun langsung. Ah, aku tak sedang ingin mengingatnya. Pasti dia juga sedang tertawa lepas bersama lelaki itu.Tentang Nabilla alias Abel. D