Bab 2: Awal Pernikahan yang Dingin
“Mas Reza?” Tidak ada jawaban. Aisyah menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang sejak tadi berdegup kencang. Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu pelan-pelan. Di dalam kamar yang kini harus mereka bagi bersama, Reza duduk di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap jendela yang terbuka sedikit. Sinar bulan masuk menerangi ruangan yang terasa sunyi dan dingin. “Mas… maaf,” ucap Aisyah pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam malam yang hening. Reza tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas panjang, seolah kata-kata Aisyah tadi hanyalah angin lalu. Namun, akhirnya ia berdiri, membelakangi Aisyah, dan berjalan menuju lemari pakaian. “Aku tidur di sofa,” ucapnya datar sambil membuka lemari, mengambil selimut tipis. Aisyah terdiam. Kata-kata itu terasa seperti tusukan di hatinya. Bukan karena ia mengharapkan kehangatan dari pria itu, tetapi sikap dingin dan tanpa ekspresi Reza membuatnya merasa terhina. Apakah ia benar-benar tidak diinginkan? Apakah dirinya hanya beban yang harus ditanggung pria itu? “Mas…” suara Aisyah bergetar, mencoba mencari penjelasan. “Aku tahu Mas tidak mau pernikahan ini. Aku juga sama. Tapi…” Reza menghentikan langkahnya dan menoleh, menatap Aisyah dengan pandangan tajam yang membuat gadis itu terdiam. “Dengar, Dek Ais.” Nada suaranya terdengar dingin, meski tidak meninggi. “Kita sama-sama tahu alasan kenapa pernikahan ini terjadi. Aku nggak menyalahkan kamu. Tapi aku juga nggak bisa pura-pura menerima semuanya begitu saja.” Aisyah mengangguk pelan, meski hatinya berat. “Aku tahu, Mas.” Reza menghela napas panjang, seolah berusaha menahan sesuatu dalam dirinya. Ia melanjutkan, masih dengan nada dingin. “Aku nggak akan menyentuh kamu. Kita cuma menikah di atas kertas. Kamu bisa jalani hidupmu seperti biasa, aku juga. Aku nggak akan ganggu kamu, asal kamu juga nggak ganggu aku.” Kata-kata itu menancap begitu dalam di hati Aisyah. Ia menunduk, menggigit bibir bawahnya agar air matanya tidak jatuh. “Baik, Mas,” jawabnya singkat. Reza mengangguk, lalu berjalan ke sofa yang terletak di sudut kamar. Ia duduk di sana, membelakangi Aisyah. Seperti tembok tebal, jarak di antara mereka terasa begitu nyata. Aisyah bangun lebih pagi dari biasanya. Ia menatap langit-langit kamar yang asing baginya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk memulai hari. Semalam ia hampir tidak bisa tidur, mendengar suara napas Reza yang teratur dari sofa. Setelah mencuci muka dan mengenakan kerudungnya, ia melangkah keluar kamar. Rumah keluarga Reza yang besar terasa begitu sunyi di pagi hari. Ia menuju dapur, berharap bisa melakukan sesuatu untuk menghilangkan kegelisahan dalam hatinya. Ia membuka lemari dan menemukan beberapa bahan makanan. Dengan gerakan lambat, ia mulai memasak nasi goreng sederhana. Tidak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Aisyah menoleh dan melihat Reza berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan kaos santai dan celana panjang. Rambutnya masih sedikit berantakan, namun ia tetap terlihat rapi. “Mas mau sarapan?” tanya Aisyah hati-hati. Reza menggeleng pelan. “Nggak usah repot-repot, Dek Ais. Aku biasanya sarapan di kafe.” Lagi-lagi, kata-katanya membuat Aisyah merasa tidak diinginkan. Ia menunduk, menahan rasa sesak di dadanya. “Baik, Mas,” jawabnya singkat, melanjutkan memasaknya. Reza mengamati Aisyah sebentar, lalu berjalan keluar tanpa mengatakan apa-apa lagi. Meski Reza berusaha keras menutupi perasaannya, ada sesuatu dalam dirinya yang terasa berat setiap kali ia melihat Aisyah. Gadis itu tidak bersalah. Ia hanyalah korban dari keputusan mendadak yang diambil keluarganya. Namun, Reza masih sulit menerima kenyataan bahwa ia menikah bukan dengan Nadia, perempuan yang selama ini ia cintai. Reza duduk di kafe miliknya, menyesap kopi hangat yang baru saja dibuat oleh salah satu karyawannya. Pandangannya menerawang, memikirkan kejadian semalam. Ia teringat bagaimana ekspresi Aisyah saat ia mengatakan bahwa pernikahan ini hanya status di atas kertas. “Aku terlalu kasar,” gumam Reza pelan. Namun, ia tidak tahu bagaimana harus memperbaiki keadaan. Bagaimana ia bisa bersikap lembut pada seseorang yang mengingatkannya pada pengkhianatan Nadia? Sementara itu, Aisyah sedang membersihkan ruang tamu saat suara langkah kaki mendekat. Ia menoleh dan melihat ibu Reza berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan tatapan tajam. “Aisyah,” panggil wanita itu dengan nada dingin. “Iya, Bu,” jawab Aisyah lembut, menghentikan pekerjaannya. “Kamu ini istri Reza sekarang, kan? Jangan cuma duduk diam di rumah. Lakukan sesuatu yang lebih berguna. Kalau perlu, bantu Reza di kafe. Jangan sampai orang-orang bilang kamu cuma numpang hidup di sini.” Aisyah tertegun. Perkataan itu begitu menusuk hatinya, tetapi ia hanya bisa menunduk. “Iya, Bu. Saya akan bantu Mas Reza.” Wanita itu mengangguk, lalu pergi meninggalkannya tanpa berkata apa-apa lagi. Aisyah menarik napas panjang, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. Ia tahu ia tidak diterima di rumah ini, tetapi ia tidak punya pilihan lain selain bertahan. Malam itu, Aisyah duduk di meja belajar kecil di kamar mereka. Ia mencoba mengerjakan tugas sekolahnya, tetapi pikirannya terus melayang. Ia tidak bisa melupakan kata-kata ibu Reza tadi siang. Reza masuk ke kamar, membawa laptop di tangannya. Ia meletakkannya di meja, kemudian duduk di sofa tanpa menoleh ke arah Aisyah. “Mas,” panggil Aisyah pelan. Reza menoleh, menatapnya dengan alis terangkat. “Ada apa?” Aisyah ragu sejenak, tetapi akhirnya ia memberanikan diri. “Bu tadi bilang aku harus bantu Mas di kafe. Kalau Mas nggak keberatan, aku bisa mulai besok.” Reza terdiam, menatap Aisyah dengan pandangan sulit ditebak. “Kamu nggak perlu repot,” jawabnya akhirnya. “Aku bisa urus semuanya sendiri.” “Tapi Bu—” “Aku bilang nggak perlu, Dek Ais,” potong Reza, nada suaranya agak tegas. Aisyah terdiam. Ia mengangguk pelan, meski hatinya terasa berat. Larut malam, ketika Aisyah sedang mencoba tidur, ia mendengar suara dari luar kamar. Penasaran, ia bangun dan keluar pelan-pelan. Di dekat ruang tengah, ia mendengar suara ibu Reza dan kakak perempuan Reza sedang berbicara. “Anak itu benar-benar tidak cocok untuk Reza,” suara ibu Reza terdengar jelas. “Iya, Bu. Nadia jauh lebih pantas. Aisyah itu cuma gadis kampung, nggak ada apa-apanya dibandingkan Nadia. Kasihan Reza harus terjebak dengan dia.” Aisyah berdiri mematung, hatinya terasa seperti hancur berkeping-keping. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan isak yang ingin keluar. Tanpa sadar, air matanya mengalir deras. Ia kembali ke kamar, menutup pintu perlahan, lalu duduk di lantai. “Kenapa harus aku?” bisiknya lirih. Namun, sebelum ia bisa memikirkan lebih jauh, suara pintu kamar terbuka. Reza masuk, menatap Aisyah yang masih duduk di lantai dengan wajah penuh air mata. “Ada apa?” tanyanya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. Aisyah mendongak, menatap Reza dengan mata yang memerah. “Kenapa Mas menikah sama aku?” tanyanya, suaranya bergetar. Reza terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.Bab 3: Tekanan Sekolah dan Rumah TanggaAisyah mendongak, menatap Reza dengan mata yang memerah.“Kenapa Mas menikah sama aku?” tanyanya, suaranya bergetar.Reza terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Matanya terpaku pada wajah Aisyah yang tampak lelah. Gadis itu masih mengenakan seragam sekolah yang sedikit kusut karena seharian dipakai. Tatapan Aisyah begitu tajam, meski bercampur kebingungan dan rasa sakit. “Aku… aku nggak tahu harus jawab apa, Dek Ais,” ucap Reza akhirnya. Suaranya pelan, hampir seperti bisikan. “Aku juga nggak pernah mengira semuanya bakal jadi seperti ini.”Aisyah mengalihkan pandangannya. Dia menunduk, menatap ujung rok seragamnya yang mulai memudar warnanya. Hening menyelimuti ruang makan kecil itu, hanya suara kipas angin yang berdecit pelan terdengar di antara mereka. “Aku capek, Mas,” gumam Aisyah akhirnya. Reza menatapnya, ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia ragu. Setiap kali dia mencoba memahami Aisyah, selalu ada dinding tinggi yang memisahkan merek
Bab 4: Kejutan Bisnis dan Rahasia Lama“Aku nggak janji, Nad,” jawab Reza akhirnya.Dari balik pintu kamarnya, Aisyah yang tidak sengaja mendengar percakapan itu merasa seluruh tubuhnya melemas. Hatinya yang berusaha menerima keadaan sekarang mendadak terasa seperti dihantam palu. “Siapa Nadia, Mas?” tanyanya pelan, hampir seperti berbisik, tapi cukup keras untuk membuat Reza terkejut.Reza menoleh ke arah pintu kamar Aisyah. Dia tidak menyadari bahwa Aisyah sudah berdiri di sana, wajahnya pucat dengan sorot mata yang sulit ditebak. Reza menelan ludah, berusaha menyusun kata-kata. Namun, tidak ada yang keluar dari mulutnya.“Mas…” Suara Aisyah bergetar. “Siapa Nadia?” ulangnya, kali ini dengan nada lebih tegas.Reza menghela napas panjang dan meletakkan ponselnya di atas meja. Dia tahu dia tidak bisa menghindar lagi. Tapi bagaimana dia bisa menjelaskan semuanya tanpa menyakiti Aisyah lebih jauh?“Dia… dia orang dari masa lalu Mas,” jawab Reza akhirnya, singkat.“Masa lalu?” Aisyah me
Bab 5: Tumbuhnya Rasa yang Tak DisadariReza menggenggam ponselnya erat-erat. Pandangannya melayang ke arah kamar Aisyah. Dia tahu berita ini akan mengubah segalanya.“Apa yang sebenarnya terjadi, Mas?” suara Aisyah memecah keheningan, membuat Reza tersentak.Reza menoleh. Di sana, Aisyah berdiri dengan wajah penuh tanda tanya. Matanya memancarkan campuran emosi antara kebingungan, rasa ingin tahu, dan ketakutan. Untuk beberapa detik, Reza hanya bisa diam. Ia tahu Aisyah pantas mendapatkan jawaban, tetapi masalahnya, apa yang bisa ia katakan?“Aisyah…” Reza menghela napas panjang. Ia melangkah mendekat, meletakkan ponsel di atas meja. “Mas nggak mau kamu salah paham.”“Kalau begitu, jelaskan, Mas,” potong Aisyah dengan suara yang lebih tegas dari biasanya. “Siapa yang telepon? Apa hubungannya sama Mbak Nadia?”Reza duduk di sofa, mengusap wajahnya yang tampak lelah. “Orang itu bilang… dia tahu di mana Nadia sekarang.”Aisyah terdiam. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hatinya. “
"Tok! Tok! Tok!"Ketukan di pintu depan menggema di seluruh rumah. Aisyah yang sedang membereskan meja makan di ruang tengah spontan menoleh ke arah sumber suara. Matanya memandang sekilas ke arah dapur, di mana Reza baru saja menaruh gelas ke dalam wastafel."Ais, bisa bukain pintunya?" suara Reza terdengar dari dapur.Aisyah mengangguk kecil sebelum melangkah ke depan. Tangannya menggenggam gagang pintu, menariknya perlahan. Namun, begitu melihat siapa yang berdiri di balik pintu, napasnya tertahan sejenak.Nadia.Perempuan itu berdiri dengan angkuh di depan pintu, mengenakan blouse putih elegan yang dipadukan dengan rok panjang hitam. Wajahnya tetap secantik yang Aisyah ingat, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda—lebih suram, lebih lelah."Aisyah," Nadia menyebut namanya dengan nada yang sulit diartikan, seperti ada ketidaksukaan yang terpaksa ditahan. "Reza ada?"Aisyah tidak langsung menjawab. Ada perasaan aneh yang menyusup di dadanya. Sejak awal, keberadaannya di
"Aku ini cuma pengganti, kan?"Aisyah menggigit bibirnya, menahan gemuruh di dadanya saat suara hatinya sendiri berdengung keras di kepalanya. Di hadapannya, Reza berdiri dengan ekspresi terkejut, seolah tak siap mendengar pertanyaan itu keluar dari mulutnya.“Apa maksudmu, Ais?”Aisyah menatapnya lurus. "Aku ini istrimu, tapi kenapa aku merasa cuma bayangan Mbak Nadia di rumah ini? Kenapa keluargamu lebih menginginkan dia kembali?"Reza menarik napas panjang, mengusap wajahnya dengan kasar. “Ini nggak seperti yang kamu pikirkan.”“Oh, ya? Aku pikir aku cuma pelarian. Aku pikir mereka menerimaku karena nggak ada pilihan lain,” suara Aisyah sedikit bergetar, tapi matanya tetap tajam. “Bilang, Mas. Kalau Mbak Nadia nggak kabur waktu itu, aku nggak akan ada di sini, kan?”Reza terdiam. Seketika, keheningan di antara mereka lebih menusuk daripada ribuan kata. Sakit.Jawaban yang tak terucapkan dari Reza lebih menyakitkan daripada jika dia mengiyakan.Aisyah terkekeh pelan, lebih ke arah
"Kenapa kamu selalu menghindar, Za?"Suara Nadia terdengar pelan, tapi ada ketegasan di dalamnya. Reza yang baru saja masuk ke ruang tamu langsung terhenti. Matanya menatap perempuan di hadapannya dengan ekspresi dingin, tetapi ada ketegangan dalam sikapnya."Aku nggak menghindar," jawab Reza, menekan nada suaranya. "Aku cuma nggak mau ada masalah baru."Nadia tersenyum miring, menutup jarak di antara mereka. "Masalah baru? Atau kamu takut menghadapi perasaan sendiri?"Reza mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Kita udah selesai, Nad.""Tapi aku belum."Hening.Reza menatap Nadia dengan mata tajam, tapi perempuan itu tetap berdiri tegak, penuh keyakinan. "Aku nggak pernah benar-benar mencintai Bayu," lanjut Nadia, nadanya lebih pelan, lebih dalam. "Aku pergi karena keluarga kamu, Za. Karena tekanan dari mereka. Bukan karena aku pengin."Reza mengalihkan pandangannya, dadanya terasa sesak. Dia tahu betul bagaimana ibunya bisa menghancurkan seseorang dengan gengsinya yang berlebihan
“Ais, kamu serius mau ninggalin semuanya gini?” Laila berdiri di depan meja makan dengan tangan bersedekap, menatap Aisyah yang duduk di kursi dengan kepala tertunduk. Di depan Aisyah, secangkir teh yang mulai dingin belum disentuh sejak tadi. “Aku nggak ninggalin apa-apa, La,” suara Aisyah lirih, tetapi tetap tegas. “Aku cuma butuh waktu buat mikir.” Laila menghela napas panjang, lalu menarik kursi di seberang Aisyah dan duduk. “Mikir? Ais, kamu udah cukup banyak mikir. Dari dulu kamu selalu nurut, selalu nahan perasaan, selalu mikirin orang lain sebelum diri sendiri. Tapi kapan kamu mulai mikirin kebahagiaan kamu sendiri?” Aisyah terdiam. Hatinya penuh sesak, pikirannya bercabang. Sejak meninggalkan rumah Reza dan memilih tinggal sementara di rumah Laila, dia terus memikirkan satu pertanyaan besar: apakah dia benar-benar ingin tetap berada di dalam pernikahan ini? “Aku nggak tahu, La…” Aisyah akhirnya mengakui. “Aku takut. Aku nggak mau jadi perempuan yang lari dari tanggu
"Aku nggak akan pernah menyerah, Reza. Aku akan pastikan dia tahu bahwa dia nggak akan pernah bisa menggantikan aku!" Kalimat itu meluncur dengan tajam dari mulut Nadia di depan para wartawan. Video pernyataannya menyebar luas, menimbulkan kehebohan di media sosial. Dia tak hanya mengungkap tentang pernikahan Reza dan Aisyah, tapi juga membocorkan rahasia keluarga yang selama ini tertutup rapat.“Reza menikah dengan Aisyah bukan karena cinta, tapi karena terpaksa. Keluarga mereka menyembunyikan sesuatu dari publik, dan aku rasa orang-orang berhak tahu kebenarannya.” Dunia Aisyah seakan runtuh dalam sekejap. Setiap kata yang keluar dari mulut Nadia seperti belati yang menusuk jantungnya. Rasanya seperti terjebak dalam sebuah drama yang tidak ingin dia jalani, tetapi kini dia adalah pusat perhatian, dan semua mata tertuju padanya.“Kamu puas sekarang, Mbak Nadia?” suara Aisyah terdengar bergetar, tetapi bukan karena ketakutan. Matanya menatap lurus ke arah Nadia, yang kini berdiri angk
"Kamu pikir dengan melakukan semua ini, kami akan menerimamu?"Suara Ibu Reza menggema di ruang makan keluarga. Wajahnya dingin, matanya menatap tajam ke arah Aisyah yang berdiri tegak di seberang meja. Di sekelilingnya, suasana tegang. Reza duduk di samping, ekspresinya sulit ditebak.Aisyah menelan ludah, tapi dia tidak menunduk. "Saya tidak melakukan ini untuk diterima, Bu. Saya melakukannya karena saya ingin."Ibu Reza mengangkat alis. "Ingin?"Aisyah mengangguk. "Saya ingin berada di sisi Mas Reza, dalam keadaan apa pun."Hening. Suasana di ruangan itu terasa semakin tegang. Laila, yang berdiri di sudut ruangan, menggigit bibirnya, terlihat gelisah. Reza sendiri belum berkata apa-apa, tapi tangannya terkepal di atas meja, menandakan ketidakpuasannya terhadap situasi ini."Kalau begitu, kenapa baru sekarang bicara seperti ini?" suara Ibu Reza penuh sindiran. "Dari awal, kamu hanya diam, menunduk, seolah tidak punya pendirian. Kamu tidak seperti Nadia."Jantung Aisyah mencelos mend
"Aku bukan bayangan Mbak Nadia, Mas."Suara Aisyah bergetar, tapi sorot matanya teguh. Reza menatapnya, terdiam beberapa saat. Di ruangan apartemen mereka yang remang, ketegangan terasa seperti udara yang mengental, menunggu untuk dipecahkan."Aku tahu," suara Reza lebih pelan, tetapi tak lantas mereda. "Dek Ais, aku nggak pernah menganggap kamu begitu."Aisyah menelan ludah. "Tapi Mas Reza selalu ragu-ragu. Aku bisa merasakannya."Reza mengusap wajahnya, napasnya berat. "Aku hanya butuh waktu...""Waktu untuk apa?" potong Aisyah. "Untuk menyadari kalau aku benar-benar istri Mas Reza? Untuk melihat aku bukan cuma seseorang yang hadir karena keadaan?"Hening. Suara detak jam di dinding terasa begitu jelas, seolah mengikuti irama ketegangan di antara mereka. Reza menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat. "Aku memang butuh waktu, Aisyah. Tapi bukan untuk itu."Aisyah diam, menunggu. Dia tahu bahwa di balik setiap kata Reza terdapat sebuah ketulusan yang terpendam."Aku butuh waktu
"Dek Ais, aku nggak mau dengar alasan apa pun lagi. Aku harus ada di sana."Suara Reza terdengar tegas. Aisyah, yang tengah duduk di depan meja rias, menatap pantulan dirinya di cermin. Tangan mungilnya mengepal di atas pangkuan. Dia merasakan ketegangan yang mengalir di antara mereka, seperti arus listrik yang tak terlihat namun sangat kuat."Mas Reza, aku nggak mau merepotkan..." Reza berdecak, melangkah mendekat. "Kamu lulus hari ini. Hari penting dalam hidup kamu. Suamimu sendiri harus hadir, bukan?"Aisyah menggigit bibir. "Ibu nggak akan suka.""Ibu bisa berpikir sesukanya." Reza menggerakkan tangannya seolah menyingkirkan semua kekhawatiran yang menghalangi mereka.Jantung Aisyah berdebar. Sejak pernikahan mereka, Reza memang selalu membela dirinya. Tapi tetap saja, dia tak ingin menjadi penyebab keretakan hubungan Reza dan ibunya. Rasa bersalah menyergapnya."Tapi, Mas..." Reza menunduk sedikit, menatap langsung ke matanya. "Nggak ada tapi. Aku suami kamu, dan aku mau ada di
"Kenapa, Za? Kenapa kamu berubah gini?" Suara Nadia bergetar, tapi Reza tetap menatapnya tanpa ekspresi. Hawa dingin yang menyelimuti ruangan itu seolah menekan setiap kata yang ingin keluar dari mulutnya. "Aku nggak berubah, Nad. Justru ini pertama kalinya aku bersikap seperti yang seharusnya."Nadia menelan ludah. Ada sesuatu dalam tatapan Reza yang membuat dadanya sesak—seolah dia benar-benar kehilangan sesuatu yang selama ini dia pikir bisa dia kendalikan."Jangan ngomong kayak gitu. Kamu nggak bisa ninggalin aku, Za. Kamu tahu itu!" Reza mendengus pelan."Kamu terlalu percaya diri, Nad."Nadia mengerjap, seolah belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan yang ada di depan matanya. Sejak awal, dia selalu percaya bahwa Reza akan tetap ada untuknya—entah sebagai pria yang dia cintai, atau setidaknya seseorang yang tidak bisa benar-benar lepas dari genggamannya. Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda."Kamu masih marah soal yang kemarin, kan?" Reza menghela napas. "Bukan cuma kemar
Ruang tamu yang biasanya hangat dan penuh tawa kini terasa dingin dan tegang. Cahaya lampu gantung di langit-langit memantulkan bayangan samar di dinding, seolah mencerminkan pergolakan yang sedang berlangsung di antara dua wanita yang berdiri saling berhadapan. Aisyah berdiri tegak di tengah ruangan, jilbab panjangnya yang berwarna krem menjuntai hingga menutupi sebagian pundaknya. Tangannya tersembunyi di balik kain itu, namun jika dilihat lebih dekat, jemarinya tampak mengepal erat, menahan gelombang emosi yang bergejolak di dadanya. Suaranya yang keluar dari bibirnya sedikit bergetar, namun matanya—mata yang biasanya lembut dan penuh kehangatan—kini menatap lurus ke arah Nadia tanpa sedikit pun gentar."Apa maumu sebenarnya, Mbak Nadia?" tanyanya, nada suaranya bercampur antara ketegangan dan kemarahan yang ia coba tahan.Nadia, yang duduk santai di sofa empuk dengan kaki disilangkan, hanya tersenyum tipis. Senyum itu tidak mencapai matanya; ada sesuatu yang dingin dan licik ters
“Apa yang kamu lakukan, Mbak Nadia?” Suara Aisyah bergetar, namun ada kekuatan yang tersirat dalam nada bicaranya. Matanya menatap lurus ke arah wanita yang berdiri di depannya, sorot keteguhan yang belum pernah Reza saksikan sebelumnya memenuhi wajah lembut Aisyah. Cahaya lampu ruang tamu yang temaram memantulkan bayangan mereka di dinding, menciptakan suasana yang tegang seolah udara di sekitar mereka ikut mengeras.Nadia tersenyum sinis, lengkungan bibirnya penuh dengan kepahitan yang sudah lama terpendam. “Kamu pikir aku akan membiarkan kamu merebut semuanya dariku, Aisyah? Aku tahu semua rahasia keluarga ini—setiap detail kecil yang disembunyikan dengan rapi di balik senyum manis dan kata-kata bijak. Dan aku akan memastikan kamu menyesal telah masuk ke dalamnya, menjejakkan kakimu di dunia yang bukan milikmu.”Reza melangkah maju, tubuhnya yang tinggi berdiri tegak di antara Aisyah dan Nadia, seolah menjadi benteng pelindung bagi wanita yang kini menjadi bagian penting dalam hidu
"Aku mau hubungan kita dimulai dari awal, Mas. Tanpa bayangan Mbak Nadia."Reza terdiam. Suasana ruang tamu yang biasanya dingin, dengan dinding-dinding putih polos dan sofa tua yang berderit pelan, kini terasa sesak, seolah udara di sekitar mereka menolak bergerak. Cahaya lampu gantung di atas kepala memantulkan bayangan samar di lantai kayu, namun sorotan mata Aisyah yang berdiri di hadapannya jauh lebih tajam daripada kilau itu. Wajahnya tenang, hampir terlalu tenang, tapi di balik ketenangan itu, Reza bisa melihat kilasan ketegasan yang asing—sesuatu yang belum pernah ia temui sebelumnya dalam diri Aisyah selama tiga tahun pernikahan mereka."Jadi, kamu... benar-benar mau kembali ke rumah ini?" Suara Reza bergetar samar, seperti angin yang menyelinap di sela-sela jendela yang tak pernah tertutup rapat. Dia berdiri di dekat meja kecil di sudut ruangan, tangannya meremas ujung kain sarung yang dikenakannya, mencari pegangan untuk menenangkan hati yang bergetar.Aisyah mengangguk pe
Cinta adalah sebuah perasaan yang tak terduga, sering kali datang di saat yang tak kita duga dan membawa perubahan besar dalam hidup. Dalam kisah ini, kita akan menyelami perjalanan Aisyah dan Reza yang terjebak dalam hubungan yang rumit. Apakah mereka akan mampu mengatasi masa lalu dan menemukan kebahagiaan yang sejati? Mari kita lanjutkan narasi ini.Sejak pernikahan mereka dimulai, Aisyah selalu merasakan bayang-bayang Nadia, mantan kekasih Reza yang masih menghantui hubungan mereka. Setiap kali Aisyah berharap untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang Reza, selalu ada rasa bahwa ia hanya menjadi pengganti. **Realita ini sangat menyakitkan** bagi Aisyah, dan ia merasa terjebak dalam situasi yang tidak adil. Reza, di sisi lain, berjuang dengan rasa bersalah dan kesedihan yang mendalam. Kehilangan Nadia membuatnya merasa bahwa ia tidak berhak untuk mencintai lagi. **Pikiran ini membuatnya menjaga jarak dari Aisyah**, meskipun di dalam hatinya, ia menyimpan perasaan yang semakin d
"Aku lelah, Mas. Aku nggak bisa terus-terusan berusaha kalau aku sendiri nggak yakin aku memang pantas di sini."Aisyah menatap Reza dengan mata yang dipenuhi air. Suaranya terdengar pelan, tetapi cukup untuk menusuk hati pria di depannya. Dia merasa terjebak dalam perasaannya sendiri, dan saat-saat seperti ini membuatnya meragukan segala sesuatu yang telah dia jalani bersama Reza."Jangan ngomong gitu, Dek Ais." Suara Reza lebih rendah dari biasanya, nyaris seperti bisikan. "Aku tahu ini berat, tapi kita bisa cari jalan keluar bareng-bareng." Ada nada harapan dalam suaranya, tetapi Aisyah merasa semua itu sia-sia.Aisyah menggeleng. "Aku udah coba. Aku berusaha keras buat bertahan, buat percaya kalau aku bisa jadi bagian dari hidup Mas Reza. Tapi yang selalu aku lihat cuma bayang-bayang Mbak Nadia. Aku capek." Kata-kata itu meluncur keluar seperti aliran air yang tidak bisa dia tahan lagi. Setiap detik rasanya semakin menyakitkan.Reza mengatupkan rahangnya. Tangannya mengepal di sis