Bab 4: Kejutan Bisnis dan Rahasia Lama
“Aku nggak janji, Nad,” jawab Reza akhirnya. Dari balik pintu kamarnya, Aisyah yang tidak sengaja mendengar percakapan itu merasa seluruh tubuhnya melemas. Hatinya yang berusaha menerima keadaan sekarang mendadak terasa seperti dihantam palu. “Siapa Nadia, Mas?” tanyanya pelan, hampir seperti berbisik, tapi cukup keras untuk membuat Reza terkejut. Reza menoleh ke arah pintu kamar Aisyah. Dia tidak menyadari bahwa Aisyah sudah berdiri di sana, wajahnya pucat dengan sorot mata yang sulit ditebak. Reza menelan ludah, berusaha menyusun kata-kata. Namun, tidak ada yang keluar dari mulutnya. “Mas…” Suara Aisyah bergetar. “Siapa Nadia?” ulangnya, kali ini dengan nada lebih tegas. Reza menghela napas panjang dan meletakkan ponselnya di atas meja. Dia tahu dia tidak bisa menghindar lagi. Tapi bagaimana dia bisa menjelaskan semuanya tanpa menyakiti Aisyah lebih jauh? “Dia… dia orang dari masa lalu Mas,” jawab Reza akhirnya, singkat. “Masa lalu?” Aisyah melangkah mendekat, matanya penuh dengan rasa penasaran dan kecemasan. “Mbak Nadia, ya? Kakakku?” Reza terdiam. Nama itu seperti pisau yang menusuk dadanya. Dia tidak tahu harus menjawab apa. “Aku dengar, Mas. Aku dengar semuanya tadi,” kata Aisyah, suaranya mulai terdengar putus asa. “Mbak Nadia telepon, kan? Apa dia mau balik? Apa dia mau ambil posisinya lagi?” “Aisyah, tenang dulu…” Reza mencoba mendekat, tetapi Aisyah melangkah mundur. “Tenang? Gimana aku bisa tenang kalau aku nggak ngerti apa-apa? Aku ini istri Mas, tapi kenapa aku merasa… aku cuma pengganti?” Suara Aisyah pecah, dan air mata mulai mengalir di pipinya. Reza terdiam, membiarkan Aisyah meluapkan emosinya. Dia tahu dia salah. Dia tahu Aisyah berhak merasa seperti itu. Tapi dia juga tidak tahu bagaimana cara menjelaskan semuanya tanpa memperburuk keadaan. “Mas nggak pernah anggap kamu cuma pengganti, Dek Ais…” ucap Reza akhirnya, suaranya pelan tapi penuh penyesalan. “Mas cuma butuh waktu buat beresin semuanya.” Aisyah menatapnya dengan mata penuh luka. “Beresin apa, Mas? Mbak Nadia? Atau pernikahan ini?” Keesokan harinya, suasana di rumah masih terasa canggung. Aisyah menghindari kontak langsung dengan Reza, meski dia tahu mereka tidak bisa terus seperti ini. Namun, pagi itu, Reza mencoba mencairkan suasana. “Dek Ais,” panggilnya lembut di ruang makan saat Aisyah sedang sarapan. “Nanti siang ikut Mas, ya.” Aisyah mengangkat wajah, menatap Reza dengan bingung. “Ikut ke mana, Mas?” “Mas mau ajak kamu ke salah satu kafe Mas. Kita lagi ada proyek baru, dan Mas pikir kamu perlu tahu sedikit tentang bisnis keluarga kita.” Aisyah terdiam. Dia tidak yakin ini ide yang baik, terutama setelah percakapan semalam. Tapi di sisi lain, dia tidak ingin terus berada di rumah, terjebak dengan pikirannya sendiri. “Baik, Mas,” jawabnya singkat. Reza tersenyum tipis, meski senyuman itu terlihat canggung. “Terima kasih, Dek.” --- Siang itu, mereka berdua berangkat menuju salah satu kafe milik Reza yang baru saja direnovasi. Kafe itu terletak di pusat kota, dengan desain modern dan suasana yang nyaman. Aisyah terkesan dengan tempat itu, meski dia tidak menunjukkannya secara langsung. “Ini salah satu kafe pertama yang Mas buka,” kata Reza sambil mengajak Aisyah masuk. “Dari sini, Mas mulai belajar banyak tentang bisnis.” Aisyah hanya mengangguk. Dia mengikuti Reza yang sibuk menjelaskan tentang konsep kafe, menu, dan rencana pengembangan bisnis. Meski dia tidak terlalu mengerti, dia mendengarkan dengan seksama. Namun, suasana berubah ketika Aisyah melihat seorang wanita muda menghampiri mereka dengan senyum lebar. Wanita itu tampak mengenali Aisyah, dan reaksinya membuat Aisyah merasa tidak nyaman. “Aisyah?” tanya wanita itu, suaranya terdengar penuh kejutan. “Kamu… ini kamu, kan?” Aisyah menoleh, mencoba mengingat siapa wanita itu. Butuh beberapa detik sebelum dia menyadari bahwa wanita itu adalah Lina, sahabat lamanya dari SMP. “Lina?” jawab Aisyah ragu. “Iya! Astaga, aku nggak nyangka ketemu kamu di sini!” Lina tertawa pelan, tapi matanya langsung melirik ke arah Reza. “Dan… ini siapa? Suamimu?” Aisyah merasa wajahnya memanas. Dia tidak tahu harus menjawab apa, tetapi Reza langsung mengangguk dan menjabat tangan Lina. “Iya, saya suaminya Aisyah,” kata Reza dengan nada ramah. Lina tampak terkejut, tetapi dia mencoba menyembunyikannya. “Wah, selamat ya, Ais. Aku nggak nyangka kamu udah nikah.” Aisyah hanya tersenyum tipis. Tapi sebelum dia sempat menjawab, Lina melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih pelan. “Aku dengar kabar tentang keluargamu, Ais,” katanya sambil melirik ke arah Reza, seolah ragu untuk melanjutkan. “Tentang… Mbak Nadia.” Aisyah merasa jantungnya berhenti berdetak. Dia menatap Lina dengan tatapan penuh tanda tanya. “Kabar apa, Lin?” Lina tampak ragu, tetapi akhirnya dia menghela napas. “Aku denger Mbak Nadia kabur… karena ada hubungan terlarang.” Aisyah terdiam. Kata-kata Lina seperti petir yang menyambar di siang bolong. Dia tidak tahu apa maksud Lina, tetapi jelas bahwa sahabat lamanya itu tahu sesuatu yang selama ini dia tidak pernah tahu. “Lin, maksud kamu apa?” tanya Aisyah akhirnya, suaranya bergetar. Lina melirik Reza, seolah tidak yakin apakah dia harus melanjutkan pembicaraan ini di depan pria itu. “Mungkin… kita bisa bicara nanti, Ais. Berdua aja.” Reza yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. “Kalau ada sesuatu yang perlu disampaikan, lebih baik sekarang saja, Mbak.” Lina terdiam. Dia tampak ragu, tetapi akhirnya dia menggeleng. “Bukan urusan saya, Mas. Maaf. Saya cuma… berharap yang terbaik untuk kalian.” Setelah itu, Lina pergi, meninggalkan Aisyah dan Reza dalam kebingungan. Aisyah ingin bertanya lebih banyak, tetapi dia tahu Lina tidak akan memberinya jawaban sekarang. Sepanjang perjalanan pulang, Aisyah tidak banyak bicara. Pikirannya penuh dengan pertanyaan. Apa maksud Lina tadi? Apa yang sebenarnya terjadi dengan Mbak Nadia? Dan kenapa dia merasa semakin yakin bahwa pernikahan ini hanya jebakan untuk menutupi sesuatu? “Aisyah,” panggil Reza pelan, memecah keheningan. “Kamu nggak apa-apa?” Aisyah menoleh, menatap Reza dengan tatapan yang sulit dibaca. “Mas, jujur sama aku… pernikahan ini, apa sebenarnya tujuannya?” Reza mengerutkan kening. “Maksud kamu apa, Dek?” “Aku cuma mau tahu. Apa aku dinikahin cuma karena Mbak Nadia kabur? Karena keluarga kita nggak mau malu?” Suaranya terdengar tajam, penuh kecurigaan. Reza terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Dia tahu Aisyah pantas mendapatkan penjelasan, tetapi dia juga tahu bahwa kebenaran bisa menghancurkan hubungan mereka yang sudah rapuh. “Mas nggak pernah anggap kamu cuma pelarian, Dek Ais,” jawab Reza akhirnya. “Mas nikahin kamu karena Mas mau bertanggung jawab.” “Tanggung jawab?” Aisyah tersenyum pahit. “Atau karena Mas nggak punya pilihan lain?” Malam itu, saat Aisyah sudah di kamarnya, Reza menerima telepon yang membuatnya terkejut. “Za, aku tahu di mana Nadia sekarang,” ujar suara di seberang. Reza langsung menegakkan tubuhnya. “Apa? Kamu serius?” “Iya. Tapi kamu harus siap, Za. Ada banyak yang harus kamu tahu.” Reza menggenggam ponselnya erat-erat. Pandangannya melayang ke arah kamar Aisyah. Dia tahu berita ini akan mengubah segalanya. “Apa yang sebenarnya terjadi, Mas?”Bab 5: Tumbuhnya Rasa yang Tak DisadariReza menggenggam ponselnya erat-erat. Pandangannya melayang ke arah kamar Aisyah. Dia tahu berita ini akan mengubah segalanya.“Apa yang sebenarnya terjadi, Mas?” suara Aisyah memecah keheningan, membuat Reza tersentak.Reza menoleh. Di sana, Aisyah berdiri dengan wajah penuh tanda tanya. Matanya memancarkan campuran emosi antara kebingungan, rasa ingin tahu, dan ketakutan. Untuk beberapa detik, Reza hanya bisa diam. Ia tahu Aisyah pantas mendapatkan jawaban, tetapi masalahnya, apa yang bisa ia katakan?“Aisyah…” Reza menghela napas panjang. Ia melangkah mendekat, meletakkan ponsel di atas meja. “Mas nggak mau kamu salah paham.”“Kalau begitu, jelaskan, Mas,” potong Aisyah dengan suara yang lebih tegas dari biasanya. “Siapa yang telepon? Apa hubungannya sama Mbak Nadia?”Reza duduk di sofa, mengusap wajahnya yang tampak lelah. “Orang itu bilang… dia tahu di mana Nadia sekarang.”Aisyah terdiam. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hatinya. “
"Tok! Tok! Tok!"Ketukan di pintu depan menggema di seluruh rumah. Aisyah yang sedang membereskan meja makan di ruang tengah spontan menoleh ke arah sumber suara. Matanya memandang sekilas ke arah dapur, di mana Reza baru saja menaruh gelas ke dalam wastafel."Ais, bisa bukain pintunya?" suara Reza terdengar dari dapur.Aisyah mengangguk kecil sebelum melangkah ke depan. Tangannya menggenggam gagang pintu, menariknya perlahan. Namun, begitu melihat siapa yang berdiri di balik pintu, napasnya tertahan sejenak.Nadia.Perempuan itu berdiri dengan angkuh di depan pintu, mengenakan blouse putih elegan yang dipadukan dengan rok panjang hitam. Wajahnya tetap secantik yang Aisyah ingat, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda—lebih suram, lebih lelah."Aisyah," Nadia menyebut namanya dengan nada yang sulit diartikan, seperti ada ketidaksukaan yang terpaksa ditahan. "Reza ada?"Aisyah tidak langsung menjawab. Ada perasaan aneh yang menyusup di dadanya. Sejak awal, keberadaannya di
"Aku ini cuma pengganti, kan?"Aisyah menggigit bibirnya, menahan gemuruh di dadanya saat suara hatinya sendiri berdengung keras di kepalanya. Di hadapannya, Reza berdiri dengan ekspresi terkejut, seolah tak siap mendengar pertanyaan itu keluar dari mulutnya.“Apa maksudmu, Ais?”Aisyah menatapnya lurus. "Aku ini istrimu, tapi kenapa aku merasa cuma bayangan Mbak Nadia di rumah ini? Kenapa keluargamu lebih menginginkan dia kembali?"Reza menarik napas panjang, mengusap wajahnya dengan kasar. “Ini nggak seperti yang kamu pikirkan.”“Oh, ya? Aku pikir aku cuma pelarian. Aku pikir mereka menerimaku karena nggak ada pilihan lain,” suara Aisyah sedikit bergetar, tapi matanya tetap tajam. “Bilang, Mas. Kalau Mbak Nadia nggak kabur waktu itu, aku nggak akan ada di sini, kan?”Reza terdiam. Seketika, keheningan di antara mereka lebih menusuk daripada ribuan kata. Sakit.Jawaban yang tak terucapkan dari Reza lebih menyakitkan daripada jika dia mengiyakan.Aisyah terkekeh pelan, lebih ke arah
"Kenapa kamu selalu menghindar, Za?"Suara Nadia terdengar pelan, tapi ada ketegasan di dalamnya. Reza yang baru saja masuk ke ruang tamu langsung terhenti. Matanya menatap perempuan di hadapannya dengan ekspresi dingin, tetapi ada ketegangan dalam sikapnya."Aku nggak menghindar," jawab Reza, menekan nada suaranya. "Aku cuma nggak mau ada masalah baru."Nadia tersenyum miring, menutup jarak di antara mereka. "Masalah baru? Atau kamu takut menghadapi perasaan sendiri?"Reza mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Kita udah selesai, Nad.""Tapi aku belum."Hening.Reza menatap Nadia dengan mata tajam, tapi perempuan itu tetap berdiri tegak, penuh keyakinan. "Aku nggak pernah benar-benar mencintai Bayu," lanjut Nadia, nadanya lebih pelan, lebih dalam. "Aku pergi karena keluarga kamu, Za. Karena tekanan dari mereka. Bukan karena aku pengin."Reza mengalihkan pandangannya, dadanya terasa sesak. Dia tahu betul bagaimana ibunya bisa menghancurkan seseorang dengan gengsinya yang berlebihan
“Ais, kamu serius mau ninggalin semuanya gini?” Laila berdiri di depan meja makan dengan tangan bersedekap, menatap Aisyah yang duduk di kursi dengan kepala tertunduk. Di depan Aisyah, secangkir teh yang mulai dingin belum disentuh sejak tadi. “Aku nggak ninggalin apa-apa, La,” suara Aisyah lirih, tetapi tetap tegas. “Aku cuma butuh waktu buat mikir.” Laila menghela napas panjang, lalu menarik kursi di seberang Aisyah dan duduk. “Mikir? Ais, kamu udah cukup banyak mikir. Dari dulu kamu selalu nurut, selalu nahan perasaan, selalu mikirin orang lain sebelum diri sendiri. Tapi kapan kamu mulai mikirin kebahagiaan kamu sendiri?” Aisyah terdiam. Hatinya penuh sesak, pikirannya bercabang. Sejak meninggalkan rumah Reza dan memilih tinggal sementara di rumah Laila, dia terus memikirkan satu pertanyaan besar: apakah dia benar-benar ingin tetap berada di dalam pernikahan ini? “Aku nggak tahu, La…” Aisyah akhirnya mengakui. “Aku takut. Aku nggak mau jadi perempuan yang lari dari tanggu
"Aku nggak akan pernah menyerah, Reza. Aku akan pastikan dia tahu bahwa dia nggak akan pernah bisa menggantikan aku!" Kalimat itu meluncur dengan tajam dari mulut Nadia di depan para wartawan. Video pernyataannya menyebar luas, menimbulkan kehebohan di media sosial. Dia tak hanya mengungkap tentang pernikahan Reza dan Aisyah, tapi juga membocorkan rahasia keluarga yang selama ini tertutup rapat.“Reza menikah dengan Aisyah bukan karena cinta, tapi karena terpaksa. Keluarga mereka menyembunyikan sesuatu dari publik, dan aku rasa orang-orang berhak tahu kebenarannya.” Dunia Aisyah seakan runtuh dalam sekejap. Setiap kata yang keluar dari mulut Nadia seperti belati yang menusuk jantungnya. Rasanya seperti terjebak dalam sebuah drama yang tidak ingin dia jalani, tetapi kini dia adalah pusat perhatian, dan semua mata tertuju padanya.“Kamu puas sekarang, Mbak Nadia?” suara Aisyah terdengar bergetar, tetapi bukan karena ketakutan. Matanya menatap lurus ke arah Nadia, yang kini berdiri angk
"Aku hanya ingin semua orang tahu kebenarannya, Za. Mereka berhak tahu." Suara Nadia terdengar begitu tenang, tetapi setiap katanya menusuk seperti belati. Di seberang telepon, Reza mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras."Apa maksudmu?""Aku sudah berbicara dengan media. Mereka tertarik dengan kisah kalian. Aku pikir, dunia perlu tahu bahwa pernikahanmu bukan atas dasar cinta, tapi sekadar menutupi aib keluarga."Darah Reza mendidih. "Nadia! Apa yang kau lakukan?! Kau sadar ini bisa menghancurkan Aisyah?"Hening sejenak sebelum suara tawa kecil terdengar dari ujung telepon. "Aisyah? Oh, jadi sekarang kau peduli padanya?"Reza terdiam, hatinya bergejolak. Bagaimana mungkin Nadia bisa bersikap seakan semua ini hanya permainan? "Reza, aku hanya ingin kau jujur. Kau tidak benar-benar mencintainya, kan? Pernikahan itu hanya cara keluargamu untuk menutup-nutupi sesuatu. Aku hanya membantumu melepaskan beban ini."Tanpa berpikir panjang, Reza menutup teleponnya. Napasnya memburu. Ia seg
"Aku pergi dari rumah ini."Aisyah menatap Reza dengan sorot mata yang tak lagi ragu. Suaranya lembut, tetapi ada ketegasan yang tak bisa diabaikan. Saat itu, ia merasakan setiap detak jantungnya berdentang keras, semacam sinyal untuk dirinya sendiri bahwa ini adalah langkah yang harus diambil.Reza, yang baru saja melepaskan dasinya setelah seharian bekerja, membeku di tempat. Dahinya berkerut, ekspresinya datar, tetapi matanya menunjukkan sesuatu yang lain—kaget, marah, atau mungkin takut? Ketiga perasaan itu saling beradu di dalam dirinya."Apa maksudmu?" Suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan, tetapi ketegangan di antara mereka membuatnya sulit untuk berbicara lembut.Aisyah menarik napas dalam, berusaha mengendalikan detak jantungnya yang terasa berat. "Aku butuh waktu untuk sendiri, Mas Reza. Aku nggak bisa terus-terusan berada di sini tanpa tahu apa posisiku sebenarnya."Reza melangkah mendekat dengan langkah mantap, seolah ingin menegaskan keberadaannya. "Aisyah
"Kamu pikir dengan melakukan semua ini, kami akan menerimamu?"Suara Ibu Reza menggema di ruang makan keluarga. Wajahnya dingin, matanya menatap tajam ke arah Aisyah yang berdiri tegak di seberang meja. Di sekelilingnya, suasana tegang. Reza duduk di samping, ekspresinya sulit ditebak.Aisyah menelan ludah, tapi dia tidak menunduk. "Saya tidak melakukan ini untuk diterima, Bu. Saya melakukannya karena saya ingin."Ibu Reza mengangkat alis. "Ingin?"Aisyah mengangguk. "Saya ingin berada di sisi Mas Reza, dalam keadaan apa pun."Hening. Suasana di ruangan itu terasa semakin tegang. Laila, yang berdiri di sudut ruangan, menggigit bibirnya, terlihat gelisah. Reza sendiri belum berkata apa-apa, tapi tangannya terkepal di atas meja, menandakan ketidakpuasannya terhadap situasi ini."Kalau begitu, kenapa baru sekarang bicara seperti ini?" suara Ibu Reza penuh sindiran. "Dari awal, kamu hanya diam, menunduk, seolah tidak punya pendirian. Kamu tidak seperti Nadia."Jantung Aisyah mencelos mend
"Aku bukan bayangan Mbak Nadia, Mas."Suara Aisyah bergetar, tapi sorot matanya teguh. Reza menatapnya, terdiam beberapa saat. Di ruangan apartemen mereka yang remang, ketegangan terasa seperti udara yang mengental, menunggu untuk dipecahkan."Aku tahu," suara Reza lebih pelan, tetapi tak lantas mereda. "Dek Ais, aku nggak pernah menganggap kamu begitu."Aisyah menelan ludah. "Tapi Mas Reza selalu ragu-ragu. Aku bisa merasakannya."Reza mengusap wajahnya, napasnya berat. "Aku hanya butuh waktu...""Waktu untuk apa?" potong Aisyah. "Untuk menyadari kalau aku benar-benar istri Mas Reza? Untuk melihat aku bukan cuma seseorang yang hadir karena keadaan?"Hening. Suara detak jam di dinding terasa begitu jelas, seolah mengikuti irama ketegangan di antara mereka. Reza menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat. "Aku memang butuh waktu, Aisyah. Tapi bukan untuk itu."Aisyah diam, menunggu. Dia tahu bahwa di balik setiap kata Reza terdapat sebuah ketulusan yang terpendam."Aku butuh waktu
"Dek Ais, aku nggak mau dengar alasan apa pun lagi. Aku harus ada di sana."Suara Reza terdengar tegas. Aisyah, yang tengah duduk di depan meja rias, menatap pantulan dirinya di cermin. Tangan mungilnya mengepal di atas pangkuan. Dia merasakan ketegangan yang mengalir di antara mereka, seperti arus listrik yang tak terlihat namun sangat kuat."Mas Reza, aku nggak mau merepotkan..." Reza berdecak, melangkah mendekat. "Kamu lulus hari ini. Hari penting dalam hidup kamu. Suamimu sendiri harus hadir, bukan?"Aisyah menggigit bibir. "Ibu nggak akan suka.""Ibu bisa berpikir sesukanya." Reza menggerakkan tangannya seolah menyingkirkan semua kekhawatiran yang menghalangi mereka.Jantung Aisyah berdebar. Sejak pernikahan mereka, Reza memang selalu membela dirinya. Tapi tetap saja, dia tak ingin menjadi penyebab keretakan hubungan Reza dan ibunya. Rasa bersalah menyergapnya."Tapi, Mas..." Reza menunduk sedikit, menatap langsung ke matanya. "Nggak ada tapi. Aku suami kamu, dan aku mau ada di
"Kenapa, Za? Kenapa kamu berubah gini?" Suara Nadia bergetar, tapi Reza tetap menatapnya tanpa ekspresi. Hawa dingin yang menyelimuti ruangan itu seolah menekan setiap kata yang ingin keluar dari mulutnya. "Aku nggak berubah, Nad. Justru ini pertama kalinya aku bersikap seperti yang seharusnya."Nadia menelan ludah. Ada sesuatu dalam tatapan Reza yang membuat dadanya sesak—seolah dia benar-benar kehilangan sesuatu yang selama ini dia pikir bisa dia kendalikan."Jangan ngomong kayak gitu. Kamu nggak bisa ninggalin aku, Za. Kamu tahu itu!" Reza mendengus pelan."Kamu terlalu percaya diri, Nad."Nadia mengerjap, seolah belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan yang ada di depan matanya. Sejak awal, dia selalu percaya bahwa Reza akan tetap ada untuknya—entah sebagai pria yang dia cintai, atau setidaknya seseorang yang tidak bisa benar-benar lepas dari genggamannya. Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda."Kamu masih marah soal yang kemarin, kan?" Reza menghela napas. "Bukan cuma kemar
Ruang tamu yang biasanya hangat dan penuh tawa kini terasa dingin dan tegang. Cahaya lampu gantung di langit-langit memantulkan bayangan samar di dinding, seolah mencerminkan pergolakan yang sedang berlangsung di antara dua wanita yang berdiri saling berhadapan. Aisyah berdiri tegak di tengah ruangan, jilbab panjangnya yang berwarna krem menjuntai hingga menutupi sebagian pundaknya. Tangannya tersembunyi di balik kain itu, namun jika dilihat lebih dekat, jemarinya tampak mengepal erat, menahan gelombang emosi yang bergejolak di dadanya. Suaranya yang keluar dari bibirnya sedikit bergetar, namun matanya—mata yang biasanya lembut dan penuh kehangatan—kini menatap lurus ke arah Nadia tanpa sedikit pun gentar."Apa maumu sebenarnya, Mbak Nadia?" tanyanya, nada suaranya bercampur antara ketegangan dan kemarahan yang ia coba tahan.Nadia, yang duduk santai di sofa empuk dengan kaki disilangkan, hanya tersenyum tipis. Senyum itu tidak mencapai matanya; ada sesuatu yang dingin dan licik ters
“Apa yang kamu lakukan, Mbak Nadia?” Suara Aisyah bergetar, namun ada kekuatan yang tersirat dalam nada bicaranya. Matanya menatap lurus ke arah wanita yang berdiri di depannya, sorot keteguhan yang belum pernah Reza saksikan sebelumnya memenuhi wajah lembut Aisyah. Cahaya lampu ruang tamu yang temaram memantulkan bayangan mereka di dinding, menciptakan suasana yang tegang seolah udara di sekitar mereka ikut mengeras.Nadia tersenyum sinis, lengkungan bibirnya penuh dengan kepahitan yang sudah lama terpendam. “Kamu pikir aku akan membiarkan kamu merebut semuanya dariku, Aisyah? Aku tahu semua rahasia keluarga ini—setiap detail kecil yang disembunyikan dengan rapi di balik senyum manis dan kata-kata bijak. Dan aku akan memastikan kamu menyesal telah masuk ke dalamnya, menjejakkan kakimu di dunia yang bukan milikmu.”Reza melangkah maju, tubuhnya yang tinggi berdiri tegak di antara Aisyah dan Nadia, seolah menjadi benteng pelindung bagi wanita yang kini menjadi bagian penting dalam hidu
"Aku mau hubungan kita dimulai dari awal, Mas. Tanpa bayangan Mbak Nadia."Reza terdiam. Suasana ruang tamu yang biasanya dingin, dengan dinding-dinding putih polos dan sofa tua yang berderit pelan, kini terasa sesak, seolah udara di sekitar mereka menolak bergerak. Cahaya lampu gantung di atas kepala memantulkan bayangan samar di lantai kayu, namun sorotan mata Aisyah yang berdiri di hadapannya jauh lebih tajam daripada kilau itu. Wajahnya tenang, hampir terlalu tenang, tapi di balik ketenangan itu, Reza bisa melihat kilasan ketegasan yang asing—sesuatu yang belum pernah ia temui sebelumnya dalam diri Aisyah selama tiga tahun pernikahan mereka."Jadi, kamu... benar-benar mau kembali ke rumah ini?" Suara Reza bergetar samar, seperti angin yang menyelinap di sela-sela jendela yang tak pernah tertutup rapat. Dia berdiri di dekat meja kecil di sudut ruangan, tangannya meremas ujung kain sarung yang dikenakannya, mencari pegangan untuk menenangkan hati yang bergetar.Aisyah mengangguk pe
Cinta adalah sebuah perasaan yang tak terduga, sering kali datang di saat yang tak kita duga dan membawa perubahan besar dalam hidup. Dalam kisah ini, kita akan menyelami perjalanan Aisyah dan Reza yang terjebak dalam hubungan yang rumit. Apakah mereka akan mampu mengatasi masa lalu dan menemukan kebahagiaan yang sejati? Mari kita lanjutkan narasi ini.Sejak pernikahan mereka dimulai, Aisyah selalu merasakan bayang-bayang Nadia, mantan kekasih Reza yang masih menghantui hubungan mereka. Setiap kali Aisyah berharap untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang Reza, selalu ada rasa bahwa ia hanya menjadi pengganti. **Realita ini sangat menyakitkan** bagi Aisyah, dan ia merasa terjebak dalam situasi yang tidak adil. Reza, di sisi lain, berjuang dengan rasa bersalah dan kesedihan yang mendalam. Kehilangan Nadia membuatnya merasa bahwa ia tidak berhak untuk mencintai lagi. **Pikiran ini membuatnya menjaga jarak dari Aisyah**, meskipun di dalam hatinya, ia menyimpan perasaan yang semakin d
"Aku lelah, Mas. Aku nggak bisa terus-terusan berusaha kalau aku sendiri nggak yakin aku memang pantas di sini."Aisyah menatap Reza dengan mata yang dipenuhi air. Suaranya terdengar pelan, tetapi cukup untuk menusuk hati pria di depannya. Dia merasa terjebak dalam perasaannya sendiri, dan saat-saat seperti ini membuatnya meragukan segala sesuatu yang telah dia jalani bersama Reza."Jangan ngomong gitu, Dek Ais." Suara Reza lebih rendah dari biasanya, nyaris seperti bisikan. "Aku tahu ini berat, tapi kita bisa cari jalan keluar bareng-bareng." Ada nada harapan dalam suaranya, tetapi Aisyah merasa semua itu sia-sia.Aisyah menggeleng. "Aku udah coba. Aku berusaha keras buat bertahan, buat percaya kalau aku bisa jadi bagian dari hidup Mas Reza. Tapi yang selalu aku lihat cuma bayang-bayang Mbak Nadia. Aku capek." Kata-kata itu meluncur keluar seperti aliran air yang tidak bisa dia tahan lagi. Setiap detik rasanya semakin menyakitkan.Reza mengatupkan rahangnya. Tangannya mengepal di sis