Aku menguap lebar saat gorden kamar dibuka oleh Mama. Matanya ikut mengernyit saat sinar matahari memasuki jendela.
"Pagi, Des."
Aku terduduk sambil mengucek mata, "Pagi, Ma."
Jika kalian mengira membangunkan aku di pagi hari adalah kegiatan rutin Mama, kalian salah besar.
Mama tidak pernah membangunkan aku di pagi hari kecuali jika memang ada hal yang benar-benar penting yang harus segera aku lakukan.
"Oma demam semalam, dan sampai sekarang demamnya gak turun juga. Mama, Papa, sama Opa bakal ke rumah sakit. Kamu tolong jaga adik-adik, ya."
"Oma demam?"
Mama mengangguk cepat, tampak tidak mau berlama-lama berbicara denganku. "Iya, tiga puluh delapan derajat. Kamu pesan makanan aja nanti kalau gak mau masak. Di kulkas sebenarnya ada--"
"Ma, it's okay. Aku tahu apa yang harus aku lakuin kok."
Mama menghela napas, berusaha menenangkan diri. "Thank you, Dear," ucapnya, lantas mengecup dahiku. "Mama berangkat dulu, ya. Adik-adikmu masih tidur semua."
Aku mengangguk, membiarkan Mama setengah berlari keluar dari kamarku.
Wajar kalau Mama sepanik itu. Oma pernah didiagnosa gejala stroke oleh dokter, dan sejak saat itu, Mama mulai membatasi asupan makanan Oma. Dan gejala stroke itu terdeteksi saat Oma demam tinggi sampai tidak sadarkan diri.
Aku berdiri dari atas kasur saat mendengar pintu pagar dibuka. Dari jendela kamar, aku lihat Opa yang tampak panik hanya mengenakan celana pendek dan sandal rumah, langsung memasuki mobil begitu saja. Sementara Mama tergesa-gesa menutup pintu pagar, tanpa menguncinya.
Semoga Oma baik-baik saja.
Denting notifikasi mengalihkan perhatianku. Ponsel pintar yang aku letakkan di atas laci bergetar dua kali.
Naraya_ has started following you.
Kuintip kolom notifikasi sambil menahan senyum.
Semalam, setelah menghabiskan waktu beberapa jam stalking akun media sosial Raya, aku akhirnya memutuskan untuk mengikuti akun I*******m-nya. Kuabaikan rasa minder karena menjadi satu-satunya wanita yang biasa saja di antara puluhan ribu pengikut Raya.
Sungguh, aku tidak mengharapkan Raya akan mengikuti akunku juga, tapi ternyata Tuhan lebih tahu apa yang ada di dasar hati hamba-Nya.
Siapa juga coba yang tidak mau di-follow oleh laki-laki ganteng dan tenar seperti Raya?
Aku duduk di kursi dan kembali stalking. Memperhatikan tiap post Raya yang selalu dikomentari oleh banyak wanita dari berbagai latar belakang.
Sebagian besar sih model.
Model yang merangkap menjadi dokter.
Model yang merangkap menjadi pengacara.
Model yang merangkap sebagai pengusaha.
Intinya, sebagian besar dari mereka adalah wanita cantik dan juga cerdas.
Aku menghela napas. Kini mulai menggerakkan jariku untuk stalking pada salah satu gadis yang ada di dalam post Raya. Wajahnya sangat Indonesia. Kulitnya sawo matang, senyumnya ramah dan elegan. Rambutnya hitam legam, begitu pula warna bola matanya.
Thalita Maharani.
Bukan model, tapi laman akun media sosialnya penuh dengan fotonya saat mengajar anak-anak terlantar di bawah jembatan yang sangat aku kenal.
Fotonya bersama Menteri Pendidikan.
Fotonya saat menjadi pembicara di Hari Pendidikan Nasional.
Aku menghela napas, lagi.
Kali ini memang bukan model, tapi Duta Pendidikan. Tetap saja, aku bukan tandingannya.
Tapi, apa hubungannya dengan Raya, ya? Mereka berdua kelihatan dekat di foto itu.
Mereka pacaran?
"Kak Des!"
Aku terhenyak saat mendengar teriakan adikku di depan pintu kamar. Kedua alisnya bertaut sebal, kakinya dihentakkan saat masuk ke kamar.
"Kak Des dari tadi dipanggilin kok diem aja, sih?!"
"Eh, maaf gak dengar. Kenapa, Yan?" Aku mengunci ponselku dan berdiri, mendekati adik laki-lakiku yang masih berumur 6 tahun.
"Biyan laper. Kak Mada juga."
Aku mendengus. Mada adalah adik pertamaku, usianya sudah tujuh belas, tapi tidak bisa melakukan sedikitpun pekerjaan rumah, termasuk menggoreng telur atau memasak mie instan.
"Iya, iya, bentar. Kakak sikat gigi sama cuci muka dulu, ya. Kamu mau makan apa?"
"Hm...," Biyan tampak berpikir keras, "roti bakar, deh."
"Oke. Sekarang tunggu di bawah, ya. Kakak siap-siap dulu."
Wajah Biyan berubah sumringah. Ia langsung berlari dan menutup pintu kamarku keras-keras.
Pantas saja engsel pintu di rumah ini tidak berfungsi dengan baik.
Untung saja masih kecil, masih aman dari omelanku.
.
Kamar inap Oma berada di ujung koridor. Di depan kamarnya, tampak beberapa orang duduk dan berbincang.
Mataku menyipit saat menyadari bahwa orang-orang itu adalah Papa, Pak Hendrawan, dan juga beberapa orang laki-laki yang tidak aku kenal.
Aku tersenyum sambil agak membungkuk saat melewati mereka. Biyan langsung duduk di atas pangkuan Papa, sementara aku dan Mada masuk ke kamar inap Oma.
Kamar inap Oma wangi, tidak berbau obat sama sekali. Di atas ranjang, Oma sedang memejamkan mata. Entah tidur atau sedang menahan sakit kepala.
Di sofa, Mama dan Nyonya Hendrawan sedang berbicang pelan. Mereka tersenyum saat melihatku. Mama langsung berdiri dan mengambil barang bawaan kami, lantas meletakkannya di dalam lemari tv.
Di samping ranjang, seorang pria berjas putih berdiri sambil berbicara dengan laki-laki yang lain--Narendra.
Rendra tersenyum dan agak bergeser, seolah mempersilakan aku untuk melihat kondisi Oma.
"Beliau gak apa-apa. Tadi sudah kami beri obat untuk menurunkan tekanan."
Aku menganggukkan kepala, memandangi Oma yang kelihatannya memang benar-benar tertidur.
"Terima kasih," ujarku kepada Pak Dokter.
Pak Dokter menganggukkan kepala, kemudian menepuk bahu Rendra beberapa kali sebelum akhirnya keluar dari ruangan.
Aku dan Rendra sama-sama diam. Aku mengamati Oma, dan Rendra, tampaknya diam-diam mengamati aku.
"Kamu gak apa-apa?" tanyanya kemudian.
Rendra berdiri tepat di sebelahku.
Aku tidak pernah berada di posisi sedekat ini dengannya. Sampai samar-samar, aku bisa mencium aroma tubuhnya yang segar.
Bagaimana ya mendeskripsikannya....
Aromanya seperti hembusan angin laut. Samar, sangat samar. Tapi... segar.
Aku mengucek hidung, berusaha mengalihkan fokus.
"Hm... kenapa-kenapa, sih," jawabku, sekenanya. Tidak bisa berpikir lama untuk jawaban apa yang sekiranya lebih baik.
"Sudah makan?"
Aku menggelengkan kepala.
"Kamu belum makan, Des?" Mama menimpali dari belakang. Aku menoleh dan nyengir.
Dari gerak wajah Mama, aku tahu kalau Mama sangat ingin mengomel, tapi menahan diri karena saat ini sedang banyak orang.
"Saya temani Destri makan di kantin ya, Tante."
Ucapan Rendra tidak butuh persetujuan. Laki-laki itu menoleh padaku sambil mengangkat alis, aku mengalihkan pandang secara bergantian dari Rendra, Mama, dan Nyonya Hendrawan.
"Atau mau saya belikan makanan biar kamu bisa makan di sini?" tanyanya lagi.
Aku lekas menggeleng. Terlalu merepotkan orang lain.
Rendra tersenyum, "Ayo."
.
"Buburnya kamu aduk?" Rendra mengangkat alis saat melihat aku memutar sendok di dalam bubur.
Kupandangi bubur ayam Rendra yang masih rapi. Aku nyengir, "Iya."
Rendra tertawa kecil, mempersilakan aku untuk makan sebelum akhirnya ia ikut makan.
Diam-diam, aku pandangi Rendra dengan tatapan menilai.
Rendra cukup terlihat rapi dibandingkan dengan Raya. Raya adalah trendsetter, sementara Rendra adalah tipe laki-laki CEO sempurna yang selalu menjadi tokoh utama dalam fiksi masa kini.
Aku bisa mendefinisikan Rendra sebagai neat and tidy.
Sedangkan Raya adalah young and free.
Dua kepribadian yang sebenarnya sangat bertolak belakang.
Meskipun begitu, keduanya sama-sama rupawan.
Rendra dan Raya punya garis rahang yang sama-sama tegas. Hidung Rendra beberapa mili lebih mancung dibanding milik Raya, tapi mata Raya lebih tajam daripada mata Rendra.
Bibir Raya lebih penuh, sementara bibir Rendra tampak tipis tapi lengkungannya terbentuk sempurna.
Aku menahan napas dan menelan ludah.
"Buburnya gak enak?"
Aku lekas menggeleng dan memasukkan sesuap bubur ke mulut. Terlalu lama mengamati Rendra membuatku hilang fokus.
Diam-diam aku berpikir, kalau saja rentang usia mereka tidak jauh, mungkin mereka sudah dikira kembar.
"Ini tahun terakhir kamu kuliah, kan?"
Pertanyaan dari Rendra membuatku kehilangan napsu makan. Aku bisa menduga-duga kemana arah pembicaraan ini--pasti tidak jauh-jauh dari pembahasan tentang rencananya melamarku.
"Iya," aku mengangguk. "Rencananya setelah ini mau langsung lanjut pasca sarjana," ujarku, sekenanya. Padahal hal itu ada dalam urutan terakhir. Aku ingin bersantai-santai dulu sejenak setelah pusing kuliah selama 4 tahun.
"Wah. Serius?" Rendra memandangiku takjub. "Rencananya mau ambil S2 dimana?"
Aku berpikir agak lama. "Bandung, mungkin."
"Saya punya temen di kampus ternama di Bandung. Kebetulan dia dosen di sana."
Aku menerawang.
Berapa, ya, kira-kira usia Rendra?
Aku kira kami sepantaran karena wajahnya tidak terlihat tua. Tapi, prestasi pekerjaannya itu sudah segudang, loh. Butuh waktu minimal 5 - 6 tahun agar seseorang bisa sesukses Rendra.
Jangan-jangan aku beda 10 tahun dengannya!
"Des? Kok bengong?"
Aku tergagap.
Bagaimana ya cara menanyakan umur seseorang agar tetap terdengar sopan....
Oh.
"Denger-denger kampus kita sama, ya?"
Rendra tertawa kecil, "Iya. Saya tiga tahun di atas kamu."
Aku menaikkan satu alis. Terkejut.
"Kita sering papasan waktu kuliah umum. Gak pernah sadar, ya?"
Aku menggelengkan kepala, sungkan.
Ada ratusan mahasiswa yang hadir saat kuliah umum. Mana mungkin aku sempat mengamati satu demi satu. Toh kalau aku melakukannya, aku juga pasti sudah lupa wajah mereka beberapa jam berikutnya.
"Kamu ingat Profesor Adnan?"
"Yang agak nyebelin itu?"
Rendra tertawa, "Iya, yang agak nyebelin itu. Sejak kamu telat dan diminta tutup pintu dari luar, saya gak bisa berhenti buat gak ngeliatin kamu."
A lil bit creepy, to be honest. Rasanya kayak ada seseorang yang tiba-tiba mengaku kalau selama ini ia menguntit aku.
Tapi, siapa juga yang tidak akan ingat wajahku saat itu. Profesor Adnan jelas-jelas membuatku keluar dari kelas yang mati-matian tetap berusaha aku ikuti, setelah berlari dari Gedung A ke Gedung C yang jaraknya hampir satu kilo!
Aku bahkan takut membayangkan bagaimana wajahku saat itu.
Berkeringat. Napas terengah. Rambut berantakan.
Shit. A mess.
Jelas saja semua orang yang ada di ruangan itu akan mengingatku sepanjang masa.
"Kamu nangis waktu itu."
Aku mengerutkan kening, "Gak! Siapa juga yang bakalan nangis karena diusir dari kelas."
"Tapi mata kamu merah. Trus pipi dan hidung kamu juga basah, bawah matanya apa lagi."
"I--itu keringat." Aku mendengus, langsung menundukkan kepala dan kembali makan.
Rendra tertawa puas. Lantas meminta maaf meski kemudian ia terus mengungkit kembali cerita itu.
Hari itu, aku ngobrol banyak dengan Rendra. Awalnya aku kira Rendra sangat kaku dan formal, ternyata dia gak seburuk itu.
Rendra juga cerita banyak tentang studinya. Termasuk usahanya yang sudah ia rintis sejak ia masih seorang bocah SMA.
Ngomong-ngomong, Rendra benar-benar seorang CEO. Ia tidak mau menyebutkan perusahaannya padaku, katanya biar nanti aku sendiri yang tahu.
Di akhir hari, saat aku baru saja selesai mandi dan merebahkan diri di atas kasur, ponselku berdenting dua kali, satu notifikasi masuk.
NRendra has started following you.
Aku memandangi layar ponselku lama. Menimbang-nimbang apakah aku harus mengikutinya balik.
Beberapa menit kemudian, jempolku menekan tombol 'Ikuti'.
Well, gak ada salahnya mengikuti kembali. Kami kan teman.
[ ]
Rendra terhenyak sesaat menerima panggilan dari bundanya. Bundanya bilang, Oma Destri sakit dan kini sedang dirawat di rumah sakit. Laki-laki itu langsung mengabari sekretarisnya, lantas bergegas menuju rumah sakit. Bundanya sudah ada di sana bersama Mama Destri. Mereka tersenyum dan membiarkan Rendra mendekati ranjang tempat Oma terbaring lemah. Napas Oma teratur, nampaknya obatnya mulai bekerja. Di kaki ranjang, seorang laki-laki berjas dokter berdiri bersebelahan dengan seorang perawat. Rendra memicingkan mata sejenak sebelum akhirnya sadar bahwa dokter itu adalah teman SMP-nya dulu. "Doni?" "Rendra?" Rendra tertawa kecil dan menjabat tangan Sang Dokter. "Aku gak tahu loh kalau kamu praktek di sini juga." "Dimana-mana sih, Bro. Kejar setoran." Doni tertawa pelan. "Btw ini pasiennya ada hubungan apa sama kamu?" "Oh, Oma-nya temenku. Sudah kayak Oma sendiri, sih. Gimana keadaannya?" "Tekanan darahnya ti
Hari ketiga Oma dirawat di rumah sakit, Destri membawakan semangkuk sup krim ayam kesukaan Oma. Wanita tua itu beberapa kali mengeluh dengan makanan rumah sakit yang menurutnya hambar. "Sekali ini aja ya, Oma." Oma menganggukkan kepala, tidak sabar untuk mencicipi sup krim kesukaannya. Diam-diam ia minta cucu kesayangannya itu untuk membawa makanan ini saat shift jaga Destri tiba. "Duh, enak banget, Des. Coba aja makanan rumah sakit kaya gini rasanya." Destri tertawa kecil. Gadis itu membiarkan Oma menghabiskan sup krimnya, sementara ia sendiri merapikan ruangan Oma yang penuh dengan bingkisan dari kolega. Destri baru saja duduk dan menyalakan tv saat pintu kamar diketuk, membuat Oma kaget dan hampir menumpahkan sup. "Ya ampun, Rendra. Kamu hampir bikin Oma jantungan." Rendra mengernyit dan tersenyum. "Berdua sama Destri aja, Oma?" "Iya, Mama barusan pulang buat ngurusin rumah. Tuker-tukeran shift jaga begini tiap hari.
Hingar bingar musik disko membahana ke seluruh penjuru ruang.Aroma berbaur menjadi satu, mulai dari wangi manis dari uap vape, sampai bau asap rokok yang menyengat.Pria dan wanita sibuk berdansa di bawah sorot lampu berwarna-warni. Beberapa kelihatan sadar, sisanya mulai terlihat bergerak secara acak karena kesadarannya sudah mulai hilang.Sudah beberapa bulan terakhir Destri tidak menginjakkan kaki di kelab malam ini. Dulu semasa SMA dan awal-awal kuliah, sering sekali ia bersama beberapa temannya menghabiskan malam di akhir pekan di tempat ini. Kadang mereka akan open table dan memesan beberapa makanan dan minuman, lantas melangkah ke lantai dansa begitu suasana sudah mulai panas.Malam ini, Destri memilih untuk menjadi penonton. Bokongnya sudah mendarat sempurna di kursi bar, menghadap laki-laki manis yang sudah menjadi bartender di sini sejak beberapa tahun belakangan."Hai, Cantik." Sang Bartender menyapa seraya mengedipkan mata. "Lama bange
Suara bising dari motor sport Raya memecah keheningan malam di kota. Jalanan nampak lengang, hanya ada beberapa motor dan mobil yang melaju di atas batas kecepatan normal.Destri masih mengalungkan lengannya erat-erat pada pinggang Raya. Beruntung Raya meminjamkan jaketnya tadi, kalau tidak, sudah pasti Destri akan menggigil kedinginan saat ini."Kita mampir dulu ya, Des?"Suara Raya terbawa udara. Destri yang tidak mendengarnya dengan jelas, memilih untuk langsung menjawab iya sembari menganggukkan kepala.Sebenarnya, gadis itu terus bertanya-tanya dalam hati saat mengetahui motor Raya melaju bukan ke arah rumahnya.Motor itu baru melambat saat sampai di sebuah warung tenda pinggir jalan. Destri mematung sebentar sebelum akhirnya turun."Makan dulu ya, Des. Aku laper," ujar Raya. Laki-laki itu melepaskan helm Destri sebelum melepas helmnya. "Maaf ya, rambut kamu jadi berantakan."Usapan jemari Raya di rambut Destri berhasil membuat g
Suara jangkrik terdengar nyaring di antara keheningan yang melingkupi Destri dan Raya. Raya yang kini duduk bersandar pada kepala ranjang, membiarkan Destri sepenuhnya merawat dirinya. Dibiarkannya tangan Destri mengompres luka di wajah dan bahunya yang membiru. "Ah!" Raya memekik pelan saat Destri mengusap luka di sudut alisnya. "Perih banget." Destri menghela napas, "Lukanya gak dalem, tapi pasti ada bekasnya." "Gak apa-apa. Bukan cowok namanya kalau gak punya bekas luka." Raya terkekeh. Gadis di hadapan Raya itu mendengus. Raya tersenyum tipis. Dengan jarak wajah yang berdekatan sepert ini, Raya bisa mengamati kulit Destri yang begitu mulus. Bulu matanya lentik, warna pupil matanya hitam gelap. Bibirnya mungil, berbentuk seperti hati dan bervolume agak penuh. Duh, ingin rasanya Raya mencuri satu ciuman dari calon kakak iparnya ini. Merasakan bibirnya yang lembut dan penuh. Tubuh Raya memanas. Laki-laki itu mendorong
Destri berlari cepat menuju gedung serbaguna kampusnya. Disapanya lalu orang-orang yang memanggilnya. Ia tidak punya waktu untuk basa basi, kecuali kalau ia ingin terlambat dan tidak mendapatkan kursi untuk seminar umum saat ini.Sudah jadi kewajiban mahasiswa tingkat akhir di jurusan Destri untuk mengikuti seminar umum minimal sebanyak tiga kali. Jika kurang dari itu, maka mereka harus mengundur waktu ujian proposal ke semester berikutnya sampai bisa memenuhi tiga seminar.Destri ingat ketua angkatannya pernah berkoar-koar tentang hal ini. Katanya, seminar umum yang berlangsung saat ini adalah seminar terakhir di semester ini. Sehingga bagi Destri, ini bagai penentu apakah dia akan ikut wisuda tahun ini, atau tahun depan.Antrean mengular di jalan masuk menuju gedung serbaguna. Destri menunggu di barisan belakang sambil mengetuk-ketukkan kaki tidak sabar.Salahnya sendiri bangun kesiangan.Ah, andai saja kejadian tadi malam tidak terjadi, mungkin
Destri mematung sejenak saat matanya bersitatap dengan milik Rendra. Laki-laki itu tersenyum manis dan antusias saat melihat gadis yang ia cari sedaritadi, kini akhirnya muncul sendiri ke hadapannya.Jodoh memang gak kemana.Mendengar sambutan dari Bu Prof, Destri duduk dengan canggung di sebelah Rendra. Hanya ada dua kursi sofa di ruangan Bu Prof; satu kursi sofa tunggal, dan yang satunya lagi adalah kursi sofa yang cukup untuk menampung dua orang."Destri, sudah kenal Rendra?"Destri menganggukkan kepala seraya tersenyum kaku."Saya juga kenal Destri kok, Bu. Siapa, sih, yang gak kenal Destri?" Rendra berujar seraya terkekeh.Bu Prof ikut tertawa. Benar memang kata Rendra, tidak ada yang tidak mengenal Destri, terlebih sejak insiden terusirnya gadis itu dari kelas.Diam-diam, Destri menghela napas, ingin sekali keluar dari ruangan itu."Des, kebetulan judul skripsimu ini temanya sama dengan skripsi Rendra dulu. Kamu juga bisa
Bego.Destri memukul kepalanya pelan saat ia baru saja memasuki mobil Rendra. Laki-laki itu masih belum duduk di kursi kemudi, ia masih membuka pintu belakang untuk meletakkan setumpuk buku milik Destri.Gadis itu menghela napas.Kenapa ia bisa refleks mengatakan kalau ia pacar Rendra, ya? Bagaimana kalau nanti jadi rumor yang kemudian sampai ke telinga Rendra sendiri?Wajah Destri tiba-tiba memanas. Malu bukan main membayangkan bagaimana nanti reaksi Rendra.Rendra pasti akan mengira kalau Destri kesepian sampai-sampai mengaku menjadi kekasihnya."Des? Kamu gak apa-apa?"Destri menggelengkan kepala, mengatur napasnya pelan-pelan.Rendra diam, mengamati. Ia nampak berpikir."Hm ... apa yang perlu diomongin?" Destri memecah keheningan.Mesin mobil Rendra sudah menyala dari tadi. Meski begitu, nampaknya laki-laki itu sengaja untuk mengajak Destri bicara di dalam mobil saja, tidak kemana-mana."Aku ... mau min
"Kok bisa berangkat bareng Rendra?"Gadis yang ditanya membuang muka, menatap sisi jalanan melalui kaca mobil yang tertutup rapat. Sejak tadi gadis itu melirik pemutar musik di dalam mobil, seperti ingin menyalakannya. Ia butuh suara musik untuk memecahkan keheningan yang canggung antara dirinya dan Raya."Tadi tiba-tiba Rendra jemput."Raya melirik sekilas gadis yang duduk di sebelahnya tersebut. Tangannya memindahkan persneling dan memutar kemudi ke kanan.Destri memandanginya dengan bingung. Ini bukan jalan ke arah rumahnya, Raya berniat membawanya pergi lagi seperti malam itu?"Aku mampir sebentar," ujar Raya. Mobilnya berhenti tepat di depan sebuah toko bunga. Laki-laki itu kembali beberapa menit kemudian dengan tangan membawa sebuah buket besar berisi bunga gerbera.Buket itu ia letakkan hati-hati di kursi belakang. Dari cermin rear-vision, Destri bisa melihat bunga gerbera putih dan pink, serta beberapa tangkai baby breath untuk mengi
Destri menghentikan langkahnya saat melihat Rendra yang sedang asyik berbincang dengan Oma di ruang tamu. Gadis itu nyaris melangkah mundur andai saja Oma-nya tidak menyapanya."Sini, Des. Kamu diajakin Rendra bareng ke kampus."Destri tersenyum tipis, langkahnya gontai menuruni anak tangga. Ia hampiri dua orang tersebut dan duduk di sebelah Oma.Tak lama, Mama muncul dan mengajak Rendra untuk sarapan bersama. Hari ini kebetulan Mama memasak nasi uduk, makanan yang sudah lama dipesan oleh Papa."Om gak ikut sarapan, Tante?"Mama menggeleng seraya menyendokkan nasi ke piring Rendra, "Om udah berangkat lebih pagi tadi, jadi udah sarapan duluan."Rendra mengangguk, menerima sepiring nasi uduk yang wanginya begitu menggiurkan.Sejujurnya, laki-laki itu tidak pernah makan nasi untuk sarapan. Sejak kecil ia sudah terbiasa untuk sarapan dengan sereal atau roti.Semoga perutnya akan baik-baik saja."Tante tinggal dulu, ya. Tamba
Raya mengaduh keras saat tas berwarna cokelat milik Destri mendarat mulus ke tubuhnya. Laki-laki itu meringis sambil menampakkan wajah bersalah."Maaf, Des. Aku gak maksud.""Gak maksud apaan?! Jelas-jelas kamu jadiin aku kambing hitam barusan!"Destri tidak bisa menghentikan bayangan dirinya dalam sebuah video saat dirangkul oleh Raya dan diteriaki secara histeris oleh Putri di belakangnya, kemudian video itu akan diunggah ke media sosial dengan caption yang mungkin akan membuat orang lain salah paham.Semoga saja tidak terjadi, karena Destri tidak akan pernah siap menerima hujatan dari para netizen yang maha benar."Maaf, Des, aku bener-bener gak tahu gimana caranya supaya bisa lepas dari cewek itu."Destri berdecak, "Tapi bukan berarti kamu bisa jadiin aku kambing hitam, Ray."Laki-laki di hadapan Destri itu menghela napas, "Oke, gini aja, sebagai gantinya, aku bakal ngelakuin apapun yang kamu minta hari ini. Anggap aja sebagai uca
Suara tawa memecah keheningan di telinga Destri. Hilir mudik manusia berbagai jenis berhasil ditangkap matanya. Beberapa berjalan santai, menenteng tas kertas berbagai ukuran. Beberapa yang lain kelihatan tergesa, entah hendak mencari apa di tengah lautan manusia seperti ini. Destri harus mengakui kalau ia benci mengunjungi pusat perbelanjaan di akhir pekan seperti ini. Melihat hilir mudik manusia seperti ini membuat tubuhnya tiba-tiba merasa lelah. Semua ini gara-gara Putri! Sejak di dalam mobil tadi, gadis itu terus merengek pada Raya agar mereka berhenti di pusat perbelanjaan karena persediaan skincare-nya sudah menipis. Padahal, saat Destri mencuri dengar tadi, gadis itu awalnya bilang kalau ia akan membeli skincare dengan mamanya besok. "Destri gak mau ikutan beli skincare?" tanya Putri. Suaranya melengking begitu tinggi--cempreng. Destri menggeleng sambil tersenyum tipis. Diliriknya Raya yang tersenyum menyesal, meminta maaf. "Ma
Bego.Destri memukul kepalanya pelan saat ia baru saja memasuki mobil Rendra. Laki-laki itu masih belum duduk di kursi kemudi, ia masih membuka pintu belakang untuk meletakkan setumpuk buku milik Destri.Gadis itu menghela napas.Kenapa ia bisa refleks mengatakan kalau ia pacar Rendra, ya? Bagaimana kalau nanti jadi rumor yang kemudian sampai ke telinga Rendra sendiri?Wajah Destri tiba-tiba memanas. Malu bukan main membayangkan bagaimana nanti reaksi Rendra.Rendra pasti akan mengira kalau Destri kesepian sampai-sampai mengaku menjadi kekasihnya."Des? Kamu gak apa-apa?"Destri menggelengkan kepala, mengatur napasnya pelan-pelan.Rendra diam, mengamati. Ia nampak berpikir."Hm ... apa yang perlu diomongin?" Destri memecah keheningan.Mesin mobil Rendra sudah menyala dari tadi. Meski begitu, nampaknya laki-laki itu sengaja untuk mengajak Destri bicara di dalam mobil saja, tidak kemana-mana."Aku ... mau min
Destri mematung sejenak saat matanya bersitatap dengan milik Rendra. Laki-laki itu tersenyum manis dan antusias saat melihat gadis yang ia cari sedaritadi, kini akhirnya muncul sendiri ke hadapannya.Jodoh memang gak kemana.Mendengar sambutan dari Bu Prof, Destri duduk dengan canggung di sebelah Rendra. Hanya ada dua kursi sofa di ruangan Bu Prof; satu kursi sofa tunggal, dan yang satunya lagi adalah kursi sofa yang cukup untuk menampung dua orang."Destri, sudah kenal Rendra?"Destri menganggukkan kepala seraya tersenyum kaku."Saya juga kenal Destri kok, Bu. Siapa, sih, yang gak kenal Destri?" Rendra berujar seraya terkekeh.Bu Prof ikut tertawa. Benar memang kata Rendra, tidak ada yang tidak mengenal Destri, terlebih sejak insiden terusirnya gadis itu dari kelas.Diam-diam, Destri menghela napas, ingin sekali keluar dari ruangan itu."Des, kebetulan judul skripsimu ini temanya sama dengan skripsi Rendra dulu. Kamu juga bisa
Destri berlari cepat menuju gedung serbaguna kampusnya. Disapanya lalu orang-orang yang memanggilnya. Ia tidak punya waktu untuk basa basi, kecuali kalau ia ingin terlambat dan tidak mendapatkan kursi untuk seminar umum saat ini.Sudah jadi kewajiban mahasiswa tingkat akhir di jurusan Destri untuk mengikuti seminar umum minimal sebanyak tiga kali. Jika kurang dari itu, maka mereka harus mengundur waktu ujian proposal ke semester berikutnya sampai bisa memenuhi tiga seminar.Destri ingat ketua angkatannya pernah berkoar-koar tentang hal ini. Katanya, seminar umum yang berlangsung saat ini adalah seminar terakhir di semester ini. Sehingga bagi Destri, ini bagai penentu apakah dia akan ikut wisuda tahun ini, atau tahun depan.Antrean mengular di jalan masuk menuju gedung serbaguna. Destri menunggu di barisan belakang sambil mengetuk-ketukkan kaki tidak sabar.Salahnya sendiri bangun kesiangan.Ah, andai saja kejadian tadi malam tidak terjadi, mungkin
Suara jangkrik terdengar nyaring di antara keheningan yang melingkupi Destri dan Raya. Raya yang kini duduk bersandar pada kepala ranjang, membiarkan Destri sepenuhnya merawat dirinya. Dibiarkannya tangan Destri mengompres luka di wajah dan bahunya yang membiru. "Ah!" Raya memekik pelan saat Destri mengusap luka di sudut alisnya. "Perih banget." Destri menghela napas, "Lukanya gak dalem, tapi pasti ada bekasnya." "Gak apa-apa. Bukan cowok namanya kalau gak punya bekas luka." Raya terkekeh. Gadis di hadapan Raya itu mendengus. Raya tersenyum tipis. Dengan jarak wajah yang berdekatan sepert ini, Raya bisa mengamati kulit Destri yang begitu mulus. Bulu matanya lentik, warna pupil matanya hitam gelap. Bibirnya mungil, berbentuk seperti hati dan bervolume agak penuh. Duh, ingin rasanya Raya mencuri satu ciuman dari calon kakak iparnya ini. Merasakan bibirnya yang lembut dan penuh. Tubuh Raya memanas. Laki-laki itu mendorong
Suara bising dari motor sport Raya memecah keheningan malam di kota. Jalanan nampak lengang, hanya ada beberapa motor dan mobil yang melaju di atas batas kecepatan normal.Destri masih mengalungkan lengannya erat-erat pada pinggang Raya. Beruntung Raya meminjamkan jaketnya tadi, kalau tidak, sudah pasti Destri akan menggigil kedinginan saat ini."Kita mampir dulu ya, Des?"Suara Raya terbawa udara. Destri yang tidak mendengarnya dengan jelas, memilih untuk langsung menjawab iya sembari menganggukkan kepala.Sebenarnya, gadis itu terus bertanya-tanya dalam hati saat mengetahui motor Raya melaju bukan ke arah rumahnya.Motor itu baru melambat saat sampai di sebuah warung tenda pinggir jalan. Destri mematung sebentar sebelum akhirnya turun."Makan dulu ya, Des. Aku laper," ujar Raya. Laki-laki itu melepaskan helm Destri sebelum melepas helmnya. "Maaf ya, rambut kamu jadi berantakan."Usapan jemari Raya di rambut Destri berhasil membuat g