Hari ketiga Oma dirawat di rumah sakit, Destri membawakan semangkuk sup krim ayam kesukaan Oma. Wanita tua itu beberapa kali mengeluh dengan makanan rumah sakit yang menurutnya hambar.
"Sekali ini aja ya, Oma."
Oma menganggukkan kepala, tidak sabar untuk mencicipi sup krim kesukaannya. Diam-diam ia minta cucu kesayangannya itu untuk membawa makanan ini saat shift jaga Destri tiba.
"Duh, enak banget, Des. Coba aja makanan rumah sakit kaya gini rasanya."
Destri tertawa kecil. Gadis itu membiarkan Oma menghabiskan sup krimnya, sementara ia sendiri merapikan ruangan Oma yang penuh dengan bingkisan dari kolega.
Destri baru saja duduk dan menyalakan tv saat pintu kamar diketuk, membuat Oma kaget dan hampir menumpahkan sup.
"Ya ampun, Rendra. Kamu hampir bikin Oma jantungan."
Rendra mengernyit dan tersenyum. "Berdua sama Destri aja, Oma?"
"Iya, Mama barusan pulang buat ngurusin rumah. Tuker-tukeran shift jaga begini tiap hari." Destri menyahut.
Rendra menganggukkan kepala. Sejak terakhir bertemu dengan Destri, gadis itu sudah tidak sekaku saat perjumpaan pertama mereka.
"Loh, Oma boleh makan sup krim?"
Destri melirik Oma-nya yang salah tingkah. Gadis itu diam tak menjawab, memilih untuk menonton acara tv yang menayangkan kartun kesukaannya.
"Aduh, ini tadi Destri bawa buat Oma. Sayang kalo gak dimakan."
Destri mendelik. Oma balik memandangi Destri dengan tajam.
"Oma bener-bener ya. Destri gak mau bawain makanan lagi kalo gitu caranya." Destri bersungut.
Rendra yang berada di antara mereka mulai memahami situasi. Laki-laki itu berdeham dan tertawa kecil, "Oke, ini rahasia. Rendra bakal pura-pura gak tahu kok, Oma."
Wanita tua itu tersenyum dan menangkupkan wajah Rendra di antara kedua tangannya.
"Terima kasih, Calon Cucu Mantu."
Wajah Rendra seketika memerah. Laki-laki itu salah tingkah dan tertawa hambar.
Di sofa, Destri pura-pura tidak mendengar apapun.
"Oma, saya bawain sushi. Ayo makan bareng-bareng."
Wanita tua itu menggelengkan kepala, "Oma itu gak suka sushi, Ren. Yang suka sushi itu Destri, gimana sih kamu."
"Loh, kirain Oma suka. Trus Oma sukanya apa?"
"Sukanya kamu."
"Oma apaan sih!" Destri berteriak kesal, lantas menarik Rendra agar duduk di sofa tamu.
"Udah duduk sini aja. Oma emang suka ngelantur."
Destri melempar tatapan tajam ke Oma-nya yang sedang terbahak.
"Kamu juga bisa godain saya kalau kamu mau kok, Des."
Destri mendengus, lantas melempar bantal ke wajah rupawan milik Rendra.
.
Mama memang kurang kerjaan!
Sepanjang jalan menuju supermarket, Destri tak henti menggerutu. Tangan kirinya meremas kertas kecil yang diberikan Mama-nya beberapa jam lalu.
"Des, tolong belanja dulu ya sebelum pulang. Ini Mama udah catetin bahan makanan yang abis di rumah. Ren, bisa tolong temenin Destri?"
Instruksi Mama yang panjang itu menggantung di pikiran Destri. Gadis itu menatap malas troli belanja yang kinì didorong oleh Rendra.
"Mau belanja apaan?"
Destri membuka kertas lecek yang baru diremas-remasnya tadi. "Gak tahu, banyak banget."
"Gimana sih." Rendra mengacak rambut gadis itu dan merebut kertasnya. Ia membaca barisan tulisan di kertas sambil melihat papan penanda koridor supermarket.
"Belanja sayur dulu kali ya. Di sebelah situ tuh petunjuknya. Ayo!" Rendra mendorong trolinya ke sebelah kanan. Laki-laki itu menyenggol lengan Destri dengan lengannya saat ia sadar Destri sedang melamun.
Gimana gak melamun kalau Rendra seenaknya aja ngelusin kepala Destri di depan umum.
"Des, kamu oke?"
Rendra mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan Destri. Gadis itu mengangguk dan mendorong tubuh Rendra agar menjauh, "Ayo."
Diam-diam, Rendra tersenyum, paham kalau Destri salah tingkah karena perlakuannya.
.
"Ahh! Ahh, Ren, sakit, Ren!"
Pipi Rendra memanas, "Des, kalau kamu teriak kayak gitu, nanti orang-orang ngira kita ngapa-ngapain di mobil."
"Tapi emang sakit!"
Rendra mendengus, terus memijat lengan Destri. Gadis itu masih merintih kesakitan meski tidak senyaring tadi.
Saat berbelanja tadi, Destri bersikukuh untuk mengambil barang di rak paling atas tanpa meminta bantuan Rendra. Alhasil, bahu kanannya kini terasa ngilu luar biasa, mungkin nyeri otot atau salah urat.
"Ren, ke bawah lagi, trus agak maju. Kayanya di situ pusat sakitnya."
"Dimana?"
Destri mengambil tangan Rendra dan meletakkannya di pusat sakit. Rendra menelan ludah, tangannya persis berada beberapa senti dari bawah ketiak Destri, yang artinya hanya beberapa senti dari bukit kembar milik Destri.
"Iya, sumpah, di situ sakit banget. Aduh! Pelan, Ren!"
Dan kini hanya ada mereka berdua....
"Ahh! Sakit sumpah."
Di parkiran basement yang gelap....
"Ren, pelan aja, please."
Bayangan foto Destri yang Rendra lihat semalam....
"Ren, udah. Sumpah ga kuat, sakit banget."
Should he?
.
Hujan turun dengan derasnya saat Destri keluar dari kelas. Gadis itu berdiri di pinggir koridor sambil membuka ponsel, mengecek pesan yang masuk selama ia ada kuliah tadi.
"Des."
Destri menoleh, mengalihkan pandangannya ke arah perempuan berambut blonde yang baru saja memanggilnya.
"Kamu ganti model lagi?" Destri mengomentari rambut teman dekatnya semasa kuliah tersebut. Ia ingat beberapa minggu terakhir mereka bertemu, rambut gadis itu masih berwarna ash grey dengan ujung yang agak berombak.
"Bosen, pengen lurus gini aja." Gadis itu menyahut singkat sambil menyisir rambut sebahunya. "Kamu baru kelar kelas?"
Destri mengangguk, "Kamu abis bimbingan, Ya?"
Aya, sapaan gadis itu, menganggukkan kepala sambil mencebikkan mulut. "Bosen banget, revisi mulu."
"Aku juga stuck di bab satu nih," sahut Destri, sambil mengingat-ingat sudah berapa lama dia berhenti mengerjakan skripsinya karena tak kunjung mendapatkan inspirasi. "Dua mingguan. Gila."
"Aku sebulan kali baru ada kelar bab satu, Des." Aya berdecak. "Sebel banget sama Pak Nanang. Tiap kali bimbingan selalu aja ada yang baru yang dia minta. Udah gitu nanti pasti pengennya beda sama Bu Darjo. Sebel gak, sih, digituin? Berasa kena musibah aku dapat pembimbing yang musuhan kayak gitu."
Destri tertawa. Memang sudah menjadi rahasia umum kalau dua dosen di fakultas mereka yang bernama Pak Nanang dan Bu Darjo sedang perang dingin. Tidak ada satupun orang di fakultas yang paham penyebab perang dingin mereka.
Namun, dari berita yang simpang siur beredar, banyak yang bilang kalau rektor yang menjabat beberapa tahun yang lalu lebih berpihak kepada Pak Nanang. Itulah sebabnya Pak Nanang bisa menjadi ketua jurusan, padahal Bu Darjo sudah mengincar jabatan itu sejak jauh sebelum Pak Nanang bekerja di kampus tersebut.
"Kamu mah enak dapet Bu Prof sama Bu Sani. Semua dosen mah pasti nurut aja sama Bu Prof."
Sekali lagi Destri tertawa, mengaminkan ucapan Aya. "Kamu udah makan, Ya? Cafe, yuk."
Aya mengangguk, lantas mengikuti langkah kaki Destri di sebelahnya.
Cafetaria kampus hari itu ramai. Terlebih karena di luar masih hujan deras, sehingga sebagian besar dari mereka memilih untuk berdiam di kampus, menunggu hujan reda sambil memanfaatkan fasilitas WiFi.
Destri dan Aya memilih untuk duduk di sepasang kursi yang berbatasan langsung dengan kaca transparan di sisi kanannya. Dari sini, mereka bisa melihat hiruk pikuk warga kampus yang hilir mudik di lantai pertama. Ada yang tertawa santai, ada pula yang terlihat terburu-buru.
Destri membolak-balikkan halaman menu, "Kamu mau pesen apa?"
"Spring roll, Des. Kangen banget spring roll kantin." Aya tertawa.
"Oke. Minumnya?"
Aya mengangkat alisnya, "Lemon tea, biasa."
Destri mengangguk, memanggil waitress dan menyebutkan makanan pesanan mereka. Seperginya waitress, gadis itu mengecek ponselnya yang beberapa kali berbunyi. Ada beberapa notifikasi dari laman sosial medianya, salah satunya dari Rendra.
"Ya, Kamu kenal sama kating kita yang namanya Rendra gak?"
Aya nampak berpikir, "Angkatan?"
"Waktu kita masuk, dia lagi ngurus skripsi. Beda tiga angkatan ya berarti?"
Kening Aya berkerut, "Rendra Hermawan?"
"Hendrawan," ralat Destri. Mereka berdua langsung diam saat waitress datang mengantarkan minuman.
"Oh, Naren?" tanya Aya, mengklarifikasi setelah waitress pergi. "Kenal, sih. Dulu pernah beberapa kali ketemu waktu diajak Bima ngumpul sama temen-temennya."
Destri menganggukkan kepala. Dia sempat lupa kalau Aya berpacaran dengan kakak tingkat saking jarangnya Aya menceritakan hubungannya dengan Bima.
"Emang kenapa, Des?"
Destri menyedot Thai tea-nya, menimbang-nimbang apakah harus menceritakan semuanya pada Aya, atau tidak menceeritakannya sama sekali. Bukan karena Destri tidak percaya dengan Aya, tapi lebih karena Destri merasa pembicaraan tentang Rendra masih belum perlu dilakukan.
"Gak apa-apa. Dia ternyata anaknya temen papa."
"Kamu mau dijodohin sama dia."
Destri mendelik, "Sembarangan kamu."
Aya tertawa, kemudian mengucapkan terima kasih pada waitress yang baru saja menghidangkan sepiring spring roll dan semangkuk chicken noodle soup pesanan mereka. "Lagian kamu aneh tiba-tiba nanyain dia. Eh, kalo kamu kenal Rendra, kamu pasti tahu sama Raya."
Destri menyeruput kuah makanannya yang masih panas, "Tahu, sih."
"Ganteng parah, kan."
Destri tidak menyahuti apapun. Gadis itu berpura-pura sibuk dengan makanannya meski ia mengakui dalam hati bahwa ucapan Aya barusan benar.
"Aku denger-denger malam ini si Raya bakalan nge-DJ di club kita biasanya, Des. Kayaknya dia udah mutusin buat balik ke Indo, deh. Soalnya postingan dia akhir-akhir ini di Indo mulu, gak ada tanda-tanda bakalan balik ke LN."
Destri mengangguk-anggukkan kepala.
"Kebetulan entar malem Bima ngajakin aku. Bareng kita aja entar berangkatnya."
Destri menimbang-nimbang, mengingat Oma-nya yang baru saja pulang dari rumah sakit pagi tadi. Kasihan rasanya kalau baru hari pertama di rumah, Destri sudah meninggalkannya bersenang-senang, seolah-olah acaranya malam ini sebagai pelampiasan stres karena lelah menjaga Oma di rumah sakit.
"Jam sembilan aku jemput ya, Des. Kayak biasa."
Destri tertawa saat Aya mengingat ucapan Destri dulu. Ia memang tidak akan mendapatkan izin dari mamanya kalau ia keluar rumah lewat dari pukul sembilan.
Biasanya, Aya akan menjemput Destri jam sembilan malam, kemudian membawa gadis itu ke rumahnya dan berangkat clubbing tepat pada pukul sebelas.
"Oke, jam sembilan." Destri melirik ponselnya, membuka satu pesan masuk dari Rendra.
Rendra : Malam ini kamu di rumah?
Me : Gak, Ren. Ada urusan sama temen.
Mengingat kejadian kemarin malam, mungkin memang lebih baik kalau Destri tidak bertemu dengan Rendra dulu.
[ ]
Hingar bingar musik disko membahana ke seluruh penjuru ruang.Aroma berbaur menjadi satu, mulai dari wangi manis dari uap vape, sampai bau asap rokok yang menyengat.Pria dan wanita sibuk berdansa di bawah sorot lampu berwarna-warni. Beberapa kelihatan sadar, sisanya mulai terlihat bergerak secara acak karena kesadarannya sudah mulai hilang.Sudah beberapa bulan terakhir Destri tidak menginjakkan kaki di kelab malam ini. Dulu semasa SMA dan awal-awal kuliah, sering sekali ia bersama beberapa temannya menghabiskan malam di akhir pekan di tempat ini. Kadang mereka akan open table dan memesan beberapa makanan dan minuman, lantas melangkah ke lantai dansa begitu suasana sudah mulai panas.Malam ini, Destri memilih untuk menjadi penonton. Bokongnya sudah mendarat sempurna di kursi bar, menghadap laki-laki manis yang sudah menjadi bartender di sini sejak beberapa tahun belakangan."Hai, Cantik." Sang Bartender menyapa seraya mengedipkan mata. "Lama bange
Suara bising dari motor sport Raya memecah keheningan malam di kota. Jalanan nampak lengang, hanya ada beberapa motor dan mobil yang melaju di atas batas kecepatan normal.Destri masih mengalungkan lengannya erat-erat pada pinggang Raya. Beruntung Raya meminjamkan jaketnya tadi, kalau tidak, sudah pasti Destri akan menggigil kedinginan saat ini."Kita mampir dulu ya, Des?"Suara Raya terbawa udara. Destri yang tidak mendengarnya dengan jelas, memilih untuk langsung menjawab iya sembari menganggukkan kepala.Sebenarnya, gadis itu terus bertanya-tanya dalam hati saat mengetahui motor Raya melaju bukan ke arah rumahnya.Motor itu baru melambat saat sampai di sebuah warung tenda pinggir jalan. Destri mematung sebentar sebelum akhirnya turun."Makan dulu ya, Des. Aku laper," ujar Raya. Laki-laki itu melepaskan helm Destri sebelum melepas helmnya. "Maaf ya, rambut kamu jadi berantakan."Usapan jemari Raya di rambut Destri berhasil membuat g
Suara jangkrik terdengar nyaring di antara keheningan yang melingkupi Destri dan Raya. Raya yang kini duduk bersandar pada kepala ranjang, membiarkan Destri sepenuhnya merawat dirinya. Dibiarkannya tangan Destri mengompres luka di wajah dan bahunya yang membiru. "Ah!" Raya memekik pelan saat Destri mengusap luka di sudut alisnya. "Perih banget." Destri menghela napas, "Lukanya gak dalem, tapi pasti ada bekasnya." "Gak apa-apa. Bukan cowok namanya kalau gak punya bekas luka." Raya terkekeh. Gadis di hadapan Raya itu mendengus. Raya tersenyum tipis. Dengan jarak wajah yang berdekatan sepert ini, Raya bisa mengamati kulit Destri yang begitu mulus. Bulu matanya lentik, warna pupil matanya hitam gelap. Bibirnya mungil, berbentuk seperti hati dan bervolume agak penuh. Duh, ingin rasanya Raya mencuri satu ciuman dari calon kakak iparnya ini. Merasakan bibirnya yang lembut dan penuh. Tubuh Raya memanas. Laki-laki itu mendorong
Destri berlari cepat menuju gedung serbaguna kampusnya. Disapanya lalu orang-orang yang memanggilnya. Ia tidak punya waktu untuk basa basi, kecuali kalau ia ingin terlambat dan tidak mendapatkan kursi untuk seminar umum saat ini.Sudah jadi kewajiban mahasiswa tingkat akhir di jurusan Destri untuk mengikuti seminar umum minimal sebanyak tiga kali. Jika kurang dari itu, maka mereka harus mengundur waktu ujian proposal ke semester berikutnya sampai bisa memenuhi tiga seminar.Destri ingat ketua angkatannya pernah berkoar-koar tentang hal ini. Katanya, seminar umum yang berlangsung saat ini adalah seminar terakhir di semester ini. Sehingga bagi Destri, ini bagai penentu apakah dia akan ikut wisuda tahun ini, atau tahun depan.Antrean mengular di jalan masuk menuju gedung serbaguna. Destri menunggu di barisan belakang sambil mengetuk-ketukkan kaki tidak sabar.Salahnya sendiri bangun kesiangan.Ah, andai saja kejadian tadi malam tidak terjadi, mungkin
Destri mematung sejenak saat matanya bersitatap dengan milik Rendra. Laki-laki itu tersenyum manis dan antusias saat melihat gadis yang ia cari sedaritadi, kini akhirnya muncul sendiri ke hadapannya.Jodoh memang gak kemana.Mendengar sambutan dari Bu Prof, Destri duduk dengan canggung di sebelah Rendra. Hanya ada dua kursi sofa di ruangan Bu Prof; satu kursi sofa tunggal, dan yang satunya lagi adalah kursi sofa yang cukup untuk menampung dua orang."Destri, sudah kenal Rendra?"Destri menganggukkan kepala seraya tersenyum kaku."Saya juga kenal Destri kok, Bu. Siapa, sih, yang gak kenal Destri?" Rendra berujar seraya terkekeh.Bu Prof ikut tertawa. Benar memang kata Rendra, tidak ada yang tidak mengenal Destri, terlebih sejak insiden terusirnya gadis itu dari kelas.Diam-diam, Destri menghela napas, ingin sekali keluar dari ruangan itu."Des, kebetulan judul skripsimu ini temanya sama dengan skripsi Rendra dulu. Kamu juga bisa
Bego.Destri memukul kepalanya pelan saat ia baru saja memasuki mobil Rendra. Laki-laki itu masih belum duduk di kursi kemudi, ia masih membuka pintu belakang untuk meletakkan setumpuk buku milik Destri.Gadis itu menghela napas.Kenapa ia bisa refleks mengatakan kalau ia pacar Rendra, ya? Bagaimana kalau nanti jadi rumor yang kemudian sampai ke telinga Rendra sendiri?Wajah Destri tiba-tiba memanas. Malu bukan main membayangkan bagaimana nanti reaksi Rendra.Rendra pasti akan mengira kalau Destri kesepian sampai-sampai mengaku menjadi kekasihnya."Des? Kamu gak apa-apa?"Destri menggelengkan kepala, mengatur napasnya pelan-pelan.Rendra diam, mengamati. Ia nampak berpikir."Hm ... apa yang perlu diomongin?" Destri memecah keheningan.Mesin mobil Rendra sudah menyala dari tadi. Meski begitu, nampaknya laki-laki itu sengaja untuk mengajak Destri bicara di dalam mobil saja, tidak kemana-mana."Aku ... mau min
Suara tawa memecah keheningan di telinga Destri. Hilir mudik manusia berbagai jenis berhasil ditangkap matanya. Beberapa berjalan santai, menenteng tas kertas berbagai ukuran. Beberapa yang lain kelihatan tergesa, entah hendak mencari apa di tengah lautan manusia seperti ini. Destri harus mengakui kalau ia benci mengunjungi pusat perbelanjaan di akhir pekan seperti ini. Melihat hilir mudik manusia seperti ini membuat tubuhnya tiba-tiba merasa lelah. Semua ini gara-gara Putri! Sejak di dalam mobil tadi, gadis itu terus merengek pada Raya agar mereka berhenti di pusat perbelanjaan karena persediaan skincare-nya sudah menipis. Padahal, saat Destri mencuri dengar tadi, gadis itu awalnya bilang kalau ia akan membeli skincare dengan mamanya besok. "Destri gak mau ikutan beli skincare?" tanya Putri. Suaranya melengking begitu tinggi--cempreng. Destri menggeleng sambil tersenyum tipis. Diliriknya Raya yang tersenyum menyesal, meminta maaf. "Ma
Raya mengaduh keras saat tas berwarna cokelat milik Destri mendarat mulus ke tubuhnya. Laki-laki itu meringis sambil menampakkan wajah bersalah."Maaf, Des. Aku gak maksud.""Gak maksud apaan?! Jelas-jelas kamu jadiin aku kambing hitam barusan!"Destri tidak bisa menghentikan bayangan dirinya dalam sebuah video saat dirangkul oleh Raya dan diteriaki secara histeris oleh Putri di belakangnya, kemudian video itu akan diunggah ke media sosial dengan caption yang mungkin akan membuat orang lain salah paham.Semoga saja tidak terjadi, karena Destri tidak akan pernah siap menerima hujatan dari para netizen yang maha benar."Maaf, Des, aku bener-bener gak tahu gimana caranya supaya bisa lepas dari cewek itu."Destri berdecak, "Tapi bukan berarti kamu bisa jadiin aku kambing hitam, Ray."Laki-laki di hadapan Destri itu menghela napas, "Oke, gini aja, sebagai gantinya, aku bakal ngelakuin apapun yang kamu minta hari ini. Anggap aja sebagai uca
"Kok bisa berangkat bareng Rendra?"Gadis yang ditanya membuang muka, menatap sisi jalanan melalui kaca mobil yang tertutup rapat. Sejak tadi gadis itu melirik pemutar musik di dalam mobil, seperti ingin menyalakannya. Ia butuh suara musik untuk memecahkan keheningan yang canggung antara dirinya dan Raya."Tadi tiba-tiba Rendra jemput."Raya melirik sekilas gadis yang duduk di sebelahnya tersebut. Tangannya memindahkan persneling dan memutar kemudi ke kanan.Destri memandanginya dengan bingung. Ini bukan jalan ke arah rumahnya, Raya berniat membawanya pergi lagi seperti malam itu?"Aku mampir sebentar," ujar Raya. Mobilnya berhenti tepat di depan sebuah toko bunga. Laki-laki itu kembali beberapa menit kemudian dengan tangan membawa sebuah buket besar berisi bunga gerbera.Buket itu ia letakkan hati-hati di kursi belakang. Dari cermin rear-vision, Destri bisa melihat bunga gerbera putih dan pink, serta beberapa tangkai baby breath untuk mengi
Destri menghentikan langkahnya saat melihat Rendra yang sedang asyik berbincang dengan Oma di ruang tamu. Gadis itu nyaris melangkah mundur andai saja Oma-nya tidak menyapanya."Sini, Des. Kamu diajakin Rendra bareng ke kampus."Destri tersenyum tipis, langkahnya gontai menuruni anak tangga. Ia hampiri dua orang tersebut dan duduk di sebelah Oma.Tak lama, Mama muncul dan mengajak Rendra untuk sarapan bersama. Hari ini kebetulan Mama memasak nasi uduk, makanan yang sudah lama dipesan oleh Papa."Om gak ikut sarapan, Tante?"Mama menggeleng seraya menyendokkan nasi ke piring Rendra, "Om udah berangkat lebih pagi tadi, jadi udah sarapan duluan."Rendra mengangguk, menerima sepiring nasi uduk yang wanginya begitu menggiurkan.Sejujurnya, laki-laki itu tidak pernah makan nasi untuk sarapan. Sejak kecil ia sudah terbiasa untuk sarapan dengan sereal atau roti.Semoga perutnya akan baik-baik saja."Tante tinggal dulu, ya. Tamba
Raya mengaduh keras saat tas berwarna cokelat milik Destri mendarat mulus ke tubuhnya. Laki-laki itu meringis sambil menampakkan wajah bersalah."Maaf, Des. Aku gak maksud.""Gak maksud apaan?! Jelas-jelas kamu jadiin aku kambing hitam barusan!"Destri tidak bisa menghentikan bayangan dirinya dalam sebuah video saat dirangkul oleh Raya dan diteriaki secara histeris oleh Putri di belakangnya, kemudian video itu akan diunggah ke media sosial dengan caption yang mungkin akan membuat orang lain salah paham.Semoga saja tidak terjadi, karena Destri tidak akan pernah siap menerima hujatan dari para netizen yang maha benar."Maaf, Des, aku bener-bener gak tahu gimana caranya supaya bisa lepas dari cewek itu."Destri berdecak, "Tapi bukan berarti kamu bisa jadiin aku kambing hitam, Ray."Laki-laki di hadapan Destri itu menghela napas, "Oke, gini aja, sebagai gantinya, aku bakal ngelakuin apapun yang kamu minta hari ini. Anggap aja sebagai uca
Suara tawa memecah keheningan di telinga Destri. Hilir mudik manusia berbagai jenis berhasil ditangkap matanya. Beberapa berjalan santai, menenteng tas kertas berbagai ukuran. Beberapa yang lain kelihatan tergesa, entah hendak mencari apa di tengah lautan manusia seperti ini. Destri harus mengakui kalau ia benci mengunjungi pusat perbelanjaan di akhir pekan seperti ini. Melihat hilir mudik manusia seperti ini membuat tubuhnya tiba-tiba merasa lelah. Semua ini gara-gara Putri! Sejak di dalam mobil tadi, gadis itu terus merengek pada Raya agar mereka berhenti di pusat perbelanjaan karena persediaan skincare-nya sudah menipis. Padahal, saat Destri mencuri dengar tadi, gadis itu awalnya bilang kalau ia akan membeli skincare dengan mamanya besok. "Destri gak mau ikutan beli skincare?" tanya Putri. Suaranya melengking begitu tinggi--cempreng. Destri menggeleng sambil tersenyum tipis. Diliriknya Raya yang tersenyum menyesal, meminta maaf. "Ma
Bego.Destri memukul kepalanya pelan saat ia baru saja memasuki mobil Rendra. Laki-laki itu masih belum duduk di kursi kemudi, ia masih membuka pintu belakang untuk meletakkan setumpuk buku milik Destri.Gadis itu menghela napas.Kenapa ia bisa refleks mengatakan kalau ia pacar Rendra, ya? Bagaimana kalau nanti jadi rumor yang kemudian sampai ke telinga Rendra sendiri?Wajah Destri tiba-tiba memanas. Malu bukan main membayangkan bagaimana nanti reaksi Rendra.Rendra pasti akan mengira kalau Destri kesepian sampai-sampai mengaku menjadi kekasihnya."Des? Kamu gak apa-apa?"Destri menggelengkan kepala, mengatur napasnya pelan-pelan.Rendra diam, mengamati. Ia nampak berpikir."Hm ... apa yang perlu diomongin?" Destri memecah keheningan.Mesin mobil Rendra sudah menyala dari tadi. Meski begitu, nampaknya laki-laki itu sengaja untuk mengajak Destri bicara di dalam mobil saja, tidak kemana-mana."Aku ... mau min
Destri mematung sejenak saat matanya bersitatap dengan milik Rendra. Laki-laki itu tersenyum manis dan antusias saat melihat gadis yang ia cari sedaritadi, kini akhirnya muncul sendiri ke hadapannya.Jodoh memang gak kemana.Mendengar sambutan dari Bu Prof, Destri duduk dengan canggung di sebelah Rendra. Hanya ada dua kursi sofa di ruangan Bu Prof; satu kursi sofa tunggal, dan yang satunya lagi adalah kursi sofa yang cukup untuk menampung dua orang."Destri, sudah kenal Rendra?"Destri menganggukkan kepala seraya tersenyum kaku."Saya juga kenal Destri kok, Bu. Siapa, sih, yang gak kenal Destri?" Rendra berujar seraya terkekeh.Bu Prof ikut tertawa. Benar memang kata Rendra, tidak ada yang tidak mengenal Destri, terlebih sejak insiden terusirnya gadis itu dari kelas.Diam-diam, Destri menghela napas, ingin sekali keluar dari ruangan itu."Des, kebetulan judul skripsimu ini temanya sama dengan skripsi Rendra dulu. Kamu juga bisa
Destri berlari cepat menuju gedung serbaguna kampusnya. Disapanya lalu orang-orang yang memanggilnya. Ia tidak punya waktu untuk basa basi, kecuali kalau ia ingin terlambat dan tidak mendapatkan kursi untuk seminar umum saat ini.Sudah jadi kewajiban mahasiswa tingkat akhir di jurusan Destri untuk mengikuti seminar umum minimal sebanyak tiga kali. Jika kurang dari itu, maka mereka harus mengundur waktu ujian proposal ke semester berikutnya sampai bisa memenuhi tiga seminar.Destri ingat ketua angkatannya pernah berkoar-koar tentang hal ini. Katanya, seminar umum yang berlangsung saat ini adalah seminar terakhir di semester ini. Sehingga bagi Destri, ini bagai penentu apakah dia akan ikut wisuda tahun ini, atau tahun depan.Antrean mengular di jalan masuk menuju gedung serbaguna. Destri menunggu di barisan belakang sambil mengetuk-ketukkan kaki tidak sabar.Salahnya sendiri bangun kesiangan.Ah, andai saja kejadian tadi malam tidak terjadi, mungkin
Suara jangkrik terdengar nyaring di antara keheningan yang melingkupi Destri dan Raya. Raya yang kini duduk bersandar pada kepala ranjang, membiarkan Destri sepenuhnya merawat dirinya. Dibiarkannya tangan Destri mengompres luka di wajah dan bahunya yang membiru. "Ah!" Raya memekik pelan saat Destri mengusap luka di sudut alisnya. "Perih banget." Destri menghela napas, "Lukanya gak dalem, tapi pasti ada bekasnya." "Gak apa-apa. Bukan cowok namanya kalau gak punya bekas luka." Raya terkekeh. Gadis di hadapan Raya itu mendengus. Raya tersenyum tipis. Dengan jarak wajah yang berdekatan sepert ini, Raya bisa mengamati kulit Destri yang begitu mulus. Bulu matanya lentik, warna pupil matanya hitam gelap. Bibirnya mungil, berbentuk seperti hati dan bervolume agak penuh. Duh, ingin rasanya Raya mencuri satu ciuman dari calon kakak iparnya ini. Merasakan bibirnya yang lembut dan penuh. Tubuh Raya memanas. Laki-laki itu mendorong
Suara bising dari motor sport Raya memecah keheningan malam di kota. Jalanan nampak lengang, hanya ada beberapa motor dan mobil yang melaju di atas batas kecepatan normal.Destri masih mengalungkan lengannya erat-erat pada pinggang Raya. Beruntung Raya meminjamkan jaketnya tadi, kalau tidak, sudah pasti Destri akan menggigil kedinginan saat ini."Kita mampir dulu ya, Des?"Suara Raya terbawa udara. Destri yang tidak mendengarnya dengan jelas, memilih untuk langsung menjawab iya sembari menganggukkan kepala.Sebenarnya, gadis itu terus bertanya-tanya dalam hati saat mengetahui motor Raya melaju bukan ke arah rumahnya.Motor itu baru melambat saat sampai di sebuah warung tenda pinggir jalan. Destri mematung sebentar sebelum akhirnya turun."Makan dulu ya, Des. Aku laper," ujar Raya. Laki-laki itu melepaskan helm Destri sebelum melepas helmnya. "Maaf ya, rambut kamu jadi berantakan."Usapan jemari Raya di rambut Destri berhasil membuat g