Rendra terhenyak sesaat menerima panggilan dari bundanya. Bundanya bilang, Oma Destri sakit dan kini sedang dirawat di rumah sakit.
Laki-laki itu langsung mengabari sekretarisnya, lantas bergegas menuju rumah sakit.
Bundanya sudah ada di sana bersama Mama Destri. Mereka tersenyum dan membiarkan Rendra mendekati ranjang tempat Oma terbaring lemah.
Napas Oma teratur, nampaknya obatnya mulai bekerja.
Di kaki ranjang, seorang laki-laki berjas dokter berdiri bersebelahan dengan seorang perawat. Rendra memicingkan mata sejenak sebelum akhirnya sadar bahwa dokter itu adalah teman SMP-nya dulu.
"Doni?"
"Rendra?"
Rendra tertawa kecil dan menjabat tangan Sang Dokter. "Aku gak tahu loh kalau kamu praktek di sini juga."
"Dimana-mana sih, Bro. Kejar setoran." Doni tertawa pelan. "Btw ini pasiennya ada hubungan apa sama kamu?"
"Oh, Oma-nya temenku. Sudah kayak Oma sendiri, sih. Gimana keadaannya?"
"Tekanan darahnya tinggi, Ren. Kayaknya sih karena stres, karena dari pihak keluarga bilangnya juga makanannya sudah dikontrol. Barusan saya kasih obat biar tekanannya stabil."
Rendra menganggukkan kepala dan memandangi wajah pucat Oma dengan iba. "Stroke-nya gimana, Don?"
"Sejauh ini sih kayaknya masih baik-baik aja, Ren. Kecuali kalau ada keluhan lain setelah ini, mau gak mau harus ada pemeriksaan lanjutan."
Rendra menghela napas. Perhatiannya kemudian teralih saat Destri memasuki ruang rawat inap. Gadis itu tersenyum padanya sekilas, kemudian Rendra mempersilakannya untuk melihat Oma.
"Beliau gak apa-apa. Tadi sudah kami beri obat untuk menurunkan tekanan."
Destri menganggukkan kepala, "Terima kasih, Dok," ujarnya kepada Doni.
Doni kemudian menepuk bahu Rendra, secara tak langsung memberitahu bahwa ia harus pergi untuk menemui pasiennya yang lain.
Orangtua Rendra dan Destri masih ada di posisi semula. Opa Destri baru saja keluar dari toilet dan duduk di sebelah istrinya. Rendra mengamati Destri dalam diam. Meskipun kelihatan tenang, Rendra tahu kalau Destri pasti merasa takut kehilangan. Gadis itu mengusap tangan Oma-nya beberapa kali sambil memperbaiki selimutnya.
Rendra berdeham, "Kamu gak apa-apa?"
Destri tersenyum masam, "Hm... kenapa-kenapa, sih." Gadis itu kemudian mengalihkan pandang sejenak ke Rendra sebelum akhirnya menatap Oma-nya lagi.
"Sudah makan?"
Destri menggeleng.
"Kamu belum makan, Des?" Mama menimpali dari belakang. Destri menoleh dan nyengir.
Laki-laki yang berada di sebelah Destri itu kini kembali mengamati Destri lagi. Rendra menghela napas pelan.
Bagi Rendra, Destri itu benar-benar terlihat kurus. Tulang selangkanya terlihat sangat menonjol, jarinya bahkan terlihat sangat kurus. Dari teman-temannya, tubuh Destri sering disebut sebagai body goals karena tubuhnya persis seperti idol Korea.
"Saya temani Destri makan di kantin ya, Tante."
Rendra meminta izin, lantas menoleh pada Destri sambil mengangkat alis.
"Atau mau saya belikan makanan biar kamu bisa makan di sini?" tanyanya lagi.
Destri langsung menggelengkan kepala.
Rendra tersenyum, "Ayo."
.
Di mata Rendra, Destri itu selalu memesona. Apapun yang dia lakukan.
Meski sebelumnya Rendra bilang Destri terlalu kurus, baginya Destri tetap memesona.
Rendra kira, Destri adalah gadis yang tidak terlalu suka makan. Memiliki pengalaman berkencan dengan beberapa gadis membuat Rendra berpikir kalau selera makan Destri mungkin rendah dan berakhir menyisakan makanan.
Nyatanya, tidak.
Gadis itu bisa menghabiskan satu mangkok bubur ayam, dua tusuk telur puyuh, satu tusuk hati ampela, dan juga sebotol air mineral tanggung.
Rendra tersenyum di sela-sela makannya. Ini kali pertama ia melihat Destri makan dan ia sungguh tidak menyangka kalau Destri akan selahap itu.
"Enak?"
Destri menganggukkan kepala, "Kamu sering makan di sini?"
"Gak sering, sih, tapi lumayan kenal sama yang punya warung. Kalau kamu suka, kapan-kapan kita bisa kesini lagi."
Destri tersenyum, "Boleh."
Hati Rendra kegirangan. Ini artinya dia punya kesempatan lain untuk mendekati Destri. Tidak sia-sia penantiannya selama beberapa tahun ini.
Destri mengacak-acak tasnya, kemudian menggerutu pelan.
"Kenapa, Des?"
"Ikat rambutku hilang. Bentar deh mau minta karet. Semoga ada."
Destri berdiri dan melenggang. Rendra memperhatikan rambut sepunggung Destri yang bergerak pelan. Di saat gadis lain sibuk mewarnai rambutnya, Destri membiarkan rambutnya tetap berwarna hitam dan agak bergelombang.
Dari jauh, Rendra mengamati Destri yang sedang mengikat rambutnya menggunakan karet sayur pemberian pemilik warung.
Damn.
Rendra mengatur napas satu demi satu di sela-sela sumpah serapahnya.
Bagaimana bisa Destri tetap terlihat cantik dan menawan di saat ikatan rambutnya sangat berantakan?
Saat Destri melangkah kembali ke meja makan, Rendra langsung mengalihkan pandangan. Laki-laki itu bisa melihat pipi Destri yang bersemu merah, mungkin karena kegerahan.
"Sudah?" tanya Rendra yang langsung dijawab dengan anggukan oleh gadis di depannya.
Rendra beranjak, berniat untuk membayar makanan mereka di kasir sebelum akhirnya Destri menyeletuk, "Ayo langsung ke mobil aja. Makanannya sudah aku bayar semua."
Laki-laki itu mendelik kaget, "Serius?"
"Iya. Serius. Memangnya kenapa?"
Rendra menghela napas pelan.
Astaga. Destri benar-benar menghancurkan ego Rendra sebagai seorang laki-laki.
.
Rendra menyapukan jemarinya di antara helai rambut sambil mengamati pemandangan lampu kota. Tangan kanannya menggenggam segelas air putih dingin, yang diteguknya perlahan sambil berjalan ke sofa.
Laki-laki itu duduk dan menarik napas panjang. Lantas menghitung berapa lama sudah dia memutuskan untuk tinggal di apartemen, berpisah dengan kedua orangtuanya.
Tiga tahun?
Atau empat?
Rasanya sudah sangat lama sejak terakhir kali ia tidur di kasurnya yang ada di rumah. Mungkin sejak kuliah semester enam, kalau ia tidak salah ingat.
Rendra ingat dulu saat awal dia tinggal seorang diri, ia sering sekali membawa temannya ke apartemen. Berpesta, kemudian menginap ramai-ramai. Tak lupa juga membawa beberapa perempuan silih berganti untuk bersenang-senang.
Bahkan sampai setelah ia mengenal Destri dan jatuh cinta pada gadis itu pun, ia masih terus bermain-main dengan gadis lain.
Satu-satunya yang berhasil membuat hasrat Rendra berhenti untuk bersenang-senang dengan banyak gadis adalah fakta kalau dia pernah bercinta dengan seorang gadis penderita HIV.
Rendra ingat jelas kalau gadis itu adalah seorang primadona kampus di angkatannya. Gadis itu selalu berusaha mendekati Rendra dan menggoda dia sampai akhirnya mereka melakukannya.
Besoknya, gadis itu tidak masuk kuliah. Dua bulan setelahnya, gosip meluas ke seantero kampus kalau gadis itu didiagnosa HIV, dan itulah sebabnya kenapa ia tidak pernah masuk lagi sampai masa wisuda mereka.
Setelah berita itu ramai, Rendra yang panik langsung melakukan check-up di rumah sakit. Beruntungnya, saat itu rumah sakit menyatakan kalau Rendra sehat dan baik-baik saja.
Namun, tentu saja, berita itu berhasil membuat Rendra trauma sedikit, yang berakhir dengan berhentinya kebiasaan buruk bersenang-senang dengan banyak wanita.
Destri saja cukup, Rendra membatin. Tersenyum sendiri.
Tangannya bergerak mengambil ponsel, mencoba mencari akun sosial media gadisnya. Tidak sulit menemukannya karena ternyata Raya sudah berteman dengan gadis itu.
Sebelum meng-klik "Follow", laki-laki itu menyusuri foto-foto yang ada di laman media sosial Destri.
Hanya ada beberapa puluh foto di akun Destri. Sebagian besar adalah foto pemandangan. Ada satu foto yang menarik perhatian Rendra, yaitu foto tulisan di kertas. Sebuah puisi yang di-tag ke seorang laki-laki dengan profil privat.
"John de Joanne? Kayak pernah denger."
Suara screen capture terdengar. Profil itu kini tersimpan di galeri Rendra, menunggu sampai Rendra tahu siapa gerangan laki-laki yang di-tag dalam puisi penuh cinta yang Destri buat.
Melanjutkan rasa ingin tahunya, laki-laki itu kini kembali ke laman Destri dan menyusuri foto-foto yang ada di sana. Mata Rendra membesar saat melihat foto Destri yang tersembunyi di antara slide foto-foto pemandangan.
Foto itu diambil saat matahari terbenam. Tubuh Destri terlihat seperti siluet yang sempurna. Dari balik cardigan tipis yang dia gunakan, Rendra bisa melihat bikini yang melekat sempurna di tubuh Destri.
Kemudian, ketika Rendra menggulir foto yang lain, semakin banyak foto Destri muncul. Semuanya diambil di pantai, mengenakan bikini.
Laki-laki itu menelan ludah.
Kini, Rendra bisa memaklumi sebutan body goals yang ditujukan ke Destri. Karena memang nyatanya gadis itu... body goals.
Selama ini, Rendra selalu melihat Destri dengan pakaian yang longgar dan celana yang modelnya lurus. Ia bahkan tidak pernah melihat Destri mengenakan celana pendek sekalipun.
Ternyata di balik itu ....
Rendra memperhatikan lagi baik-baik foto Destri saat gadis itu tengkurap di atas pasir dan membiarkan tubuhnya disapu ombak. Gadis itu tersenyum senang meski anak rambutnya berantakan dan menutupi sebagian wajahnya.
Tidak, Rendra tidak melihat senyum Destri. Pandangan laki-laki itu langsung terpusat pada belahan dada dan juga bokong Destri sejak foto itu muncul.
Rendra masih seorang laki-laki tulen. Andai saat ini bukan foto Destri yang ia lihat, mungkin ia tidak akan seburuk ini.
Iya, sangat buruk sampai akhirnya ia tidak bisa menahan diri to touch himself.
[ ]
Hari ketiga Oma dirawat di rumah sakit, Destri membawakan semangkuk sup krim ayam kesukaan Oma. Wanita tua itu beberapa kali mengeluh dengan makanan rumah sakit yang menurutnya hambar. "Sekali ini aja ya, Oma." Oma menganggukkan kepala, tidak sabar untuk mencicipi sup krim kesukaannya. Diam-diam ia minta cucu kesayangannya itu untuk membawa makanan ini saat shift jaga Destri tiba. "Duh, enak banget, Des. Coba aja makanan rumah sakit kaya gini rasanya." Destri tertawa kecil. Gadis itu membiarkan Oma menghabiskan sup krimnya, sementara ia sendiri merapikan ruangan Oma yang penuh dengan bingkisan dari kolega. Destri baru saja duduk dan menyalakan tv saat pintu kamar diketuk, membuat Oma kaget dan hampir menumpahkan sup. "Ya ampun, Rendra. Kamu hampir bikin Oma jantungan." Rendra mengernyit dan tersenyum. "Berdua sama Destri aja, Oma?" "Iya, Mama barusan pulang buat ngurusin rumah. Tuker-tukeran shift jaga begini tiap hari.
Hingar bingar musik disko membahana ke seluruh penjuru ruang.Aroma berbaur menjadi satu, mulai dari wangi manis dari uap vape, sampai bau asap rokok yang menyengat.Pria dan wanita sibuk berdansa di bawah sorot lampu berwarna-warni. Beberapa kelihatan sadar, sisanya mulai terlihat bergerak secara acak karena kesadarannya sudah mulai hilang.Sudah beberapa bulan terakhir Destri tidak menginjakkan kaki di kelab malam ini. Dulu semasa SMA dan awal-awal kuliah, sering sekali ia bersama beberapa temannya menghabiskan malam di akhir pekan di tempat ini. Kadang mereka akan open table dan memesan beberapa makanan dan minuman, lantas melangkah ke lantai dansa begitu suasana sudah mulai panas.Malam ini, Destri memilih untuk menjadi penonton. Bokongnya sudah mendarat sempurna di kursi bar, menghadap laki-laki manis yang sudah menjadi bartender di sini sejak beberapa tahun belakangan."Hai, Cantik." Sang Bartender menyapa seraya mengedipkan mata. "Lama bange
Suara bising dari motor sport Raya memecah keheningan malam di kota. Jalanan nampak lengang, hanya ada beberapa motor dan mobil yang melaju di atas batas kecepatan normal.Destri masih mengalungkan lengannya erat-erat pada pinggang Raya. Beruntung Raya meminjamkan jaketnya tadi, kalau tidak, sudah pasti Destri akan menggigil kedinginan saat ini."Kita mampir dulu ya, Des?"Suara Raya terbawa udara. Destri yang tidak mendengarnya dengan jelas, memilih untuk langsung menjawab iya sembari menganggukkan kepala.Sebenarnya, gadis itu terus bertanya-tanya dalam hati saat mengetahui motor Raya melaju bukan ke arah rumahnya.Motor itu baru melambat saat sampai di sebuah warung tenda pinggir jalan. Destri mematung sebentar sebelum akhirnya turun."Makan dulu ya, Des. Aku laper," ujar Raya. Laki-laki itu melepaskan helm Destri sebelum melepas helmnya. "Maaf ya, rambut kamu jadi berantakan."Usapan jemari Raya di rambut Destri berhasil membuat g
Suara jangkrik terdengar nyaring di antara keheningan yang melingkupi Destri dan Raya. Raya yang kini duduk bersandar pada kepala ranjang, membiarkan Destri sepenuhnya merawat dirinya. Dibiarkannya tangan Destri mengompres luka di wajah dan bahunya yang membiru. "Ah!" Raya memekik pelan saat Destri mengusap luka di sudut alisnya. "Perih banget." Destri menghela napas, "Lukanya gak dalem, tapi pasti ada bekasnya." "Gak apa-apa. Bukan cowok namanya kalau gak punya bekas luka." Raya terkekeh. Gadis di hadapan Raya itu mendengus. Raya tersenyum tipis. Dengan jarak wajah yang berdekatan sepert ini, Raya bisa mengamati kulit Destri yang begitu mulus. Bulu matanya lentik, warna pupil matanya hitam gelap. Bibirnya mungil, berbentuk seperti hati dan bervolume agak penuh. Duh, ingin rasanya Raya mencuri satu ciuman dari calon kakak iparnya ini. Merasakan bibirnya yang lembut dan penuh. Tubuh Raya memanas. Laki-laki itu mendorong
Destri berlari cepat menuju gedung serbaguna kampusnya. Disapanya lalu orang-orang yang memanggilnya. Ia tidak punya waktu untuk basa basi, kecuali kalau ia ingin terlambat dan tidak mendapatkan kursi untuk seminar umum saat ini.Sudah jadi kewajiban mahasiswa tingkat akhir di jurusan Destri untuk mengikuti seminar umum minimal sebanyak tiga kali. Jika kurang dari itu, maka mereka harus mengundur waktu ujian proposal ke semester berikutnya sampai bisa memenuhi tiga seminar.Destri ingat ketua angkatannya pernah berkoar-koar tentang hal ini. Katanya, seminar umum yang berlangsung saat ini adalah seminar terakhir di semester ini. Sehingga bagi Destri, ini bagai penentu apakah dia akan ikut wisuda tahun ini, atau tahun depan.Antrean mengular di jalan masuk menuju gedung serbaguna. Destri menunggu di barisan belakang sambil mengetuk-ketukkan kaki tidak sabar.Salahnya sendiri bangun kesiangan.Ah, andai saja kejadian tadi malam tidak terjadi, mungkin
Destri mematung sejenak saat matanya bersitatap dengan milik Rendra. Laki-laki itu tersenyum manis dan antusias saat melihat gadis yang ia cari sedaritadi, kini akhirnya muncul sendiri ke hadapannya.Jodoh memang gak kemana.Mendengar sambutan dari Bu Prof, Destri duduk dengan canggung di sebelah Rendra. Hanya ada dua kursi sofa di ruangan Bu Prof; satu kursi sofa tunggal, dan yang satunya lagi adalah kursi sofa yang cukup untuk menampung dua orang."Destri, sudah kenal Rendra?"Destri menganggukkan kepala seraya tersenyum kaku."Saya juga kenal Destri kok, Bu. Siapa, sih, yang gak kenal Destri?" Rendra berujar seraya terkekeh.Bu Prof ikut tertawa. Benar memang kata Rendra, tidak ada yang tidak mengenal Destri, terlebih sejak insiden terusirnya gadis itu dari kelas.Diam-diam, Destri menghela napas, ingin sekali keluar dari ruangan itu."Des, kebetulan judul skripsimu ini temanya sama dengan skripsi Rendra dulu. Kamu juga bisa
Bego.Destri memukul kepalanya pelan saat ia baru saja memasuki mobil Rendra. Laki-laki itu masih belum duduk di kursi kemudi, ia masih membuka pintu belakang untuk meletakkan setumpuk buku milik Destri.Gadis itu menghela napas.Kenapa ia bisa refleks mengatakan kalau ia pacar Rendra, ya? Bagaimana kalau nanti jadi rumor yang kemudian sampai ke telinga Rendra sendiri?Wajah Destri tiba-tiba memanas. Malu bukan main membayangkan bagaimana nanti reaksi Rendra.Rendra pasti akan mengira kalau Destri kesepian sampai-sampai mengaku menjadi kekasihnya."Des? Kamu gak apa-apa?"Destri menggelengkan kepala, mengatur napasnya pelan-pelan.Rendra diam, mengamati. Ia nampak berpikir."Hm ... apa yang perlu diomongin?" Destri memecah keheningan.Mesin mobil Rendra sudah menyala dari tadi. Meski begitu, nampaknya laki-laki itu sengaja untuk mengajak Destri bicara di dalam mobil saja, tidak kemana-mana."Aku ... mau min
Suara tawa memecah keheningan di telinga Destri. Hilir mudik manusia berbagai jenis berhasil ditangkap matanya. Beberapa berjalan santai, menenteng tas kertas berbagai ukuran. Beberapa yang lain kelihatan tergesa, entah hendak mencari apa di tengah lautan manusia seperti ini. Destri harus mengakui kalau ia benci mengunjungi pusat perbelanjaan di akhir pekan seperti ini. Melihat hilir mudik manusia seperti ini membuat tubuhnya tiba-tiba merasa lelah. Semua ini gara-gara Putri! Sejak di dalam mobil tadi, gadis itu terus merengek pada Raya agar mereka berhenti di pusat perbelanjaan karena persediaan skincare-nya sudah menipis. Padahal, saat Destri mencuri dengar tadi, gadis itu awalnya bilang kalau ia akan membeli skincare dengan mamanya besok. "Destri gak mau ikutan beli skincare?" tanya Putri. Suaranya melengking begitu tinggi--cempreng. Destri menggeleng sambil tersenyum tipis. Diliriknya Raya yang tersenyum menyesal, meminta maaf. "Ma
"Kok bisa berangkat bareng Rendra?"Gadis yang ditanya membuang muka, menatap sisi jalanan melalui kaca mobil yang tertutup rapat. Sejak tadi gadis itu melirik pemutar musik di dalam mobil, seperti ingin menyalakannya. Ia butuh suara musik untuk memecahkan keheningan yang canggung antara dirinya dan Raya."Tadi tiba-tiba Rendra jemput."Raya melirik sekilas gadis yang duduk di sebelahnya tersebut. Tangannya memindahkan persneling dan memutar kemudi ke kanan.Destri memandanginya dengan bingung. Ini bukan jalan ke arah rumahnya, Raya berniat membawanya pergi lagi seperti malam itu?"Aku mampir sebentar," ujar Raya. Mobilnya berhenti tepat di depan sebuah toko bunga. Laki-laki itu kembali beberapa menit kemudian dengan tangan membawa sebuah buket besar berisi bunga gerbera.Buket itu ia letakkan hati-hati di kursi belakang. Dari cermin rear-vision, Destri bisa melihat bunga gerbera putih dan pink, serta beberapa tangkai baby breath untuk mengi
Destri menghentikan langkahnya saat melihat Rendra yang sedang asyik berbincang dengan Oma di ruang tamu. Gadis itu nyaris melangkah mundur andai saja Oma-nya tidak menyapanya."Sini, Des. Kamu diajakin Rendra bareng ke kampus."Destri tersenyum tipis, langkahnya gontai menuruni anak tangga. Ia hampiri dua orang tersebut dan duduk di sebelah Oma.Tak lama, Mama muncul dan mengajak Rendra untuk sarapan bersama. Hari ini kebetulan Mama memasak nasi uduk, makanan yang sudah lama dipesan oleh Papa."Om gak ikut sarapan, Tante?"Mama menggeleng seraya menyendokkan nasi ke piring Rendra, "Om udah berangkat lebih pagi tadi, jadi udah sarapan duluan."Rendra mengangguk, menerima sepiring nasi uduk yang wanginya begitu menggiurkan.Sejujurnya, laki-laki itu tidak pernah makan nasi untuk sarapan. Sejak kecil ia sudah terbiasa untuk sarapan dengan sereal atau roti.Semoga perutnya akan baik-baik saja."Tante tinggal dulu, ya. Tamba
Raya mengaduh keras saat tas berwarna cokelat milik Destri mendarat mulus ke tubuhnya. Laki-laki itu meringis sambil menampakkan wajah bersalah."Maaf, Des. Aku gak maksud.""Gak maksud apaan?! Jelas-jelas kamu jadiin aku kambing hitam barusan!"Destri tidak bisa menghentikan bayangan dirinya dalam sebuah video saat dirangkul oleh Raya dan diteriaki secara histeris oleh Putri di belakangnya, kemudian video itu akan diunggah ke media sosial dengan caption yang mungkin akan membuat orang lain salah paham.Semoga saja tidak terjadi, karena Destri tidak akan pernah siap menerima hujatan dari para netizen yang maha benar."Maaf, Des, aku bener-bener gak tahu gimana caranya supaya bisa lepas dari cewek itu."Destri berdecak, "Tapi bukan berarti kamu bisa jadiin aku kambing hitam, Ray."Laki-laki di hadapan Destri itu menghela napas, "Oke, gini aja, sebagai gantinya, aku bakal ngelakuin apapun yang kamu minta hari ini. Anggap aja sebagai uca
Suara tawa memecah keheningan di telinga Destri. Hilir mudik manusia berbagai jenis berhasil ditangkap matanya. Beberapa berjalan santai, menenteng tas kertas berbagai ukuran. Beberapa yang lain kelihatan tergesa, entah hendak mencari apa di tengah lautan manusia seperti ini. Destri harus mengakui kalau ia benci mengunjungi pusat perbelanjaan di akhir pekan seperti ini. Melihat hilir mudik manusia seperti ini membuat tubuhnya tiba-tiba merasa lelah. Semua ini gara-gara Putri! Sejak di dalam mobil tadi, gadis itu terus merengek pada Raya agar mereka berhenti di pusat perbelanjaan karena persediaan skincare-nya sudah menipis. Padahal, saat Destri mencuri dengar tadi, gadis itu awalnya bilang kalau ia akan membeli skincare dengan mamanya besok. "Destri gak mau ikutan beli skincare?" tanya Putri. Suaranya melengking begitu tinggi--cempreng. Destri menggeleng sambil tersenyum tipis. Diliriknya Raya yang tersenyum menyesal, meminta maaf. "Ma
Bego.Destri memukul kepalanya pelan saat ia baru saja memasuki mobil Rendra. Laki-laki itu masih belum duduk di kursi kemudi, ia masih membuka pintu belakang untuk meletakkan setumpuk buku milik Destri.Gadis itu menghela napas.Kenapa ia bisa refleks mengatakan kalau ia pacar Rendra, ya? Bagaimana kalau nanti jadi rumor yang kemudian sampai ke telinga Rendra sendiri?Wajah Destri tiba-tiba memanas. Malu bukan main membayangkan bagaimana nanti reaksi Rendra.Rendra pasti akan mengira kalau Destri kesepian sampai-sampai mengaku menjadi kekasihnya."Des? Kamu gak apa-apa?"Destri menggelengkan kepala, mengatur napasnya pelan-pelan.Rendra diam, mengamati. Ia nampak berpikir."Hm ... apa yang perlu diomongin?" Destri memecah keheningan.Mesin mobil Rendra sudah menyala dari tadi. Meski begitu, nampaknya laki-laki itu sengaja untuk mengajak Destri bicara di dalam mobil saja, tidak kemana-mana."Aku ... mau min
Destri mematung sejenak saat matanya bersitatap dengan milik Rendra. Laki-laki itu tersenyum manis dan antusias saat melihat gadis yang ia cari sedaritadi, kini akhirnya muncul sendiri ke hadapannya.Jodoh memang gak kemana.Mendengar sambutan dari Bu Prof, Destri duduk dengan canggung di sebelah Rendra. Hanya ada dua kursi sofa di ruangan Bu Prof; satu kursi sofa tunggal, dan yang satunya lagi adalah kursi sofa yang cukup untuk menampung dua orang."Destri, sudah kenal Rendra?"Destri menganggukkan kepala seraya tersenyum kaku."Saya juga kenal Destri kok, Bu. Siapa, sih, yang gak kenal Destri?" Rendra berujar seraya terkekeh.Bu Prof ikut tertawa. Benar memang kata Rendra, tidak ada yang tidak mengenal Destri, terlebih sejak insiden terusirnya gadis itu dari kelas.Diam-diam, Destri menghela napas, ingin sekali keluar dari ruangan itu."Des, kebetulan judul skripsimu ini temanya sama dengan skripsi Rendra dulu. Kamu juga bisa
Destri berlari cepat menuju gedung serbaguna kampusnya. Disapanya lalu orang-orang yang memanggilnya. Ia tidak punya waktu untuk basa basi, kecuali kalau ia ingin terlambat dan tidak mendapatkan kursi untuk seminar umum saat ini.Sudah jadi kewajiban mahasiswa tingkat akhir di jurusan Destri untuk mengikuti seminar umum minimal sebanyak tiga kali. Jika kurang dari itu, maka mereka harus mengundur waktu ujian proposal ke semester berikutnya sampai bisa memenuhi tiga seminar.Destri ingat ketua angkatannya pernah berkoar-koar tentang hal ini. Katanya, seminar umum yang berlangsung saat ini adalah seminar terakhir di semester ini. Sehingga bagi Destri, ini bagai penentu apakah dia akan ikut wisuda tahun ini, atau tahun depan.Antrean mengular di jalan masuk menuju gedung serbaguna. Destri menunggu di barisan belakang sambil mengetuk-ketukkan kaki tidak sabar.Salahnya sendiri bangun kesiangan.Ah, andai saja kejadian tadi malam tidak terjadi, mungkin
Suara jangkrik terdengar nyaring di antara keheningan yang melingkupi Destri dan Raya. Raya yang kini duduk bersandar pada kepala ranjang, membiarkan Destri sepenuhnya merawat dirinya. Dibiarkannya tangan Destri mengompres luka di wajah dan bahunya yang membiru. "Ah!" Raya memekik pelan saat Destri mengusap luka di sudut alisnya. "Perih banget." Destri menghela napas, "Lukanya gak dalem, tapi pasti ada bekasnya." "Gak apa-apa. Bukan cowok namanya kalau gak punya bekas luka." Raya terkekeh. Gadis di hadapan Raya itu mendengus. Raya tersenyum tipis. Dengan jarak wajah yang berdekatan sepert ini, Raya bisa mengamati kulit Destri yang begitu mulus. Bulu matanya lentik, warna pupil matanya hitam gelap. Bibirnya mungil, berbentuk seperti hati dan bervolume agak penuh. Duh, ingin rasanya Raya mencuri satu ciuman dari calon kakak iparnya ini. Merasakan bibirnya yang lembut dan penuh. Tubuh Raya memanas. Laki-laki itu mendorong
Suara bising dari motor sport Raya memecah keheningan malam di kota. Jalanan nampak lengang, hanya ada beberapa motor dan mobil yang melaju di atas batas kecepatan normal.Destri masih mengalungkan lengannya erat-erat pada pinggang Raya. Beruntung Raya meminjamkan jaketnya tadi, kalau tidak, sudah pasti Destri akan menggigil kedinginan saat ini."Kita mampir dulu ya, Des?"Suara Raya terbawa udara. Destri yang tidak mendengarnya dengan jelas, memilih untuk langsung menjawab iya sembari menganggukkan kepala.Sebenarnya, gadis itu terus bertanya-tanya dalam hati saat mengetahui motor Raya melaju bukan ke arah rumahnya.Motor itu baru melambat saat sampai di sebuah warung tenda pinggir jalan. Destri mematung sebentar sebelum akhirnya turun."Makan dulu ya, Des. Aku laper," ujar Raya. Laki-laki itu melepaskan helm Destri sebelum melepas helmnya. "Maaf ya, rambut kamu jadi berantakan."Usapan jemari Raya di rambut Destri berhasil membuat g