Bagi orang lain, "kamu" adalah kata ganti pihak kedua.
Bagiku, "kamu" adalah orang yang spesial.
Sayangnya, aku belum memiliki "kamu".
Sudah setahun (atau lebih, entahlah, aku juga lupa), aku sendiri. Terakhir kali aku memiliki hubungan spesial dengan laki-laki, laki-laki itu adalah kakak tingkatku.
Dan andai mobilku baik-baik saja, aku mungkin tidak akan menceritakan dirinya pada kalian semua.
Namanya Andra. Lebih tua tiga tahun dariku. Kami berkenalan sebagai seorang senior dan junior pada awalnya.
Dia adalah mahasiswa D3 yang telah lulus, lantas melanjutkan kuliah ke jenjang S1, masuk ke jurusan yang sama denganku. Awalnya, kami hanya bertukar pikiran karena secara tidak sengaja terdaftar di kelompok yang sama. Namun lama kelamaan, Kak Andra--begitu aku biasa memanggilnya--sering sekali menghubungiku dan menanyakan beberapa hal mengenai kehidupan pribadiku.
Kami punya ketertarikan yang sama, yaitu sama-sama menyukai film series. Akhirnya, jadilah setiap seminggu sekali kami membuat jadwal rutin untuk bertemu, saling bertukar series yang kami miliki.
Dan begitulah. Pendekatan yang ia lakukan berlangsung lancar tanpa kusadari sedikitpun. Sampai akhirnya aku merasa nyaman dengannya dan menerima pernyataan cintanya.
Aku dan Kak Andra putus beberapa hari sebelum hari jadi pertama kami.
Ia bilang, ia butuh waktu lebih banyak untuk bisa berkumpul bersama teman-temannya serta koleganya. Selama bersamaku, ia juga menerima banyak proyek pekerjaan, yang membuatnya tidak bisa fokus pada karirnya dan alasan-alasan lain.
Dia memang menyebalkan (jika dilihat dari alasannya menginginkan putus). Namun sampai sekarang, hubungan kami masih baik-baik saja. Maksudku, kami masih saling bertegur sapa satu sama lain, ia masih suka menepuk puncak kepalaku ketika kami secara tidak sengaja berpapasan.
Namun, aku sudah tidak menyukainya lagi.
Dulu Kak Andra pernah menjadi kamu-ku. Laki-laki yang nyaris selalu kuingat tiap hari, yang paras dan namanya muncul dari awal hari saat aku membuka mata sampai tengah malam kami chatting bersama.
Sejak putus, aku tidak lagi punya "kamu". Ada, sih, beberapa laki-laki yang mencoba mendekatiku, tapi jujur saja, aku sama sekali tidak tertarik.
Sejak putus dengan Kak Andra
pula, aku menjadi apatis dalam hubungan percintaan. Aku tidak lagi tertarik pada hubungan jangka pendek (bukan berarti aku ingin langsung menikah), aku ingin hubungan yang berkomitmen.Aku selalu berpikir kritis dalam hal romansa. Rasanya memang menyenangkan ketika berada dalam sebuah hubungan, tapi aku juga lelah jika terus membayangkan sebuah pertengkaran yang berujung pada perpisahan.
Dan aku bukanlah orang yang ingin berjuang untuk hal-hal seperti ini.
Aku ingin diperjuangkan.
Banyak teman-teman yang mengkritikku karena hal ini. Mereka bilang tanpa usaha, aku tidak akan mendapatkan apa-apa. Mereka benar, tapi yang mereka tidak tahu, terkadang sebesar apapun usaha yang kita keluarkan demi mendapatkan sesuatu, jika sesuatu itu tidak ditakdirkan untuk kita, maka kita tidak akan pernah mendapatkannya.
Aku pernah berada di posisi seperti itu. Berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang sangat kuinginkan, dan aku berhasil mendapatkannya. Namun, ada satu fase yang paling berat setelahnya, yaitu menjaga apa yang telah menjadi milik kita.
Aku sudah berjuang, mempertahankan sekuat yang aku bisa. Namun kenyataannya, aku menjaga milik orang lain. Aku melindungi sesuatu yang berharga, tapi sama sekali bukan milikku.
Kak Andra adalah laki-laki itu. Yang sekuat tenaga kupertahankan ketika selama liburan semester sama sekali tidak memberi kabar. Yang kuberi kesabaran ketika secara tiba-tiba dia menghilang tapi bisa membalas tiap pesan yang masuk ke akun media sosialnya.
Dan yang kuikhlaskan ketika beberapa bulan setelah kami putus, malah jadian dengan teman satu angkatanku--gadis manis yang dikejar laki-laki satu fakultas.
Hubungan kami saat ini memang baik-baik saja. Kelihatannya.
Kenyataannya, aku membenci dia setengah mati.
Dan kekasih barunya, tentu saja.
Aku yakin dia merasa bersalah, sebab tak lama setelah berita kalau ia punya pacar baru menyebar ke semua angkatan, ia langsung menemuiku dan meminta maaf, lantas mengatakan kalau aku bisa mengandalkannya sebagai seorang kakak yang akan menuruti semua permintaanku--selama masih masuk akal.
Tentu saja, tanpa pikir panjang, aku langsung mengangguk. Memanfaatkan kesempatan yang tidak akan ditawarkan dua kali padaku--memperbudak laki-laki yang aku benci.
"Kak, minta tolong jemputin di mal deket kampus bisa? Mobilku tiba-tiba mogok, manggil orang bengkel juga gak dateng-dateng, udah setengah jam nungguin," ucapku panjang lebar, setengah menggerutu karena beberapa detik setelah panggilan terhubung yang kudengar hanyalah sahutan dari suara serak Kak Andra yang baru bangun tidur.
[Gimana, Des?]
Aku memutar bola mata, lantas kembali mengucapkan kalimat yang sama. Butuh beberapa detik kemudian sampai aku mendengar suara seorang wanita, sama serak dengan suara Kak Andra.
[Siapa, Yang?]
Kemudian kudengar desisan, yang langsung membuat aku mendengus karena aku tahu apa yang sedang ia lakukan bersama kekasihnya sekarang.
[Des, sorry ya gak bisa jemput dulu. Biar aku telponin temenku, kamu dijemput sama dia. Gimana?]
Aku menghela napas, "Iya, gak apa-apa. Ketimbang nunggu taksi, lama."
[Hm, bentar, ya. Aku telponin dia dulu. Kamu nunggu di sebelah mana?]
Aku memandangi sekeliling, "Aku tunggu di dalam kafe aja, ya? Nanti tolong kasih tahu temenmu, aku di kafe biasa."
[Oke deh. Tunggu bentar, ya.]
Aku menyahut dan mengucap terima kasih sebelum akhirnya memutuskan panggilan. Tidak mau berlama-lama berdiri di tempat parkir, aku kembali memasuki mal, lantas memesan minuman di salah satu kafe sambil menunggu jemputanku datang.
Perhatianku terpusat pada ponsel sebelum akhirnya diganggu oleh sebuah tepukan pelan yang melayang ke bahuku. Begitu aku menoleh, aku dapati seorang laki-laki yang kini tengah menarik kursi kosong di hadapanku dan duduk di sana.
"Raya?"
Ia mengerling, "Rupanya gua gak salah lihat."
Entah kenapa tiba-tiba aku merasa salah tingkah.
"Sendirian?" tanyanya.
Kepalaku mengangguk kaku, "Iya."
"Boleh aku temenin? Gak ada salahnya nemenin calon kakak ipar, kan?" Ia tersenyum lebar, melihatkan deretan gigi putihnya.
Aku mendengus. Calon kakak ipar, katanya.
"Kalo kamu keberatan, aku bisa pergi sekarang."
"Gak," sergahku. "It's okay. You can stay here till someone come to pick me up."
Raya menaikkan satu alisnya dan terkekeh. Di hadapannya, aku menarik napas dan menghelanya pelan.
"Siapa yang jemput?" tanyanya, setelah meminum es kopi pesanannya.
Aku mengedikkan bahu, "Someone. Temennya temen."
Raya menganggukkan kepala, lantas menyilangkan kaki kanannya ke kaki kiri. Aku langsung meneguk smoothies-ku ketika aku merasakan tatapan menilai yang ia lemparkan padaku. Tiga menit, atau lebih, ia memandangiku sebelum akhirnya tertawa kecil.
"Kak Rendra emang luar biasa. Kamu emang cantik, gak salah kalau dia suka sama kamu."
Pipiku memanas. Smoothies yang kusedot secara tiba-tiba tersendat di tenggorokan. Ketika aku menarik napas, minuman dingin itu justru terasa seperti masuk ke dalam paru-paruku.
Yang kemudian menyebabkan aku terbatuk hebat, sampai membuat beberapa orang memandangiku sambil terkekeh.
"Des, Des, kamu gak apa-apa? Ini... minum es kopi."
Aku menerima uluran minuman dari Raya, lantas meneguknya sampai habis.
"Wah...."
Di hadapanku, mulut Raya membentuk lingkaran takjub. Aku mengangkat alis, memperhatikan arah pandang laki-laki tersebut.
"Kenapa? Apaan?" tanyaku, tak paham.
Raya menggeleng. Ia lantas bangkit dari duduknya, "Ayo!"
"Kemana?"
"Nganterin kamu pulang. Memangnya mau kemana lagi?" Kemudian terdengar tawa kecilnya.
Aku masih bingung, "Aku nungguin temennya temenku, kamu duluan aja."
Laki-laki itu menghela napas, lantas merunduk dan memasukkan barang-barangku--yang berserakan di atas meja--ke dalam tas. Ia menyodorkan tangannya, "Aku temennya temen kamu itu. Andra minta tolong aku buat jemput kamu karena dia lagi ada urusan."
Urusan yang super penting, aku mencibir dalam hati.
Tapi, "Kamu temannya Kak Andra?"
Raya mengangguk. Lalu karena uluran tangannya tak kunjung kuterima, ia langsung menggenggam pergelangan tanganku. "Teman kerja, lebih tepatnya. Ayo, Calon Kakak Ipar, jangan lama-lama."
Setelahnya, ia menggiringku ke arah mobilnya. Kami bercerita banyak selama perjalanan pulang. Aku pun akhirnya tahu kalau pekerjaannya selama ini adalah sebagai seorang DJ--Disc Jockey.
Karena pekerjaannya, ia jadi sering pulang balik ke luar negeri. Dan karena pekerjaannya pula, ia terpaksa cuti kuliah dan hanya bisa mengambil kelas tambahan.
Selama di perjalanan, Raya beberapa kali menyenandungkan lagu yang terputar di radio. Suaranya merdu dan lembut, nyaman sekali didengarkan.
"Aku gak tahu kamu besok berangkat bareng siapa, tapi kalau kamu kesulitan cari teman bareng, aku bisa ngantar dan jemput kamu besok... atau selama mobil kamu ada di bengkel," ucapnya, setelah mobilnya berhenti di depan gerbang rumahku.
Aku tersenyum, "Gak usah, nanti malah ngerepotin."
"Aku lagi berusaha deket ke calon kakak iparku. Gak boleh, ya?"
Bibirku mencebik diam-diam. Tidak membalas, aku tersenyum dan meraih tas yang kuletakkan di jok belakang. "Terima kasih banyak, ya. Maaf sudah ngerepotin."
Raya hanya balas tersenyum, tapi beberapa detik sebelum aku menutup pintu, aku bisa mendengar pekikan pelannya. "Kamu abis ngabisin es kopi... sama segelas gede es smoothies. Jangan sampai kembung, ya. Jangan lupa minum obat."
Aku menggigit bibir. Kemudian menatap kepergian mobil berwarna silver itu dengan tatapan kosong.
Jangan sampai kembung... jangan lupa minum obat....
Ucapannya sepele, sih.
Tapi gara-gara itu, aku jadi tidak bisa tidur karena terlalu asik stalking semua akun media sosial milik Naraya Hendrawan--yang semua followers-nya kebanyakan wanita bule cantik dan seksi.
[ ]
Aku menguap lebar saat gorden kamar dibuka oleh Mama. Matanya ikut mengernyit saat sinar matahari memasuki jendela."Pagi, Des."Aku terduduk sambil mengucek mata, "Pagi, Ma."Jika kalian mengira membangunkan aku di pagi hari adalah kegiatan rutin Mama, kalian salah besar.Mama tidak pernah membangunkan aku di pagi hari kecuali jika memang ada hal yang benar-benar penting yang harus segera aku lakukan."Oma demam semalam, dan sampai sekarang demamnya gak turun juga. Mama, Papa, sama Opa bakal ke rumah sakit. Kamu tolong jaga adik-adik, ya.""Oma demam?"Mama mengangguk cepat, tampak tidak mau berlama-lama berbicara denganku. "Iya, tiga puluh delapan derajat. Kamu pesan makanan aja nanti kalau gak mau masak. Di kulkas sebenarnya ada--""Ma, it's okay. Aku tahu apa yang harus aku lakuin kok."Mama menghela napas, berusaha menenangkan diri. "Thank you, Dear," ucapnya, lantas mengecup dahiku. "Mama berangkat dulu, y
Rendra terhenyak sesaat menerima panggilan dari bundanya. Bundanya bilang, Oma Destri sakit dan kini sedang dirawat di rumah sakit. Laki-laki itu langsung mengabari sekretarisnya, lantas bergegas menuju rumah sakit. Bundanya sudah ada di sana bersama Mama Destri. Mereka tersenyum dan membiarkan Rendra mendekati ranjang tempat Oma terbaring lemah. Napas Oma teratur, nampaknya obatnya mulai bekerja. Di kaki ranjang, seorang laki-laki berjas dokter berdiri bersebelahan dengan seorang perawat. Rendra memicingkan mata sejenak sebelum akhirnya sadar bahwa dokter itu adalah teman SMP-nya dulu. "Doni?" "Rendra?" Rendra tertawa kecil dan menjabat tangan Sang Dokter. "Aku gak tahu loh kalau kamu praktek di sini juga." "Dimana-mana sih, Bro. Kejar setoran." Doni tertawa pelan. "Btw ini pasiennya ada hubungan apa sama kamu?" "Oh, Oma-nya temenku. Sudah kayak Oma sendiri, sih. Gimana keadaannya?" "Tekanan darahnya ti
Hari ketiga Oma dirawat di rumah sakit, Destri membawakan semangkuk sup krim ayam kesukaan Oma. Wanita tua itu beberapa kali mengeluh dengan makanan rumah sakit yang menurutnya hambar. "Sekali ini aja ya, Oma." Oma menganggukkan kepala, tidak sabar untuk mencicipi sup krim kesukaannya. Diam-diam ia minta cucu kesayangannya itu untuk membawa makanan ini saat shift jaga Destri tiba. "Duh, enak banget, Des. Coba aja makanan rumah sakit kaya gini rasanya." Destri tertawa kecil. Gadis itu membiarkan Oma menghabiskan sup krimnya, sementara ia sendiri merapikan ruangan Oma yang penuh dengan bingkisan dari kolega. Destri baru saja duduk dan menyalakan tv saat pintu kamar diketuk, membuat Oma kaget dan hampir menumpahkan sup. "Ya ampun, Rendra. Kamu hampir bikin Oma jantungan." Rendra mengernyit dan tersenyum. "Berdua sama Destri aja, Oma?" "Iya, Mama barusan pulang buat ngurusin rumah. Tuker-tukeran shift jaga begini tiap hari.
Hingar bingar musik disko membahana ke seluruh penjuru ruang.Aroma berbaur menjadi satu, mulai dari wangi manis dari uap vape, sampai bau asap rokok yang menyengat.Pria dan wanita sibuk berdansa di bawah sorot lampu berwarna-warni. Beberapa kelihatan sadar, sisanya mulai terlihat bergerak secara acak karena kesadarannya sudah mulai hilang.Sudah beberapa bulan terakhir Destri tidak menginjakkan kaki di kelab malam ini. Dulu semasa SMA dan awal-awal kuliah, sering sekali ia bersama beberapa temannya menghabiskan malam di akhir pekan di tempat ini. Kadang mereka akan open table dan memesan beberapa makanan dan minuman, lantas melangkah ke lantai dansa begitu suasana sudah mulai panas.Malam ini, Destri memilih untuk menjadi penonton. Bokongnya sudah mendarat sempurna di kursi bar, menghadap laki-laki manis yang sudah menjadi bartender di sini sejak beberapa tahun belakangan."Hai, Cantik." Sang Bartender menyapa seraya mengedipkan mata. "Lama bange
Suara bising dari motor sport Raya memecah keheningan malam di kota. Jalanan nampak lengang, hanya ada beberapa motor dan mobil yang melaju di atas batas kecepatan normal.Destri masih mengalungkan lengannya erat-erat pada pinggang Raya. Beruntung Raya meminjamkan jaketnya tadi, kalau tidak, sudah pasti Destri akan menggigil kedinginan saat ini."Kita mampir dulu ya, Des?"Suara Raya terbawa udara. Destri yang tidak mendengarnya dengan jelas, memilih untuk langsung menjawab iya sembari menganggukkan kepala.Sebenarnya, gadis itu terus bertanya-tanya dalam hati saat mengetahui motor Raya melaju bukan ke arah rumahnya.Motor itu baru melambat saat sampai di sebuah warung tenda pinggir jalan. Destri mematung sebentar sebelum akhirnya turun."Makan dulu ya, Des. Aku laper," ujar Raya. Laki-laki itu melepaskan helm Destri sebelum melepas helmnya. "Maaf ya, rambut kamu jadi berantakan."Usapan jemari Raya di rambut Destri berhasil membuat g
Suara jangkrik terdengar nyaring di antara keheningan yang melingkupi Destri dan Raya. Raya yang kini duduk bersandar pada kepala ranjang, membiarkan Destri sepenuhnya merawat dirinya. Dibiarkannya tangan Destri mengompres luka di wajah dan bahunya yang membiru. "Ah!" Raya memekik pelan saat Destri mengusap luka di sudut alisnya. "Perih banget." Destri menghela napas, "Lukanya gak dalem, tapi pasti ada bekasnya." "Gak apa-apa. Bukan cowok namanya kalau gak punya bekas luka." Raya terkekeh. Gadis di hadapan Raya itu mendengus. Raya tersenyum tipis. Dengan jarak wajah yang berdekatan sepert ini, Raya bisa mengamati kulit Destri yang begitu mulus. Bulu matanya lentik, warna pupil matanya hitam gelap. Bibirnya mungil, berbentuk seperti hati dan bervolume agak penuh. Duh, ingin rasanya Raya mencuri satu ciuman dari calon kakak iparnya ini. Merasakan bibirnya yang lembut dan penuh. Tubuh Raya memanas. Laki-laki itu mendorong
Destri berlari cepat menuju gedung serbaguna kampusnya. Disapanya lalu orang-orang yang memanggilnya. Ia tidak punya waktu untuk basa basi, kecuali kalau ia ingin terlambat dan tidak mendapatkan kursi untuk seminar umum saat ini.Sudah jadi kewajiban mahasiswa tingkat akhir di jurusan Destri untuk mengikuti seminar umum minimal sebanyak tiga kali. Jika kurang dari itu, maka mereka harus mengundur waktu ujian proposal ke semester berikutnya sampai bisa memenuhi tiga seminar.Destri ingat ketua angkatannya pernah berkoar-koar tentang hal ini. Katanya, seminar umum yang berlangsung saat ini adalah seminar terakhir di semester ini. Sehingga bagi Destri, ini bagai penentu apakah dia akan ikut wisuda tahun ini, atau tahun depan.Antrean mengular di jalan masuk menuju gedung serbaguna. Destri menunggu di barisan belakang sambil mengetuk-ketukkan kaki tidak sabar.Salahnya sendiri bangun kesiangan.Ah, andai saja kejadian tadi malam tidak terjadi, mungkin
Destri mematung sejenak saat matanya bersitatap dengan milik Rendra. Laki-laki itu tersenyum manis dan antusias saat melihat gadis yang ia cari sedaritadi, kini akhirnya muncul sendiri ke hadapannya.Jodoh memang gak kemana.Mendengar sambutan dari Bu Prof, Destri duduk dengan canggung di sebelah Rendra. Hanya ada dua kursi sofa di ruangan Bu Prof; satu kursi sofa tunggal, dan yang satunya lagi adalah kursi sofa yang cukup untuk menampung dua orang."Destri, sudah kenal Rendra?"Destri menganggukkan kepala seraya tersenyum kaku."Saya juga kenal Destri kok, Bu. Siapa, sih, yang gak kenal Destri?" Rendra berujar seraya terkekeh.Bu Prof ikut tertawa. Benar memang kata Rendra, tidak ada yang tidak mengenal Destri, terlebih sejak insiden terusirnya gadis itu dari kelas.Diam-diam, Destri menghela napas, ingin sekali keluar dari ruangan itu."Des, kebetulan judul skripsimu ini temanya sama dengan skripsi Rendra dulu. Kamu juga bisa
"Kok bisa berangkat bareng Rendra?"Gadis yang ditanya membuang muka, menatap sisi jalanan melalui kaca mobil yang tertutup rapat. Sejak tadi gadis itu melirik pemutar musik di dalam mobil, seperti ingin menyalakannya. Ia butuh suara musik untuk memecahkan keheningan yang canggung antara dirinya dan Raya."Tadi tiba-tiba Rendra jemput."Raya melirik sekilas gadis yang duduk di sebelahnya tersebut. Tangannya memindahkan persneling dan memutar kemudi ke kanan.Destri memandanginya dengan bingung. Ini bukan jalan ke arah rumahnya, Raya berniat membawanya pergi lagi seperti malam itu?"Aku mampir sebentar," ujar Raya. Mobilnya berhenti tepat di depan sebuah toko bunga. Laki-laki itu kembali beberapa menit kemudian dengan tangan membawa sebuah buket besar berisi bunga gerbera.Buket itu ia letakkan hati-hati di kursi belakang. Dari cermin rear-vision, Destri bisa melihat bunga gerbera putih dan pink, serta beberapa tangkai baby breath untuk mengi
Destri menghentikan langkahnya saat melihat Rendra yang sedang asyik berbincang dengan Oma di ruang tamu. Gadis itu nyaris melangkah mundur andai saja Oma-nya tidak menyapanya."Sini, Des. Kamu diajakin Rendra bareng ke kampus."Destri tersenyum tipis, langkahnya gontai menuruni anak tangga. Ia hampiri dua orang tersebut dan duduk di sebelah Oma.Tak lama, Mama muncul dan mengajak Rendra untuk sarapan bersama. Hari ini kebetulan Mama memasak nasi uduk, makanan yang sudah lama dipesan oleh Papa."Om gak ikut sarapan, Tante?"Mama menggeleng seraya menyendokkan nasi ke piring Rendra, "Om udah berangkat lebih pagi tadi, jadi udah sarapan duluan."Rendra mengangguk, menerima sepiring nasi uduk yang wanginya begitu menggiurkan.Sejujurnya, laki-laki itu tidak pernah makan nasi untuk sarapan. Sejak kecil ia sudah terbiasa untuk sarapan dengan sereal atau roti.Semoga perutnya akan baik-baik saja."Tante tinggal dulu, ya. Tamba
Raya mengaduh keras saat tas berwarna cokelat milik Destri mendarat mulus ke tubuhnya. Laki-laki itu meringis sambil menampakkan wajah bersalah."Maaf, Des. Aku gak maksud.""Gak maksud apaan?! Jelas-jelas kamu jadiin aku kambing hitam barusan!"Destri tidak bisa menghentikan bayangan dirinya dalam sebuah video saat dirangkul oleh Raya dan diteriaki secara histeris oleh Putri di belakangnya, kemudian video itu akan diunggah ke media sosial dengan caption yang mungkin akan membuat orang lain salah paham.Semoga saja tidak terjadi, karena Destri tidak akan pernah siap menerima hujatan dari para netizen yang maha benar."Maaf, Des, aku bener-bener gak tahu gimana caranya supaya bisa lepas dari cewek itu."Destri berdecak, "Tapi bukan berarti kamu bisa jadiin aku kambing hitam, Ray."Laki-laki di hadapan Destri itu menghela napas, "Oke, gini aja, sebagai gantinya, aku bakal ngelakuin apapun yang kamu minta hari ini. Anggap aja sebagai uca
Suara tawa memecah keheningan di telinga Destri. Hilir mudik manusia berbagai jenis berhasil ditangkap matanya. Beberapa berjalan santai, menenteng tas kertas berbagai ukuran. Beberapa yang lain kelihatan tergesa, entah hendak mencari apa di tengah lautan manusia seperti ini. Destri harus mengakui kalau ia benci mengunjungi pusat perbelanjaan di akhir pekan seperti ini. Melihat hilir mudik manusia seperti ini membuat tubuhnya tiba-tiba merasa lelah. Semua ini gara-gara Putri! Sejak di dalam mobil tadi, gadis itu terus merengek pada Raya agar mereka berhenti di pusat perbelanjaan karena persediaan skincare-nya sudah menipis. Padahal, saat Destri mencuri dengar tadi, gadis itu awalnya bilang kalau ia akan membeli skincare dengan mamanya besok. "Destri gak mau ikutan beli skincare?" tanya Putri. Suaranya melengking begitu tinggi--cempreng. Destri menggeleng sambil tersenyum tipis. Diliriknya Raya yang tersenyum menyesal, meminta maaf. "Ma
Bego.Destri memukul kepalanya pelan saat ia baru saja memasuki mobil Rendra. Laki-laki itu masih belum duduk di kursi kemudi, ia masih membuka pintu belakang untuk meletakkan setumpuk buku milik Destri.Gadis itu menghela napas.Kenapa ia bisa refleks mengatakan kalau ia pacar Rendra, ya? Bagaimana kalau nanti jadi rumor yang kemudian sampai ke telinga Rendra sendiri?Wajah Destri tiba-tiba memanas. Malu bukan main membayangkan bagaimana nanti reaksi Rendra.Rendra pasti akan mengira kalau Destri kesepian sampai-sampai mengaku menjadi kekasihnya."Des? Kamu gak apa-apa?"Destri menggelengkan kepala, mengatur napasnya pelan-pelan.Rendra diam, mengamati. Ia nampak berpikir."Hm ... apa yang perlu diomongin?" Destri memecah keheningan.Mesin mobil Rendra sudah menyala dari tadi. Meski begitu, nampaknya laki-laki itu sengaja untuk mengajak Destri bicara di dalam mobil saja, tidak kemana-mana."Aku ... mau min
Destri mematung sejenak saat matanya bersitatap dengan milik Rendra. Laki-laki itu tersenyum manis dan antusias saat melihat gadis yang ia cari sedaritadi, kini akhirnya muncul sendiri ke hadapannya.Jodoh memang gak kemana.Mendengar sambutan dari Bu Prof, Destri duduk dengan canggung di sebelah Rendra. Hanya ada dua kursi sofa di ruangan Bu Prof; satu kursi sofa tunggal, dan yang satunya lagi adalah kursi sofa yang cukup untuk menampung dua orang."Destri, sudah kenal Rendra?"Destri menganggukkan kepala seraya tersenyum kaku."Saya juga kenal Destri kok, Bu. Siapa, sih, yang gak kenal Destri?" Rendra berujar seraya terkekeh.Bu Prof ikut tertawa. Benar memang kata Rendra, tidak ada yang tidak mengenal Destri, terlebih sejak insiden terusirnya gadis itu dari kelas.Diam-diam, Destri menghela napas, ingin sekali keluar dari ruangan itu."Des, kebetulan judul skripsimu ini temanya sama dengan skripsi Rendra dulu. Kamu juga bisa
Destri berlari cepat menuju gedung serbaguna kampusnya. Disapanya lalu orang-orang yang memanggilnya. Ia tidak punya waktu untuk basa basi, kecuali kalau ia ingin terlambat dan tidak mendapatkan kursi untuk seminar umum saat ini.Sudah jadi kewajiban mahasiswa tingkat akhir di jurusan Destri untuk mengikuti seminar umum minimal sebanyak tiga kali. Jika kurang dari itu, maka mereka harus mengundur waktu ujian proposal ke semester berikutnya sampai bisa memenuhi tiga seminar.Destri ingat ketua angkatannya pernah berkoar-koar tentang hal ini. Katanya, seminar umum yang berlangsung saat ini adalah seminar terakhir di semester ini. Sehingga bagi Destri, ini bagai penentu apakah dia akan ikut wisuda tahun ini, atau tahun depan.Antrean mengular di jalan masuk menuju gedung serbaguna. Destri menunggu di barisan belakang sambil mengetuk-ketukkan kaki tidak sabar.Salahnya sendiri bangun kesiangan.Ah, andai saja kejadian tadi malam tidak terjadi, mungkin
Suara jangkrik terdengar nyaring di antara keheningan yang melingkupi Destri dan Raya. Raya yang kini duduk bersandar pada kepala ranjang, membiarkan Destri sepenuhnya merawat dirinya. Dibiarkannya tangan Destri mengompres luka di wajah dan bahunya yang membiru. "Ah!" Raya memekik pelan saat Destri mengusap luka di sudut alisnya. "Perih banget." Destri menghela napas, "Lukanya gak dalem, tapi pasti ada bekasnya." "Gak apa-apa. Bukan cowok namanya kalau gak punya bekas luka." Raya terkekeh. Gadis di hadapan Raya itu mendengus. Raya tersenyum tipis. Dengan jarak wajah yang berdekatan sepert ini, Raya bisa mengamati kulit Destri yang begitu mulus. Bulu matanya lentik, warna pupil matanya hitam gelap. Bibirnya mungil, berbentuk seperti hati dan bervolume agak penuh. Duh, ingin rasanya Raya mencuri satu ciuman dari calon kakak iparnya ini. Merasakan bibirnya yang lembut dan penuh. Tubuh Raya memanas. Laki-laki itu mendorong
Suara bising dari motor sport Raya memecah keheningan malam di kota. Jalanan nampak lengang, hanya ada beberapa motor dan mobil yang melaju di atas batas kecepatan normal.Destri masih mengalungkan lengannya erat-erat pada pinggang Raya. Beruntung Raya meminjamkan jaketnya tadi, kalau tidak, sudah pasti Destri akan menggigil kedinginan saat ini."Kita mampir dulu ya, Des?"Suara Raya terbawa udara. Destri yang tidak mendengarnya dengan jelas, memilih untuk langsung menjawab iya sembari menganggukkan kepala.Sebenarnya, gadis itu terus bertanya-tanya dalam hati saat mengetahui motor Raya melaju bukan ke arah rumahnya.Motor itu baru melambat saat sampai di sebuah warung tenda pinggir jalan. Destri mematung sebentar sebelum akhirnya turun."Makan dulu ya, Des. Aku laper," ujar Raya. Laki-laki itu melepaskan helm Destri sebelum melepas helmnya. "Maaf ya, rambut kamu jadi berantakan."Usapan jemari Raya di rambut Destri berhasil membuat g