Beranda / Romansa / Laki-Laki Pilihan / [1] Empat Tahun Natal

Share

[1] Empat Tahun Natal

Penulis: dhyxan
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-08 23:02:43

Natal tahun pertama.

"Tadi keluarga Pak Hendrawan kesini."

Aku masih mengetik, membalas satu per satu ucapan natal dari teman temanku. Punya banyak grup chat membuat ponselku tidak berhenti berdering sejak awal hari tadi. Kebanyakan dari mereka mengajak untuk bertemu, berkumpul di rumah salah seorang temanku yang lain.

"Destri, Mama lagi ngomong sama kamu loh."

Aku meletakkan ponselku dan memandang mama, "Iya, Ma?"

"Tadi keluarga Pak Hendrawan kesini."

Aku, tentu saja, langsung mengangkat satu alisku heran. "Terus apa hubungannya sama aku?"

"Mereka bilang anak sulungnya suka sama kamu."

Aku memfokuskan diri kembali ke ponsel, "Terus Mama jawab apa?"

Mama berdeham sebentar sebelum menjawab, "Ya... Mama bilang kalau kamu masih mau fokus studi dulu. Belum waktunya nikah."

"Ha? Gitu banget jawabnya," sahutku, lantas terkekeh. Sudah menjadi kebiasaan Mama untuk menjelaskan sesuatu yang tidak perlu. Contohnya seperti kasus di atas. Alih alih menjawab 'belum waktunya nikah', alangkah lebih baik kalau dijawab 'dia sudah punya pacar'. Toh juga kedatangan mereka bukan bermaksud untuk melamarku, kan.

"Iya, anaknya suka sama kamu terus mau ngelamar kamu katanya."

Seketika mataku melotot. "Aku baru semester dua!"

"Makanya Mama jawab begitu... Kamu masih mau fokus sama studi dulu."

"Baguslah kalau gitu." Aku menghela napas lega, "Siapa nama anaknya?"

"Hmm...," Mama mengawang, mengingat ingat, "Narendra. Narendra Hendrawan."

"Oh."

Natal tahun pertama, saat segala pertanda muncul.

.

Natal tahun kedua.

"Rendra itu ganteng, sayangnya Mama kamu gak suka sama dia," ujar Oma, disela-sela waktu menonton tv-ku yang berharga--bersama dengan setoples kacang mede. Wanita itu tiba tiba saja duduk di sebelahku, ikut memandang televisi yang menunjukkan video para binatang berlarian mengejar mangsa.

Aku hanya bergumam tanpa perlu menjawab. Selama setahun sejak natal tahun lalu, Oma tidak pernah berhenti membicarakan Narendra Hendrawan. Mulai dari sang nenek yang juga teman Oma, ibunya yang juga teman ibuku, dia yang kini sudah bekerja sukses di perusahaan besar, dan sebagainya.

Perbincangan itu selalu berujung dengan, "Memangnya kamu beneran gak suka sama dia?"

Kalau pertanyaan itu muncul, aku pasti akan menjawab, "Ngeliat orangnya aja belum pernah."

Namun hari ini, lain cerita.

Natal tahun lalu aku diselamatkan oleh tubuhku yang sedang PMS--pre menstrual syndrome, kalau kamu tidak tahu. Perutku sakit dan sekujur tubuhku terasa linu. Natal tahun lalu kuhabiskan di tempat tidur, berguling di atas kasur, menggeliat seperti cacing kepanasan.

Oke, tahun ini tidak seperti itu. Untuk pertama kalinya aku bertemu dengan Narendra Hendrawan. Aku sedang melempar kacang medeku ke udara untuk kemudian langsung kudaratkan ke mulutku saat Mama tiba-tiba memanggil, memintaku ke ruang tamu.

Aku kira awalnya tidak ada tamu, karena Oma tidak mungkin duduk santai di sebelahku kalau rumah sedang kedatangan tamu. Akhirnya, sambil membawa segenggam kacang mede di tangan dan mengunyahnya satu per satu, aku menemui Mama.

"Ya ampun, Des. Ganti baju sana."

Aku menelan ludah, malu. Aku membeo selama beberapa menit, mengamati beberapa orang dengan pakaian rapi sebelum kemudian berlari cepat ke kamar, mengganti pakaian santaiku dengan gaun selutut. Kusapukan bedak tipis ke wajah sembari melihat barisan gigiku melalui cermin--memastikan tidak ada kacang yang terselip.

Ketika kurasa aku sudah kelihatan lebih baik, aku langsung menuju ruang tamu, menemui tamu yang kini sedang mengobrol dengan semua keluargaku--Mama, Papa, Oma dan Opa.

Aku membungkukkan badan, memberi hormat pada tamu sebelum akhirnya duduk di sebelah kursi kosong di sebelah mama.

"Destri sudah semester berapa sekarang?"

Aku mengerjap, tersenyum, "Empat, Tante."

"Wah, pertengahan ya...."

Aku mengangguk pelan. Kalau sudah di depan para tamu begini, aku selalu pencitraan. Bersikap seolah aku adalah gadis pendiam, feminin. Nyatanya, berkebalikan.

"Gak pernah ketemu Rendra, ya?"

Rendra?

Bola mataku menggeser arah ke kiri, ke tempat dimana seorang laki laki yang... kurang lebih nampak seumuran denganku, duduk. Ia tersenyum, aku balas tersenyum.

"Belum. Tahun kemarin waktu kesini, kan, si Destri lagi tidur, Mbak." Mamaku menimpali sembari tertawa kecil.

"Oh iya, ya. Tahun kemarin padahal rame-rame kesini." Seorang pria yang aku yakin orangtua dari Rendra, ikut angkat bicara.

"Iya, adiknya gak ikut ya sekarang?" Papaku bertanya.

"Iya, lagi ada job dia. Kemarin dipanggil buat ngisi acara dimana gitu, saya lupa."

Aku bosan. Serius. Tidak lama setelah mereka bertanya tentangku, obrolan langsung didominasi orang dewasa. Mereka membicarakan pekerjaan, pendidikan, dan lain sebagainya. Aku ingin kembali ke depan tv, mengunyah kacang mede sambil membalas pesan-pesan dari temanku.

Beruntungnya, mamaku mengerti.

Tidak lama setelah itu, Mama menyuruhku untuk ke kamar. Menemani adikku yang kebetulan sedang tidur--dan sebenarnya tidak perlu ditemani juga karena dia sudah besar, dia sudah kelas 3 sekolah dasar.

Aku menurut. Berpamitan, lantas segera berlalu ke kamar adikku.

Sayangnya, di natal tahun kedua itu, aku hanya sekilas melihat wajah Narendra Hendrawan, laki-laki yang kata Mama berniat melamarku.

.

Natal tahun ketiga.

Mama, Papa, beserta kedua adikku, meninggalkanku di rumah, sementara mereka pergi ke rumah kolega papa. Aku terpaksa bertahan di rumah bersama Opa dan Oma karena sedang PMS, lagi.

Seharian aku berbaring di kamar. Perutku melilit dan rasanya mau meledak. Aku mual bukan main, bahkan beberapa kali memuntahkan ludah.

Di sela waktu istirahatku, Oma mengetuk pintu, memintaku untuk keluar karena sedang ada tamu. Kamu tahu sendiri bagaimana sakitnya ketika PMS, jadi aku langsung menggeleng sebagai jawaban.

Oma itu pelupa. Jadi setelah membangunkanku, ia membangunkanku lagi untuk kedua kalinya. Kesal, aku mengganti pakaianku sambil uring uringan.

Masuk ke ruang tamu, aku dapati keluarga Hendrawan--lagi. Mereka berpamitan untuk pulang. Kesadaranku masih setengah, aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum tipis, menahan perutku yang melilit parah.

Tidak ada yang spesial setelahnya. Hanya beberapa keluarga dekat yang berdatangan dan langsung kupamiti ke kamar.

Namun malamnya, aku mengingat ingat lagi sosok Narendra.

Aku baru sadar kalau ia menatapku dari atas sampai ke bawah ketika melihatku tadi siang. Ia tersenyum. Jenis senyuman yang bisa langsung kamu kategorikan sebagai senyuman malu-malu. Tipe-tipe senyuman orang jatuh cinta.

Sebegitu sukanya, ya, dia padaku?

Sejujurnya, aku tidak keberatan untuk mengenal dia lebih dekat. Tapi Mama tampaknya tidak terlalu menyukai Rendra. Aku juga tidak tahu apa sebabnya, yang pasti Mama adalah orang yang paling sering mewanti-wantiku untuk berbincang lebih jauh dengan Rendra.

Kalau masalah fisik, meskipun aku tidak terlalu memperhatikan Rendra lebih jauh, aku rasa dia tidak terlalu buruk. Maksudku, kulitnya bersih, ia nampak terawat. Kalau masalah pekerjaan, Rendra pun mengaku ia sudah bekerja.

Jadi, aku tidak tahu alasan kuat mengapa Mama mencegahku untuk mengenal Rendra lebih dekat, kecuali sebuah alasan kalau aku harus fokus dan menamatkan studiku terlebih dahulu.

Natal tahun ketiga, entah kenapa pikiran tentang Narendra tak henti berseliweran di kepalaku.

.

Natal tahun keempat.

Sepanjang tahun setelah natal tahun lalu, Oma selalu mengajakku berbicara tentang Narendra Hendrawan. Dimanapun aku berada, Oma pasti akan tiba-tiba datang dan duduk di sebelahku, lantas mulai bercerita tentang Rendra dan segala bibit bobot bebetnya.

Mamalah yang lantas akan menjadi tameng, melindungiku dari semua nasehat Oma yang terus-terusan diulang. Mama yang kekeh kalau aku harus menamatkan studiku tanpa gangguan dari pihak manapun, dan Oma yang kekeh mengatakan kalau aku masih bisa menamatkan studiku meskipun aku menerima lamaran Rendra.

Ugh.

Untuk urusan ini, aku lebih berpihak ke Mamaku. Akan sulit bagiku untuk menamatkan studi jika fokusku terdistraksi. Aku ingin lekas-lekas wisuda dan mendapatkan pekerjaan, mendapatkan penghasilan sendiri.

"Des, keluarga Pak Hendrawan datang. Sapa sebentar."

Aku melirik pintu, menatap Mama yang berdiri di sana. "Gak perlu ketemu lama-lama, lah. Sapa aja."

Begitulah Mama. Mama tidak tahu kalau aku sebenarnya ingin bercakap-cakap lama bersama dengan mereka. Aku sungguh ingin tahu laki-laki seperti apakah Narendra itu. Dan dengan mendengarnya berbicara, aku yakin aku sudah dapat menilai apakah dia cukup meyakinkan untuk bisa jadi pasanganku.

Malas-malasan aku bangkit dari tempat tidur dan berganti baju begitu mama pergi. Rambutku kugerai, wajahku kuusap dengan bedak tipis.

Keluarga Hendrawan sedang berada di halaman belakang ketika aku datang. Mereka sedang menikmati makanan sambil tertawa.

"Oh, ini Destri."

Aku tersenyum mendengar sapaan Nyonya Hendrawan--sampai sekarang aku tidak tahu harus memanggilnya siapa. Sebelum membungkuk sedikit, mataku menangkap bayangan laki-laki yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Aku yakin kalau mereka yang datang semuanya adalah keluarga Hendrawan. Jadi ketika aku berdiri dan melirik laki-laki itu lagi, aku yakin kalau dia adalah adik dari Narendra, laki-laki yang sempat diceritakan oleh mereka pada natal tahun kemarin.

"Kamu belum pernah ketemu dia, ya? Dia adiknya Rendra." Nyonya Hendrawan berujar lagi, "Namanya Raya. Naraya."

Ia berjalan ke arahku, lantas mengulurkan tangan dan mengajakku berkenalan. Dari jarak dekat begini, aku bisa melihat piercing hitam terpasang di kedua telinganya.

Aku menyambut uluran tangan Raya. Ia kemudian tersenyum, menyulut suatu letupan aneh di dalam tubuhku.

Kaku, aku balas tersenyum. Raya lantas berbalik, menjauh dan meninju pelan bahu Rendra yang sedang tersenyum salah tingkah karena digoda oleh adiknya sendiri. Sang adik lantas duduk di sebelah kakaknya, membisikkan entah kata-kata apa. Yang pasti, detik berikutnya Rendra langsung menyikut pelan perut Raya, membuat Raya tertawa lebar.

Alih-alih mengikuti perintah Mama untuk menyapa mereka sebentar, aku duduk dan terus memperhatikan diam-diam kedua kakak beradik di hadapanku.

Terkadang, aku akan mendapati Rendra yang mencuri pandang ke arahku, lantas tersenyum dan menolehkan kepala ke arah lain.

Terkadang, aku akan mendapati Raya yang mencuri pandang ke arahku, lantas menaikkan sudut bibir dan berbisik ke sang kakak.

Beberapa menit sebelum mereka berpamitan pulang, Raya memintaku untuk mengantarkan dia ke toilet--aku sudah menunjukkan arah kepadanya, tapi dia bilang dia buta arah.

Kemudian...

Bukannya masuk ke toilet dan buang air, Raya malah berdiri di depan pintu dan mengeluarkan ponsel.

"Nomormu?"

Aku tergagap sebentar sebelum akhirnya menyebutkan nomor ponselku. Selesai mencatat di ponselnya, ia tersenyum dan mengerling.

"Terima kasih. Ini untuk Kak Rendra. Dia malu buat minta langsung ke kamu."

Aku tersenyum tipis. Mataku tak henti memandangi punggung laki-laki yang bergerak semakin menjauh tersebut.

Menghela napas, aku berjalan pelan untuk kembali ke halaman. Langkahku seketika terhenti ketika suara notifikasi dari ponsel terdengar.

Naraya_ added you by phone number.

Natal tahun keempat... adalah awalnya.

[ ]

Bab terkait

  • Laki-Laki Pilihan   [2] Teman Sang Mantan

    Bagi orang lain, "kamu" adalah kata ganti pihak kedua.Bagiku, "kamu" adalah orang yang spesial.Sayangnya, aku belum memiliki "kamu".Sudah setahun (atau lebih, entahlah, aku juga lupa), aku sendiri. Terakhir kali aku memiliki hubungan spesial dengan laki-laki, laki-laki itu adalah kakak tingkatku.Dan andai mobilku baik-baik saja, aku mungkin tidak akan menceritakan dirinya pada kalian semua.Namanya Andra. Lebih tua tiga tahun dariku. Kami berkenalan sebagai seorang senior dan junior pada awalnya.Dia adalah mahasiswa D3 yang telah lulus, lantas melanjutkan kuliah ke jenjang S1, masuk ke jurusan yang sama denganku. Awalnya, kami hanya bertukar pikiran karena secara tidak sengaja terdaftar di kelompok yang sama. Namun lama kelamaan, Kak Andra--begitu aku biasa memanggilnya--sering sekali menghubungiku dan menanyakan beb

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-08
  • Laki-Laki Pilihan   [3] Si Kembar Beda Usia

    Aku menguap lebar saat gorden kamar dibuka oleh Mama. Matanya ikut mengernyit saat sinar matahari memasuki jendela."Pagi, Des."Aku terduduk sambil mengucek mata, "Pagi, Ma."Jika kalian mengira membangunkan aku di pagi hari adalah kegiatan rutin Mama, kalian salah besar.Mama tidak pernah membangunkan aku di pagi hari kecuali jika memang ada hal yang benar-benar penting yang harus segera aku lakukan."Oma demam semalam, dan sampai sekarang demamnya gak turun juga. Mama, Papa, sama Opa bakal ke rumah sakit. Kamu tolong jaga adik-adik, ya.""Oma demam?"Mama mengangguk cepat, tampak tidak mau berlama-lama berbicara denganku. "Iya, tiga puluh delapan derajat. Kamu pesan makanan aja nanti kalau gak mau masak. Di kulkas sebenarnya ada--""Ma, it's okay. Aku tahu apa yang harus aku lakuin kok."Mama menghela napas, berusaha menenangkan diri. "Thank you, Dear," ucapnya, lantas mengecup dahiku. "Mama berangkat dulu, y

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-09
  • Laki-Laki Pilihan   [4] Tubuh "Body Goals" Destri

    Rendra terhenyak sesaat menerima panggilan dari bundanya. Bundanya bilang, Oma Destri sakit dan kini sedang dirawat di rumah sakit. Laki-laki itu langsung mengabari sekretarisnya, lantas bergegas menuju rumah sakit. Bundanya sudah ada di sana bersama Mama Destri. Mereka tersenyum dan membiarkan Rendra mendekati ranjang tempat Oma terbaring lemah. Napas Oma teratur, nampaknya obatnya mulai bekerja. Di kaki ranjang, seorang laki-laki berjas dokter berdiri bersebelahan dengan seorang perawat. Rendra memicingkan mata sejenak sebelum akhirnya sadar bahwa dokter itu adalah teman SMP-nya dulu. "Doni?" "Rendra?" Rendra tertawa kecil dan menjabat tangan Sang Dokter. "Aku gak tahu loh kalau kamu praktek di sini juga." "Dimana-mana sih, Bro. Kejar setoran." Doni tertawa pelan. "Btw ini pasiennya ada hubungan apa sama kamu?" "Oh, Oma-nya temenku. Sudah kayak Oma sendiri, sih. Gimana keadaannya?" "Tekanan darahnya ti

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-23
  • Laki-Laki Pilihan   [5] Calon Cucu Mantu

    Hari ketiga Oma dirawat di rumah sakit, Destri membawakan semangkuk sup krim ayam kesukaan Oma. Wanita tua itu beberapa kali mengeluh dengan makanan rumah sakit yang menurutnya hambar. "Sekali ini aja ya, Oma." Oma menganggukkan kepala, tidak sabar untuk mencicipi sup krim kesukaannya. Diam-diam ia minta cucu kesayangannya itu untuk membawa makanan ini saat shift jaga Destri tiba. "Duh, enak banget, Des. Coba aja makanan rumah sakit kaya gini rasanya." Destri tertawa kecil. Gadis itu membiarkan Oma menghabiskan sup krimnya, sementara ia sendiri merapikan ruangan Oma yang penuh dengan bingkisan dari kolega. Destri baru saja duduk dan menyalakan tv saat pintu kamar diketuk, membuat Oma kaget dan hampir menumpahkan sup. "Ya ampun, Rendra. Kamu hampir bikin Oma jantungan." Rendra mengernyit dan tersenyum. "Berdua sama Destri aja, Oma?" "Iya, Mama barusan pulang buat ngurusin rumah. Tuker-tukeran shift jaga begini tiap hari.

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-01
  • Laki-Laki Pilihan   [6] Tragedi di Kelab Malam

    Hingar bingar musik disko membahana ke seluruh penjuru ruang.Aroma berbaur menjadi satu, mulai dari wangi manis dari uap vape, sampai bau asap rokok yang menyengat.Pria dan wanita sibuk berdansa di bawah sorot lampu berwarna-warni. Beberapa kelihatan sadar, sisanya mulai terlihat bergerak secara acak karena kesadarannya sudah mulai hilang.Sudah beberapa bulan terakhir Destri tidak menginjakkan kaki di kelab malam ini. Dulu semasa SMA dan awal-awal kuliah, sering sekali ia bersama beberapa temannya menghabiskan malam di akhir pekan di tempat ini. Kadang mereka akan open table dan memesan beberapa makanan dan minuman, lantas melangkah ke lantai dansa begitu suasana sudah mulai panas.Malam ini, Destri memilih untuk menjadi penonton. Bokongnya sudah mendarat sempurna di kursi bar, menghadap laki-laki manis yang sudah menjadi bartender di sini sejak beberapa tahun belakangan."Hai, Cantik." Sang Bartender menyapa seraya mengedipkan mata. "Lama bange

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-12
  • Laki-Laki Pilihan   [7] Malam Bersama Raya

    Suara bising dari motor sport Raya memecah keheningan malam di kota. Jalanan nampak lengang, hanya ada beberapa motor dan mobil yang melaju di atas batas kecepatan normal.Destri masih mengalungkan lengannya erat-erat pada pinggang Raya. Beruntung Raya meminjamkan jaketnya tadi, kalau tidak, sudah pasti Destri akan menggigil kedinginan saat ini."Kita mampir dulu ya, Des?"Suara Raya terbawa udara. Destri yang tidak mendengarnya dengan jelas, memilih untuk langsung menjawab iya sembari menganggukkan kepala.Sebenarnya, gadis itu terus bertanya-tanya dalam hati saat mengetahui motor Raya melaju bukan ke arah rumahnya.Motor itu baru melambat saat sampai di sebuah warung tenda pinggir jalan. Destri mematung sebentar sebelum akhirnya turun."Makan dulu ya, Des. Aku laper," ujar Raya. Laki-laki itu melepaskan helm Destri sebelum melepas helmnya. "Maaf ya, rambut kamu jadi berantakan."Usapan jemari Raya di rambut Destri berhasil membuat g

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-21
  • Laki-Laki Pilihan   [8] Raya: Sang Penggoda

    Suara jangkrik terdengar nyaring di antara keheningan yang melingkupi Destri dan Raya. Raya yang kini duduk bersandar pada kepala ranjang, membiarkan Destri sepenuhnya merawat dirinya. Dibiarkannya tangan Destri mengompres luka di wajah dan bahunya yang membiru. "Ah!" Raya memekik pelan saat Destri mengusap luka di sudut alisnya. "Perih banget." Destri menghela napas, "Lukanya gak dalem, tapi pasti ada bekasnya." "Gak apa-apa. Bukan cowok namanya kalau gak punya bekas luka." Raya terkekeh. Gadis di hadapan Raya itu mendengus. Raya tersenyum tipis. Dengan jarak wajah yang berdekatan sepert ini, Raya bisa mengamati kulit Destri yang begitu mulus. Bulu matanya lentik, warna pupil matanya hitam gelap. Bibirnya mungil, berbentuk seperti hati dan bervolume agak penuh. Duh, ingin rasanya Raya mencuri satu ciuman dari calon kakak iparnya ini. Merasakan bibirnya yang lembut dan penuh. Tubuh Raya memanas. Laki-laki itu mendorong

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-24
  • Laki-Laki Pilihan   [9] Rendra: Sang CEO Tampan

    Destri berlari cepat menuju gedung serbaguna kampusnya. Disapanya lalu orang-orang yang memanggilnya. Ia tidak punya waktu untuk basa basi, kecuali kalau ia ingin terlambat dan tidak mendapatkan kursi untuk seminar umum saat ini.Sudah jadi kewajiban mahasiswa tingkat akhir di jurusan Destri untuk mengikuti seminar umum minimal sebanyak tiga kali. Jika kurang dari itu, maka mereka harus mengundur waktu ujian proposal ke semester berikutnya sampai bisa memenuhi tiga seminar.Destri ingat ketua angkatannya pernah berkoar-koar tentang hal ini. Katanya, seminar umum yang berlangsung saat ini adalah seminar terakhir di semester ini. Sehingga bagi Destri, ini bagai penentu apakah dia akan ikut wisuda tahun ini, atau tahun depan.Antrean mengular di jalan masuk menuju gedung serbaguna. Destri menunggu di barisan belakang sambil mengetuk-ketukkan kaki tidak sabar.Salahnya sendiri bangun kesiangan.Ah, andai saja kejadian tadi malam tidak terjadi, mungkin

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-26

Bab terbaru

  • Laki-Laki Pilihan   [15] Pura-Pura Gak Deket

    "Kok bisa berangkat bareng Rendra?"Gadis yang ditanya membuang muka, menatap sisi jalanan melalui kaca mobil yang tertutup rapat. Sejak tadi gadis itu melirik pemutar musik di dalam mobil, seperti ingin menyalakannya. Ia butuh suara musik untuk memecahkan keheningan yang canggung antara dirinya dan Raya."Tadi tiba-tiba Rendra jemput."Raya melirik sekilas gadis yang duduk di sebelahnya tersebut. Tangannya memindahkan persneling dan memutar kemudi ke kanan.Destri memandanginya dengan bingung. Ini bukan jalan ke arah rumahnya, Raya berniat membawanya pergi lagi seperti malam itu?"Aku mampir sebentar," ujar Raya. Mobilnya berhenti tepat di depan sebuah toko bunga. Laki-laki itu kembali beberapa menit kemudian dengan tangan membawa sebuah buket besar berisi bunga gerbera.Buket itu ia letakkan hati-hati di kursi belakang. Dari cermin rear-vision, Destri bisa melihat bunga gerbera putih dan pink, serta beberapa tangkai baby breath untuk mengi

  • Laki-Laki Pilihan   [14] Rendra Sakit

    Destri menghentikan langkahnya saat melihat Rendra yang sedang asyik berbincang dengan Oma di ruang tamu. Gadis itu nyaris melangkah mundur andai saja Oma-nya tidak menyapanya."Sini, Des. Kamu diajakin Rendra bareng ke kampus."Destri tersenyum tipis, langkahnya gontai menuruni anak tangga. Ia hampiri dua orang tersebut dan duduk di sebelah Oma.Tak lama, Mama muncul dan mengajak Rendra untuk sarapan bersama. Hari ini kebetulan Mama memasak nasi uduk, makanan yang sudah lama dipesan oleh Papa."Om gak ikut sarapan, Tante?"Mama menggeleng seraya menyendokkan nasi ke piring Rendra, "Om udah berangkat lebih pagi tadi, jadi udah sarapan duluan."Rendra mengangguk, menerima sepiring nasi uduk yang wanginya begitu menggiurkan.Sejujurnya, laki-laki itu tidak pernah makan nasi untuk sarapan. Sejak kecil ia sudah terbiasa untuk sarapan dengan sereal atau roti.Semoga perutnya akan baik-baik saja."Tante tinggal dulu, ya. Tamba

  • Laki-Laki Pilihan   [13] Kemeja Raya

    Raya mengaduh keras saat tas berwarna cokelat milik Destri mendarat mulus ke tubuhnya. Laki-laki itu meringis sambil menampakkan wajah bersalah."Maaf, Des. Aku gak maksud.""Gak maksud apaan?! Jelas-jelas kamu jadiin aku kambing hitam barusan!"Destri tidak bisa menghentikan bayangan dirinya dalam sebuah video saat dirangkul oleh Raya dan diteriaki secara histeris oleh Putri di belakangnya, kemudian video itu akan diunggah ke media sosial dengan caption yang mungkin akan membuat orang lain salah paham.Semoga saja tidak terjadi, karena Destri tidak akan pernah siap menerima hujatan dari para netizen yang maha benar."Maaf, Des, aku bener-bener gak tahu gimana caranya supaya bisa lepas dari cewek itu."Destri berdecak, "Tapi bukan berarti kamu bisa jadiin aku kambing hitam, Ray."Laki-laki di hadapan Destri itu menghela napas, "Oke, gini aja, sebagai gantinya, aku bakal ngelakuin apapun yang kamu minta hari ini. Anggap aja sebagai uca

  • Laki-Laki Pilihan   [12] Raya Putus

    Suara tawa memecah keheningan di telinga Destri. Hilir mudik manusia berbagai jenis berhasil ditangkap matanya. Beberapa berjalan santai, menenteng tas kertas berbagai ukuran. Beberapa yang lain kelihatan tergesa, entah hendak mencari apa di tengah lautan manusia seperti ini. Destri harus mengakui kalau ia benci mengunjungi pusat perbelanjaan di akhir pekan seperti ini. Melihat hilir mudik manusia seperti ini membuat tubuhnya tiba-tiba merasa lelah. Semua ini gara-gara Putri! Sejak di dalam mobil tadi, gadis itu terus merengek pada Raya agar mereka berhenti di pusat perbelanjaan karena persediaan skincare-nya sudah menipis. Padahal, saat Destri mencuri dengar tadi, gadis itu awalnya bilang kalau ia akan membeli skincare dengan mamanya besok. "Destri gak mau ikutan beli skincare?" tanya Putri. Suaranya melengking begitu tinggi--cempreng. Destri menggeleng sambil tersenyum tipis. Diliriknya Raya yang tersenyum menyesal, meminta maaf. "Ma

  • Laki-Laki Pilihan   [11] Mau Main Berapa Ronde?

    Bego.Destri memukul kepalanya pelan saat ia baru saja memasuki mobil Rendra. Laki-laki itu masih belum duduk di kursi kemudi, ia masih membuka pintu belakang untuk meletakkan setumpuk buku milik Destri.Gadis itu menghela napas.Kenapa ia bisa refleks mengatakan kalau ia pacar Rendra, ya? Bagaimana kalau nanti jadi rumor yang kemudian sampai ke telinga Rendra sendiri?Wajah Destri tiba-tiba memanas. Malu bukan main membayangkan bagaimana nanti reaksi Rendra.Rendra pasti akan mengira kalau Destri kesepian sampai-sampai mengaku menjadi kekasihnya."Des? Kamu gak apa-apa?"Destri menggelengkan kepala, mengatur napasnya pelan-pelan.Rendra diam, mengamati. Ia nampak berpikir."Hm ... apa yang perlu diomongin?" Destri memecah keheningan.Mesin mobil Rendra sudah menyala dari tadi. Meski begitu, nampaknya laki-laki itu sengaja untuk mengajak Destri bicara di dalam mobil saja, tidak kemana-mana."Aku ... mau min

  • Laki-Laki Pilihan   [10] Mengaku Kekasih

    Destri mematung sejenak saat matanya bersitatap dengan milik Rendra. Laki-laki itu tersenyum manis dan antusias saat melihat gadis yang ia cari sedaritadi, kini akhirnya muncul sendiri ke hadapannya.Jodoh memang gak kemana.Mendengar sambutan dari Bu Prof, Destri duduk dengan canggung di sebelah Rendra. Hanya ada dua kursi sofa di ruangan Bu Prof; satu kursi sofa tunggal, dan yang satunya lagi adalah kursi sofa yang cukup untuk menampung dua orang."Destri, sudah kenal Rendra?"Destri menganggukkan kepala seraya tersenyum kaku."Saya juga kenal Destri kok, Bu. Siapa, sih, yang gak kenal Destri?" Rendra berujar seraya terkekeh.Bu Prof ikut tertawa. Benar memang kata Rendra, tidak ada yang tidak mengenal Destri, terlebih sejak insiden terusirnya gadis itu dari kelas.Diam-diam, Destri menghela napas, ingin sekali keluar dari ruangan itu."Des, kebetulan judul skripsimu ini temanya sama dengan skripsi Rendra dulu. Kamu juga bisa

  • Laki-Laki Pilihan   [9] Rendra: Sang CEO Tampan

    Destri berlari cepat menuju gedung serbaguna kampusnya. Disapanya lalu orang-orang yang memanggilnya. Ia tidak punya waktu untuk basa basi, kecuali kalau ia ingin terlambat dan tidak mendapatkan kursi untuk seminar umum saat ini.Sudah jadi kewajiban mahasiswa tingkat akhir di jurusan Destri untuk mengikuti seminar umum minimal sebanyak tiga kali. Jika kurang dari itu, maka mereka harus mengundur waktu ujian proposal ke semester berikutnya sampai bisa memenuhi tiga seminar.Destri ingat ketua angkatannya pernah berkoar-koar tentang hal ini. Katanya, seminar umum yang berlangsung saat ini adalah seminar terakhir di semester ini. Sehingga bagi Destri, ini bagai penentu apakah dia akan ikut wisuda tahun ini, atau tahun depan.Antrean mengular di jalan masuk menuju gedung serbaguna. Destri menunggu di barisan belakang sambil mengetuk-ketukkan kaki tidak sabar.Salahnya sendiri bangun kesiangan.Ah, andai saja kejadian tadi malam tidak terjadi, mungkin

  • Laki-Laki Pilihan   [8] Raya: Sang Penggoda

    Suara jangkrik terdengar nyaring di antara keheningan yang melingkupi Destri dan Raya. Raya yang kini duduk bersandar pada kepala ranjang, membiarkan Destri sepenuhnya merawat dirinya. Dibiarkannya tangan Destri mengompres luka di wajah dan bahunya yang membiru. "Ah!" Raya memekik pelan saat Destri mengusap luka di sudut alisnya. "Perih banget." Destri menghela napas, "Lukanya gak dalem, tapi pasti ada bekasnya." "Gak apa-apa. Bukan cowok namanya kalau gak punya bekas luka." Raya terkekeh. Gadis di hadapan Raya itu mendengus. Raya tersenyum tipis. Dengan jarak wajah yang berdekatan sepert ini, Raya bisa mengamati kulit Destri yang begitu mulus. Bulu matanya lentik, warna pupil matanya hitam gelap. Bibirnya mungil, berbentuk seperti hati dan bervolume agak penuh. Duh, ingin rasanya Raya mencuri satu ciuman dari calon kakak iparnya ini. Merasakan bibirnya yang lembut dan penuh. Tubuh Raya memanas. Laki-laki itu mendorong

  • Laki-Laki Pilihan   [7] Malam Bersama Raya

    Suara bising dari motor sport Raya memecah keheningan malam di kota. Jalanan nampak lengang, hanya ada beberapa motor dan mobil yang melaju di atas batas kecepatan normal.Destri masih mengalungkan lengannya erat-erat pada pinggang Raya. Beruntung Raya meminjamkan jaketnya tadi, kalau tidak, sudah pasti Destri akan menggigil kedinginan saat ini."Kita mampir dulu ya, Des?"Suara Raya terbawa udara. Destri yang tidak mendengarnya dengan jelas, memilih untuk langsung menjawab iya sembari menganggukkan kepala.Sebenarnya, gadis itu terus bertanya-tanya dalam hati saat mengetahui motor Raya melaju bukan ke arah rumahnya.Motor itu baru melambat saat sampai di sebuah warung tenda pinggir jalan. Destri mematung sebentar sebelum akhirnya turun."Makan dulu ya, Des. Aku laper," ujar Raya. Laki-laki itu melepaskan helm Destri sebelum melepas helmnya. "Maaf ya, rambut kamu jadi berantakan."Usapan jemari Raya di rambut Destri berhasil membuat g

DMCA.com Protection Status