"Dasar pengecut!" dengus perempuan itu dengan ketus.
Wajahnya hanya dipoles make-up tipis-tipis saja, tapi itu justru membuat kulitnya yang halus dan berwarna cerah makin memikat.
Kulit mukanya terlihat kencang dan segar. Wajahnya hampir-hampir sempurna dengan bentuk yang simetris. Spesimen pernikahan campuran yang berhasil. Ayahnya dari Belgia, sementara ibunya dari Jawa Barat.
Berbalutkan gaun hitam ketat, lekak-lekuk tubuhnya yang memikat terlihat jelas.
Berjalan mondar-mandir sambil mengerutkan alis, perempuan cantik itu seakan tak menyadari tatapan pria muda yang jadi lawan bicaranya.
Pria setengah baya itu tanpa sadar menelan ludah, kemudian menyisip minuman yang ada di depannya, membasahi bibirnya yang terasa kering dan menenangkan jantungnya yang berdetak sepersekian detik lebih cepat dari biasanya.
Garis-garis penanda waktu, terukir dalam-dalam di wajahnya.
Namun garis-garis itu justru membuatnya terlihat kharismatik.
"Bayi itu, bayiku. Bagaimana bisa kau diam saja saat dia mengambilnya?" tuduh perempuan itu sambil bertolak pinggang.
Pria itu tersenyum sinis, "Tak perlu kau bersikap seperti itu padaku. Lagipula kau tak punya hak untuk marah padaku. Sejak awal kita sudah tahu, pimpinan punya rencana spesial untuk anak itu.
Dan sebagai ayah dari bayi itu, dia punya hak atasnya sama besar seperti dirimu."
"Tapi dia tak pernah bilang akan menyingkirkanku dari rencana besarnya setelah anak itu lahir," jawab perempuan tadi dengan wajah masam, kekecewaan terpancar jelas dari tiap inci dan tiap sudut wajahnya.
Pria itu menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu apa yang kau harapkan dari pemimpin. Aku tidak tahu apa rencanamu saat ini.
Saranku, apa pun yang kau pikirkan saat ini, sebaiknya lupakan saja dari ingatanmu."
"Pengecut …," desis wanita itu tajam.
"Kau tak perlu memanas-manasi aku, jangan kira aku tak bisa menduga-duga apa yang kau harapkan dari bayi itu.
Jangan katakan kau menginginkan bayi itu karena naluri keibuanmu. Berapa kali aku sudah menggugurkan kandunganmu sebelumnya?"
Sejenak laki-laki setengah baya itu diam, membiarkan kata-katanya perlahan meresap.
"Kau tahu pimpinan menyiapkan rencana istimewa untuk bayi itu dan kau berharap ikut mendapat posisi yang istimewa dalam kelompok kita sebagai ibunya." Laki-laki setengah baya itu menyambung dengan senyuman sinis tersungging di wajahnya.
"Coba dengarkan aku dokter …." Suara perempuan itu melunak.
Pinggulnya yang bulat bergoyang menggoda ketika dia perlahan berjalan mendekat.
Perempuan itu terus berjalan sampai berada tepat di depan laki-laki setengah baya itu. Kemudian dia mendekatkan bibirnya yang berbentuk gendewa itu ke telinganya.
"Kau bisa menebak apa yang aku pikirkan, aku pun bisa menebak apa yang kau inginkan dariku," bisiknya menggoda.
Dari tempatnya duduk, laki-laki setengah baya itu bisa mencium bau wangi tubuh wanita itu, merasakan hangat nafas wanita itu berhembus di lehernya dan ….
Wanita itu membungkuk begitu dekat, membuat dua lekukan yang sempurna terpampang di depan matanya. Gaun hitam yang ketat itu, hampir-hampir tak bisa menyembunyikan dua bukit yang ranum itu.
"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya laki-laki setengah baya itu dengan suara serak.
"Aku ingin semua catatan medis tentang bayi itu. Apa pun yang bisa menunjukkan hubungan-nya dengan diriku.
Surat kelahiran, catatan pemeriksaan kehamilan tiap bulannya. Semuanya …," bisik wanita itu.
Wajahnya berada begitu dekat pada wajah laki-laki itu, bibir mereka hanya berjarak beberapa centimeter jauhnya, dan matanya menatap tajam lawan bicaranya.
"Tapi … pimpinan ingin semua catatan itu dimusnahkan." Laki-laki setengah baya itu menjawab dengan suara bergetar.
Hatinya terbelah antara menginginkan wanita yang ada di depannya saat ini dan rasa takut pada orang yang mereka sebut sebagai pimpinan.
"Dia tidak perlu tahu kan?" jawab wanita itu sambil tersenyum.
"Tapi kau berencana untuk menggunakan surat-surat dan dokumen itu untuk sesuatu, pada saat itu dia akan tahu, dan orang pertama yang akan dia cari adalah aku-" Wajah laki-laki itu terlihat mengeras saat mengatakannya.
Tapi sebelum dia bisa berkata lebih banyak, bibir yang lembut menutup mulutnya. Ciuman yang membara membuat laki-laki itu lupa apa yang hendak dia katakan tadi. Satu hal memimpin pada yang lain. Tubuh keduanya menempel rapat dan tangan-tangan saling menjelajahi berbagai sudut dan lekukan.
Beberapa saat kemudian, wanita itu menarik dirinya dari pelukan laki-laki itu.
"Satya … dengar, aku juga tahu seberapa berbahayanya dia. Jika tidak terpaksa, aku tidak akan menggunakan surat-surat dan dokumen itu," katanya.
Ketika perempuan itu melihat laki-laki di depannya mulai melunak, tapi masih ragu-ragu, dia menambahkan, "Justru karena dia berbahaya, bukankah kita perlu memiliki sesuatu yang bisa jadi modal untuk tawar menawar?
Sesuatu yang bisa kita pakai untuk ditukar dengan keselamatan kita."
Laki-laki itu terdiam, bujukan perempuan di depannya itu masuk akal juga.
Namun hatinya bimbang karena dia juga tahu, perempuan di depannya ini memiliki nafsu seperti api yang membara. Demi ketenaran, kekayaan dan kekuasaan, perempuan di depannya ini rela melakukan apa saja.
Dia memang bukan pelacur kelas atas yang menjual diri dengan harga puluhan juta.
Tidak, perempuan itu jauh lebih cerdas dari itu. Dia tahu benar bagaimana menggunakan apa yang dia miliki untuk mencapai yang terbaik untuk dirinya.
Reputasi-nya di masyarakat tanpa cacat, mereka mengenalnya sebagai wanita yang cerdas, mandiri dan punya integritas.
Kisah asmaranya memang sesekali menjadi konsumsi publik dan mengisi acara gosip di media, tapi bersih dari rumor tak sedap.
Dan tidak banyak yang tahu, bagaimana hubungan yang dijalinnya itu ikut membuka jalan dan mengantarkan dia di posisinya yang sekarang.
"Resikonya besar …," ujar laki-laki itu.
Mata perempuan itu berkilat, telinganya yang tajam menangkap perubahan dalam nada suara laki-laki itu.
Pengalamannya memberi tahu dirinya, dia sudah mendapatkan apa yang dia inginkan. Tinggal satu permasalahan lagi yang harus dia selesaikan ….
Berapa "harga" yang harus dia bayar.
Dr. Satya, duda tampan yang punya kedudukan terpandang di dunia kedokteran. Usianya sudah menginjak kepala empat, tapi sebagai dokter, dr. Satya bukan hanya pandai menasehati orang tentang kesehatan, dia sendiri mempraktekkannya dalam kehidupannya.
Meskipun tidak memiliki tubuh sekekar binaragawan, dr. Satya hanya membawa sedikit lemak di tubuhnya, dengan beberapa garis-garis otot yang terlihat samar.
'Lagipula, aku butuh sekutu untuk menghadapi pimpinan,' pikir wanita itu, matanya menyipit menatap laki-laki di depannya.
Dr. Satya merasakan tatapan wanita itu seperti scanner yang menilai dirinya dari atas sampai bawah, dari liar sampai ke dalam. Harga dirinya tersentuh dan dia menggeram perlahan.
"Sofia … aku peringatkan kau, jangan kau anggap aku laki-laki bodoh yang bisa kau permainkan," geramnya.
Mata Sofia mengerjap beberapa kali, ekspresinya berubah dengan cepat.
Tidak salah kalau dia mendapatkan reputasi sebagai seorang aktris yang mumpuni, dalam sekejap ekspresi seorang wanita yang penuh perhitungan berubah menjadi seorang gadis yang pemalu dan takut-takut menghadapi laki-laki di depannya.
"Satya … aku …," ujarnya terbata, sambil menjatuhkan tubuhnya yang sedikit gemetaran ke dalam pelukan laki-laki di depannya itu.
"Kau …," perubahan itu cukup mengejutkan dr. Satya, meski dia tahu cukup banyak sepak terjang Sofia, tapi belum pernah dia mengalaminya langsung.
"Satya… kau benar, pimpinan adalah seorang laki-laki yang menakutkan. Aku butuh seseorang yang bisa dipercaya ...
Kau pun juga.
Benarkan?" bisik Sofia dengan mata besar membulat, menatap penuh harap.
"Maksudmu?" tanya dr. Satya ragu-ragu.
"Ikatan persekutuan paling erat antara laki-laki dan wanita.
Sebuah pernikahan.
Bagaimana dr. Satya? Aku, Sofia Janssens, untuk pertama kalinya dalam hidupku membuka hati untuk mengikatkan diriku sebagai seorang isteri," bisiknya sambil menggeser tubuhnya, menempatkan lekuk-lekuk tubuhnya merapat di tempat yang tepat.
Antara tawaran yang mengejutkan, dan gerakan-gerakan yang membangkitkan nafsunya.
Tidak butuh waktu lama bagi dr. Satya akhirnya mengambil keputusan.
(Diceritakan oleh Dewi, lengkapnya, Ratna Puspa Sari Dewi.)"Deng … deng … deng …." Sepuluh kali dia berdentang, jam antik dengan bandulnya yang besar, salah satu koleksi suamiku yang sepertinya terjebak pada romansa masa-masa jaman itu."Aku tidur," katanya sambil menutup laptop yang dia menemani dia sepanjang hari ini."Baik Mas, selamat tidur," balasku sambil berdiri, hendak mengantar dia ke kamar tidurnya."Tidak usah," balasnya pendek.Aku terdiam, tak tahu harus bereaksi bagaimana, hampir enam tahun kami sudah menjalani pernikahan yang aneh ini. Statusku saja seorang isteri, tapi kenyataannya tak pernah sekalipun dia menyentuhku seperti seorang suami menyentuh isterinya.
"Brr… hiih… dingin banget sih," keluhku sambil menahan dinginnya guyuran air pagi ini.Memang sengaja kubiasakan selalu mandi dengan air dingin, kata Mas Bambang bisa buat awet muda. Dinginnya air yang menusuk tulang, membantuku mengusir pergi bayangan mimpi semalam.Mimpi yang mendebarkan sekaligus menyebalkan.Aku bermimpi sedang dalam suatu penyelidikan, entah tentang apa, tapi akhirnya beberapa orang laki-laki mengejar ingin menangkapku.Di saat itulah seorang pemuda yang tampan muncul untuk menolong. Tubuhku yang lemas karena lelah berlari, jatuh dalam pelukannya.Mata kami pun bertemu pandang.Nah di situlah persoalan dimulai, tiba-tiba Mas Bambang muncul menda
Bolak-balik aku memeriksa HP, menunggu kabar terbaru dari Mas Bambang.Mataku yang masih sembab berulang kali membaca percakapan kami yang terakhir, sebelum Mas Bambang harus mematikan HP karena sudah waktunya naik ke atas pesawat.Di situ aku curahkan seluruh perasaanku padanya. Tentang pernikahan ini. Tentang kemarahanku karena dia sudah merenggut masa mudaku untuk alasan yang sangat konyol menurutku.Namun juga tentang bagaimana hatiku mengharapkan cintanya.Jawaban Mas Bambang membuat hatiku pedih dan hampir-hampir kembali marah padanya.Dia masih saja berkutat pada perbedaan usia di antara kami. Pada kesalahan yang dia lakukan. Dan pada masa depanku yang masih terbuka.Sampai
“Hiiih…!” teriakku gemas, sambil mengambil ancang-ancang untuk melemparkan HPku ke dinding.Beruntung masih bisa menahan emosi, apalagi kalau berpikir berapa harga HP seandainya aku harus membeli yang baru. Aku sudah berhenti menghitung, berapa orang yang aku hubungi untuk menanyakan lowongan pekerjaan dari daftarku itu.Tanggapan terbaik yang kudapatkan adalah, “Kebetulan ada lowongan mbak, nanti saya kirim syarat-syaratnya ya.”Lalu tak lama kemudian aku dapatkan baris-baris kalimat yang tak ada bedanya dengan lowongan pekerjaan yang ada di koran-koran. Masalahnya saat ini aku tidak punya gelar pendidikan apa pun. Cuma ada ijazah kelulusan dari ujian kejar paket C. Sementara lowongan yang mereka tawarkan itu, rata-rata minimal membutuhkan ijazah D3.
Mulai saat ini, jika ada yang berani mengatakan, sudah tidak ada lagi orang baik di dunia ini, aku akan mengenalkannya pada Nyonya Burhan.Kemarahanku yang salah sasaran tidak membuat dia marah, malah kemarahanku itu memancing empatinya. Dengan penuh kelembutan seorang ibu dan simpati sesama wanita, dia menghiburku. Singkat kata, Nyonya Burhan menawariku untuk tinggal bersama dia di Jakarta."Rumahku sekarang jadi sepi sejak kepergian Ryan. Kebetulan aku dengar dari beberapa teman, kolega almarhum suaminya juga, kalau keadaanmu saat ini tidak jauh berbeda dengan keadaanku.Jadi, kalau kamu tidak keberatan, bagaimana kalau kau tinggal bersamaku.Kudengar kau tertarik untuk bekerja di bidang jurnalisme, kebetulan aku kenal seseorang yang bekerja di sebuah Stasiun TV nasion
"Dewiii …, tolongin aku yaa …." Suara Yolanda yang melengking manja lebih dahulu sampai sebelum orangnya muncul di depanku.Aku sedang di dapur kantor waktu itu.Yolanda punya bentuk tubuh, yang kalau kata orang sekarang itu, body goal. Sebagai sekretaris pribadi pemilik perusahaan ini, penampilannya selalu modis dan memikat, tapi pagi ini ada yang beda."Wiih … Mbak Yolanda seksi amat Mbak. Eh, potongan rambutnya juga baru ...Tolongin apa sih Mbak Yolanda?" jawabku dengan senyum lebar, mataku tak tahan melirik ke arah dadanya.Sambil mendesah kagum, antara kagum dan sedikit iri.Pura-pura tersipu, Yolanda menutupi bagian depan baju yang mempertontonkan belah
Dengan sigap aku menarik bapak tua itu menghindar dari terjangan motor yang tak sempat menghentikan lajunya.Terdengar suara Yolanda menjerit di belakang sana. Diiringi suara rem menjerit, klakson dan makian.Semuanya aku singkirkan mundur ke belakang dalam benakku. Mataku tertuju pada bapak tua yang tampak masih sedikit terguncang itu. Aku menariknya cukup kuat, hingga dia terjatuh ke tanah. Sekilas kulihat wajahnya berubah marah, tapi sekejap kemudian berubah saat menyadari apa yang hampir saja terjadi."Bapak baik-baik saja?" tanyaku sambil membantunya perlahan-lahan berdiri.Tak seringkih uban di rambutnya, bapak tua itu berdiri dengan mudah, meskipun terasa tangannya sedikit gemetaran."Ya ya …, aku baik-bai
Nyonya Burhan menghujaniku dengan berbagai pertanyaan. Berita yang kubawa, jauh lebih sensasional dibandingkan berita yang disiarkan di TV. Mengetahui bahwa yang terlibat dalam peristiwa itu adalah anak kost-nya, seperti jadi kebanggaan tersendiri buatnya.Meskipun sebenarnya aku merasa lelah, tapi mengingat kenaikan Nyonya Burhan kepadaku, aku berusaha menjawab setiap pertanyaannya dengan sebaik mungkin."Aduh … menegangkan sekali ya Dewi, kamu pasti capek sekali sekarang. Kamu mau istirahat dulu, atau mau makan dulu?Tante sudah selesai masak tadi siang, tinggal manasin saja," kata Nyonya Burhan setelah keingintahuannya terpuaskan."Aku mau istirahat dulu sajalah Tante," jawabku lega.Beberapa saat kemudian akhirnya
"Dewi, kau harus menyimpan baik-baik medali batu itu." Yolanda berpesan dengan sungguh-sungguh.Saat kami berdua berjalan kembali ke kamar kami, untuk kesekian kalinya Yolanda mengingatkan tentang medali itu padaku. Perasaanku jadi tak tenang mendengarnya, dalam hati aku berpikir akan aku ceritakan saja kebenarannya, tapi lidahku terasa kelu. Aku hanya mengangguk sambil bergumam tak jelas.Saat kami menjalani perawatan tubuh, Yolanda berhenti membicarakan tentang penyelidikan kami dan medali itu, tapi aku bisa merasakan pandangannya yang seperti berusaha menjenguk isi hatiku.Ah, Mbak Yolanda sudah curiga, pikirku dalam hati.Dua sampai tiga jam yang seharusnya menyegarkan badan dan pikiran, jadi tidak bisa kunikmati dengan
"Medali itu sepertinya semacam penanda untuk membuktikan kebenaran dokumen di masa itu," jawabku."Jadi apa hubungan-nya dengan Prabu Jayabaya? Apakah medali itu penanda miliknya?" tanya Yolanda menebak-nebak."Benar dan lebih dari itu, beberapa kalimat yang terukir di medali itu yang sama dengan kalimat pembuka pada ramalan Jayabaya." Aku menyambung, memberikan lebih banyak petunjuk pada Yolanda."Artinya medali itu membuktikan bahwa ramalan itu benar-benar ditulisa oleh Prabu Jayabaya!" seru Yolanda bersemangat."Ya dan bukan cuma itu saja. Masih ada fakta lain lagi tentang medali itu," sambungku penuh misteri."Apa itu?" Badan Yolanda semakin condong saja ke arahku."Bab-bab ya
Kupijit-pijit mataku sambil menyandarkan tubuh di sofa, ketika pintu kamar hotel dibuka dan Yolanda muncul sambil berkacak pinggang."Katanya tadi mau nyusul?" tanya Yolanda tak suka."Maaf Mbak, ini baru aja selesai," ucapku dengan senyum kelelahan."Huuh… sudah kuduga," kata Yolanda dengan tangan dilipat di depan dada."Tapi sekarang sudah selesai kan?" tanyanya kemudian dengan mata berkilat nakal."Iyaa … sudah, kayaknya ada rencana nih?" Melihat kilat di matanya aku bertanya curiga."Heehee, waktu aku lagi jalan ke tempat spa, aku mulai berpikir kau bakalan lama deh baca bukunya. Jadi kupikir-pikir lagi, aku akhirnya memutuskan untuk nggak ke spa dulu, samp
"Haah? Takut kenapa Mbak? Siang-siang begini hantu masih pada sembunyi kok." Aku menatap Yolanda bingung.Kulihat dia benar-benar ketakutan, jadi aku berusaha membuatnya tertawa dengan sedikit becanda."Dewi …, coba kau katakan lagi, bagaimana kau tadi bisa menemukan catatan-catatan yang tepat?" Yolanda bertanya dengan hati-hati."Uhm … karena aku berpikir medali itu ada hubungannya dengan almarhum suamiku." Aku samar-samar bisa meraba ke mana arah pertanyaan Yolanda, meski masih sedikit ragu."Kemudian ternyata instingmu benar, artinya kemungkinan besar memang medali ini ada hubungannya dengan almarhum suamimu.Hal itu juga menjelaskan bagaimana dr. Satya … alma
"Mbak, buku yang itu jangan ditaruh di situ, tempatnya di rak yang di sisi barat sana." Kami berdua berada di ruang perpustakaan pribadi Almarhum Mas Bambang, dari ujung mataku kulihat Yolanda hendak meletakkan catatan yang baru dia periksa di rak yang salah."Eh …, salah ya?" gumam Yolanda, tak lupa mengembalikan catatan itu di tempat yang benar.Aku hanya bisa menggelengkan kepala saja, "Mbak… makanya nyarinya yang urut gitu. Jangan lompat-lompat, nanti bingung sendiri."“Banyak banget sih Dewi … kali-kali aja kalau pas feeling-ku bener bisa langsung dapat yang cocok,” jawab Yolanda, rambutnya acak-acakan terlihat lelah dengan pencarian kami.Penampilan Yolanda membuatku ingin tertawa, tapi mengingat usahanya untuk membantuku, sebisa mu
Sampai aku dan Yolanda sudah berada di bandara dengan dua tas besar berisi keperluan kami selama nantinya berada di Malang, belum juga ada kabar dari Harvey."Dewi … Dewiii.... Kau dengar nggak?" Yolanda dengan setengah berteriak, bertanya padaku."Eh, maaf Mbak, sorry … sorry …. Mbak nanya apa tadi?" Aku tergagap saat menyadari Yolanda sejak tadi menanyakan sesuatu padaku."Duh … ini anak, ngelamun aja dari tadi. Ada apa sih Dewi?Kayaknya kamu jadi beda deh sejak kemarin. Apa mikirin almarhum suamimu, karena ini kita mau pulang ke rumahmu yang dulu?" Kata-kata Yolanda membuatku sedikit merasa bersalah, karena justru laki-laki lain yang saat ini membuatku melamun."Uhm, iya Mbak, sedikit," jawabku
"Dewi, aku tidak tahu siapa Harvey itu dan sejauh apa hubunganmu dengannya.Tapi kupikir tidak bijak bila kau membagikan hasil penyelidikanmu dengannya.Bagaimana kalau dia menjual beritamu pada media lain?" Nyonya Burhan langsung membuka percakapan kami dengan keras, tanpa berbasa-basi lagi."Tante, kuharap Tante menghormatiku sebagai seorang dewasa yang punya hak untuk menentukan pilihannya sendiri," jawabku dengan alis berkerut."Aku tidak punya hak untuk ikut campur dengan kehidupan pribadimu, tapi aku yang merekomendasikanmu pada Johan.Aku punya kewajiban pada Johan. Aku hanya mengingatkan, apa yang kau lakukan ini bisa merugikan perusahaan tempatmu bekerja."Mendengar penje
Kami berdua menghela nafas lega berbarengan, saat aku akhirnya menutup pintu kamar di belakang kami. Saling berpandangan, kami tertawa geli ketika menyadari bahwa kami sama-sama tertekan di bawah tatapan mata Nyonya Burhan.Seperti dua orang anak kecil nakal sedang berada di bawah pengawasan gurunya.Harvey menarikku ke dalam pelukannya dan menciumku dengan hangat."Ibu kostmu menakutkan juga," ujarnya setengah berbisik, sambil tertawa kecil."Itu karena kita menyembunyikan sesuatu darinya," ujarku menjawab.“Yah… mau bagaimana lagi?” kata Harvey sambil mengangkat bahu.“Bagaimana kalau misalnya kau ceritakan ke Tante Burhan tentang pekerjaanmu yang sebena
"Haah ?" seruku terkejut."Benar, organisasi rahasia itu sangat tertarik dengan situs arkeologi yang sedang diteliti oleh mendiang suamimu.Setelah kecelakaan itu terjadi, perhatian mereka beralih ke dirimu.Diam-diam aku pun memutuskan untuk membayangi dirimu," jawabnya dengan lancar."Jadi saat itu kau sedang membayangiku, bukan membuntuti dr. Satya?" Aku ingin memastikan pendengaranku."Uhm… tidak juga." Dia terlihat ragu saat menjawab."Nah, sekarang kau yang membuatku bingung," ujarku sambil mengerutkan alis."Sebelum kejadian itu, ayahku …, dr. Satya..., saat itu aku tidak tahu kalau itu dia.