"Dewiii …, tolongin aku yaa …." Suara Yolanda yang melengking manja lebih dahulu sampai sebelum orangnya muncul di depanku.
Aku sedang di dapur kantor waktu itu.
Yolanda punya bentuk tubuh, yang kalau kata orang sekarang itu, body goal. Sebagai sekretaris pribadi pemilik perusahaan ini, penampilannya selalu modis dan memikat, tapi pagi ini ada yang beda.
"Wiih … Mbak Yolanda seksi amat Mbak. Eh, potongan rambutnya juga baru ...
Tolongin apa sih Mbak Yolanda?" jawabku dengan senyum lebar, mataku tak tahan melirik ke arah dadanya.
Sambil mendesah kagum, antara kagum dan sedikit iri.
Pura-pura tersipu, Yolanda menutupi bagian depan baju yang mempertontonkan belahan dadanya, "Dih … Dewi matamu ke mana sih?"
"Haha, maaf Mbak, habis bajunya begitu sih," jawabku sambil menggerakkan tangan, menggambarkan deep v-neck gaun yang dia pakai.
Sambil mendesah aku menambahkan, "Aku benernya ngiri sih Mbak, kasih tahu rahasianya donk biar bisa berisi gitu."
Tawa Yolanda pun meledak, "Jangan gitu ah, aku malah pingin punya body atletis seperti kamu.
Proporsional banget Wi, aku bisa bayangin deh kamu jalan di catwalk. Ga perlu pakai sepatu hak tinggi pun dah kelihatan tinggi."
"Ah, Mbak Yolanda pinter aja mujinya. Masalahnya di sini nih mbak, kayak lapangan terbang," ujarku sambil menunjuk ke arah bagian dada.
Yolanda terkekeh geli, "Hahaha, nggak segitunyalah …, ada lho yang malah sukanya yang seukuran itu."
"Nggak percaya ah, minimal ya seukuran punya Mbak Yolanda deh, pas gitu, nggak kebesaran, nggak kekecilan," jawabku tak percaya.
"Psst … hei … hei …, ini cantika cantika ngumpul di sini, ngomongin soal dada, dada, kok ga ngajak-ngajak sih," tiba-tiba seorang lelaki muda dengan dandanan modis menyela.
Tawa kami pun meledak.
"Dewi, tolong bikinin kopi donk. Empat ya, terus antar ke ruang meeting," kata Bram setelah tawa kami mereda.
"Eh… enak aja, aku duluan yang minta tolong Dewi. Kamu bikin kopi sendiri aja Bram. Tuh, kopi instannya di situ, creamnya di situ," sela Yolanda sebelum aku sempat menjawab, sambil menunjuk-nunjuk tempat kopi, krim dan gula.
"Yang bener, kulihat kalian berdua kan cuma ngobrol aja, saling muji, aku sempat dengar tuh ada seksi ...seksi … gitu," debat Bram tak mau kalah.
"Bener kok, tadi Mbak Yolanda ke sini mau minta tolong.
Omong-omong, mau minta tolong apa sih Mbak? Mbak Yolanda cerita aja, sambil aku siapin kopi ya. Sebentar aja kok bikin kopinya," aku berusaha menengahi.
Dengan gesit aku bergegas menyiapkan empat cangkir kopi, membagi-bagi satu sendok kopi instan ke cangkir-cangkir itu dan ..., "Mas Bram, gula dan krimnya bagaimana? Ada yang minta nggak tanpa gula? Atau minta kopi hitam?"
"Standard semua Wi, kayak yang kamu bikin buat aku tiap pagi itu," jawab Bram.
"Ashiaap …," jawabku.
"Eh, aku gimana Dewi? Kan duluan aku minta tolong," seru Yolanda tak mau kalah.
"Nah, iya, Mbak Yolanda mau minta bantuan apa sih? Ntar pasti kubantu. Kalau perlu aku tinggal nih kopinya Mas Bram, kan Mbak Yolanda yang minta tolong duluan," jawabku tanpa berhenti menyiapkan kopi.
"Nah, gitu donk," Yolanda terlihat puas, " Gini Dewi, kan aku baru dapat kenalan dari luar negeri di f*, nah pas ngobrol-ngobrol gitu, aku sempat ngomongin taman di depan kantor kita ini Dewi.
Nah dia nanya, ada fotonya ga?
Sekarang aku butuh kamu fotoin aku di taman situ. Bisa kan Dewi?"
"Wah, jangan mau Dewi, bukan urusan kantor tuh," seru Bram dari tempat dia menunggu.
"Sayang ya …, kalau nggak difoto, Mbak Yolanda udah dandan cantik banget gini kok," sahutku.
"Mbak Yolanda, nih kopinya Mas Bram kan sudah selesai, aku antar dulu ke ruang meeting sebentar ya.
Habis gitu, aku temenin Mbak Yolanda ke taman di depan. Gimana? Atau Mbak Yolanda mau ke taman duluan, nanti aku nyusul ke situ?"
"Nggak ah Wi, takut aku kalau ke sana sendirian, ntar ada yang iseng godain gimana?
Kalau ada kamu kan aman," jawab Yolanda manja.
"Idih … manja banget, hati-hati Dewi, jangan-jangan Yolanda ada gimana-gimana gitu sama kamu," gurau Bram.
"Hahaha, enak aja, aku masih normal ya, bahaya nih si Bram, imajinasinya ke mana-mana," sangkal Yolanda.
"Lha itu katanya merasa aman kalau ada bersama si Dewi," ujar Bram tak mau kalah.
"Lha ya iya donk, kamu belum tahu ya kalau Dewi pintar pencak silat?" jawab Yolanda.
"Emang bener Dewi?" tanya Bram terkejut.
"Bisa dikit-dikit. Dah aku antar dulu kopinya," jawabku sambil berjalan ke arah ruang meeting dengan membawa empat cangkir kopi di nampan.
Sekilas aku bisa mendengar Yolanda dan Bram membicarakan aku di belakang.
"Hayo, ngeliatin terus, naksir ya?" tanya Yolanda.
"Cakep sih, terutama kakinya tuh lho, jenjang, kayak kaki belalang," jawab Bram.
"Hmm … dasar laki-laki, tapi sainganmu berat tahu, Pak Johan juga naksir dia lho," aku dengar samar-samar Yolanda memanas-manasi Bram.
Aku tidak dengar apa jawaban Bram, moga-moga jawaban-nya tidak, karena saat ini aku belum ingin menjalin hubungan dengan siapa pun. Meskipun saat mendengar pujian Bram, tentu saja aku merasa senang dan bangga juga.
Yang membuat jantungku berdegup sedikit lebih kencang, justru kata-kata Yolanda tentang Pak Johan.
'Ah, ga mungkin,' ujarku dalam hati sambil menggelengkan kepala.
Cepat saja aku selesaikan permintaan Bram, kemudian bersama Yolanda pergi ke taman di depan.
Cuaca yang panas tidak menyurutkan semangat Yolanda. Bajunya yang seksi menarik perhatian hampir semua lelaki yang kebetulan lewat.
Kontras sekali dengan penampilanku dengan jaket yang kedodoran. Aku sih justru merasa lebih nyaman, terhindar dari mata nakal lelaki.
Beda dengan Yolanda yang tampak bersemangat sekali untuk difoto dengan berbagai gaya di beberapa lokasi yang menarik di taman itu.
Berani taruhan, pasti kenalan barunya di f* itu pria tampan bermata biru. Obsesinya Yolanda kan itu, punya bayi bermata biru.
"Kenalan baru Mbak Yolanda itu dari mana asalnya Mbak?" tanyaku saat mengembalikan HP Yolanda, setelah selesai mengambil cukup banyak foto untuknya.
"Dari Swedia Wi, cakep banget orangnya. Kamu mau aku minta dia kenalin kamu ke temennya?" jawab Yolanda sambil balik bertanya.
"Emoh ah," jawabku sambil memonyongkan mulut.
"Eh… kenapa kok gitu? Bahasa Inggrismu kan bagus," tanya Yolanda heran.
"Nggak minat aja mbak ama yang model bule gitu. Lebih suka yang oriental aja," jawabku ringan, tak terlalu serius.
"Oh… kayak Korea atau Jepang gitu ya, eh kalau Pak Johan gimana tuh?" kata Yolanda dengan volume suara sedikit merendah saat menyebut nama pemilik perusahaan tempat kami bekerja.
Untuk sesaat aku terdiam, harus diakui, Pak Johan memang sangat tampan. Aku yang termasuk tinggi badannya di atas rata-rata, cuma setinggi bahunya. Penampilannya rapi dan berkelas. Beda dengan pilihan fashion Bram yang trendy misalnya. Pilihan baju Pak Johan sebenarnya cenderung konservatif, tapi selalu pas sekali di tubuhnya.
"Nah, bener kan, naksir Pak Johan ya? seru Yolanda dengan nada penuh kemenangan.
"Hush, nggak naksir yaa …, tapi kalau aku bilang dia ga menarik, atau bukan tipeku, kayaknya bohong juga deh," jawabku geli.
"Hahaha, aku suka ngobrol dengan kamu itu, soalnya kamu blak-blakan gitu. Ga jaim kaya Melanie, atau Nita gitu," jawab Yolanda setelah tawanya mereda.
"Idih Mbak Yolanda nih gitu, Mbak Melanie dan Mbak Nita itu bukan jaim mbak, emang pembawaan mereka aja yang anggun.
Mungkin dari didikan keluarganya sudah begitu," jawabku tak ingin menjelekkan orang di belakang mereka.
Yolanda tak mengiyakan, tapi juga tidak mendebatku, hanya memonyongkan bibirnya yang seksi itu, lalu katanya dengan bersemangat, "Dewi, kalau aku bilang nih ya, kau lebih punya kesempatan dibandingkan Melanie.
Beberapa kali aku memergoki Pak Johan memperhatikanmu saat kau mengantar sesuatu ke ruangannya."
"Ya elah mbak, jangan gitu ah. Jangan menafsirkan berlebihan," ujarku tersipu malu.
"Eh, aku kan bisa bedain, tatapan laki-laki yang biasa saja, yang nafsu, atau kagum. Kelihatan kok dari caranya memandangnya, dia itu kagum dan juga tertarik secara seksual," jawab Yolanda tak mau kalah.
"Udah deh, kalau yang seangguh Mbak Melanie aja ga berhasil menaklukkan hati Pak Johan, apalagi aku," jawabku tak ingin terbawa membayangkan hal yang tak mungkin, gara-gara pujian Yolanda.
Mendengar kata-kata Yolanda yang sedikit menjurus, wajahku jadi memerah.
"Serius nih Dewi, aku kan sekretaris pribadi Pak Johan. Aku tahu latar belakangku nggak sesederhana yang orang pikir," kata Yolanda membuatku terdiam.
Saat aku ingin bertanya lebih jauh tentang maksud Yolanda dengan perkataannya itu, Aku melihat seorang bapak tua yang berdiri terlalu dekat dengan jalanan yang ramai. Bapak tua itu sedang menerima telepon dan tampaknya tidak waspada dengan situasinya sendiri.
"Duh bapak itu," ujarku pendek sambil bergegas melangkahkan kaki dengan cepat untuk menggandeng bapak tua itu ke tempat yang lebih aman, menjauh dari jalan raya yang ramai.
"Aduh Dewi, biarin ajalah orang sudah dewasa ini." Aku mendengar gumam Yolanda yang tak mau beranjak dari tempatnya berdiri.
Tak peduli omelan Yolanda, kakiku justru melangkah semakin cepat. Selain untuk menghindari pembicaraan tentang Pak Johan, di dalam dadaku juga merasa tak nyaman saat melihat bapak tua itu berdiri terlalu dekat dengan jalan raya. Seperti ada getaran-getaran kecil di dalamnya.
Jarakku tinggal satu-dua meter saja dari bapak tua itu, profil wajahnya bisa kulihat dengan jelas.
'Di masa mudanya tentu dia sangatlah tampan,' pikirku.
Ada semacam kharisma atau wibawa, yang biasanya dimiliki orang yang percaya diri dan memiliki kedudukan tinggi di komunitasnya. Seperti Mas Bambang yang dihormati pendapatnya di kalangan sejarahwan.
Lamunanku tentang Mas Bambang pun terputus, saat dari sudut mataku, Aku melihat seorang pengendara motor yang berusaha mendahului mobil di depannya dari kiri.
Ketika mobil yang hendak dia dahului itu bergerak sedikit ke kiri, tanpa bisa dihindari lagi, motor itu pun bergerak menghindar dan arahnya mengarah ke tempat bapak tua itu berdiri.
"Awas Pak!" Aku berseru sambil melompat cepat mendekati bapak itu.
Dengan sigap aku menarik bapak tua itu menghindar dari terjangan motor yang tak sempat menghentikan lajunya.Terdengar suara Yolanda menjerit di belakang sana. Diiringi suara rem menjerit, klakson dan makian.Semuanya aku singkirkan mundur ke belakang dalam benakku. Mataku tertuju pada bapak tua yang tampak masih sedikit terguncang itu. Aku menariknya cukup kuat, hingga dia terjatuh ke tanah. Sekilas kulihat wajahnya berubah marah, tapi sekejap kemudian berubah saat menyadari apa yang hampir saja terjadi."Bapak baik-baik saja?" tanyaku sambil membantunya perlahan-lahan berdiri.Tak seringkih uban di rambutnya, bapak tua itu berdiri dengan mudah, meskipun terasa tangannya sedikit gemetaran."Ya ya …, aku baik-bai
Nyonya Burhan menghujaniku dengan berbagai pertanyaan. Berita yang kubawa, jauh lebih sensasional dibandingkan berita yang disiarkan di TV. Mengetahui bahwa yang terlibat dalam peristiwa itu adalah anak kost-nya, seperti jadi kebanggaan tersendiri buatnya.Meskipun sebenarnya aku merasa lelah, tapi mengingat kenaikan Nyonya Burhan kepadaku, aku berusaha menjawab setiap pertanyaannya dengan sebaik mungkin."Aduh … menegangkan sekali ya Dewi, kamu pasti capek sekali sekarang. Kamu mau istirahat dulu, atau mau makan dulu?Tante sudah selesai masak tadi siang, tinggal manasin saja," kata Nyonya Burhan setelah keingintahuannya terpuaskan."Aku mau istirahat dulu sajalah Tante," jawabku lega.Beberapa saat kemudian akhirnya
Ini baru pertama kalinya aku berada di dalam kantor polisi. Tidak main-main pula, pengalaman pertama langsung ke gedung Mapolres Jakarta pusat.Masih agak berdebar kalau teringat tadi di depan, dengan suara cukup keras aku berkata, "Saya ingin melaporkan dugaan kejahatan pembunuhan."Entah, aku tak bisa membayangkan seperti apa wajahku saat itu.Sekarang jantungku malah berlompatan di tempatnya. Di depanku sudah duduk seorang bapak polisi dengan wajah yang serius. Menurut dugaanku usianya tentu di kisaran empat puluhan.Kumis yang tebal, melintang menghiasi wajahnya. Membuatku teringat laki-laki misterius itu.'Apa kumis Pak Polisi ini juga kumis palsu …,' pertanyaan itu
Tentu saja di kantor tidak ada yang tahu, apa yang aku alami di kantor polisi tadi pagi, tapi rasa malunya tak juga hilang. Belum lagi Pak Ibnu mengomel karena aku baru masuk kerja saat sudah hampir jam istirahat makan siang, "Cepetan sana mulai kerja. Alasan saja urusan ke polisi. Tiap hari juga ada kecelakaan, mestinya tidak usah dibesar-besarkan." "Iya Pak," jawabku dengan lesu. "Terus ada hasilnya kau melapor? Ada yang berubah gara-gara kau melapor?" tanya Pak Ibnu, seperti kucing yang tak rela melepaskan tikus yang sudah berhasil dia tangkap. Aku terdiam, berpikir sejenak, 'Ada gunanya kah melapor ke polisi?' Pak Ibnu mendengus, "Heh, ditanya malah diem saja."
Perasaan bersalah, malu, geram dan minder bercampur-campur mengepungku. Ingin rasanya aku menyerah dan lari saja dari tempat itu. Pulang ke rumahku di Malang dan mengurung diri di kamarku. Selamanya diam di sana, tidak lagi mengejar mimpi-mimpiku.Dunia di luar terlalu keras untukku.'Aku tidak boleh kalah! Tak boleh terpengaruh oleh kesinisannya! Aku bersalah pada Mbak Yolanda dan aku akan menebusnya dengan prestasi!' Dengan marah aku memejamkan mata dan mengepalkan kedua tanganku keras-keras.Seperti mantra aku ucapkan berulang-ulang semua mimpi dan cita-citaku dalam hati.Kutambahkan juga dalam daftarku itu, keadilan untuk bapak tua yang tak kukenal, yang meninggal tepat di depan mataku. Juga mengganti 20% gaji Mbak Yola
Jauh sebelum ada platform digital, penulis biasanya menulis dalam kesendirian. Setidaknya menunggu sampai karya mereka itu tuntas, barulah mereka membagikan dan mendapatkan tanggapan. Mungkin itu kualitas yang dibutuhkan untuk menjadi penulis besar. Sayangnya aku tak memilikinya. Menulis di platform seperti ini, jauh berbeda dengan cerita di atas. Bagiku, kalau menulis itu sebuah perjalanan, maka menulis di platform seperti berjalan bersama banyak kawan. Bukan menulis dalam sepi dan kesendirian. Karena itu kawan, would you walk through the story with me? Kasih komentar, kritik, saran dan rating. Don't let me walk through the journey alone. Dijamin aku bakal lebih semangat menulisnya. ^_^. Untuk merayakan komentar pertama buat novel ini, bakal aku post 2 chapter utk hari itu. Salam ....
Hari itu juga aku “didepak” keluar dari perusahaan. Semua barang-barang pribadi yang aku simpan di loker, harus aku bawa pulang.Pak Ibnu dengan wajah sumringah bercerita kepada siapapun yang mau mendengar, bagaimana aku tiba-tiba berkelakuan aneh dan menakutkan. Meninggalkan tugas dan berusaha menerobos masuk kantor Pak Johan, "Ada yang ga beres dengan otaknya. Mungkin trauma lihat kecelakaan kemarin."Mbak Yolanda, Bram, dan beberapa staff lain yang cukup dekat denganku berusaha menghibur.Aku tak bisa bercerita banyak tentang tawaran Pak Johan untukku, jadi Aku hanya sebisa mungkin meyakinkan mereka kalau aku baik-baik saja.Kami membuat janji, akhir bulan nanti, setelah gajian, kita akan makan-makan di depot Chin
'Kwang Soo!' kata pertama yang melompat dari benakku, saat aku melihatnya. "Kau lagi," ujarnya dengan mimik wajah sedikit terkejut, tapi hanya sekejap saja, detika berikutnya senyum yang lebar menghiasi wajahnya. 'Benar-benar mirip Kwang Soo …,' pikirku, saat melihat senyumnya. Aku tahu, selain di serial Running Man, Kwang Soo juga terkenal karena perannya di berbagai film dan drama, tapi aku hanya menonton dia di serial Running Man saja, dan gambaran Kwang Soo yang terekam di otakku adalah Kwang Soo yang konyol dan lucu.
"Dewi, kau harus menyimpan baik-baik medali batu itu." Yolanda berpesan dengan sungguh-sungguh.Saat kami berdua berjalan kembali ke kamar kami, untuk kesekian kalinya Yolanda mengingatkan tentang medali itu padaku. Perasaanku jadi tak tenang mendengarnya, dalam hati aku berpikir akan aku ceritakan saja kebenarannya, tapi lidahku terasa kelu. Aku hanya mengangguk sambil bergumam tak jelas.Saat kami menjalani perawatan tubuh, Yolanda berhenti membicarakan tentang penyelidikan kami dan medali itu, tapi aku bisa merasakan pandangannya yang seperti berusaha menjenguk isi hatiku.Ah, Mbak Yolanda sudah curiga, pikirku dalam hati.Dua sampai tiga jam yang seharusnya menyegarkan badan dan pikiran, jadi tidak bisa kunikmati dengan
"Medali itu sepertinya semacam penanda untuk membuktikan kebenaran dokumen di masa itu," jawabku."Jadi apa hubungan-nya dengan Prabu Jayabaya? Apakah medali itu penanda miliknya?" tanya Yolanda menebak-nebak."Benar dan lebih dari itu, beberapa kalimat yang terukir di medali itu yang sama dengan kalimat pembuka pada ramalan Jayabaya." Aku menyambung, memberikan lebih banyak petunjuk pada Yolanda."Artinya medali itu membuktikan bahwa ramalan itu benar-benar ditulisa oleh Prabu Jayabaya!" seru Yolanda bersemangat."Ya dan bukan cuma itu saja. Masih ada fakta lain lagi tentang medali itu," sambungku penuh misteri."Apa itu?" Badan Yolanda semakin condong saja ke arahku."Bab-bab ya
Kupijit-pijit mataku sambil menyandarkan tubuh di sofa, ketika pintu kamar hotel dibuka dan Yolanda muncul sambil berkacak pinggang."Katanya tadi mau nyusul?" tanya Yolanda tak suka."Maaf Mbak, ini baru aja selesai," ucapku dengan senyum kelelahan."Huuh… sudah kuduga," kata Yolanda dengan tangan dilipat di depan dada."Tapi sekarang sudah selesai kan?" tanyanya kemudian dengan mata berkilat nakal."Iyaa … sudah, kayaknya ada rencana nih?" Melihat kilat di matanya aku bertanya curiga."Heehee, waktu aku lagi jalan ke tempat spa, aku mulai berpikir kau bakalan lama deh baca bukunya. Jadi kupikir-pikir lagi, aku akhirnya memutuskan untuk nggak ke spa dulu, samp
"Haah? Takut kenapa Mbak? Siang-siang begini hantu masih pada sembunyi kok." Aku menatap Yolanda bingung.Kulihat dia benar-benar ketakutan, jadi aku berusaha membuatnya tertawa dengan sedikit becanda."Dewi …, coba kau katakan lagi, bagaimana kau tadi bisa menemukan catatan-catatan yang tepat?" Yolanda bertanya dengan hati-hati."Uhm … karena aku berpikir medali itu ada hubungannya dengan almarhum suamiku." Aku samar-samar bisa meraba ke mana arah pertanyaan Yolanda, meski masih sedikit ragu."Kemudian ternyata instingmu benar, artinya kemungkinan besar memang medali ini ada hubungannya dengan almarhum suamimu.Hal itu juga menjelaskan bagaimana dr. Satya … alma
"Mbak, buku yang itu jangan ditaruh di situ, tempatnya di rak yang di sisi barat sana." Kami berdua berada di ruang perpustakaan pribadi Almarhum Mas Bambang, dari ujung mataku kulihat Yolanda hendak meletakkan catatan yang baru dia periksa di rak yang salah."Eh …, salah ya?" gumam Yolanda, tak lupa mengembalikan catatan itu di tempat yang benar.Aku hanya bisa menggelengkan kepala saja, "Mbak… makanya nyarinya yang urut gitu. Jangan lompat-lompat, nanti bingung sendiri."“Banyak banget sih Dewi … kali-kali aja kalau pas feeling-ku bener bisa langsung dapat yang cocok,” jawab Yolanda, rambutnya acak-acakan terlihat lelah dengan pencarian kami.Penampilan Yolanda membuatku ingin tertawa, tapi mengingat usahanya untuk membantuku, sebisa mu
Sampai aku dan Yolanda sudah berada di bandara dengan dua tas besar berisi keperluan kami selama nantinya berada di Malang, belum juga ada kabar dari Harvey."Dewi … Dewiii.... Kau dengar nggak?" Yolanda dengan setengah berteriak, bertanya padaku."Eh, maaf Mbak, sorry … sorry …. Mbak nanya apa tadi?" Aku tergagap saat menyadari Yolanda sejak tadi menanyakan sesuatu padaku."Duh … ini anak, ngelamun aja dari tadi. Ada apa sih Dewi?Kayaknya kamu jadi beda deh sejak kemarin. Apa mikirin almarhum suamimu, karena ini kita mau pulang ke rumahmu yang dulu?" Kata-kata Yolanda membuatku sedikit merasa bersalah, karena justru laki-laki lain yang saat ini membuatku melamun."Uhm, iya Mbak, sedikit," jawabku
"Dewi, aku tidak tahu siapa Harvey itu dan sejauh apa hubunganmu dengannya.Tapi kupikir tidak bijak bila kau membagikan hasil penyelidikanmu dengannya.Bagaimana kalau dia menjual beritamu pada media lain?" Nyonya Burhan langsung membuka percakapan kami dengan keras, tanpa berbasa-basi lagi."Tante, kuharap Tante menghormatiku sebagai seorang dewasa yang punya hak untuk menentukan pilihannya sendiri," jawabku dengan alis berkerut."Aku tidak punya hak untuk ikut campur dengan kehidupan pribadimu, tapi aku yang merekomendasikanmu pada Johan.Aku punya kewajiban pada Johan. Aku hanya mengingatkan, apa yang kau lakukan ini bisa merugikan perusahaan tempatmu bekerja."Mendengar penje
Kami berdua menghela nafas lega berbarengan, saat aku akhirnya menutup pintu kamar di belakang kami. Saling berpandangan, kami tertawa geli ketika menyadari bahwa kami sama-sama tertekan di bawah tatapan mata Nyonya Burhan.Seperti dua orang anak kecil nakal sedang berada di bawah pengawasan gurunya.Harvey menarikku ke dalam pelukannya dan menciumku dengan hangat."Ibu kostmu menakutkan juga," ujarnya setengah berbisik, sambil tertawa kecil."Itu karena kita menyembunyikan sesuatu darinya," ujarku menjawab.“Yah… mau bagaimana lagi?” kata Harvey sambil mengangkat bahu.“Bagaimana kalau misalnya kau ceritakan ke Tante Burhan tentang pekerjaanmu yang sebena
"Haah ?" seruku terkejut."Benar, organisasi rahasia itu sangat tertarik dengan situs arkeologi yang sedang diteliti oleh mendiang suamimu.Setelah kecelakaan itu terjadi, perhatian mereka beralih ke dirimu.Diam-diam aku pun memutuskan untuk membayangi dirimu," jawabnya dengan lancar."Jadi saat itu kau sedang membayangiku, bukan membuntuti dr. Satya?" Aku ingin memastikan pendengaranku."Uhm… tidak juga." Dia terlihat ragu saat menjawab."Nah, sekarang kau yang membuatku bingung," ujarku sambil mengerutkan alis."Sebelum kejadian itu, ayahku …, dr. Satya..., saat itu aku tidak tahu kalau itu dia.