Home / Romansa / Laki-Laki Misterius / Rahasia di Balik Pernikahanku

Share

Rahasia di Balik Pernikahanku

Author: Sam Handi
last update Last Updated: 2021-08-25 06:29:47

"Brr… hiih… dingin banget sih," keluhku sambil menahan dinginnya guyuran air pagi ini.

Memang sengaja kubiasakan selalu mandi dengan air dingin, kata Mas Bambang bisa buat awet muda. Dinginnya air yang menusuk tulang, membantuku mengusir pergi bayangan mimpi semalam.

Mimpi yang mendebarkan sekaligus menyebalkan.

Aku bermimpi sedang dalam suatu penyelidikan, entah tentang apa, tapi akhirnya beberapa orang laki-laki mengejar ingin menangkapku.

Di saat itulah seorang pemuda yang tampan muncul untuk menolong. Tubuhku yang lemas karena lelah berlari, jatuh dalam pelukannya.

Mata kami pun bertemu pandang.

Nah di situlah persoalan dimulai, tiba-tiba Mas Bambang muncul mendapati kami sedang berpelukan.

"Ratna …, aku sudah memutuskan. Kita bercerai!" Seperti guntur di siang bolong, kata-katanya membuatku terguncang.

Benar-benar mimpi sial, sampai-sampai aku bangun tidur dengan air mata berlinang. Meskipun sekarang aku sudah terbangun sesadar-sadarnya, hatiku masih saja tak tenang.

"Moga-moga mimpi itu bukan pertanda buruk," ujarku pada diri sendiri, sambil mengamati cermin yang terpasang di dinding kamar mandi.

'Hmm … terkadang aku benci bentuk hidungku yang sedikit mencuat ke atas ini,' pikirku dalam hati sambil memantas-mantaskan diri di depan cermin.

Aku mematut-matut wajah, dengan pose kepala yang berbeda-beda untuk melihat wajahku dari berbagai sudut.

'Halo… putri cantik …,' panggilku pada diriku sendiri saat mendapatkan pose yang memuaskan.

Kemudian aku berjalan mundur beberapa langkah supaya aku bisa mengamati bayangan tubuhku di cermin.

'Not bad …,' pikirku dengan kepala sedikit membengkak.

Latihan-latihan pencak silat yang rutin kulakukan punya efek positif ke bentuk tubuhku. Kalau hidungku membuatku merasa malu, tidak demikian dengan sepasang kakiku yang jenjang. Latihan-latihan fisik membakar lemak di tubuhku, paha dan betisku terlihat kencang dan liat.

'Hanya saja … ', dengan sedikit rasa tak puas aku memegang kedua bulatan kecil di dadaku itu.

'Haah …,' diam-diam aku mendesah kecewa.

Sejak aku baru menginjak usia remaja, aku selalu berharap kedua bulatan ini bisa tumbuh sedikit lebih besar. Paling sebal ketika teman sekelas memanggilku dada rata, atau lapangan terbang.

'Hmm … tapi setidaknya bagian yang ini, ga kalah dibanding Scarlett Johanson,' ujarku pada diri sendiri sambil memutar tubuh untuk mengamati otot gluteus-ku yang menurutku cukup memukau.

Latihan menendang seribu kali setiap hari, punya efek yang tidak mengecewakan.

"Ratna, kau masih lama?" Suara Mas Bambang memanggil dari luar menghentikan perilaku narsistik-ku.

Tak lama kemudian dengan wajah sedikit memerah, malu pada perilaku narsisku, aku keluar dari kamar mandi berbalutkan handuk.

Pagi itu pun berlalu dengan rutinitas kami masing-masing. Entah bagaimana dengan Mas Bambang, tapi aku sendiri merasa tak tenang menunggu dia memulai pembicaraan tentang hubungan kami.

Saat akhirnya dia memanggilku untuk bicara, kami memilih untuk melakukannya di halaman belakang. Tempat paling tenang dari suara-suara di luar rumah.

"Aku dulu adik kelas ibumu saat kuliah," kata Mas Bambang mengawali ceritanya.

"Dia gadis tercantik yang pernah aku kenal …," dia terlihat ragu-ragu sebelum menambahkan, "sampai kau hadir dalam hidupku."

Kulihat wajahnya memerah dan aku paham. 

Ini pertama kali Mas Bambang mengakui perasaannya padaku, tapi sayangnya perasaan yang timbul justru rasa aneh yang sulit aku ungkapkan. Aku menahan diri untuk tidak menampilkan reaksi yang berlebihan, bisa kulihat betapa sulit bagi Mas Bambang untuk membicarakannya.

Kami berdua terdiam, sekarang aku paham mengapa Mas Bambang justru menjauh, saat hatiku mulai terbuka untuknya.

"Mas … Bambang mencintai ibu? Sempat jadi kekasih ibu?" Akhirnya aku yang pertama memecahkan kesunyian itu.

Dia mengangguk lalu menggeleng, "Ya benar aku mencintai ibumu, tapi aku tidak pernah mendapatkan hatinya. Ayahmu yang memenangkan hati ibumu."

Aku menangkap kegetiran dalam suaranya saat dia menyinggung ayah.

"Mas Bambang benci pada ayah?" tanyaku hati-hati.

"Ya," jawab-nya singkat, tapi buru-buru dia sambung, "aku tahu kebencianku padanya itu tidak beralasan kuat."

Sesaat kemudian dia menghela nafas, "Itu semua masa lalu."

Sejenak dia terdiam, memandangiku dalam-dalam, dan melanjutkan, "Sekarang tentang kita ….

Saat aku mendengar kabar kecelakaan yang membunuh kedua orang tua mu.

Sebagian dari diriku ingin melindungimu, atas nama cinta pada ibumu. Sebagian dari diriku menyalahkan ayahmu atas kematian ibumu.

Wajahmu …, mengingatkanku pada mereka berdua.

Kau … kau adalah perpaduan yang sempurna antara ibu dan ayahmu."

Kami terdiam, matanya menatapku dengan pandangan penuh selidik. Sementara aku terdiam dengan dahi berkerut dan pertempuran dalam batinku, 'Apakah dia membayangkan ibu saat bersamaku? Jadi aku semacam pelampiasan baginya? Alat untuk membalas dendam pada ayah?'

Mungkin dia bisa merasakan kemarahanku yang perlahan bergolak dan berkata dengan nada penuh penyesalan, "Jiwaku waktu itu memang tidak stabil.

Kehilangan ibumu membuatku gila dan akhirnya mengambil keputusan yang kusesali sampai sekarang." 

Wajah Mas Bambang terlihat kuyu, dengan alis turun, sorot mata yang sayu dan suara semakin lama makin lemah.

"Jadi menikahiku bentuk balas dendam Mas Bambang pada ayah?" Suaraku naik di luar mauku, terdengar menakutkan bahkan bagi telingaku sendiri.

Mas Bambang mengangguk lesu. Kami berdua pun terdiam.

'Mengapa kau jawab iya …, harusnya kau katakan tidak Mas …,' keluhku dalam hati.

Aku menunggu permintaan maaf darinya, tapi permintaan maaf itu tak kunjung datang. Dari sorot mata dan ekspresi wajahnya, aku bisa membayangkan perasaan dia, tapi aku tak bisa memaafkannya.

Tidak, selama aku belum mendengar permohonan maaf itu keluar dari mulutnya.

Enam tahun masa mudaku terbuang, hanya karena dia tak bisa menerima kalah bersaing dalam memenangkan hati ibuku.

Semakin lama aku memikirkan hal itu, darahku semakim bergolak dengan kemarahan. Aku bisa merasakan pembuluh darah di dahiku berkedut-kedut, seakan kepalaku hendak meledak.

Karena tak ingin mengucapkan sesuatu yang nantinya aku sesali, aku berdiri dan tanpa menoleh lagi meninggalkannya sendirian sambil berucap, "Aku butuh waktu, kita lanjutkan pembicaraan ini di lain waktu."

Tak ada tangan yang meraih untuk menghentikanku, atau sosok Mas Bambang yang muncul menghadang di depan jalanku.

Hanya sebuah kesunyian panjang, sebelum sebuah helaan nafas dan kalimat pendek, "Aku mengerti."

Dan setetes air mata mengalir di pipiku mendengar jawaban-nya itu.

'Ah …, seandainya saja kau benar-benar mengerti ….', pikirku seiring langkah kakiku yang makin lama makin cepat berlari menuju kamar.

Kututup pintu dan kulemparkan tubuhku ke atas pembaringan. Dengan banyak menutupi kepalaku, aku pun menangis meraung-raung sepuas hatiku.

Haruskah aku memaafkannya? Masa mudaku tidak akan pernah kembali lagi. Sahabat-sahabatku semasa SMP, kini aku tidak pernah mendengar kabar dari mereka lagi. Menikah di usia muda, apalagi dengan suami yang jauh lebih tua. Bagaimana aku bisa punya muka untuk bertemu dengan mereka?

Sudah lama aku memaafkannya, jauh sebelum aku mulai membuka hatiku untuknya.

Namun kesedihan dan goresan luka itu ternyata masih ada.

Waktu dan masa yang sudah hilang, tak pernah bisa dikembalikan.

Entah berapa lama aku menangis, ketika terdengar suara ketukan di pintu.

"Ya …?" sahutku dengan suara parau sedikit sengau.

"Ratna, aku harus pergi. Ada sesuatu yang sangat penting sedang terjadi, dan aku harus berusaha menghentikannya.

Aku tidak tahu, kapan bisa kembali dan meneruskan pembicaraan kita lagi …." Suara Mas Bambang terdengar genting, hingga saat itu segala kegundahanku tanpa sadar tergeser oleh keinginanku untuk memperhatikan tiap-tiap katanya.

"Ratna, aku bersalah padamu.

Aku tidak akan pernah bisa menggantikan masa mudamu yang hilang.

Aku bahkan tak bisa berjanji akan selalu bersama-mu sampai kau lanjut usia nanti," terdengar suaranya bergetar menahan emosi.

Membayangkan perasaannya saat ini, tiba-tiba aku ingin memeluk dan menenangkannya. Kuhapus bekas-bekas air mata dari pipiku.

Ragu-ragu aku berdiri hendak membuka pintu dan tanpa sengaja aku melihat pantulan bayanganku di cermin besar yang ada di atas meja rias.

'Sudah persis seperti kuntil anak …,' pikirku dalam hati saat melihat bekas riasan yang sebagian terhapus air mata.

Buru-buru aku pergi ke meja rias untuk merapikan diri.

Aku sedang menghapus coreng moreng di wajahku ketika kudengar Mas Bambang berkata, "Ratna, aku sudah memutuskan ….

Pernikahan ini harus diakhiri. Kau masih muda, meskipun aku tidak bisa mengembalikan masa yang sudah lewat. Aku bisa membebaskanmu untuk merengkuh masa depanmu." 

Mendengar kata-kata Mas Bambang, lututku terasa lemas. Bekas air mata yang sudah mengering, kembali basah.

Aku berdiri termenung dan kehilangan akal, tak tahu sekarang harus berbuat apa. Lidahku kelu, ingin memanggilnya dan mencegahnya pergi, tapi tak mampu.

"Aku harus pergi ke bandara sekarang, selekasnya aku akan menghubungimu.

Kau jaga dirimu baik-baik di rumah," sambung Mas Bambang disusul suara langkah kakinya berjalan menjauh.

Meninggalkanku sendirian, tersandar di balik pintu kamar. Air mata yang baru mengering kembali mengalir.

'Aku tidak tahu ada air sebanyak ini di mataku. Kira-kira selama ini air sebanyak itu bersembunyi di mana?' Pertanyaan itu tiba-tiba melompat keluar dan aku jadi benci pada diriku sendiri.

Sempat-sempatnya aku memikirkan hal konyol seperti itu.

Related chapters

  • Laki-Laki Misterius   Yang Pergi dan Yang Ditinggalkan

    Bolak-balik aku memeriksa HP, menunggu kabar terbaru dari Mas Bambang.Mataku yang masih sembab berulang kali membaca percakapan kami yang terakhir, sebelum Mas Bambang harus mematikan HP karena sudah waktunya naik ke atas pesawat.Di situ aku curahkan seluruh perasaanku padanya. Tentang pernikahan ini. Tentang kemarahanku karena dia sudah merenggut masa mudaku untuk alasan yang sangat konyol menurutku.Namun juga tentang bagaimana hatiku mengharapkan cintanya.Jawaban Mas Bambang membuat hatiku pedih dan hampir-hampir kembali marah padanya.Dia masih saja berkutat pada perbedaan usia di antara kami. Pada kesalahan yang dia lakukan. Dan pada masa depanku yang masih terbuka.Sampai

    Last Updated : 2021-08-26
  • Laki-Laki Misterius   Buaya-Buaya Darat

    “Hiiih…!” teriakku gemas, sambil mengambil ancang-ancang untuk melemparkan HPku ke dinding.Beruntung masih bisa menahan emosi, apalagi kalau berpikir berapa harga HP seandainya aku harus membeli yang baru. Aku sudah berhenti menghitung, berapa orang yang aku hubungi untuk menanyakan lowongan pekerjaan dari daftarku itu.Tanggapan terbaik yang kudapatkan adalah, “Kebetulan ada lowongan mbak, nanti saya kirim syarat-syaratnya ya.”Lalu tak lama kemudian aku dapatkan baris-baris kalimat yang tak ada bedanya dengan lowongan pekerjaan yang ada di koran-koran. Masalahnya saat ini aku tidak punya gelar pendidikan apa pun. Cuma ada ijazah kelulusan dari ujian kejar paket C. Sementara lowongan yang mereka tawarkan itu, rata-rata minimal membutuhkan ijazah D3.

    Last Updated : 2021-08-27
  • Laki-Laki Misterius   Awal Hidup yang Baru

    Mulai saat ini, jika ada yang berani mengatakan, sudah tidak ada lagi orang baik di dunia ini, aku akan mengenalkannya pada Nyonya Burhan.Kemarahanku yang salah sasaran tidak membuat dia marah, malah kemarahanku itu memancing empatinya. Dengan penuh kelembutan seorang ibu dan simpati sesama wanita, dia menghiburku. Singkat kata, Nyonya Burhan menawariku untuk tinggal bersama dia di Jakarta."Rumahku sekarang jadi sepi sejak kepergian Ryan. Kebetulan aku dengar dari beberapa teman, kolega almarhum suaminya juga, kalau keadaanmu saat ini tidak jauh berbeda dengan keadaanku.Jadi, kalau kamu tidak keberatan, bagaimana kalau kau tinggal bersamaku.Kudengar kau tertarik untuk bekerja di bidang jurnalisme, kebetulan aku kenal seseorang yang bekerja di sebuah Stasiun TV nasion

    Last Updated : 2021-08-28
  • Laki-Laki Misterius   Johan

    "Dewiii …, tolongin aku yaa …." Suara Yolanda yang melengking manja lebih dahulu sampai sebelum orangnya muncul di depanku.Aku sedang di dapur kantor waktu itu.Yolanda punya bentuk tubuh, yang kalau kata orang sekarang itu, body goal. Sebagai sekretaris pribadi pemilik perusahaan ini, penampilannya selalu modis dan memikat, tapi pagi ini ada yang beda."Wiih … Mbak Yolanda seksi amat Mbak. Eh, potongan rambutnya juga baru ...Tolongin apa sih Mbak Yolanda?" jawabku dengan senyum lebar, mataku tak tahan melirik ke arah dadanya.Sambil mendesah kagum, antara kagum dan sedikit iri.Pura-pura tersipu, Yolanda menutupi bagian depan baju yang mempertontonkan belah

    Last Updated : 2021-08-29
  • Laki-Laki Misterius   Tragedi Tepat di Depan Mata

    Dengan sigap aku menarik bapak tua itu menghindar dari terjangan motor yang tak sempat menghentikan lajunya.Terdengar suara Yolanda menjerit di belakang sana. Diiringi suara rem menjerit, klakson dan makian.Semuanya aku singkirkan mundur ke belakang dalam benakku. Mataku tertuju pada bapak tua yang tampak masih sedikit terguncang itu. Aku menariknya cukup kuat, hingga dia terjatuh ke tanah. Sekilas kulihat wajahnya berubah marah, tapi sekejap kemudian berubah saat menyadari apa yang hampir saja terjadi."Bapak baik-baik saja?" tanyaku sambil membantunya perlahan-lahan berdiri.Tak seringkih uban di rambutnya, bapak tua itu berdiri dengan mudah, meskipun terasa tangannya sedikit gemetaran."Ya ya …, aku baik-bai

    Last Updated : 2021-08-30
  • Laki-Laki Misterius   Munculnya Laki-Laki Misterius

    Nyonya Burhan menghujaniku dengan berbagai pertanyaan. Berita yang kubawa, jauh lebih sensasional dibandingkan berita yang disiarkan di TV. Mengetahui bahwa yang terlibat dalam peristiwa itu adalah anak kost-nya, seperti jadi kebanggaan tersendiri buatnya.Meskipun sebenarnya aku merasa lelah, tapi mengingat kenaikan Nyonya Burhan kepadaku, aku berusaha menjawab setiap pertanyaannya dengan sebaik mungkin."Aduh … menegangkan sekali ya Dewi, kamu pasti capek sekali sekarang. Kamu mau istirahat dulu, atau mau makan dulu?Tante sudah selesai masak tadi siang, tinggal manasin saja," kata Nyonya Burhan setelah keingintahuannya terpuaskan."Aku mau istirahat dulu sajalah Tante," jawabku lega.Beberapa saat kemudian akhirnya

    Last Updated : 2021-08-31
  • Laki-Laki Misterius   Pengalaman Memalukan

    Ini baru pertama kalinya aku berada di dalam kantor polisi. Tidak main-main pula, pengalaman pertama langsung ke gedung Mapolres Jakarta pusat.Masih agak berdebar kalau teringat tadi di depan, dengan suara cukup keras aku berkata, "Saya ingin melaporkan dugaan kejahatan pembunuhan."Entah, aku tak bisa membayangkan seperti apa wajahku saat itu.Sekarang jantungku malah berlompatan di tempatnya. Di depanku sudah duduk seorang bapak polisi dengan wajah yang serius. Menurut dugaanku usianya tentu di kisaran empat puluhan.Kumis yang tebal, melintang menghiasi wajahnya. Membuatku teringat laki-laki misterius itu.'Apa kumis Pak Polisi ini juga kumis palsu …,' pertanyaan itu

    Last Updated : 2021-09-01
  • Laki-Laki Misterius   Pak Johan yang Menjengkelkan

    Tentu saja di kantor tidak ada yang tahu, apa yang aku alami di kantor polisi tadi pagi, tapi rasa malunya tak juga hilang. Belum lagi Pak Ibnu mengomel karena aku baru masuk kerja saat sudah hampir jam istirahat makan siang, "Cepetan sana mulai kerja. Alasan saja urusan ke polisi. Tiap hari juga ada kecelakaan, mestinya tidak usah dibesar-besarkan." "Iya Pak," jawabku dengan lesu. "Terus ada hasilnya kau melapor? Ada yang berubah gara-gara kau melapor?" tanya Pak Ibnu, seperti kucing yang tak rela melepaskan tikus yang sudah berhasil dia tangkap. Aku terdiam, berpikir sejenak, 'Ada gunanya kah melapor ke polisi?' Pak Ibnu mendengus, "Heh, ditanya malah diem saja."

    Last Updated : 2021-09-02

Latest chapter

  • Laki-Laki Misterius   Harvey!

    "Dewi, kau harus menyimpan baik-baik medali batu itu." Yolanda berpesan dengan sungguh-sungguh.Saat kami berdua berjalan kembali ke kamar kami, untuk kesekian kalinya Yolanda mengingatkan tentang medali itu padaku. Perasaanku jadi tak tenang mendengarnya, dalam hati aku berpikir akan aku ceritakan saja kebenarannya, tapi lidahku terasa kelu. Aku hanya mengangguk sambil bergumam tak jelas.Saat kami menjalani perawatan tubuh, Yolanda berhenti membicarakan tentang penyelidikan kami dan medali itu, tapi aku bisa merasakan pandangannya yang seperti berusaha menjenguk isi hatiku.Ah, Mbak Yolanda sudah curiga, pikirku dalam hati.Dua sampai tiga jam yang seharusnya menyegarkan badan dan pikiran, jadi tidak bisa kunikmati dengan

  • Laki-Laki Misterius   Ramalan Prabu Jayabaya

    "Medali itu sepertinya semacam penanda untuk membuktikan kebenaran dokumen di masa itu," jawabku."Jadi apa hubungan-nya dengan Prabu Jayabaya? Apakah medali itu penanda miliknya?" tanya Yolanda menebak-nebak."Benar dan lebih dari itu, beberapa kalimat yang terukir di medali itu yang sama dengan kalimat pembuka pada ramalan Jayabaya." Aku menyambung, memberikan lebih banyak petunjuk pada Yolanda."Artinya medali itu membuktikan bahwa ramalan itu benar-benar ditulisa oleh Prabu Jayabaya!" seru Yolanda bersemangat."Ya dan bukan cuma itu saja. Masih ada fakta lain lagi tentang medali itu," sambungku penuh misteri."Apa itu?" Badan Yolanda semakin condong saja ke arahku."Bab-bab ya

  • Laki-Laki Misterius   Rahasia di Balik Medali Batu

    Kupijit-pijit mataku sambil menyandarkan tubuh di sofa, ketika pintu kamar hotel dibuka dan Yolanda muncul sambil berkacak pinggang."Katanya tadi mau nyusul?" tanya Yolanda tak suka."Maaf Mbak, ini baru aja selesai," ucapku dengan senyum kelelahan."Huuh… sudah kuduga," kata Yolanda dengan tangan dilipat di depan dada."Tapi sekarang sudah selesai kan?" tanyanya kemudian dengan mata berkilat nakal."Iyaa … sudah, kayaknya ada rencana nih?" Melihat kilat di matanya aku bertanya curiga."Heehee, waktu aku lagi jalan ke tempat spa, aku mulai berpikir kau bakalan lama deh baca bukunya. Jadi kupikir-pikir lagi, aku akhirnya memutuskan untuk nggak ke spa dulu, samp

  • Laki-Laki Misterius   Ketakutan Yolanda

    "Haah? Takut kenapa Mbak? Siang-siang begini hantu masih pada sembunyi kok." Aku menatap Yolanda bingung.Kulihat dia benar-benar ketakutan, jadi aku berusaha membuatnya tertawa dengan sedikit becanda."Dewi …, coba kau katakan lagi, bagaimana kau tadi bisa menemukan catatan-catatan yang tepat?" Yolanda bertanya dengan hati-hati."Uhm … karena aku berpikir medali itu ada hubungannya dengan almarhum suamiku." Aku samar-samar bisa meraba ke mana arah pertanyaan Yolanda, meski masih sedikit ragu."Kemudian ternyata instingmu benar, artinya kemungkinan besar memang medali ini ada hubungannya dengan almarhum suamimu.Hal itu juga menjelaskan bagaimana dr. Satya … alma

  • Laki-Laki Misterius   Catatan Mas Bambang

    "Mbak, buku yang itu jangan ditaruh di situ, tempatnya di rak yang di sisi barat sana." Kami berdua berada di ruang perpustakaan pribadi Almarhum Mas Bambang, dari ujung mataku kulihat Yolanda hendak meletakkan catatan yang baru dia periksa di rak yang salah."Eh …, salah ya?" gumam Yolanda, tak lupa mengembalikan catatan itu di tempat yang benar.Aku hanya bisa menggelengkan kepala saja, "Mbak… makanya nyarinya yang urut gitu. Jangan lompat-lompat, nanti bingung sendiri."“Banyak banget sih Dewi … kali-kali aja kalau pas feeling-ku bener bisa langsung dapat yang cocok,” jawab Yolanda, rambutnya acak-acakan terlihat lelah dengan pencarian kami.Penampilan Yolanda membuatku ingin tertawa, tapi mengingat usahanya untuk membantuku, sebisa mu

  • Laki-Laki Misterius   Kembali ke Rumah

    Sampai aku dan Yolanda sudah berada di bandara dengan dua tas besar berisi keperluan kami selama nantinya berada di Malang, belum juga ada kabar dari Harvey."Dewi … Dewiii.... Kau dengar nggak?" Yolanda dengan setengah berteriak, bertanya padaku."Eh, maaf Mbak, sorry … sorry …. Mbak nanya apa tadi?" Aku tergagap saat menyadari Yolanda sejak tadi menanyakan sesuatu padaku."Duh … ini anak, ngelamun aja dari tadi. Ada apa sih Dewi?Kayaknya kamu jadi beda deh sejak kemarin. Apa mikirin almarhum suamimu, karena ini kita mau pulang ke rumahmu yang dulu?" Kata-kata Yolanda membuatku sedikit merasa bersalah, karena justru laki-laki lain yang saat ini membuatku melamun."Uhm, iya Mbak, sedikit," jawabku

  • Laki-Laki Misterius   Ada Apa dengan Harvey

    "Dewi, aku tidak tahu siapa Harvey itu dan sejauh apa hubunganmu dengannya.Tapi kupikir tidak bijak bila kau membagikan hasil penyelidikanmu dengannya.Bagaimana kalau dia menjual beritamu pada media lain?" Nyonya Burhan langsung membuka percakapan kami dengan keras, tanpa berbasa-basi lagi."Tante, kuharap Tante menghormatiku sebagai seorang dewasa yang punya hak untuk menentukan pilihannya sendiri," jawabku dengan alis berkerut."Aku tidak punya hak untuk ikut campur dengan kehidupan pribadimu, tapi aku yang merekomendasikanmu pada Johan.Aku punya kewajiban pada Johan. Aku hanya mengingatkan, apa yang kau lakukan ini bisa merugikan perusahaan tempatmu bekerja."Mendengar penje

  • Laki-Laki Misterius   Arah Baru Penyelidikan

    Kami berdua menghela nafas lega berbarengan, saat aku akhirnya menutup pintu kamar di belakang kami. Saling berpandangan, kami tertawa geli ketika menyadari bahwa kami sama-sama tertekan di bawah tatapan mata Nyonya Burhan.Seperti dua orang anak kecil nakal sedang berada di bawah pengawasan gurunya.Harvey menarikku ke dalam pelukannya dan menciumku dengan hangat."Ibu kostmu menakutkan juga," ujarnya setengah berbisik, sambil tertawa kecil."Itu karena kita menyembunyikan sesuatu darinya," ujarku menjawab.“Yah… mau bagaimana lagi?” kata Harvey sambil mengangkat bahu.“Bagaimana kalau misalnya kau ceritakan ke Tante Burhan tentang pekerjaanmu yang sebena

  • Laki-Laki Misterius   Harvey Bertemu Nyonya Burhan

    "Haah ?" seruku terkejut."Benar, organisasi rahasia itu sangat tertarik dengan situs arkeologi yang sedang diteliti oleh mendiang suamimu.Setelah kecelakaan itu terjadi, perhatian mereka beralih ke dirimu.Diam-diam aku pun memutuskan untuk membayangi dirimu," jawabnya dengan lancar."Jadi saat itu kau sedang membayangiku, bukan membuntuti dr. Satya?" Aku ingin memastikan pendengaranku."Uhm… tidak juga." Dia terlihat ragu saat menjawab."Nah, sekarang kau yang membuatku bingung," ujarku sambil mengerutkan alis."Sebelum kejadian itu, ayahku …, dr. Satya..., saat itu aku tidak tahu kalau itu dia.

DMCA.com Protection Status