Ia duduk di sofa samping jendela, mengenakan kaus hangat dan celana katun longgar dari koleksi pribadi Ratu. Rambutnya dikuncir asal, wajahnya tanpa riasan. Di luar, taman istana masih rapi seperti kemarin. Tapi suasana hatinya tidak.
Dea menoleh saat suara pintu terbuka. Seorang perawat masuk membawa tablet kecil dan segelas jus.
“Bagaimana perasaanmu hari ini, Nona Dea?”
“Tubuhku baik... hatiku tidak,” jawab Dea lirih.
Perawat tersenyum maklum. Ia meletakkan jus di meja dan menggeser tablet ke tangan Dea.
“Ada pesan dari Ratu. Tapi hanya boleh dibuka dengan sidik jarimu.”
Dea menyentuh layar tablet dengan penasaran.Ratu belum pernah mengunjunginya sejak dua hari yang lalu.
Status kunjungan:
Sanjaya: ditolak
Meisya: ditahan
Yama: tidak diizinkan
Dea menatap bar
"Dia sudah kutempatkan di sebuah hotel dengan penjagaan ketat. Untuk sementara saya menahannya agar dia tidak menggila. Belanjaannya banyak sekali dan bawahan saya sampai tidak tahu bagaimana menyimpan semua belanjaannya."Dea tertunduk malu, Ibunya memang tidak pernah memiliki uang yang cukup untuk berbelanja. Selama ini mereka hidup dan tergolong miskin. Kesempatan berada di luar negeri adalah seperti mimpi baginya."Apa yang akan menjadi keputusan Ratu terhadap Ibuku?" tanya Dea dengan hati-hati."Ibumu dan Meisya akan segera dikirim kembali ke Indonesia.""Meisya?"Ratu mengangguk lalu menyesap tehnya perlahan."Mengenai Meisya, saya tidak berwenang menghukumnya di sini, tapi Ratu punya cukup pengaruh untuk memberinya catatan diplomatik.”Dea mengangkat wajah, penasaran.“Dengan catatan itu, ia tidak akan pernah diizinkan menginjakkan kaki lagi di negeri ini. Sekali pun.”
Tak pernah ia bayangkan akan melihat Yama, seorang penguasa di negara Matahari, seorang pewaris kerajaan, pria keras kepala itu, menangis seperti anak kecil yang kehilangan arah.“Yama…” Frans menaruh handuk di tepi ranjang, lalu perlahan duduk di sebelahnya. “Kamu tidak bisa begini terus.”Yama tak menjawab. Ia hanya memejamkan mata, dan suara seraknya terdengar.“Dia pasti benci aku, Frans… Ratu pun memandang rendah diriku. Semua ini… hancur. Tapi, aku begitu merindukannya.”Frans mengusap wajahnya kasar, menahan perasaan yang mulai campur aduk. “Kamu pikir aku nggak marah saat tahu Meisya menjebak kalian? Aku frustrasi karena Ratu melarangku bergerak, tapi... aku masih bisa lihat, kamu belum sepenuhnya gagal. Masih ada kesempatan.”“Kesempatan?” Yama mendongak dengan mata memerah. “Dea nggak
Nafasnya tercekat. Ia berusaha bangkit, tapi pergelangan tangannya masih terikat lemah oleh sutra biru yang menggantung di sisi tempat tidur. Ia menyentak tubuhnya, dan Yama—yang duduk tak jauh di sisi ranjang—langsung menghampiri, menindih tubuhnya perlahan.“Aku merindukanmu, Dea...”Suaranya dalam, nyaris seperti rintihan. Kedua tangan Dea ditahan di atas kepalanya.Namun bukan rindu yang membuat Dea luluh—melainkan kemarahan yang seketika naik ke ubun-ubun.“Demi apa?! Tubuhku?!” serunya tajam, mata membara. “Kau merindukan tubuhku, Yama?”Yama tercekat. Ia ingin menjawab, ingin menjelaskan bahwa rindunya bukan sekadar hasrat. Tapi pikirannya sendiri bimbang—karena memang, dirinya pun tidak tahu bagaimana membedakan antara rindu pada tubuh dan rindu pada jiwa.Dia menyukai keduanya. Memuja keduan
Dea menghapus air mata yang membasahi pipinya dengan kasar. Dia sungguh benci harus memperlihatkan sisi lemahnya kepada pria itu walau dia tidak mengerti mengapa hatinya terasa sangat nyeri pada saat yang sama.Yama hanya diam. Kedua matanya merah, bukan karena marah, tapi karena rasa bersalah yang nyaris membunuhnya.“Kenapa diam? Atau kau ingin aku membantumu?” Dea membuka kancing dress-nya satu per satu dengan tangan gemetar. “Bukankah ini yang kau mau? Tubuhku?”"Kemari, lakukanlah sepuasnya. Setelah ini, tinggalkan aku!" suara Dea bergetar seiring apa yang dia lakukan. Menanggalkan pakaiannya sendiri dengan semua rasa penghinaan yang teramat membuat hatinya luka.Air mata mulai membasahi wajahnya kembali saat dress yang dipakainya meluncur ke lantai dengan mulus, memperlihatkan tubuhnya yang hanya mengenakan dalaman.Yama tersentak.Dea mulai membuka tali da
Frans mengganti jasnya dengan mantel panjang berwarna navy dan mengenakan kacamata hitam. Penampilannya jauh dari kata flamboyan kali ini.Darah bangsawan yang mengalir di dalam dirinya membuatnya terlihat tampan dann maskulin dengan rambut sedikit kemerahan dan mata berwarna biru.Tak kaIa ia keluar dari mansionnya yang berada tak jauh dari istana tanpa pengawalan besar, hanya membawa satu ajudan yang tak tahu harus berkata apa saat melihat pangerannya melangkah cepat ke arah mobil.Di dalam mobil, Pangeran Frans mengepalkan tangannya.“Aku tidak akan membiarkan ini berakhir seperti ini. Tidak untuk Yama. Tidak untuk Dea.”***Frans menekan gagang pintu kamar yang selama ini dijaga ketat oleh pasukan istana. Tapi dengan nama belakangnya, tak ada yang berani bertanya, apalagi menghalangi.Dea menoleh cepat saat pintu terbuka. Matanya melebar, tubuhnya refleks menegang. Dia mengenali Frans, tentu
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Frans merasakan sesuatu yang asing. Sesuatu yang mendesir halus di dadanya—mendebarkan tapi menenangkan. Wajah Dea begitu dekat, matanya yang bening memantulkan keraguan dan kemarahan, tapi juga kelembutan yang tertahan.Frans menelan ludah. “Kau… tidak apa-apa?”Dea buru-buru menarik diri. “Aku bisa berdiri sendiri.”Frans mundur, tangannya masih terasa hangat. Ia memalingkan wajah, menyembunyikan rona merah yang tak biasa di pipinya. Ia, yang biasa dikelilingi wanita, yang selalu bersikap flamboyan dan percaya diri—kali ini justru gugup. Tangannya sempat gemetar.“Aku… aku harus pergi,” katanya tergesa, hampir terdengar konyol.“Begitu cepat?” tanya Dea curiga.Frans tersenyum kecil, menahan canggung. “Aku hanya ingin tahu... bagianmu. Dan s
"Lapor, Yang Mulia.""Katakan.""Pangeran Frans mengurung diri di kamar dan ini sudah hampir malam. Dia menolak makanan dan minuman. Kami mengkhawatirkan kesehatannya," lapor salah seorang ajudan kepada sang ratu."Mari kira pergi menemui Dea dan mendengar pendapatnya.""Baik, Yang Mulia."***Langkah-langkah Ratu terdengar mantap menyusuri lorong-lorong istana yang senyap. Di balik senyum kalemnya, pikirannya dipenuhi pertanyaan yang menggantung sejak sarapan pagi. Ia sudah terlalu lama memimpin untuk mengabaikan isyarat kecil seperti ekspresi gugup, kata-kata yang meleset, dan sorot mata yang menyimpan cerita.Dia ingin tahu—bukan sebagai ratu, tapi sebagai seorang pengasuh Pangeran Frans. Pria flamboyan itu diasuhnya sejak Kakaknya meninggal. Pangeran Frans memang sedikit feminim, tetapi hatinya sangat lembut dan Ratu sangat memahaminya. Bagaimanapun ceritanya, tidak ada seorang pun yang bisa menolak fakta bahwa
"Astaga, Yama harus tahu hal ini sebelum terjadi sesuatu kepada Dea. Es mungkin menelan nyawa wanita cantik, eh... beracun itu."Hari itu juga, Pangeran Frans menyuruh pengawalnya membawa mobil menuju bandara. Ia tahu di mana bisa menemukan Yama. Negara matahari.Yama sudah mengganti nomor ponselnya setelah meninggalkan Inggris. Pria itu memutuskan kembali ke negara matahari dan meneruskan kerajaannya sendiri.Dia sudah memutuskan untuk melupakan Dea dan segala kenangan yang pernah terjadi di antara mereka.Dua belas jam perjalanan dan Pangeran Frans sama sekali tidak ingin menunda waktu. Pintu dibuka dengan suara keras. Yama menoleh dari balik meja besarnya.“Aku ingin bicara.”Tanpa menunggu jawaban, Frans masuk dan berdiri di hadapan sahabatnya itu.“Aku… telah menyuruh Ratu untuk mengirim Dea ke wilayah pengungsi di Inggris
Dea menatapnya, wajahnya lembut namun tegas. “Ya. Dan aku akan terus melindungimu, sampai kamu bisa berdiri lagi… dan membalas semuanya sesuai janjimu.”"Ya, aku pasti membalasmu, terutama di ranjang," bisik Yama.Dea segera menepuk dada Yama dengan kesal. "tidak bisa serius," geramnya dengan wajah yang sedikit merah.Yama tersenyum bahagia, "wajahmu tetap bisa memanas walau cuaca sedingin ini," guraunya.Di langit kelabu itu, di antara badai dan salju yang belum usai, semangat baru mulai tumbuh lewat canda penuh cinta dari mereka. Hari itu, Yama diselamatkan bukan hanya oleh tim medis yang handal… tapi oleh keberanian seorang wanita yang tak mau diam saat keadilan diinjak. Dea terdiam setelah beberapa saat, menyadari bahwa dia harus menghadapi Pangeran Frans setelah mereka tiba di kota nanti.***Beberapa jam kemudian, baling-baling helikopter berputar perlahan saat mendarat di halaman rumah sakit kerajaan. Petugas medis Rumah Sakit kota langsung berlari dengan tandu, mengambil alih
Yama menarik Dea lebih dekat. Dada mereka saling menempel. Jantungnya yang lemah berdetak lebih kuat seiring setiap tarikan napas dari ciuman mereka. Ciuman itu membara, bukan hanya menghangatkan tubuhnya, tapi juga jiwanya.Ciuman penuh kerinduan dan kasih yang dalam. Rasa saling menyayangi yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Penulis aja kesulitan menggambarkannya melalui kalimat.Setelah beberapa saat, mereka berdua terdiam kembali, saling mendekap erat. Nafas mereka berhembus satu sama lain, menyatu di udara yang masih menggigit."Aku mencintaimu, Dea," bisik Yama di antara uap dingin yang mengepul di antara mereka."Aku juga mencintaimu, Yama. Sejak awal pertemuan kita di malam yang membara itu.""Kamu merindukan malam itu?" Yama sengaja bertanya. Dea merebahkan kepalanya di dada bidang Yama. Suhu tubuh pria itu mulai menunjukkan tanda-tanda melewati masa kritis."Sangat, aku merindukan semua sentuhanmu. Penyatuanmu dengan kekuatanmu dalam menyiksaku," gurau Dea."Aku
Yama mengangguk kecil dan Dea segera memberi isyarat agar para medis segera membalut luka Yama dan memberikan obat yang dibutuhkan.“Lalu... Frans…, dia” kata Yama terputus-putus.“Sudah, aku sudah tahu. Pangeran itu yang menjadi dalang dari semua ini,” kata Dea pelan tapi tegas.“Semua sudah beres. Rekaman sudah sampai ke pengawal. Dia akan diadili oleh Ratu," lanjutnya.Yama memejamkan mata. Mengangguk kecil. Air mata kecil lolos dari pelupuknya. Entah karena lega, atau karena luka terlalu banyak, terlalu dalam, baik di tubuh maupun hati. Entah juga karena kerinduannya sangat besar kepada Dea"D-dingin." Suara Yama bergetar hebat."Tambahkan selimut!" perintah Dea.Seorang perawat segera memberikan suntikan gizi dan infus cairan hangat kristasoid agar Yama tidak terlalu menderita dalam hipotermia yang dia alami saat ini.Gubuk i
Pak Jio itu memungut ponsel itu, menyalakan kembali rekaman.Suara Frans yang dingin, suara ajudan yang ragu, kalimat demi kalimat, semua mengalir dari benda pipih itu. Tidak ada lagi yang bisa disangkal.Pak Jio menatap Pangeran Frans dengan wajah serius. “Atas nama Ratu, Anda diminta segera kembali ke istana untuk dimintai pertanggungjawaban.”Pak Jio segera memberi isyarat kepada dua pengawal lainnya dan mereka dengan gerakan cepat menahan ajudan dan Pangeran Frans. Memelintir tangan mereka ke belakang, melepaskan Dea.Frans menggeram. Matanya menatap Dea penuh benci. “Kau memilih jalan yang salah, Dea. Kau akan menyesali ini. Sepertinya kamu lupa satu hal, aku punya hubungan darah daging dengan Ratu!” geramnya.Dea menatapnya balik, penuh keberanian. “Tidak. Yang akan menyesal... adalah orang-orang yang mengira mereka bisa bermain di atas nyawa orang lain tanpa konsekuensi.”&
Namun, Yama akhirnya bisa bernapas lega pada saat seseorang akhirnya menemukannya. Saat dia melihat bayangan samar di antara es yang sudah membentuk lingkaran sekeliling matanya."T-tolong."Seorang lelaki tua dari pemukiman bawah, dengan kereta kayu berisi ramuan dan kayu bakar. Matanya membelalak saat melihat tubuh tergeletak di antara bebatuan. "Hei!" pekiknya seraya berlari mendekati dengan langkah besar menginjak salju yang tebal.Luka dan darah Yama yang mulai membeku sudah hampir menyatu dengan salju. Pria tua itu bergidik dengan bekas noda cukup panjang di belakang Yama."Astaga… kamu masih hidup!" serunya panik menyadari sudah berapa lama Yama berusaha bertahan hanya dengan merangkak dalam luka yang tetap mengalirkan darah.Yama tak bisa menjawab. Dia merasa kedua lututnya mungkin sudah hancur. Tapi dia tidak peduli.Ia hanya menggeliat pelan, matanya mengerjap samar. Tapi itu cukup j
Ia mulai mencoba menggulingkan tubuhnya, mencari posisi yang bisa memudahkan upayanya. Lututnya yang terluka menyeret di atas bebatuan kasar, menimbulkan goresan baru yang membuatnya terasa nyeri berkelanjutan.Yama mendesis, menahan nyeri.Kantung mayat yang cukup tebal itu lumayan membantu sehingga dirinya tidak menjadi patung es di dalam jurang itu.Namun, setiap tarikan napasnya seperti dihantam paku-paku dingin menusuk langsung ke paru-parunya. Tapi Yama tetap bergerak, perlahan, pasti. Sampai dia benar-benar mendapat lubang yang cukup besar untuk menghirup udara lebih."Sedikit lagi!" gumamnya seraya beristirahat. Yama sudah berhasil mengorek lubang sebesar satu jari telunjuk di kantong mayat yang membungkusnya. Kantong mayat dengan kualitas premium milik kekaisaran bukan terbuat dari kantung plastik murahan, sehingga tanpa disadari, kantung itu sudah membantu menjaga kehangatan tubuh Yama. Bila tidak demikian, Yama mungkin sudah menin
"Nona Dea," sapanya dengan suara bergetar dan canggung.“Eh, kamu!” suara itu membuatnya tercekat. “Kamu lihat Yama?”Ajudan itu menelan ludah. Pandangannya melirik ke belakang dengan canggung, lalu kembali ke wajah Dea yang terlihat khawatir. “T-tidak, Nona Dea... S-saya tidak melihatnya,” jawabnya cepat dan semakin terlihat canggung sambil menggeleng. “M-mungkin dia masih di bukit barat?”"A-aku harus kembali ke tenda," lanjutnya. Ia langsung berlari setelah itu, seperti dikejar sesuatu yang tidak kasat mata.Dea terdiam, keningnya berkerut. Hati kecilnya merasa ada yang aneh dengan gestur ajudan itu. Tapi ia menaikkan bahu lalu memilih masuk ke dalam tenda. Berharap, mungkin Pangeran Frans tahu.Di dalam, Pangeran Frans bangkit dari kursinya dan menyambutnya dengan senyum lembut. Ia memeluk Dea erat, seperti ingin menunjukkan bahwa ia peduli.
Ketika pagi menyambut, sinar matahari menerobos masuk melalui celah kain tenda.Yama terbangun lebih dulu. Dea masih terlelap, kepalanya bersandar di dadanya, tangannya melingkar di pinggangnya tanpa sadar. Wajahnya damai. Tapi justru itu yang membuat dada Yama sesak. Ia takut momen ini hanya sementara. Ia takut, ketika mata itu terbuka, yang ia lihat adalah penyesalan.Tapi saat Dea benar-benar terbangun, suasana menjadi canggung seperti yang ia bayangkan.Dea cepat-cepat menarik diri. “Maaf... aku—aku nggak tahu...”Yama ikut bangkit, menunduk. “Aku juga minta maaf. Aku nggak... maksudku, tadi malam... kita cuma butuh kehangatan.”“Iya,” Dea menyambar cepat. “Cuma... supaya nggak beku.”Keduanya diam beberapa saat, lalu saling memberi senyum canggung sebelum keluar dari tenda masing-masing, seolah malam
Pangeran Frans terhuyung dan terduduk di lantai es yang dingin. Bibirnya robek, darah mengalir. Tapi ia tertawa kecil. “Kalian benar-benar pasangan yang cocok. Satu keras kepala, satu impulsif.”Dea berdiri tegak di sisi Yama. “Pangeran Frans, mohon menjaga statusmu! Jika kamu datang lagi seperti ini, aku akan pastikan seluruh tim medis dan keamanan tahu siapa kamu sebenarnya, Frans.”Frans menatap Dea sekali lagi. Ada sesuatu yang berubah dalam matanya. Bukan lagi gairah atau keinginan, tapi kekecewaan dan luka dalam egonya.“Aku hanya... ingin kamu tahu bahwa aku juga adalah seorang pria sejati, aku ingin membuktikannya dengan memberikan keperjakaanku padamu, Sayang,” ucapnya lirih.Dea memalingkan wajahnya yang terasa hangat saat Pangeran Frans menunjukkan bagian intinya tanpa rasa malu."Tak tahu malu!" teriak Yama seraya merangkul Dea dalam peluka