Dea menelan ludah, tangannya menggenggam erat selimut yang masih menyelimuti tubuhnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi ragu-ragu. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Bahkan, ia sendiri masih mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.
Yama memasukkan ponselnya ke dalam saku dan berbalik menatap Dea dengan ekspresi serius. “Kamu istirahat saja dulu di sini,” katanya dengan nada yang tidak bisa ditolak. “Aku akan keluar untuk mengurus sesuatu.”
Dea menggigit bibirnya. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan, tetapi mulutnya seperti terkunci. Ia hanya bisa menatap Yama dengan ekspresi bingung.
Seolah memahami pikirannya, Yama melangkah mendekat, menatapnya dengan intens. “Jangan pernah lari dariku lagi,” ucapnya dengan nada rendah, tapi penuh ancaman terselubung. “Atau aku akan benar-benar membencimu kali ini.”
Dea menahan na
Dengan perasaan puas, ia mengembuskan napas perlahan dan menyandarkan tubuhnya pada kursi. Matanya bersinar dengan kilatan kemenangan yang berbahaya."Tunggu saja, Dea... aku akan memastikan kehancuranmu kali ini."Di luar sana, dunia berputar seperti biasa. Langit biru membentang luas tanpa peduli pada konspirasi yang sedang direncanakan di bawahnya. Namun, bagi mereka yang terlibat dalam skenario ini, langit tak lebih dari saksi bisu dari kisah yang akan segera berubah menjadi malapetaka.Dan di kandang kuda kerajaan, sebuah drama menarik akan segera dimulai!Yama turun dari mobilnya dengan penuh percaya diri, mengenakan jas hitam yang tampak elegan di bawah cahaya matahari sore yang mulai meredup. Mereka baru saja tiba di halaman istana kerajaan.Bob mengikuti di belakangnya, membawa kotak khusus yang berisi dokumen serta surat persembahan untuk Pangeran Edward. Namun, saat me
Yama, yang awalnya bersikap tenang, mendadak membatu. Pangeran Frans, yang berdiri di sampingnya, juga terdiam selama beberapa detik sebelum sudut bibirnya melengkung dalam ekspresi penuh amarah dan rasa jijik.Di dalam kandang, tepat di atas jerami yang seharusnya menjadi tempat peristirahatan kuda hadiah, terlihat dua tubuh manusia yang terbaring dalam keadaan mengenaskan.Dea, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya, terbaring dengan kepala bersandar di perut seekor kuda hitam yang dipilih sebagai hadiah untuk Pangeran Edward, memeluk kuda itu seperti boneka bantal yang empuk. Sementara itu, seorang pria yang juga dalam keadaan polos, Sanjaya, berada di sampingnya, memeluk pinggang ramping milik Dea. Napas mereka masih tersengal-sengal, wajahnya merah merona. Tubuh mereka bercampur keringat dan jerami, seolah-olah mereka baru saja melakukan tindakan yang paling hina di tempat itu.Kuda yang menjadi bantalan mereka
Yama masih berdiri tegak, tetapi matanya berkabut dengan amarah. Ia tidak bodoh. Ada seseorang yang telah menjebaknya.Sementara itu, Pangeran Frans menoleh ke arah seorang pengawal."Pastikan dua orang itu dibawa ke penjara istana," katanya dingin. "Dan kuda itu... jangan biarkan makhluk yang sudah ternoda tetap berada di sini. Cepat hilangkan semuanya sebelum hal ini sampai di telinga Ratu."Para penjaga langsung bergerak, menarik Dea dan Sanjaya keluar dari kandang dengan kasar. Dea mengerang, mencoba melawan, tetapi tubuhnya terlalu lemah.Kali ini, Yama tidak bersuara apa pun selain mengepalkan tangannya sendiri erat-erat.Dalam sekejap, kandang kuda yang sebelumnya penuh dengan kebanggaan berubah menjadi tempat yang penuh kehinaan.Yama masih berdiri di tempatnya, pikirannya berputar. Ia tahu hanya ada satu orang yang bisa melakukan semua kekacauan ini.
Para penasihat saling bertukar pandang. Tidak ada yang berani membantah, karena mereka tahu betul bahwa Ratu memiliki intuisi yang tajam dalam membaca permainan politik seperti ini.Lalu, Ratu menatap Lady Marlene dengan mata penuh pemikiran. "Wanita itu, siapa namanya? Dea?"Lady Marlene tampak ragu sebelum mengangguk. "Ya, Yang Mulia. Wanita itu bernama Dea."Ratu mengangguk pelan, lalu berkata, "Bawa dia kemari."Lady Marlene tampak sedikit terkejut. "Yang Mulia, Anda ingin bertemu dengannya?"Ratu tersenyum tipis. "Saya mau melihat langsung wanita mana yang memiliki kesialan seperti itu."Ucapan itu membuat beberapa orang di ruangan menegang.Salah satu penasihat pria yang duduk di barisan kanan, Lord Gregory, segera berseru dengan ekspresi ngeri, "Tapi, Ratu... dia adalah wanita hina dan berstatus rendah!"Ratu m
Meski tubuhnya lemah, matanya tetap menyala dengan tekad yang keras.Ratu tidak mengatakan apa-apa selama beberapa saat. Ia hanya menatap Dea dengan mata tajam, menilai wanita yang kini berlutut lemah di hadapannya. Sorot mata tanpa putus asa.Akhirnya, dengan suara yang lembut namun penuh otoritas, ia berbicara."Menurutmu... Siapa yang sudah melakukan ini padamu?"Dea tidak menjawab. Ia hanya mengangkat wajahnya, menatap langsung ke arah Ratu.Di matanya, ada banyak hal yang ingin ia katakan. Tetapi jika ia berbicara sekarang, ia tahu itu tidak akan mengubah apa pun.Ia bukan siapa-siapa di ruangan ini.Namun, Ratu hanya tersenyum kecil, seolah memahami segalanya tanpa perlu Dea mengucapkan sepatah kata pun.Dea menatap Ratu dengan napas tersengal. Tenggorokannya terasa kering, tetapi ia tahu ini adalah kesempatan terakhirnya unt
"Dan saya...," ucap sang Ratu seraya mengedarkan tatapan tajamnya ke sekeliling lalu kembali menatap tajam ke arah Dea, "tidak pernah salah."Ruangan itu dipenuhi keheningan yang mencekam. Para penasihat menundukkan kepala, wajah mereka penuh ketakutan."Kerajaan ini sudah lama menjadi milikku," lanjut Ratu dengan nada lebih tajam. "Dan kalian berani mengatakan bahwa penilaianku salah?"Sret! Ratu mengembangkan kipas tangannya dengan sekali hentakan elegan. Wanita yang terlihat bijaksana itu mengibaskan kipas mewahnya walau pendingin ruangan bekerja dengan baik, seolah-olah hal itu sudah menjadi sebuah kebiasaan baginya.Lutut para penasihat mulai gemetar. Beberapa dari mereka langsung menundukkan kepala lebih dalam."Ratu bijaksana," suara mereka serempak. "Maafkan kami."Mereka memilih diam. Karena mereka tahu, menentang keputusan Ratu hanya akan berakhir dengan satu hal
Sementara di dalam kamar hotel, seusai menutup panggilan, hati Yama masih belum tenang. Ia merasakan gelisah yang aneh, sesuatu yang jarang terjadi pada dirinya yang selalu rasional dan dingin. Dia sudah meminta bantuan Nenek dan yang lebih kesalnya, dia sudah menyetujui persyaratan untuk menikah dengan Meisya dalam tiga hari berikutnya.Namun, pikirannya dipenuhi oleh wajah Dea, terkurung di tempat yang seharusnya tidak pernah ia masuki. Rasa frustrasi semakin membebani dadanya ketika menyadari bahwa tidak ada kekuasaan yang mengizinkannya untuk bisa mengunjungi Dea."Bagaimana bila kita mencari Pangeran Frans, dia tinggal di dalam istana, bukan?"Yama menoleh ke arah Bob, yang seolah-olah bisa membaca pikiran atasannya. Ide ini tidak jelek, tetapi dengan demikian, berarti dia harus merendahkan dirinya.Yama menimbang sejenak, Nenek hanya akan tiba di istana besok dan mungkin Dea sudah mengalami siksaan lebih seh
Yama tertegun melihatnya. Walau kepalanya terasa sedikit berat, namun dia masih belum kehilangan kesadarannya. "Eh, Kau menangis?"Frans mengusap air matanya dengan sapu tangan sutra yang entah dari mana ia keluarkan. "Astaga, Yama-ku yang tampan! Aku tidak pernah menyangka kau memiliki kisah cinta yang begitu tragis! Ini seperti cerita di drama istana! Aku bahkan bisa merasakan rasa sakit dan frustrasimu!"Yama mengerutkan dahi, merasa canggung melihat seorang pria flamboyan menangis karena kisahnya. "Kau berlebihan," ucap Yama seraya mengambil botol wine lalu hendak menuangnya lagi ke dalam gelasnya, tetapi isi botol itu sudah habis. Yama menatap botol kosong itu dengan kecewa."Tentu saja tidak!" sahut Frans, mengelap ingusnya. "Aku tidak bisa membiarkan kisah cinta menyedihkan ini berakhir seperti ini. Aku akan membantumu, tanpa pamrih!"Yama menatapnya dengan ekspresi bingung. "Tanpa pamrih?"
Keheningan kembali menyelimuti ruangan itu. Tapi tidak untuk waktu yang lama. Meisya memutar tubuhnya sedikit, membenahi lipatan pada blazernya dengan angkuh, lalu kembali membuka suara."Dan kamu, Dea..." katanya, suaranya kini lebih lirih namun tajam seperti pisau. "Kamu sungguh jahat."Dea mengerutkan alis. "Jahat?""Aku sudah melakukan segalanya agar kamu jauh dari Yama," lanjut Meisya, matanya menatap lurus tanpa berkedip, "aku memindahkanmu, kuberikan uang, bahkan menjamin pengobatan ayahmu, tapi kamu tetap saja... kembali ke arahnya.""Aku tidak tahu harus percaya siapa!" seru Dea, nadanya nyaris putus asa. "Segalanya kabur, setiap orang memanipulasiku, dan kamu... kamu memutar semua kenyataan seenaknya!""Apa?!" Meisya terkejut, dan menyadari bahwa Dea belum sepenuhnya percaya terhadap ceritanya.Meisya menegakkan tubuh, senyumnya kembali muncul, lembut namun sinis
Nada suaranya menggema dalam ruangan yang sunyi. Matanya mulai memerah, tidak hanya karena marah, tetapi karena putus asa. "Aku harus bertahan dengan sisa uang yang kupunya, Meisya! Ayah butuh pengobatan setiap hari! Ibuku... ibuku bertingkah seperti turis kaya yang foya-foya seolah tidak ada hari esok!"Meisya menyipitkan mata. “Memblokir? Kapan aku melakukan itu?” Dia melipat tangan di dada.“Aduh, gadis bodoh… Kamu mungkin sudah tertipu. Di mana kartu itu sekarang?” tanya Meisya, penuh dengan kepura-puraan.“Sudah kuserahkan ke pihak kepolisian,” jawab Dea cepat. “Mereka bilang aku bisa ditangkap kalau terus menggunakannya. Aku tak bisa menghubungimu… jadi kupikir…”“Astaga…” Meisya berpura-pura memeriksa ponselnya dengan dramatis, matanya berkedip cepat seolah menemukan sesuatu yang mengejutkan. “Lihat i
Dea memutar matanya. "Katakan kepada Yama. Aku tidak mau terlibat dalam rencana bodoh!" Dea ingin menutup kembali pintu kaca jendelanya, namun dihalangi oleh Frans."Bodoh?! Sayang sekali, aku sudah membawa tali sutra khusus untuk ini!" Frans mengangkat gulungan tali sutra biru berkilauan yang jelas lebih cocok untuk dekorasi daripada penyelamatan.Tepat saat itu, seorang pengawal lewat dan Frans buru-buru menjatuhkan diri ke tanah, berguling dengan dramatis, lalu bersembunyi di balik semak-semak. "Hampir saja!" bisiknya.Dea menatapnya, menghela napas panjang. Ini akan menjadi malam yang panjang."Aku tidak mengenalmu, tapi sampaikan kepada Yama, aku baik-baik saja dan Ratu sudah berjanji, akan membantuku keluar dari masalah ini."Pangeran Frans menggeleng pelan, "oh, tidak! Tidak, Dea. Kamu akan berada dalam masalah. Kehidupan di dalam istana tidak segampang yang kau kira!"
Yama tertegun melihatnya. Walau kepalanya terasa sedikit berat, namun dia masih belum kehilangan kesadarannya. "Eh, Kau menangis?"Frans mengusap air matanya dengan sapu tangan sutra yang entah dari mana ia keluarkan. "Astaga, Yama-ku yang tampan! Aku tidak pernah menyangka kau memiliki kisah cinta yang begitu tragis! Ini seperti cerita di drama istana! Aku bahkan bisa merasakan rasa sakit dan frustrasimu!"Yama mengerutkan dahi, merasa canggung melihat seorang pria flamboyan menangis karena kisahnya. "Kau berlebihan," ucap Yama seraya mengambil botol wine lalu hendak menuangnya lagi ke dalam gelasnya, tetapi isi botol itu sudah habis. Yama menatap botol kosong itu dengan kecewa."Tentu saja tidak!" sahut Frans, mengelap ingusnya. "Aku tidak bisa membiarkan kisah cinta menyedihkan ini berakhir seperti ini. Aku akan membantumu, tanpa pamrih!"Yama menatapnya dengan ekspresi bingung. "Tanpa pamrih?"
Sementara di dalam kamar hotel, seusai menutup panggilan, hati Yama masih belum tenang. Ia merasakan gelisah yang aneh, sesuatu yang jarang terjadi pada dirinya yang selalu rasional dan dingin. Dia sudah meminta bantuan Nenek dan yang lebih kesalnya, dia sudah menyetujui persyaratan untuk menikah dengan Meisya dalam tiga hari berikutnya.Namun, pikirannya dipenuhi oleh wajah Dea, terkurung di tempat yang seharusnya tidak pernah ia masuki. Rasa frustrasi semakin membebani dadanya ketika menyadari bahwa tidak ada kekuasaan yang mengizinkannya untuk bisa mengunjungi Dea."Bagaimana bila kita mencari Pangeran Frans, dia tinggal di dalam istana, bukan?"Yama menoleh ke arah Bob, yang seolah-olah bisa membaca pikiran atasannya. Ide ini tidak jelek, tetapi dengan demikian, berarti dia harus merendahkan dirinya.Yama menimbang sejenak, Nenek hanya akan tiba di istana besok dan mungkin Dea sudah mengalami siksaan lebih seh
"Dan saya...," ucap sang Ratu seraya mengedarkan tatapan tajamnya ke sekeliling lalu kembali menatap tajam ke arah Dea, "tidak pernah salah."Ruangan itu dipenuhi keheningan yang mencekam. Para penasihat menundukkan kepala, wajah mereka penuh ketakutan."Kerajaan ini sudah lama menjadi milikku," lanjut Ratu dengan nada lebih tajam. "Dan kalian berani mengatakan bahwa penilaianku salah?"Sret! Ratu mengembangkan kipas tangannya dengan sekali hentakan elegan. Wanita yang terlihat bijaksana itu mengibaskan kipas mewahnya walau pendingin ruangan bekerja dengan baik, seolah-olah hal itu sudah menjadi sebuah kebiasaan baginya.Lutut para penasihat mulai gemetar. Beberapa dari mereka langsung menundukkan kepala lebih dalam."Ratu bijaksana," suara mereka serempak. "Maafkan kami."Mereka memilih diam. Karena mereka tahu, menentang keputusan Ratu hanya akan berakhir dengan satu hal
Meski tubuhnya lemah, matanya tetap menyala dengan tekad yang keras.Ratu tidak mengatakan apa-apa selama beberapa saat. Ia hanya menatap Dea dengan mata tajam, menilai wanita yang kini berlutut lemah di hadapannya. Sorot mata tanpa putus asa.Akhirnya, dengan suara yang lembut namun penuh otoritas, ia berbicara."Menurutmu... Siapa yang sudah melakukan ini padamu?"Dea tidak menjawab. Ia hanya mengangkat wajahnya, menatap langsung ke arah Ratu.Di matanya, ada banyak hal yang ingin ia katakan. Tetapi jika ia berbicara sekarang, ia tahu itu tidak akan mengubah apa pun.Ia bukan siapa-siapa di ruangan ini.Namun, Ratu hanya tersenyum kecil, seolah memahami segalanya tanpa perlu Dea mengucapkan sepatah kata pun.Dea menatap Ratu dengan napas tersengal. Tenggorokannya terasa kering, tetapi ia tahu ini adalah kesempatan terakhirnya unt
Para penasihat saling bertukar pandang. Tidak ada yang berani membantah, karena mereka tahu betul bahwa Ratu memiliki intuisi yang tajam dalam membaca permainan politik seperti ini.Lalu, Ratu menatap Lady Marlene dengan mata penuh pemikiran. "Wanita itu, siapa namanya? Dea?"Lady Marlene tampak ragu sebelum mengangguk. "Ya, Yang Mulia. Wanita itu bernama Dea."Ratu mengangguk pelan, lalu berkata, "Bawa dia kemari."Lady Marlene tampak sedikit terkejut. "Yang Mulia, Anda ingin bertemu dengannya?"Ratu tersenyum tipis. "Saya mau melihat langsung wanita mana yang memiliki kesialan seperti itu."Ucapan itu membuat beberapa orang di ruangan menegang.Salah satu penasihat pria yang duduk di barisan kanan, Lord Gregory, segera berseru dengan ekspresi ngeri, "Tapi, Ratu... dia adalah wanita hina dan berstatus rendah!"Ratu m
Yama masih berdiri tegak, tetapi matanya berkabut dengan amarah. Ia tidak bodoh. Ada seseorang yang telah menjebaknya.Sementara itu, Pangeran Frans menoleh ke arah seorang pengawal."Pastikan dua orang itu dibawa ke penjara istana," katanya dingin. "Dan kuda itu... jangan biarkan makhluk yang sudah ternoda tetap berada di sini. Cepat hilangkan semuanya sebelum hal ini sampai di telinga Ratu."Para penjaga langsung bergerak, menarik Dea dan Sanjaya keluar dari kandang dengan kasar. Dea mengerang, mencoba melawan, tetapi tubuhnya terlalu lemah.Kali ini, Yama tidak bersuara apa pun selain mengepalkan tangannya sendiri erat-erat.Dalam sekejap, kandang kuda yang sebelumnya penuh dengan kebanggaan berubah menjadi tempat yang penuh kehinaan.Yama masih berdiri di tempatnya, pikirannya berputar. Ia tahu hanya ada satu orang yang bisa melakukan semua kekacauan ini.