Dengan perasaan puas, ia mengembuskan napas perlahan dan menyandarkan tubuhnya pada kursi. Matanya bersinar dengan kilatan kemenangan yang berbahaya.
"Tunggu saja, Dea... aku akan memastikan kehancuranmu kali ini."
Di luar sana, dunia berputar seperti biasa. Langit biru membentang luas tanpa peduli pada konspirasi yang sedang direncanakan di bawahnya. Namun, bagi mereka yang terlibat dalam skenario ini, langit tak lebih dari saksi bisu dari kisah yang akan segera berubah menjadi malapetaka.
Dan di kandang kuda kerajaan, sebuah drama menarik akan segera dimulai!
Yama turun dari mobilnya dengan penuh percaya diri, mengenakan jas hitam yang tampak elegan di bawah cahaya matahari sore yang mulai meredup. Mereka baru saja tiba di halaman istana kerajaan.
Bob mengikuti di belakangnya, membawa kotak khusus yang berisi dokumen serta surat persembahan untuk Pangeran Edward. Namun, saat me
Yama, yang awalnya bersikap tenang, mendadak membatu. Pangeran Frans, yang berdiri di sampingnya, juga terdiam selama beberapa detik sebelum sudut bibirnya melengkung dalam ekspresi penuh amarah dan rasa jijik.Di dalam kandang, tepat di atas jerami yang seharusnya menjadi tempat peristirahatan kuda hadiah, terlihat dua tubuh manusia yang terbaring dalam keadaan mengenaskan.Dea, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya, terbaring dengan kepala bersandar di perut seekor kuda hitam yang dipilih sebagai hadiah untuk Pangeran Edward, memeluk kuda itu seperti boneka bantal yang empuk. Sementara itu, seorang pria yang juga dalam keadaan polos, Sanjaya, berada di sampingnya, memeluk pinggang ramping milik Dea. Napas mereka masih tersengal-sengal, wajahnya merah merona. Tubuh mereka bercampur keringat dan jerami, seolah-olah mereka baru saja melakukan tindakan yang paling hina di tempat itu.Kuda yang menjadi bantalan mereka
Yama masih berdiri tegak, tetapi matanya berkabut dengan amarah. Ia tidak bodoh. Ada seseorang yang telah menjebaknya.Sementara itu, Pangeran Frans menoleh ke arah seorang pengawal."Pastikan dua orang itu dibawa ke penjara istana," katanya dingin. "Dan kuda itu... jangan biarkan makhluk yang sudah ternoda tetap berada di sini. Cepat hilangkan semuanya sebelum hal ini sampai di telinga Ratu."Para penjaga langsung bergerak, menarik Dea dan Sanjaya keluar dari kandang dengan kasar. Dea mengerang, mencoba melawan, tetapi tubuhnya terlalu lemah.Kali ini, Yama tidak bersuara apa pun selain mengepalkan tangannya sendiri erat-erat.Dalam sekejap, kandang kuda yang sebelumnya penuh dengan kebanggaan berubah menjadi tempat yang penuh kehinaan.Yama masih berdiri di tempatnya, pikirannya berputar. Ia tahu hanya ada satu orang yang bisa melakukan semua kekacauan ini.
Para penasihat saling bertukar pandang. Tidak ada yang berani membantah, karena mereka tahu betul bahwa Ratu memiliki intuisi yang tajam dalam membaca permainan politik seperti ini.Lalu, Ratu menatap Lady Marlene dengan mata penuh pemikiran. "Wanita itu, siapa namanya? Dea?"Lady Marlene tampak ragu sebelum mengangguk. "Ya, Yang Mulia. Wanita itu bernama Dea."Ratu mengangguk pelan, lalu berkata, "Bawa dia kemari."Lady Marlene tampak sedikit terkejut. "Yang Mulia, Anda ingin bertemu dengannya?"Ratu tersenyum tipis. "Saya mau melihat langsung wanita mana yang memiliki kesialan seperti itu."Ucapan itu membuat beberapa orang di ruangan menegang.Salah satu penasihat pria yang duduk di barisan kanan, Lord Gregory, segera berseru dengan ekspresi ngeri, "Tapi, Ratu... dia adalah wanita hina dan berstatus rendah!"Ratu m
Meski tubuhnya lemah, matanya tetap menyala dengan tekad yang keras.Ratu tidak mengatakan apa-apa selama beberapa saat. Ia hanya menatap Dea dengan mata tajam, menilai wanita yang kini berlutut lemah di hadapannya. Sorot mata tanpa putus asa.Akhirnya, dengan suara yang lembut namun penuh otoritas, ia berbicara."Menurutmu... Siapa yang sudah melakukan ini padamu?"Dea tidak menjawab. Ia hanya mengangkat wajahnya, menatap langsung ke arah Ratu.Di matanya, ada banyak hal yang ingin ia katakan. Tetapi jika ia berbicara sekarang, ia tahu itu tidak akan mengubah apa pun.Ia bukan siapa-siapa di ruangan ini.Namun, Ratu hanya tersenyum kecil, seolah memahami segalanya tanpa perlu Dea mengucapkan sepatah kata pun.Dea menatap Ratu dengan napas tersengal. Tenggorokannya terasa kering, tetapi ia tahu ini adalah kesempatan terakhirnya unt
“Bagaimana kalau kita bersenang-senang sedikit sebelum Tuan Yama tiba?” Suara seorang pria membuat Dea berusaha sadar dari pengaruh wine yang diminumnya setengah jam yang lalu.“Iya, Tuan hanya menginginkan nyawanya. Toh, dia akan dibuang ke jurang sesudah itu.” Seorang pria lain menyahut sambil tertawa."Tuan Y-yama? J-jurang?" Perkataannya membuat kedua mata Dea membulat seketika dan panik. Melihat beberapa pria yang sedang mengelilinginya saat ini. Dea menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, berusaha sadar dari pengaruh alkohol yang sudah semakin kuat menjalar di tubuhnya. Sebuah kamar mewah! Dia sadar harus segera melarikan diri walau kepalanya terasa sangat berat. Dia setengah mabuk.“Kalian siapa? Pergi!”Dea masih tidak mengerti bagaimana dia bisa terbangun di ranjang dengan beberapa pria berwajah sangar menatapnya seolah-olah mereka sangat lapar.Satu jam sebelumnya, dia menyaksikan bagaimana kekasihnya berlutut di hadapan salah seorang teman kerjanya. Sebuah cincin memb
"Arghh, kalian pintar membuat drama!" pekik Dea kegirangan. Efek mabukbercampur obat perangsang sudah menguasainya sepenuhnya. Sementara Yama tidak bisa menahan diri lagi. Dia mulai membuat gerakan yang membuai Dea sehingga gadis itu tidak sanggup menolak pesona yang ditawarkan pria dengan tubuh atletis yang sedang menuntunnya dengan cara unik tersebut.Beberapa pagutannya malah membuat Dea yang terpengaruh alkohol dengan kesadaran minim, tidak berkuasa menolak sama sekali. Sentuhan ringan yang diberikan pria bernama Yama itu membuat Dea mabuk benaran.Dea memekik tertahan saat bagian intinya robek dan kehormatan yang dia miliki selama dua puluh tahun akhirnya direngut oleh pria tampan yang tidak dikenalnya. Lebih tepatnya, dia tahu sebagai pria yang disewa oleh sahabat untuk menghibur hatinya yang luka.“Ternyata aku penguasa yang pertama bagimu,” bisik Yama setelah berhasil menerobos pertahanan Dea, “ini bayaran yang sepadan.” Yama bukan hanya melakukannya satu kali, dia membiarkan
Yama dengan santai menarik sebuah handuk lalu melilitkannya ke pinggang. Tatapannya berubah tajam, tapi Dea, alih-alih takut, justru bergerak lebih cepat.Dengan cekatan, dia menyambar celana Yama yang tergeletak di lantai. "Ini milikmu, kan?" tanyanya dengan nada mengejek. Tanpa menunggu jawaban, Dea berlari ke arah pintu."Hei! Kembalikan itu!" seru Yama, tapi langkahnya terhenti saat Dea sudah membuka pintu kamar. Dengan hanya handuk melilit tubuhnya, tidak mungkin dia mengejar Dea.Di luar pintu, tawa Dea menggema. "Sampai jumpa, pria bayaran! Nikmati sisa waktumu dengan handuk itu!" katanya sambil berlari menjauh.Yama hanya bisa berdiri di tengah ruangan, matanya berkilat penuh kemarahan bercampur rasa penasaran. "Gadis ini..." gumamnya, mengulum senyum tipis lalu berbalik, melihat ke arah bungkusan kertas yang tadi dilempar Dea ke ranjang bersama dengan dompet kecil berwarna merah.Isi bungkusan kertas itu adalah pakaian wanita, awalnya itu diperuntukkan kepada gadis yang bahka
Jean, yang masih di telepon meskipun suara Dea terdengar dari jauh, berteriak, "Hei! Dea, hei! Apa yang kau rencanakan sekarang? Hei! Jangan lakukan sesuatu yang bodoh lagi, Dea!"Dea tidak menjawab. Dia sudah punya satu rencana di kepalanya, meskipun belum jelas apa yang akan dia hadapi."Mantan kekasihku yang harus disalahkan karena semua ini!" seru Dea dengan nada geram. Tangannya terkepal, rahangnya mengeras. "Dia yang memulai kekacauan ini, dan aku akan memberi pelajaran kepadanya!"Pernikahan sang mantan pacar adalah hari ini, dan Dea sudah memutuskan akan hadir. Bukan untuk memberikan restu, melainkan untuk memastikan dirinya tidak dianggap remeh lagi."Dia pikir dia bisa hidup bahagia setelah meninggalkanku begitu saja? Tidak semudah itu!" katanya pada dirinya sendiri sambil bergegas pulang. Dea mengabaikan panggilan dari Jean yang masih juga berteriak di ujung panggilan dan langsung menekan tombol mengakhiri panggilan.Sesampainya di rumah, Dea langsung menuju kamarnya. Dia me
Meski tubuhnya lemah, matanya tetap menyala dengan tekad yang keras.Ratu tidak mengatakan apa-apa selama beberapa saat. Ia hanya menatap Dea dengan mata tajam, menilai wanita yang kini berlutut lemah di hadapannya. Sorot mata tanpa putus asa.Akhirnya, dengan suara yang lembut namun penuh otoritas, ia berbicara."Menurutmu... Siapa yang sudah melakukan ini padamu?"Dea tidak menjawab. Ia hanya mengangkat wajahnya, menatap langsung ke arah Ratu.Di matanya, ada banyak hal yang ingin ia katakan. Tetapi jika ia berbicara sekarang, ia tahu itu tidak akan mengubah apa pun.Ia bukan siapa-siapa di ruangan ini.Namun, Ratu hanya tersenyum kecil, seolah memahami segalanya tanpa perlu Dea mengucapkan sepatah kata pun.Dea menatap Ratu dengan napas tersengal. Tenggorokannya terasa kering, tetapi ia tahu ini adalah kesempatan terakhirnya unt
Para penasihat saling bertukar pandang. Tidak ada yang berani membantah, karena mereka tahu betul bahwa Ratu memiliki intuisi yang tajam dalam membaca permainan politik seperti ini.Lalu, Ratu menatap Lady Marlene dengan mata penuh pemikiran. "Wanita itu, siapa namanya? Dea?"Lady Marlene tampak ragu sebelum mengangguk. "Ya, Yang Mulia. Wanita itu bernama Dea."Ratu mengangguk pelan, lalu berkata, "Bawa dia kemari."Lady Marlene tampak sedikit terkejut. "Yang Mulia, Anda ingin bertemu dengannya?"Ratu tersenyum tipis. "Saya mau melihat langsung wanita mana yang memiliki kesialan seperti itu."Ucapan itu membuat beberapa orang di ruangan menegang.Salah satu penasihat pria yang duduk di barisan kanan, Lord Gregory, segera berseru dengan ekspresi ngeri, "Tapi, Ratu... dia adalah wanita hina dan berstatus rendah!"Ratu m
Yama masih berdiri tegak, tetapi matanya berkabut dengan amarah. Ia tidak bodoh. Ada seseorang yang telah menjebaknya.Sementara itu, Pangeran Frans menoleh ke arah seorang pengawal."Pastikan dua orang itu dibawa ke penjara istana," katanya dingin. "Dan kuda itu... jangan biarkan makhluk yang sudah ternoda tetap berada di sini. Cepat hilangkan semuanya sebelum hal ini sampai di telinga Ratu."Para penjaga langsung bergerak, menarik Dea dan Sanjaya keluar dari kandang dengan kasar. Dea mengerang, mencoba melawan, tetapi tubuhnya terlalu lemah.Kali ini, Yama tidak bersuara apa pun selain mengepalkan tangannya sendiri erat-erat.Dalam sekejap, kandang kuda yang sebelumnya penuh dengan kebanggaan berubah menjadi tempat yang penuh kehinaan.Yama masih berdiri di tempatnya, pikirannya berputar. Ia tahu hanya ada satu orang yang bisa melakukan semua kekacauan ini.
Yama, yang awalnya bersikap tenang, mendadak membatu. Pangeran Frans, yang berdiri di sampingnya, juga terdiam selama beberapa detik sebelum sudut bibirnya melengkung dalam ekspresi penuh amarah dan rasa jijik.Di dalam kandang, tepat di atas jerami yang seharusnya menjadi tempat peristirahatan kuda hadiah, terlihat dua tubuh manusia yang terbaring dalam keadaan mengenaskan.Dea, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya, terbaring dengan kepala bersandar di perut seekor kuda hitam yang dipilih sebagai hadiah untuk Pangeran Edward, memeluk kuda itu seperti boneka bantal yang empuk. Sementara itu, seorang pria yang juga dalam keadaan polos, Sanjaya, berada di sampingnya, memeluk pinggang ramping milik Dea. Napas mereka masih tersengal-sengal, wajahnya merah merona. Tubuh mereka bercampur keringat dan jerami, seolah-olah mereka baru saja melakukan tindakan yang paling hina di tempat itu.Kuda yang menjadi bantalan mereka
Dengan perasaan puas, ia mengembuskan napas perlahan dan menyandarkan tubuhnya pada kursi. Matanya bersinar dengan kilatan kemenangan yang berbahaya."Tunggu saja, Dea... aku akan memastikan kehancuranmu kali ini."Di luar sana, dunia berputar seperti biasa. Langit biru membentang luas tanpa peduli pada konspirasi yang sedang direncanakan di bawahnya. Namun, bagi mereka yang terlibat dalam skenario ini, langit tak lebih dari saksi bisu dari kisah yang akan segera berubah menjadi malapetaka.Dan di kandang kuda kerajaan, sebuah drama menarik akan segera dimulai!Yama turun dari mobilnya dengan penuh percaya diri, mengenakan jas hitam yang tampak elegan di bawah cahaya matahari sore yang mulai meredup. Mereka baru saja tiba di halaman istana kerajaan.Bob mengikuti di belakangnya, membawa kotak khusus yang berisi dokumen serta surat persembahan untuk Pangeran Edward. Namun, saat me
Dea menelan ludah, tangannya menggenggam erat selimut yang masih menyelimuti tubuhnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi ragu-ragu. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Bahkan, ia sendiri masih mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.Yama memasukkan ponselnya ke dalam saku dan berbalik menatap Dea dengan ekspresi serius. “Kamu istirahat saja dulu di sini,” katanya dengan nada yang tidak bisa ditolak. “Aku akan keluar untuk mengurus sesuatu.”Dea menggigit bibirnya. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan, tetapi mulutnya seperti terkunci. Ia hanya bisa menatap Yama dengan ekspresi bingung.Seolah memahami pikirannya, Yama melangkah mendekat, menatapnya dengan intens. “Jangan pernah lari dariku lagi,” ucapnya dengan nada rendah, tapi penuh ancaman terselubung. “Atau aku akan benar-benar membencimu kali ini.”Dea menahan na
Tapi di sisi lain, ada rasa hangat yang bertahan di dadanya. Sesuatu yang ia takuti untuk akui selama ini. Bahwa ia merasa nyaman bersama Yama. Bahwa mungkin, hanya mungkin, ia mulai menyukai lelaki itu lebih dari sekadar malam bergairah. Cinta satu malam yang ada di novel atau drama ternama. Dan semalam, Dea tidak memungkiri kenikmatan dan kepuasan yang ia dapatkan.Saat Yama bergerak dalam tidurnya, Dea buru-buru menutup matanya, berpura-pura masih tidur. Ia bisa merasakan lelaki itu mengangkat kepalanya dan mendesah pelan."Dea... aku tahu kau sudah bangun."Dea membuka satu matanya, mendapati Yama menatapnya dengan ekspresi datar namun penuh perhatian."Kamu... sadar semalam?" tanya Dea, sedikit gugup."Tentu saja," jawab Yama, menyandarkan tubuhnya di sandaran ranjang. Kemejanya yang tidak terkancing, menampilkan lekuk otot perut berkotak-kotak yang membuat Dea merasa malu u
Kemudian, tanpa memberi waktu bagi akal sehatnya untuk mengintervensi, Yama menindih tubuh Dea yang lemah di ranjang sempit rumah sakit itu. Bibirnya turun perlahan, menutup celah di antara mereka.Ciuman itu pertama kali terasa ragu, tetapi detik berikutnya menjadi lebih dalam dan menuntut. Dea mendesah manja, seolah-olah sangat dahaga. Dia merespons dengan gerakan pelan, tangannya yang lemah terangkat, meremas kerah baju Yama, seolah berusaha menahannya agar tidak pergi."Yama..." desah Dea dengan suara yang tidak dapat Yama abaikan. Suara yang membakar gairahnya secara penuh.Yama tahu ini salah. Dea masih dalam pengaruh obat, tubuhnya lemah, dan mereka ada di rumah sakit. Tapi di sisi lain, ia tidak bisa menahan diri. Perasaan yang selama ini ia kubur dalam-dalam akhirnya meledak di antara mereka.Inti mereka bersatu dengan semua kerinduan dan kebencian yang bercampur aduk, dalam keheningan kamar pasien yang menjadi saksi b
"Kau adalah Yamaaa... pria tampan milikku!" celoteh Dea dengan wajah yang mulai memerah. Dea masih berusaha menarik Yama kembali ke dalam pelukannya. Napasnya semakin berat, tubuhnya tampak panas dan berkeringat."Yama... jangan pergi dong..." rengeknya, suaranya manja.Yama menggeram, merasa dadanya sesak melihat keadaan Dea seperti ini. Si brengsek yang memberinya obat ini akan membayar mahal! Tapi untuk saat ini, yang terpenting adalah memastikan Dea baik-baik saja. Ia meraih segelas air di meja dan menyodorkannya ke bibir Dea."Minum ini dulu. Kumohon, Dea," ucapnya dengan lembut, berusaha menenangkan gadis itu.Namun, Dea menggeleng, malah meraih tangan Yama dan mengecupnya. "Aku hanya ingin kamu..."Yama merasakan debaran jantungnya semakin cepat. Ia harus tetap waras! Harus tetap fokus!Pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan keras. Seorang dokter paruh b