Dea memutar matanya. "Katakan kepada Yama. Aku tidak mau terlibat dalam rencana bodoh!" Dea ingin menutup kembali pintu kaca jendelanya, namun dihalangi oleh Frans.
"Bodoh?! Sayang sekali, aku sudah membawa tali sutra khusus untuk ini!" Frans mengangkat gulungan tali sutra biru berkilauan yang jelas lebih cocok untuk dekorasi daripada penyelamatan.
Tepat saat itu, seorang pengawal lewat dan Frans buru-buru menjatuhkan diri ke tanah, berguling dengan dramatis, lalu bersembunyi di balik semak-semak. "Hampir saja!" bisiknya.
Dea menatapnya, menghela napas panjang. Ini akan menjadi malam yang panjang.
"Aku tidak mengenalmu, tapi sampaikan kepada Yama, aku baik-baik saja dan Ratu sudah berjanji, akan membantuku keluar dari masalah ini."
Pangeran Frans menggeleng pelan, "oh, tidak! Tidak, Dea. Kamu akan berada dalam masalah. Kehidupan di dalam istana tidak segampang yang kau kira!"
Nada suaranya menggema dalam ruangan yang sunyi. Matanya mulai memerah, tidak hanya karena marah, tetapi karena putus asa. "Aku harus bertahan dengan sisa uang yang kupunya, Meisya! Ayah butuh pengobatan setiap hari! Ibuku... ibuku bertingkah seperti turis kaya yang foya-foya seolah tidak ada hari esok!"Meisya menyipitkan mata. “Memblokir? Kapan aku melakukan itu?” Dia melipat tangan di dada.“Aduh, gadis bodoh… Kamu mungkin sudah tertipu. Di mana kartu itu sekarang?” tanya Meisya, penuh dengan kepura-puraan.“Sudah kuserahkan ke pihak kepolisian,” jawab Dea cepat. “Mereka bilang aku bisa ditangkap kalau terus menggunakannya. Aku tak bisa menghubungimu… jadi kupikir…”“Astaga…” Meisya berpura-pura memeriksa ponselnya dengan dramatis, matanya berkedip cepat seolah menemukan sesuatu yang mengejutkan. “Lihat i
Keheningan kembali menyelimuti ruangan itu. Tapi tidak untuk waktu yang lama. Meisya memutar tubuhnya sedikit, membenahi lipatan pada blazernya dengan angkuh, lalu kembali membuka suara."Dan kamu, Dea..." katanya, suaranya kini lebih lirih namun tajam seperti pisau. "Kamu sungguh jahat."Dea mengerutkan alis. "Jahat?""Aku sudah melakukan segalanya agar kamu jauh dari Yama," lanjut Meisya, matanya menatap lurus tanpa berkedip, "aku memindahkanmu, kuberikan uang, bahkan menjamin pengobatan ayahmu, tapi kamu tetap saja... kembali ke arahnya.""Aku tidak tahu harus percaya siapa!" seru Dea, nadanya nyaris putus asa. "Segalanya kabur, setiap orang memanipulasiku, dan kamu... kamu memutar semua kenyataan seenaknya!""Apa?!" Meisya terkejut, dan menyadari bahwa Dea belum sepenuhnya percaya terhadap ceritanya.Meisya menegakkan tubuh, senyumnya kembali muncul, lembut namun sinis
Perkataannya seperti pisau tajam yang menggores hati Dea, namun wanita itu hanya bisa memejamkan kedua matanya sehingga air mata membasahi pipinya.Meisya melangkah pelan ke arah jendela, menatap ke luar sejenak sebelum berbalik lagi.“Yang lebih parah…” katanya lirih, “Sebagai pria yang tumbuh dewasa, Yama kesulitan menghapusmu dari hidupnya. Aku bisa melihat itu. Dia… terseret dalam bayang-bayang tubuhmu yang—”“Cukup!” bentak Dea, tangannya mengepal keras.Tapi Meisya tidak berhenti.“Saya tebak, dia masih tertarik padamu,” bisiknya, “bukan karena perasaan… tapi karena tubuhmu. Tubuhmu yang sudah ternoda. Daripada menyewa pelacur, lebih baik tubuh yang setidaknya masih tidak tercemar penyakit menular, bukan?”"Yama adalah pebisnis yang pintar, sesudah kamu... akan ada lagi wanita lain
Pangeran Frans muncul dengan ekspresi panik, rambutnya acak-acakan dan jubah tidurnya belum sepenuhnya rapi. Ia berdiri di hadapan Ratu dengan dada naik turun.Ratu mengangkat alis, sedikit mengernyit. “Apa lagi sekarang, Pangeran Frans?”Pangeran itu menjura, lalu berdiri tegak dengan gaya dramatis. “Yang Mulia... mohon ampun... ini bukan maksud saya... saya hanya ingin mengobrol!” katanya sambil merentangkan tangan ke samping, seolah berada di atas panggung sandiwara.Ratu memicingkan mata. “Jelaskan. Apa yang terjadi?”“Saya... saya menculik Dea tadi malam,” kata Frans pelan tapi cepat, menunduk seolah takut pada bayangannya sendiri. “Bukan dalam arti jahat! Hanya... hanya membawa dia ke kamar tamu. Maksud saya, kami hanya berbincang. Saya ingin mengenalnya lebih dekat. Ia... menarik.”Ia berhenti sejenak, mengusap pe
Ratu menatapnya tajam. “Kau meninggalkan seorang tamu istana sendirian di ruang tamu tanpa penjagaan. Itu kelalaian, bukan kesatria.”Frans menunduk. “Saya minta maaf.”Pintu kembali terbuka. Sanjaya masuk—dengan pakaian tahanan, wajah tidak teratur, dan kumuh. Dua pengawal memegangnya dengan erat. Ia menatap layar, lalu ke arah Frans.“Apa yang terjadi?” tanyanya pelan.“Dea ditemukan hampir dilecehkan oleh lima pria di sektor timur,” jawab Ratu. “Kau ingin mengatakan apa yang kau ketahui?”Sanjaya menggeleng. “Saya tidak tahu apa pun, saya kemari hanya mendapat tugas dari Meisya, selebihnya wanita itu yang memberi arahan.”“Meisya? Baik, cari wanita itu sekarang dan seret kemari,” perintah salah satu penasihat. “Tapi kau tetap harus hadir dalam pengadilan. Dea te
“Bahkan setelah kau melihat sendiri dia dan Sanjaya—di kandang kuda! Mereka saling berpelukan, polos satu sama lain! Mereka jelas-jelas berselingkuh di depan matamu, di dalam kandang kuda yang menjijikkan dan kau masih... masih saja membelanya!”Ratu mulai merasa wajahnya panas, dia ingin menampar Meisya saat itu juga.Plak!Tamparan keras mendarat di pipi Meisya. Bukan dari Ratu. Tapi dari Yama sendiri.Seluruh ruangan terdiam.“Beraninya kau,” kata Yama dengan suara rendah namun penuh emosi. “Kau mencelakai perempuan tak bersalah... karena cemburu?”Meisya terisak, tapi tidak minta maaf.“Aku mencintaimu, Yama,” katanya sekali lagi, lebih lirih, “dan aku... aku muak melihat kau dicuri oleh wanita rendahan seperti itu. Apa kurangku dibanding dia?”Yama menggeleng, kecewa.
“Ratu tak pernah berkata sebanyak itu pada siapa pun, kecuali saat kerajaan diserang.”Dea tersenyum lemah. “Tapi... aku hanya... seorang biasa.”“Tidak ada yang ‘biasa’ setelah kau menyentuh hati orang yang luar biasa.”Dea menutup mata. Untuk pertama kalinya sejak malam itu... ia merasa bisa tidur tanpa takut.***Langit siang itu biru jernih, angin lembut menggerakkan tirai putih di paviliun makan siang kebun istana. Meja kaca panjang dengan taplak ivory dan vas bunga segar tertata rapi di tengah taman yang ditata dengan mewah, dikelilingi tanaman hias tropis dan suara lembut alunan piano dari speaker tersembunyi.Sang Ratu duduk lebih dulu di ujung meja. Gaun kasualnya berwarna biru pucat, anggun namun santai. Tangannya mengetuk pelan permukaan meja saat seorang ajudan datang mendekat.“Yang Mul
Ia duduk di sofa samping jendela, mengenakan kaus hangat dan celana katun longgar dari koleksi pribadi Ratu. Rambutnya dikuncir asal, wajahnya tanpa riasan. Di luar, taman istana masih rapi seperti kemarin. Tapi suasana hatinya tidak.Dea menoleh saat suara pintu terbuka. Seorang perawat masuk membawa tablet kecil dan segelas jus.“Bagaimana perasaanmu hari ini, Nona Dea?”“Tubuhku baik... hatiku tidak,” jawab Dea lirih.Perawat tersenyum maklum. Ia meletakkan jus di meja dan menggeser tablet ke tangan Dea.“Ada pesan dari Ratu. Tapi hanya boleh dibuka dengan sidik jarimu.”Dea menyentuh layar tablet dengan penasaran.Ratu belum pernah mengunjunginya sejak dua hari yang lalu.Status kunjungan:Sanjaya: ditolakMeisya: ditahanYama: tidak diizinkanDea menatap bar
Yama mengangguk kecil dan Dea segera memberi isyarat agar para medis segera membalut luka Yama dan memberikan obat yang dibutuhkan.“Lalu... Frans…, dia” kata Yama terputus-putus.“Sudah, aku sudah tahu. Pangeran itu yang menjadi dalang dari semua ini,” kata Dea pelan tapi tegas.“Semua sudah beres. Rekaman sudah sampai ke pengawal. Dia akan diadili oleh Ratu," lanjutnya.Yama memejamkan mata. Mengangguk kecil. Air mata kecil lolos dari pelupuknya. Entah karena lega, atau karena luka terlalu banyak, terlalu dalam, baik di tubuh maupun hati. Entah juga karena kerinduannya sangat besar kepada Dea"D-dingin." Suara Yama bergetar hebat."Tambahkan selimut!" perintah Dea.Seorang perawat segera memberikan suntikan gizi dan infus cairan hangat kristasoid agar Yama tidak terlalu menderita dalam hipotermia yang dia alami saat ini.Gubuk i
Pak Jio itu memungut ponsel itu, menyalakan kembali rekaman.Suara Frans yang dingin, suara ajudan yang ragu, kalimat demi kalimat, semua mengalir dari benda pipih itu. Tidak ada lagi yang bisa disangkal.Pak Jio menatap Pangeran Frans dengan wajah serius. “Atas nama Ratu, Anda diminta segera kembali ke istana untuk dimintai pertanggungjawaban.”Pak Jio segera memberi isyarat kepada dua pengawal lainnya dan mereka dengan gerakan cepat menahan ajudan dan Pangeran Frans. Memelintir tangan mereka ke belakang, melepaskan Dea.Frans menggeram. Matanya menatap Dea penuh benci. “Kau memilih jalan yang salah, Dea. Kau akan menyesali ini. Sepertinya kamu lupa satu hal, aku punya hubungan darah daging dengan Ratu!” geramnya.Dea menatapnya balik, penuh keberanian. “Tidak. Yang akan menyesal... adalah orang-orang yang mengira mereka bisa bermain di atas nyawa orang lain tanpa konsekuensi.”&
Namun, Yama akhirnya bisa bernapas lega pada saat seseorang akhirnya menemukannya. Saat dia melihat bayangan samar di antara es yang sudah membentuk lingkaran sekeliling matanya."T-tolong."Seorang lelaki tua dari pemukiman bawah, dengan kereta kayu berisi ramuan dan kayu bakar. Matanya membelalak saat melihat tubuh tergeletak di antara bebatuan. "Hei!" pekiknya seraya berlari mendekati dengan langkah besar menginjak salju yang tebal.Luka dan darah Yama yang mulai membeku sudah hampir menyatu dengan salju. Pria tua itu bergidik dengan bekas noda cukup panjang di belakang Yama."Astaga… kamu masih hidup!" serunya panik menyadari sudah berapa lama Yama berusaha bertahan hanya dengan merangkak dalam luka yang tetap mengalirkan darah.Yama tak bisa menjawab. Dia merasa kedua lututnya mungkin sudah hancur. Tapi dia tidak peduli.Ia hanya menggeliat pelan, matanya mengerjap samar. Tapi itu cukup j
Ia mulai mencoba menggulingkan tubuhnya, mencari posisi yang bisa memudahkan upayanya. Lututnya yang terluka menyeret di atas bebatuan kasar, menimbulkan goresan baru yang membuatnya terasa nyeri berkelanjutan.Yama mendesis, menahan nyeri.Kantung mayat yang cukup tebal itu lumayan membantu sehingga dirinya tidak menjadi patung es di dalam jurang itu.Namun, setiap tarikan napasnya seperti dihantam paku-paku dingin menusuk langsung ke paru-parunya. Tapi Yama tetap bergerak, perlahan, pasti. Sampai dia benar-benar mendapat lubang yang cukup besar untuk menghirup udara lebih."Sedikit lagi!" gumamnya seraya beristirahat. Yama sudah berhasil mengorek lubang sebesar satu jari telunjuk di kantong mayat yang membungkusnya. Kantong mayat dengan kualitas premium milik kekaisaran bukan terbuat dari kantung plastik murahan, sehingga tanpa disadari, kantung itu sudah membantu menjaga kehangatan tubuh Yama. Bila tidak demikian, Yama mungkin sudah menin
"Nona Dea," sapanya dengan suara bergetar dan canggung.“Eh, kamu!” suara itu membuatnya tercekat. “Kamu lihat Yama?”Ajudan itu menelan ludah. Pandangannya melirik ke belakang dengan canggung, lalu kembali ke wajah Dea yang terlihat khawatir. “T-tidak, Nona Dea... S-saya tidak melihatnya,” jawabnya cepat dan semakin terlihat canggung sambil menggeleng. “M-mungkin dia masih di bukit barat?”"A-aku harus kembali ke tenda," lanjutnya. Ia langsung berlari setelah itu, seperti dikejar sesuatu yang tidak kasat mata.Dea terdiam, keningnya berkerut. Hati kecilnya merasa ada yang aneh dengan gestur ajudan itu. Tapi ia menaikkan bahu lalu memilih masuk ke dalam tenda. Berharap, mungkin Pangeran Frans tahu.Di dalam, Pangeran Frans bangkit dari kursinya dan menyambutnya dengan senyum lembut. Ia memeluk Dea erat, seperti ingin menunjukkan bahwa ia peduli.
Ketika pagi menyambut, sinar matahari menerobos masuk melalui celah kain tenda.Yama terbangun lebih dulu. Dea masih terlelap, kepalanya bersandar di dadanya, tangannya melingkar di pinggangnya tanpa sadar. Wajahnya damai. Tapi justru itu yang membuat dada Yama sesak. Ia takut momen ini hanya sementara. Ia takut, ketika mata itu terbuka, yang ia lihat adalah penyesalan.Tapi saat Dea benar-benar terbangun, suasana menjadi canggung seperti yang ia bayangkan.Dea cepat-cepat menarik diri. “Maaf... aku—aku nggak tahu...”Yama ikut bangkit, menunduk. “Aku juga minta maaf. Aku nggak... maksudku, tadi malam... kita cuma butuh kehangatan.”“Iya,” Dea menyambar cepat. “Cuma... supaya nggak beku.”Keduanya diam beberapa saat, lalu saling memberi senyum canggung sebelum keluar dari tenda masing-masing, seolah malam
Pangeran Frans terhuyung dan terduduk di lantai es yang dingin. Bibirnya robek, darah mengalir. Tapi ia tertawa kecil. “Kalian benar-benar pasangan yang cocok. Satu keras kepala, satu impulsif.”Dea berdiri tegak di sisi Yama. “Pangeran Frans, mohon menjaga statusmu! Jika kamu datang lagi seperti ini, aku akan pastikan seluruh tim medis dan keamanan tahu siapa kamu sebenarnya, Frans.”Frans menatap Dea sekali lagi. Ada sesuatu yang berubah dalam matanya. Bukan lagi gairah atau keinginan, tapi kekecewaan dan luka dalam egonya.“Aku hanya... ingin kamu tahu bahwa aku juga adalah seorang pria sejati, aku ingin membuktikannya dengan memberikan keperjakaanku padamu, Sayang,” ucapnya lirih.Dea memalingkan wajahnya yang terasa hangat saat Pangeran Frans menunjukkan bagian intinya tanpa rasa malu."Tak tahu malu!" teriak Yama seraya merangkul Dea dalam peluka
“Aku lihat cara kamu menatapnya.” Suaranya rendah. “Aku tahu... kamu mencintainya.”Dea menghela napas. “Aku menganggapnya sebagai sahabatku.""Lalu aku?"Dea menatapnya dalam-dalam lalu menjawab, "sahabatku yang baik.”Frans tertawa kecil—pendek, tapi getir. Wajahnya tidak lagi bercanda.Ia mendekat, suara tertahan. “Sahabat baik?"Frans tertawa kecil.“Sahabat, ya?” Bibirnya miring mengejek. “Kamu sungguh tidak tahu apa yang sudah kamu lakukan padakuDea bergeming. "Apa maksudmu?"“Aku tak bisa tidur sejak malam itu. Kamu masuk ke pikiranku seperti racun. Dan yang paling membuatku muak adalah… aku bahkan tidak tahu, kenapa harus kamu?”“Karena kamu sangat baik, Frans.” Dea berbisik. “Dan kamu tidak suka wanita, jangan lupa
Ia melompat ke atas kendaraan milik relawan, memberikan instruksi tegas, suaranya gemetar bukan karena dingin, tapi karena sesuatu yang lain. Ketakutan yang tak bisa ia mengerti.“Bawa kami ke lokasi! Siapkan alat-alat penggali manual! Semua tenaga medis ikut!”Pangeran Frans akhirnya menyusul, melompat ke kendaraan berikutnya. Tapi kali ini, tidak ada senyum jenaka, tidak ada komentar sarkastik. Ia hanya duduk diam dengan rahang mengeras, menyaksikan Dea mengurus semuanya dengan penuh kepanikan."Dia segelisah itu karena Yama?"Frans menggenggam lututnya, cemburu yang mendidih dalam dadanya mulai mengusik logika. Ia ingin percaya bahwa hubungan mereka hanya sebatas masa lalu. Tapi kekhawatiran yang ia lihat di mata Dea barusan... bukan kekhawatiran biasa.Sesampainya di lokasi longsor, senja mulai merambat. Embun sisa longsor masih membuat pandangan mereka dalam jang