“Bahkan setelah kau melihat sendiri dia dan Sanjaya—di kandang kuda! Mereka saling berpelukan, polos satu sama lain! Mereka jelas-jelas berselingkuh di depan matamu, di dalam kandang kuda yang menjijikkan dan kau masih... masih saja membelanya!”
Ratu mulai merasa wajahnya panas, dia ingin menampar Meisya saat itu juga.
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Meisya. Bukan dari Ratu. Tapi dari Yama sendiri.
Seluruh ruangan terdiam.
“Beraninya kau,” kata Yama dengan suara rendah namun penuh emosi. “Kau mencelakai perempuan tak bersalah... karena cemburu?”
Meisya terisak, tapi tidak minta maaf.
“Aku mencintaimu, Yama,” katanya sekali lagi, lebih lirih, “dan aku... aku muak melihat kau dicuri oleh wanita rendahan seperti itu. Apa kurangku dibanding dia?”
Yama menggeleng, kecewa.
“Ratu tak pernah berkata sebanyak itu pada siapa pun, kecuali saat kerajaan diserang.”Dea tersenyum lemah. “Tapi... aku hanya... seorang biasa.”“Tidak ada yang ‘biasa’ setelah kau menyentuh hati orang yang luar biasa.”Dea menutup mata. Untuk pertama kalinya sejak malam itu... ia merasa bisa tidur tanpa takut.***Langit siang itu biru jernih, angin lembut menggerakkan tirai putih di paviliun makan siang kebun istana. Meja kaca panjang dengan taplak ivory dan vas bunga segar tertata rapi di tengah taman yang ditata dengan mewah, dikelilingi tanaman hias tropis dan suara lembut alunan piano dari speaker tersembunyi.Sang Ratu duduk lebih dulu di ujung meja. Gaun kasualnya berwarna biru pucat, anggun namun santai. Tangannya mengetuk pelan permukaan meja saat seorang ajudan datang mendekat.“Yang Mul
Ia duduk di sofa samping jendela, mengenakan kaus hangat dan celana katun longgar dari koleksi pribadi Ratu. Rambutnya dikuncir asal, wajahnya tanpa riasan. Di luar, taman istana masih rapi seperti kemarin. Tapi suasana hatinya tidak.Dea menoleh saat suara pintu terbuka. Seorang perawat masuk membawa tablet kecil dan segelas jus.“Bagaimana perasaanmu hari ini, Nona Dea?”“Tubuhku baik... hatiku tidak,” jawab Dea lirih.Perawat tersenyum maklum. Ia meletakkan jus di meja dan menggeser tablet ke tangan Dea.“Ada pesan dari Ratu. Tapi hanya boleh dibuka dengan sidik jarimu.”Dea menyentuh layar tablet dengan penasaran.Ratu belum pernah mengunjunginya sejak dua hari yang lalu.Status kunjungan:Sanjaya: ditolakMeisya: ditahanYama: tidak diizinkanDea menatap bar
"Dia sudah kutempatkan di sebuah hotel dengan penjagaan ketat. Untuk sementara saya menahannya agar dia tidak menggila. Belanjaannya banyak sekali dan bawahan saya sampai tidak tahu bagaimana menyimpan semua belanjaannya."Dea tertunduk malu, Ibunya memang tidak pernah memiliki uang yang cukup untuk berbelanja. Selama ini mereka hidup dan tergolong miskin. Kesempatan berada di luar negeri adalah seperti mimpi baginya."Apa yang akan menjadi keputusan Ratu terhadap Ibuku?" tanya Dea dengan hati-hati."Ibumu dan Meisya akan segera dikirim kembali ke Indonesia.""Meisya?"Ratu mengangguk lalu menyesap tehnya perlahan."Mengenai Meisya, saya tidak berwenang menghukumnya di sini, tapi Ratu punya cukup pengaruh untuk memberinya catatan diplomatik.”Dea mengangkat wajah, penasaran.“Dengan catatan itu, ia tidak akan pernah diizinkan menginjakkan kaki lagi di negeri ini. Sekali pun.”
Tak pernah ia bayangkan akan melihat Yama, seorang penguasa di negara Matahari, seorang pewaris kerajaan, pria keras kepala itu, menangis seperti anak kecil yang kehilangan arah.“Yama…” Frans menaruh handuk di tepi ranjang, lalu perlahan duduk di sebelahnya. “Kamu tidak bisa begini terus.”Yama tak menjawab. Ia hanya memejamkan mata, dan suara seraknya terdengar.“Dia pasti benci aku, Frans… Ratu pun memandang rendah diriku. Semua ini… hancur. Tapi, aku begitu merindukannya.”Frans mengusap wajahnya kasar, menahan perasaan yang mulai campur aduk. “Kamu pikir aku nggak marah saat tahu Meisya menjebak kalian? Aku frustrasi karena Ratu melarangku bergerak, tapi... aku masih bisa lihat, kamu belum sepenuhnya gagal. Masih ada kesempatan.”“Kesempatan?” Yama mendongak dengan mata memerah. “Dea nggak
Nafasnya tercekat. Ia berusaha bangkit, tapi pergelangan tangannya masih terikat lemah oleh sutra biru yang menggantung di sisi tempat tidur. Ia menyentak tubuhnya, dan Yama—yang duduk tak jauh di sisi ranjang—langsung menghampiri, menindih tubuhnya perlahan.“Aku merindukanmu, Dea...”Suaranya dalam, nyaris seperti rintihan. Kedua tangan Dea ditahan di atas kepalanya.Namun bukan rindu yang membuat Dea luluh—melainkan kemarahan yang seketika naik ke ubun-ubun.“Demi apa?! Tubuhku?!” serunya tajam, mata membara. “Kau merindukan tubuhku, Yama?”Yama tercekat. Ia ingin menjawab, ingin menjelaskan bahwa rindunya bukan sekadar hasrat. Tapi pikirannya sendiri bimbang—karena memang, dirinya pun tidak tahu bagaimana membedakan antara rindu pada tubuh dan rindu pada jiwa.Dia menyukai keduanya. Memuja keduan
Dea menghapus air mata yang membasahi pipinya dengan kasar. Dia sungguh benci harus memperlihatkan sisi lemahnya kepada pria itu walau dia tidak mengerti mengapa hatinya terasa sangat nyeri pada saat yang sama.Yama hanya diam. Kedua matanya merah, bukan karena marah, tapi karena rasa bersalah yang nyaris membunuhnya.“Kenapa diam? Atau kau ingin aku membantumu?” Dea membuka kancing dress-nya satu per satu dengan tangan gemetar. “Bukankah ini yang kau mau? Tubuhku?”"Kemari, lakukanlah sepuasnya. Setelah ini, tinggalkan aku!" suara Dea bergetar seiring apa yang dia lakukan. Menanggalkan pakaiannya sendiri dengan semua rasa penghinaan yang teramat membuat hatinya luka.Air mata mulai membasahi wajahnya kembali saat dress yang dipakainya meluncur ke lantai dengan mulus, memperlihatkan tubuhnya yang hanya mengenakan dalaman.Yama tersentak.Dea mulai membuka tali da
Frans mengganti jasnya dengan mantel panjang berwarna navy dan mengenakan kacamata hitam. Penampilannya jauh dari kata flamboyan kali ini.Darah bangsawan yang mengalir di dalam dirinya membuatnya terlihat tampan dann maskulin dengan rambut sedikit kemerahan dan mata berwarna biru.Tak kaIa ia keluar dari mansionnya yang berada tak jauh dari istana tanpa pengawalan besar, hanya membawa satu ajudan yang tak tahu harus berkata apa saat melihat pangerannya melangkah cepat ke arah mobil.Di dalam mobil, Pangeran Frans mengepalkan tangannya.“Aku tidak akan membiarkan ini berakhir seperti ini. Tidak untuk Yama. Tidak untuk Dea.”***Frans menekan gagang pintu kamar yang selama ini dijaga ketat oleh pasukan istana. Tapi dengan nama belakangnya, tak ada yang berani bertanya, apalagi menghalangi.Dea menoleh cepat saat pintu terbuka. Matanya melebar, tubuhnya refleks menegang. Dia mengenali Frans, tentu
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Frans merasakan sesuatu yang asing. Sesuatu yang mendesir halus di dadanya—mendebarkan tapi menenangkan. Wajah Dea begitu dekat, matanya yang bening memantulkan keraguan dan kemarahan, tapi juga kelembutan yang tertahan.Frans menelan ludah. “Kau… tidak apa-apa?”Dea buru-buru menarik diri. “Aku bisa berdiri sendiri.”Frans mundur, tangannya masih terasa hangat. Ia memalingkan wajah, menyembunyikan rona merah yang tak biasa di pipinya. Ia, yang biasa dikelilingi wanita, yang selalu bersikap flamboyan dan percaya diri—kali ini justru gugup. Tangannya sempat gemetar.“Aku… aku harus pergi,” katanya tergesa, hampir terdengar konyol.“Begitu cepat?” tanya Dea curiga.Frans tersenyum kecil, menahan canggung. “Aku hanya ingin tahu... bagianmu. Dan s
Namun, adakah dia bisa begitu tega untuk membiarkan anak itu hidup tanpa dukungan dari orang yang seharusnya bertanggung jawab? Selama ini, dia berusaha melihat sisi baik dari Yama, berharap ada cinta yang tersembunyi di dalamnya, meskipun ia tidak pernah mengungkapkannya. Sampai detik ini pun, dia masih belum memiliki kabar dari Yama selain mimpi buruk yang membuatnya kecewa.Pangeran Frans melangkah mendekat, tatapannya masih tidak berubah. "Sayangku, Dea...kamu harus memikirkan masa depan anakmu, Cintaku. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam bayang-bayang masa lalu dan harapan kosong. Lupakan Yama.""Kamu tahu, mengapa aku memutuskan mengejarmu? Padahal sebelumnya aku membantu pertemuan kalian dengan menculikmu?"Dea menengadahkan kepalanya, menatap Pangeran Frans dalam-dalam."Karena dia terlalu pengecut!" geram Pangeran Frans."Aku sudah membantu dengan menculikmu, tetapi tidak ada yang dapat dia bahas atau lakukan.
Sementara di kamar Dea, Dea terkejut mendapati kabar dari sang Dokter yang memeriksanya bahwa dirinya sudah hamil."Ini adalah anak Yama," gumamnya dengan perasaan tidak menentu seraya memeang perutnya yang masih datar.Kedua matanya berkaca-kaca, antara menerima kenyataan yang seharusnya membuat dirinya bahagia. Dia sangat mencintai Yama dari lubuk hati terdalamnya. Satu-satunya pria yang pernah menyentuhnya hanya Yama."Kamu adalah bukti cinta Mama kepada Papamu," bisik Dea dengan suara bergetar. Dia ingat malam bergairah milik mereka berdua. Dia merindukan semua sentuhan panas dari pria yang sangat dia cintai itu. Pria yang sudah jauh darinya."Mama akan bertahan," ucapnya lirih.Keesokkan harinya, Pangeran Frans pergi mengunjungi Dea dengan sekeranjang buah-buahan dan balon berwarna warni."Dea Sayang..." Pangeran Frans menyodorkan balon-balon yang sudah diikat pita ke hadapan
Yama memegang erat tangan Dea lalu berkata, "kita akan menjalani kematian bersama-sama. Aku mencintaimu, Dea."Dea mengangguk dan membiarkan Yama menciumnya. Sebuah ciuman perpisahan sekaligus penyatuan yang alami."Aku juga mencintaimu, Yama."Dea memekik tertahan saat merasakan pesawat yang mulai terjatuh dan ledakan-ledakan kecil terjadi.Panik membuat Dea terbangun dari tidurnya."Yama!" pekiknya lalu menyadari dirinya sedang terduduk di atas ranjang.Air mata mengalir membasahi wajahnya kembali.Tubuhnya penuh keringat . "Hanya mimpi..." desisnya dengan lirih."Aku sungguh merindukanmu, Yama."Dea menangis sejadi-jadinya di atas ranjang yang dingin dan sepi itu.***Keesokkan harinya, wajah Dea semakin pucat dan semakin kuyu. Dea bahkan tidak mengganti pakaiannya yang basah oleh keringat. Dia terlihat seperti boneka tidak bernyawa yang bersandar di sandaran ranjang, menatap kosong ke jendela.Di
"Hanya makan bersama dan saling berbicara, mungkin saya bisa memberikan beberapa penjelasan kepadamu mengenai alasan saya melakukan semua ini, jangan takut. Aku belum berniat memakanmu," gurau Frans seraya mengandeng tangan Dea menuju kursinya.“Apa yang ingin Anda katakan, Pangeran?” tanyanya dingin seraya menghentakkan pantatnya ke kursi, meskipun ia berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. “Saya sudah cukup mendengar penjelasan dari Anda tadi, bukan?”Frans menyandarkan punggungnya ke kursi, terlihat serius. “Saya tahu saya tidak bisa menghapus apa yang telah saya lakukan dengan mudah. Saya tahu Anda membenci saya sekarang, Dea. Tetapi saya ingin Anda tahu bahwa saya benar-benar menyesal. Saya tidak tahu bagaimana bisa terjebak dalam kasus ini, tetapi sekarang saya sadar, baiklah...saya memang salah karena berusaha menyingkirkan Yama.”Dea menatapnya dengan mata penuh curiga. Ka
Keputusan sudah diambil, dan Dea harus melangkah maju dengan kepala tegak. Itulah yang dikatakan Ratu, dan Dea tahu betul bahwa ia tidak punya pilihan lain. Dea mengusap wajahnya kasar. Merasa kesal dan ingin berteriak.Pangeran yang selama ini ia anggap sebagai musuh, yang telah membuat hidupnya penuh dengan kebohongan dan pengkhianatan. Namun kini, ia dipaksa untuk bersatu dengannya, sebagai suami istri yang sah. Entah karena politik atau karena Ratu merasa tidak ada jalan lain. Dea tidak tahu, dan ia juga tidak ingin tahu. Yang pasti, Frans masih berada dalam Kerajaan, masih dalam jangkauan yang bisa membuat hidupnya semakin kacau.Dea tiba di ruang makan besar, tempat biasa para keluarga kerajaan dan tamu kerajaan makan bersama. Namun, kali ini ruang itu terasa sepi, hanya ada Frans yang duduk dengan santai, menunggu kedatangannya. Pandangannya tertuju pada Dea dengan tatapan yang sulit dibaca.“Lady Dea, silak
Yama memicingkan mata. Jantungnya berdetak cepat, sangat terkejut, bukan karena efek obat, tapi karena luka lain yang baru saja dibuka paksa. Kata-kata mereka menggema dalam benaknya seperti palu godam yang menghancurkan kepercayaannya terhadap Dea.“Serius? Dia tega gitu?”“Ya iyalah. Siapa sih yang bisa menolak gelar Lady dan pernikahan dengan Pangeran? Lagipula… mereka bilang dia sudah bosan sama Yama. Katanya pria itu terlalu rumit dan nggak bisa berkomitmen.”"Betul, kabarnya pria itu bahkan tidak bisa lagi merasakan kakinya.""Nah, itulah, mungkin juga dia sudah tidak mampu untuk..."Terdengar cekikikan dari arah belakang mereka.Yama memalingkan wajah, menelan amarah yang mendidih di tenggorokan. Otot-ototnya menegang, dan sebelum para perawat bisa mengantisipasi, dia berontak. Selang infusnya tercabut, dan darah menetes dari pergelangan tangan saat ia memaksakan diri bangkit."Eh, Tuan!" Salah seorang perawat segera bangkit dari kursinya saat mendapatkan gerakan mendadak dari
Dea menatapnya, merasa seolah dunia berhenti berputar. "Maaf, Yang Mulia? Ini tidak sesuai dengan keputusan awal, boleh saya tahu, apa yang terjadi?""Keputusan ini adalah titah kerajaan," ucap Ratu, menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa diganggu. "Sebagai seorang Lady, pernikahanmu dengan Pangeran Frans akan menyatukan dua bagian penting kerajaan ini. Pernikahan ini juga akan membuat kehidupan kalian menjadi lebih stabil dan mengembalikan citra Pangeran Frans di mata rakyat."Dea merasa matanya terbelalak tidak percaya. “Tapi… Yama? Apa yang akan terjadi pada Yama?” Suaranya bergetar, penuh kebingungan dan ketakutan.“Yama telah membuat pilihan sendiri. Kini saatnya dia meninggalkan kerajaan ini,” jawab Ratu, tanpa emosi. "Dia bukan bagian dari masa depan kerajaan ini, Dea."Dea merasa mulutnya kering. Hatinya seakan ditarik keluar dari dadanya, terasa kosong dan h
Marlina menegakkan tubuhnya dan memberikan senyuman dengan penuh kemenangan, dia merasa berhasil menguasai peperangan kali ini."Berikan mereka pernikahan. Pangeran Frans akan berubah menjadi Pangeran yang normal, layaknya Pangeran lain dalam kerajaan. Memiliki keluarga, anak dan bisa bekerja dalam lingkungan kerajaan. Dia hanya mencintai wanita bernama Dea itu, bukan ingin mencelakai siapa pun.""Pernikahan?" Ratu mencubit dagunya sendiri, mempertimbangkan.Marlina mengangguk tegas, "ya. Anggap saja Frans sedang mempertahankan apa yang menjadi miliknya. Dia ingin mempertahankan Dea di sisinya. Pria mana pun sanggup melakukannya, bukan?""Lalu Yama? Kembalikan saja pria itu ke negaranya sendiri dan jangan izinkan dia menginjak kerajaan kita lagi," lanjut Marlina dengan berapi-api.Keheningan sejenak menyelimuti ruangan mewah itu.Marlina melanjutkan kalimatnya,"kasihan sek
“Mulai malam ini, atas nama tahta Kerajaan, saya menganugerahkanmu gelar Lady Dea.""Terimalah."Dea tertegun, tak sempat bicara. Jantungnya berdegup lebih cepat. Kedua lututnya terasa lemas sehingga dia berlutut tanpa sadar."L-Lady?"Sang Ratu mengangguk. "Ini bukan hanya penghargaan. Ini adalah pengakuan. Kemari, berdiri dan terimalah gulungan emas ini lalu bukakah.”“Dengan gelar itu, kamu akan memiliki hak untuk duduk di dalam rapat penasihat dalam kasus khusus terutama dalam hal aksi sosial yang sedang kamu jalani,” lanjut Ratu. “Dan siapa pun yang berani menyentuhmu… akan dianggap mencemarkan kehormatan Kerajaan.”Dea berdiri dan melangkah dengan lutut yang masih gemetar. Tangan Dea bergetar saat menerima gulungan bermotif mewah itu. Tubuhnya mungkin masih lelah, tapi hatinya menyala dengan tekad baru. Ia bukan lagi gadis biasa yang selalu terseret badai. Ia