Di sudut tea house, seorang pria sedang duduk menikmati secangkir teh early grey yang dipesannya. Menikmati aroma teh yang begitu disukai dari minuman hangat itu. Perasaan tenang melingkupi hatinya tatkala minuman hangat masuk ke dalam tubuhnya melalui tenggorokannya.
Namun, baru saja menikmati afternoon tea-nya, suara ponsel berdering dan membuatnya meletakkan cangkir bergambar bunga yang berisi teh hangat ke atas meja.Senyumnya tertarik saat melihat nama siapa yang berada di layar ponselnya. Tak perlu berlama-lama, dia mengangkat sambungan telepon yang berasal dari negeri seberang.“Halo Sayang.” Suara lembut yang selalu menenangkan jiwa terdengar.“Halo, Mommy.”“Kapan kamu pulang?”Pria itu terdiam mendapati pertanyaan. Seketika dia mengingat janjinya pada mommy-nya jika dia akan pulang ke Indonesia hari ini. Justin Elvaro Adion-putra pertama Bryan Adion dan Olivia Shea. Anak dari salah satu pengusaha di Indonesia itu sudah enam tahun tinggal di London.Empat tahun, pria dua puluh lima tahun itu menempuh pendidikan di negara kerajaan Inggris itu dan dua tahun dia memutuskan untuk bekerja di salah satu perusahaan properti di Inggris.“Lusa aku akan pulang , Mom.”“Apa waktu enam tahun kurang El?” tanya Shea dengan nada menyindir.Biasanya El akan berdebat saat mommy-nya memanggil dengan nama kecilnya. El memang lebih suka dipanggil Justin dari pada El.Menurutnya panggilan itu lebih membuatnya tampak lebih dewasa. Namun, karena kali ini sang mommy sedang marah, pria dua puluh lima tahun itu tidak mau berdebat.“Iya, kali ini aku berjanji, Mom. Lusa aku akan pulang.”“Dengar El, Mommy akan benar-benar marah jika kamu tidak pulang.”Mendengar nada bicara yang tampak tak perlu bantahan dari mommy-nya, El kembali terdiam. Memberikan kesempatan mommy-nya untuk marah, meluapkan kekesalannya.El menyadari jika orang tuanya sangat sedih saat dua tahun lalu dia memutuskan untuk tidak pulang dan justru memilih tinggal di London.Dua tahun lalu, kakak sepupunya-Aaron Alexander Maxton atau yang biasa dipanggil Al, memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah lulus kuliah, sedangkan El memilih bekerja di salah satu perusahaan properti di London.Sejak di London, El memang tinggal dengan Al-anak pasangan Selly dan Regan Maxton. Usia El yang sama membuatnya selalu menempuh pendidikan di tempat yang sama. Lahir dengan keluarga yang begitu menyayangi, keduanya juga menyayangi dengan caranya sendiri.“Iya, aku janji, Mom. Jika nanti aku tidak pulang Mommy boleh coret dari daftar warisan,” goda El.“Dasar anak nakal!”“Jangan marah, nanti cantiknya Mommy hilang.”Shea yang di sebarang sana terdengar tertawa. Anak sulungnya memang tidak bisa membuatnya marah.“Baiklah, kabari Mommy jika pulang.”“Iya, nanti aku kabari agar Mommy bisa pasang red carpet untuk aku.”“Kamu pikir kamu artis?”El tertawa saat Mommy-nya sudah tidak lagi marah.“Mommy akan tunggu kamu pulang.”“Iya, Mommy Sayang.” El mengakhiri sambungan teleponnya.Kembali melanjutkan kegiatannya, dia meraih cangkir dan menyesap teh di dalamnya. Menikmati secangkir teh yang begitu menghangatkan sambil menikmati pemandangan di balik kaca tea house.Di balik kaca tea house menunjukan jalanan kota London. Terlihat beberapa orang lalu-lalang berjalan kaki untuk pergi ke tujuan mereka masing-masing.El tidak menyangka jika dia sudah enam tahun berada di London. Waktu bergulir dengan cepatnya, hingga dia tidak merasakan waktu begitu cepat. Mungkin karena dia menjalani hari-harinya dengan bahagia jadi waktu tak terasa.Di saat sang kakak sepupu-Al pulang dan sudah mulai membangun bisnis di negara sendiri, El justru masih bekerja di perusahaan orang lain. Namun, untungnya orang tuanya mengizinkan. Asalkan masih bisa dipertanggungjawabkan apa yang menjadi keputusan, mereka mempersilakan El melangkah sesuai keinginan.Secangkir teh yang dia tuang dari poci sudah habis, tetapi orang yang ditunggunya sedari tadi belum juga datang. Tak mau menunggu terlalu lama, El meraih ponselnya, mencoba menghubungi.Baru saja El menempelkan ponselnya, dia mendengar lonceng di pintu masuk berbunyi, tanda jika pengunjung baru saja masuk."Welcome," sapa pramusaji.Dari kejauhan El melihat seorang gadis yang dia kenal masuk ke tea house.Tampak sang gadis melihat ke sekeliling mencarinya. Saat menemukan di mana El berada, dia melangkah menghampiri.El terpaku saat gadis cantik itu menghampiri. Rambut hitamnya yang tergerai, bergerak mengikuti gerakan tubuh saat sedang berjalan, membuatnya begitu terpesona. Dengan mantel berwarna coklat, gadis itu menutupi tubuh mungilnya. Ankle boots dengan warna senada menunjukkan seberapa fashionable-nya wanita itu.Freya Callandra Julian-anak pertama dari Chika dan Felix Julian. Papa Freya bekerja di perusahaan Adion. Perusahaan yang merupakan milik dari Bryan Adion-daddy El.Empat tahun yang lalu Freya memutuskan untuk kuliah di London menyusul El dan Al yang lebih dulu. Dia mengambil jurusan bisnis, sama dengan El dan Al. Selama di London, dia tinggal bersama El dan Al di rumah kediaman Maxton. Sejak dua tahun lalu hanya El dan Freya yang tinggal di rumah itu, karena Al memilih kembali lebih dahulu.“I’m sorry,” ucapnya seraya menarik kursi. Senyum manis menghiasi wajahnya saat permintaan maaf terlontar.“Kamu hanya ingin bertemu denganku bukan pejabat. Aku sudah terbiasa melihatmu dengan wajah jelek, jadi untuk apa berdandan lama.” El sudah tahu apa yang menyebabkan gadis di hadapannya lama datang.“Ayolah, El. Aku malu jika orang melihatku dengan keadaan jelek.”El tersenyum tipis. Setiap pergi dengan Freya, wanita itu selalu panik saat ada orang yang melihatnya. Dia beranggapan jika tampilannya jelek. Entah mungkin ankle boots tidak serasi dengan mantelnya, atau mungkin wajahnya yang ada noda. Ada saja yang membuat Freya panik. “Jangan takut orang menilaimu jelek. Karena mereka tidak tahu seperti apa dirimu.”“Tapi, El—““Orang punya kacamatanya sendiri untuk melihat kita. Jadi di mata orang satu dengan yang lain tidak sama. Jangan jadikan pandangan orang lain menggubahmu menjadi seperti yang orang lain inginkan.”Freya memutar bola mata malas. El memang pria humoris, tetapi saat dia memberikan nasehat, dia seolah melihat sosok papanya pada El.El langsung tertawa melihat wajah kesal Freya. “Apa aku sudah mirip Papa Felix?” Kedekatan El dengan keluarga Freya memang terjalin karena daddy-nya berteman. Karena kedekatan itu, El memanggil “papa” pada Papa Freya, sama persis seperti yang dilakukan oleh Freya.“Menyebalkan sekali.” Baru otaknya berpikir hal itu, tetapi El sudah bisa menebak apa yang di pikirkan.Freya selalu malas mendengarkan nasihat papanya yang begitu panjang. Apalagi saat ingin pergi ke London. Seharian papanya memberikan nasehatnya. Dari mulai tidak boleh ini, tidak boleh itu, harus begini, harus begitu. Hal itu membuat Freya pusing.Di saat sedang kesal, seorang pramusaji datang mengantarkan pesanan. Tadi El sudah berpesan, jika temannya datang, teh dan snack bisa diantarkan. Secangkir white tea, tersaji di meja. Kemudian beberapa snack seperti muffin, cupcake dan butter cookies tersaji.“Apa kita akan tea party?” tanya Freya yang melihat begitu baca makanan.“Nikmati London sebelum kita pulang besok.” El tersenyum.Freya mengangguk dan menikmati teh dalam cangkir. Kekesalannya seketika menguap saat menikmati aroma teh. Itulah yang disuka saat menikmati teh. Perasaan tenang.***El dan Freya menikmati kudapan sore ini sambil bercerita banyak hal. Tea house semakin ramai, saat beberapa orang mulai datang. Menikmati teh di sore hari sudah menjadi kebiasaan orang Inggris. Biasanya mereka akan datang ke beberapa tea house yang menyajikan teh andalan mereka.Beberapa cangkir yang menarik terkadang menjadi daya tarik mereka untuk datang.“Jadi kamu akan mengambil barang-barangmu besok?”“Iya.” Hari ini sebenarnya hari terakhir El bekerja, tetapi karena dia sudah membuat janji dengan Freya, dia menunda mengambil barang-barangnya.“Lalu ke mana kita hari ini?” tanya Freya dengan semangat.“Menikmati London malam hari.” El memberikan ide pada Freya.“Baiklah, kita nikmati London malam ini.” Freya tersenyum senang. Pergi dengan El adalah hal menyenangkan baginya. El yang memiliki darah Inggris membuatnya tampak sama dengan mereka penduduk asli. Jadi Freya merasa tenang saat pergi bersama dengan El.Usai menikmati teh dan beberapa kudapan, mereka keluar dari tea house. Menyusuri jalanan kota London menuju ke sungai Thames.Sepanjang jalan mata dimanjakan dengan pemandangan kota London. Deretan hotel, toko dan restoran dengan bangunan kuno berjajar di sepanjang jalan.Jangan salah, walaupun terlihat bangunan itu kuno di luar, tetapi interior di dalamnya sangat modern. Bangunan itu adalah penggabungan dua hal yang begitu menakjubkan.“Apa kamu tahu, apa yang aku suka dari bangunan-bangunan ini?” tanya El seraya menunjuk bangunan-bangunan di sebelahnya.Freya menoleh pada El, tetapi kemudian beralih pada bangunan kuno di sebelahnya. “Apa?” tanyanya ingin tahu.“Jika bangunan ini adalah manusia, dia adalah manusia yang dipandang sebelah mata oleh orang.”“Kenapa bisa begitu?” Dahi Freya berkerut dalam.“Bayangkan saja bangunan begitu terlihat kuno dan orang pasti menganggap jika di dalamnya juga sama kunonya dengan yang di luar. Padahal di dalam begitu sangat menakjubkan.Sama halnya dengan manusia yang dipandang sebelah mata oleh orang. Mereka tidak pernah tahu jika sebenarnya di balik pandangan mereka ada kelebihan yang sengaja tidak diperlihatkan.”Freya mengangguk-anggukan kepalanya. “Apa kamu juga menyembunyikan kelebihanmu?”“Aku, apa yang aku sembunyikan. Semua sudah terpampang nyata.”“Apa yang terpampang?” Freya tidak mengerti apa yang ada pada El.“Ketampananku, ini sudah terpampang nyata.” Senyum puas terukir di wajah pria dua puluh lima tahun itu.Freya memutar bola matanya malas. Walaupun sejujurnya dia mengakui jika El memang tampan, tetapi dia tak mau mengatakannya. Wajah El yang blasteran Inggris-Indonesia memang begitu memesona. Mata birunya begitu indah saat menatap. Tinggi badannya yang standar orang Inggris memang memperlihatkan jika dia tak berbeda dengan penduduk asli di negara kerajaan Inggris itu.“Kamu terlalu percaya diri!” cibir Freya.“Apa kamu tidak sadar jika banyak wanita menyukaiku?” Dengan bangganya El memamerkan pada Freya.Freya akui jika banyak yang menyukai El. Apalagi teman-teman yang sekelas dengannya. Beberapa dari mereka menitipkan salam padanya untuk El. Ada yang secara terang-terang mengajak El untuk menikmati malam, tetapi Freya tidak menyampaikan hal itu. Dia tidak rela El tidur dengan wanita yang tidur dengan banyak pria.“Iya, kecuali aku.” Freya menjulurkan lidahnya, meledek El. Kemudian berlari meninggalkan El.El tak terkejut dengan aksi Freya itu. Mengejar Freya, dia berusaha untuk mendapatkan wanita itu.Ankle boots milik Freya yang mempunyai ketinggian enam centimeter itu memang tak bisa membuat wanita itu berlari cepat. Hingga akhirnya El dapat menangkap tubuh mungil yang berbalut mantel itu. Membawanya ke dalam pelukannya.“Suatu saat kamu akan menyukai aku.”“Itu tidak akan pernah terjadi.” Freya tertawa.Tawa lepas yang selalu dilihat El sedari kecil. Wajah cantik Freya begitu membuat El terpesona. Saat sedang sibuk memandangi wajah Freya, El melonggarkan pelukannya. Hingga akhirnya membuat Freya dapat terlepas dan berlari meninggalkan El yang masih diam terpaku.Teng! Teng! Teng!Denting Big Ben terdengar membuat Freya yang berlari, berhenti. Membuat El yang sedari terfokus pada Freya, beralih pada ikon kota London itu. Mata tak berhenti memandangi keindahan dari jam yang diklaim sebagai jam paling akurat itu. Konon katanya jam itu tidak pernah berhenti berdetak selama satu abad lamanya.Freya mengayunkan kembali langkahnya ke tempat di mana dia meninggalkan El. Bergabung dengan El yang sedang terpesona tanpa berkedip melihat jam terbesar itu.“Aku serasa ingin membawa London bersamaku.” Freya menatap Big Ben. Masih begitu berat meninggalkan kota yang sudah ditinggalinya empat tahun ini.“Aku akan bawa London ke Indonesia untukmu.”Freya memutar bola matanya malas. Sudah begitu hafal dengan ucapan El yang tidak serius. Secara logika Freya, mana bisa membawa London.“Ayo, jangan sampai kita kehilangan langit sore yang indah.” Freya menarik tangan El, mengajaknya melanjutkan perjalanan menuju ke London Eye. Dari atas saja, Freya ingin menikmati langit sore yang indah.El pasrah saat tangan lembut menariknya. Membawanya ke tempat yang Freya suka. Begitulah El, membiarkan Freya mengajaknya ke mana dia suka, dengan alasan asalkan Freya bahagia.El dan Freya masuk pada kapsul yang akan membawanya ke atas untuk melihat pemandangan kota London dari atas. Bersama dengan beberapa orang di dalamnya, mereka menikmati kota London dari ketinggian.Dari atas, terlihat kota London sejauh 25 mil atau 40 kilometer. Langit sore begitu indah saat dilihat dari atas. Serasa berada di antara burung-burung beterbangan yang berada di langit.“Kapan kita akan kemari lagi?” tanya Freya menatap El.“Nanti saat kita bulan madu.”Freya membulatkan matanya. Kemudian memukul lengan El. Kesal karena saat sedang serius, El justru bercanda, tetapi El justru tertawa. Menggoda Freya begitu mengasyikkan.Puas melihat langit sore dari London Eye, mereka memilih untuk makan malam di restoran biasa mereka makan. Menikmati makan malam terakhir di kota tempat mereka tinggal beberapa tahun belakangan ini.“Apa barang-barangmu sudah kamu kemasi?” tanya Freya saat makan.“Belum, nanti setelah pulang dari sini saja, karena sudah beberapa aku kemasi.”“Kalau begitu aku akan mengemasi juga malam ini.”“Besok pagi juga masih ada waktu. Kamu bisa mengemasi saat aku pergi ke kantor.”“Aku ingin ikut kamu ke kantor.” Freya menatap penuh permohonan.El tersenyum. Freya memang sudah biasanya menyusulnya ke kantor saat pulang dari kampus. Gadis cantik itu beralasan tidak mau di rumah sendiri. Tak menolak, El mengangguk. Lagi pula besok dia hanya akan mengambil barang-barangnya yang memang sudah dirapikannya.Puas menikmati makan malam, mereka memilih untuk segera pulang. Rasa lelah begitu mendera ketika mereka harus berjalan kaki dari halte bus ke rumah.“Selamat malam,” ucap El sebelum menuju ke kamarnya. Kamarnya berada tepat di samping Freya.“Malam El.” Freya tersenyum dan masuk ke dalam kamar. El masuk ke dalam kamarnya. Membersihkan diri terlebih dahulu sebelum akhirnya merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.El memandangi langit-langit kamarnya. Saat matanya hendak terpejam, suara ponsel terdengar dan mengurungkan niatnya. Dengan malas El meraih ponselnya. Melihat siapa yang menghubunginya malam-malam.“Hai Al ... “ sapanya saat mengangkat sambungan telepon.“Kapan kamu pulang?” Suara datar yang mengandung seribu perhatian.“Apa kamu merindukan aku?” goda El.“Cih ... siapa yang merindukanmu.”El langsung tertawa. Walaupun kakak sepupunya itu tidak mengatakan rindu, tetapi dia tahu jika sebenarnya ada kerinduan terselip, karena jika tidak, tidak mungkin pria dingin itu mau menghubungi.“Lalu untuk apa kamu menghubungi?”“Mommy menyuruh menanyakan.”El tahu mommy siapa yang dimaksud oleh Al. Siapa lagi jika bukan Mommy Selly. Kakak dari daddy-nya itu memang sudah seperti ibunya sendiri. “Sampaikan pada mommy untuk menyambutku lusa.”“Baiklah, kami akan menunggumu. Sampai berjumpa di sini."“Iya, sam
“Hai, Kak Freya.” Ghea beralih pada Freya. Memeluknya erat. Dari kecil Freya dan adiknya adalah temannya, jadi mereka sangat dekat.“Kakak semakin cantik saja.”“Kamu juga.” Freya tersenyum.“Pantas Kak El betah di London,” goda Ghea seraya melirik ke arah El.Wajah Freya memerah mendengar ucapan Ghea, merasa sangat malu sekali. El tak kalah malu dengan ucapan adiknya.“Sembarangan saja kalau bicara!” El menghampiri Ghea, tetapi gadis cantik itu justru bersembunyi di belakang Freya, membuat El dan Freya saling menatap. Entah kenapa El merasakan perasaan aneh saat menatap Freya.Mungkin hanya perasaan malu saja.“Kalian ini sudah lama tidak bertemu, tetap saja bertengkar,” tegur Shea.“Apa Mommy tidak sadar jika bertengkar itu tanda sayang?” Ghea yang bersembunyi di belakang Freya menghampiri El dan memeluk tangannya. Senyum manis ditampilkan di wajah cantiknya untuk membujuk kakaknya.“Dasar!” El mengac
Di rumah sebelah kehebohan juga tercipta. Shea dan Selly yang sudah menyiapkan makanan meminta El untuk makan terlebih dahulu, tetapi El memilih untuk menyegarkan tubuhnya terlebih dahulu.Mau tak mau ibu-ibu harus menunggu putra mereka mandi terlebih dahulu. Mereka memilih sambil mengobrol di ruang keluarga.El masuk ke dalam kamarnya. Kamar yang sudah lama sekali dia tidak tempati. Saat masuk, El melihat kamar tampak bersih dan tertata rapi. Dia tahu sekali jika mommy-nya menjaga kamarnya dengan baik.Tak berlama-lama, El masuk ke dalam kamar mandi. Tubuhnya yang lengket ingin sekali dia segera bersihkan. Di bawah kucuran air, dia membasahi tubuhnya. Rasanya segar sekali saat air mengalir di tubuhnya.Menyelesaikan mandi, dia keluar dari kamar. Namun, saat keluar dia dikejutkan dengan Al yang sudah berada diq kamarnya. “Kamu di sini?” tanyanya seraya mengayunkan langkahnya ke lemari, mengambil pakaian dan memakainya.“Aku mengantarkan k
Pagi ini rumah El begitu riuh. Bagaimana tak riuh saat suara mommy-nya menggelar, menyambut pagi. El yang dari kamar mendengar suara berisik, mau tak mau bangun.Dengan malas, dia membuka pintu kamarnya. Saat membuka pintu, mommy-nya sedang mengetuk pintu kamar Bian yang tak kunjung bangun.“Bian ... bangun.” Shea terus saja membangunkan anak bungsunya.“Bian belum bangun?” tanya El.“Adikmu ini memang susah sekali dibangunkan.” Shea terus mengetuk pintu agar anaknya bangun.“Biar El saja, Mom.”Shea yang masih harus menyiapkan sarapan, mau tak mau akhirnya mengizinkan El membangunkan Bian. Menyerahkan tugas pagi ini pada anak sulungnya.“Bi ....” El mengetuk pintu.Sekitar tiga kali El memanggil dan mengetuk, akhirnya Bian membukakan pintu juga. Namun, adiknya itu justru kembali ke tempat tidur, kembali memejamkan matanya lagi. El hanya bisa menggeleng. Kemudian dia ikut merebahkan tubuhnya ke tempat tidur.
El yang melajukan mobilnya, menuju ke kantor daddy-nya. Semua karyawan melihat terheran-heran melihat pria dengan pakaian casual datang ke kantor. Untung El membawa jaket kulit hitam untuk menutupi kaos yang di pakainya, jadi masih terlihat tak seperti ingin jalan-jalan. Selain fokus pada pakaian El, mereka fokus pada wajah tampan El.“Dia anak Pak Bryan,” ucap salah satu karyawan.El yang melewati tersenyum manis. Dia langsung menuju ke ruangan daddy-nya mengingat dia adalah anak dari pemilik perusahaan. El sedikit merutuki karena dia datang dengan pakaian biasa saja. Merasa tidak enak dengan karyawan lain.El sampai di depan ruangan daddy-nya. Di depan ada sekretarisnya yang sudah menyapanya dan mengantarkan El untuk ke ruangan daddy-nya.“Hai El ... “ sapa Felix yang melihat El masuk.Felix Julian yang dulu bekerja sebagai asisten CEO Adion, kini sudah berganti jabatan sebagai COO (chief operating officer) dari Adion. Lebih mudah diar
Shea dan Chika pun hanya tersenyum. “Emm ....” Shea berdeham untuk mengalihkan pandangan El dan membuka mata Freya.El terkejut saat melihat mommy dan mamanya berjajar menontonnya. Pandangan mereka seolah penuh tanda tanya. Tak butuh waktu lama, dia bangkit. “Tadi kursinya goyang,” elaknya.“Iya, aku tidak memegangi dengan benar.” Freya yang merasa tidak enak.“Benarkan kursinya dan selesaikan pekerjaanmu,” ucap Shea tegas. Kemudian berbalik dan mengajak Selly dan Chika kembali ke dapur. Senyum mereka bertiga terhias di wajah cantik yang sudah semakin menua saat melihat aksi anak-anak mereka.El dan Freya yang merasa tidak enak saat melihat pandangan orang tua mereka jadi salah tingkah.“Kamu bagaimana El? Kenapa bisa jatuh?” protes Freya.“Harusnya aku yang bertanya, kenapa bisa kamu tidak memegangi dengan benar kursinya?”“Kenapa aku yang salah?” tanya Freya menatap kesel pada El.
El yang selesai keluar dari kamar dan menuju taman belakang di mana diadakannya pesta. Bergabung dengan keluarga yang sudah berkumpul.Memilih tempat duduk di samping Freya, membuat gadis cantik itu berada di antar dua pria tampan.Freya yang melihat El masih dalam mode malu. Sejauh ini dia kenal El memang baru kali ini dia melihat El dengan handuk di pinggang.Walaupun dia pernah melihat El saat berenang dengan celana renang, entah kenapa terasa berbeda. Dia sedikit membenarkan ucapan papanya yang mengatakan jika dia sudah besar dan memang akan jadi lain jika berdua.Sesaat El duduk. Tampak Theo Julian-kakek Freya datang. Dia memang sengaja diundang oleh Bryan, mengingat dia adalah kakek dari Freya.“Silakan, Paman,” ucap Bryan pada Theo.“Terima kasih sudah mengundangku, Bry.” Theo duduk di samping Daniel. Dia sudah cukup lama berteman dengan Daniel. Hingga akhirnya pertemanannya menurun pada anak
Di kantor lain, Freya masih menunggu Al datang. Tadi sekretaris Al mengatakan jika Al sedang ada urusan pagi ini, jadi dia datang ke kantor terlambat. Kemarin Freya memang sudah mendengar jika dia akan menjadi asisten Al selama bekerja di Maxton. Namun, dia belum mengetahui pekerjaan apa yang harus dilakukan oleh Freya.Sekitar tiga puluh menit Freya menunggu, akhirnya Al datang. Terbiasa melihat Al dengan pakaian casual membuat Freya terpesona dengan Al. Setelan jas yang melekat di tubuh Al begitu pas di tubuh pria itu. Rambut yang tertata rapi membuat penampilan Al terlihat begitu rapi.“Pagi Pak Aaron,” sapa sekretarisnya.Freya baru tahu jika Al dipanggil dengan nama depannya. Dia yang duduk di sofa, berdiri dan menyapa Al. “Pagi, Pak,” sapa Freya.Al tersenyum saat mendengar sapaan Freya.“Pagi, Frey, ayo masuk ke dalam.” Mengayunkan langkahnya, Al masuk ke ruangannya. “Duduk!” perintah Al seraya menunjuk ke kurs
“Kamu yakin menitipkan anak-anak ke daddy dan mommy?” tanya Freya memastikan. “Iya.” El tersenyum menyeringai. Dia memanfaatkan situasi dengan benar seperti yang dikatakan oleh daddy-nya.“Aku malu. Kalau mereka tanya mau apa kita, kita jawab apa?” Freya merasa malu ketika harus menitipkan anak-anaknya. “Mereka lebih paham. Tidak perlu menjelaskan panjang kali lebar.” El tahu jika orang tua mereka lebih paham akan hal itu. “Baiklah, aku akan pastikan yang akan dibawa.” Freya tidak mau ada yang sampai ketinggalan. Yang ada dirinya pasti tidak akan tenang bersama dengan El nanti ketika pergi. “Baiklah, aku akan lihat anak-anak dulu.” El mengayunkan langkah ke kamar sebelah. Mengecek anak-anak yang masih tidur lelap. El tersenyum. Dia merasa waktu bergulir begitu cepatnya. Anak-anak tumbuh begitu cepatnya. Belum lama El mengendong mereka bergantian. Kini mereka sudah bisa digendong bersamaan. Tepat saat El sedang meme
Suara tangis yang saling bersahutan terdengar mengisi keheningan malam. Di saat orang-orang sedang terlelap tidur, sepasang orang tua baru itu tampak sibuk menenangkan dua bayi yang kini sudah berusia lima bulan tersebut. Biasanya Kean akan anteng ketika malam hari, tetapi kali ini dia ikut menangis juga. Freya yang menyusui Lean harus pasrah ketika Kean menangis. El langsung mengambil susu yang disiapkan dan menghangatkannya. Sambil menunggu menghangatkannya, El mengajak main anaknya. Dia meletakkan Kean di atas bahunya, memanggulnya seraya memegangi tangannya. Seketika bayi kecil itu terdiam.El mengayun-ayunkan tubuh Kean hingga membuat melayang-layang. Kean langsung tertawa terbahak merasakan tubuhnya diayun-ayunkan. Tawa Kean itu menarik perhatian Lean. Adiknya itu langsung menoleh. Mulutnya yang masih menyesap puncak dada mommy-nya, tanpa sadar menariknya begitu saja sambil melepaskannya. Membuat mommy-nya mengaduh kesakitan dengan aksi si bungsu. Bola
Waktu bergulir dengan cepatnya. Semua menanti kelahiran penerus dari dua keluarga. Setelah kejadian kemarin, semua keluarga menjaga Freya. Apalagi sudah menjelang melahirkan, pastinya Freya perlu pengawasan penuh. Mommy Shea dan Mama Chika selalu berganti menjaga Freya di saat El bekerja. Tak mau sampai anak dan cucu mereka kenapa-kenapa. El yang biasanya pulang larut malam pun, kini pulang lebih awal. Tak mau sampai kehilangan momen. Mengingat Freya sudah akan melahirkan dan di saat itu, dia ingin selalu ada di sisi istrinya.“Ini sudah jalan berapa minggu?” El yang merebahkan tubuhnya, meletakkan kepalanya di kaki istrinya. Menghadap ke arah perut Freya yang semakin membesar. “Tiga puluh sembilan.” “Kenapa lama sekali mereka keluar. Bukankah harusnya mereka keluar di antara waktu tiga puluh tujuh minggu sampai empat puluh minggu.” El selalu dengan saksama mendengarkan ucapan dokter. Jadi dia selalu tahu perkembangan ibu hamil. “Enta
“Pa, cepat!” El menepuk kursi kemudi dari belakang. Meminta untuk papa mertuanya bergegas untuk melajukan mobilnya. “Sabar, El.” Rasanya, Felix benar-benar mengulang kepanikan sewaktu El lahir. Temannya-Bryan juga menepuk kemudinya, hingga membuatnya lemas. “Berapa bulan sebenarnya usia kandungan anak Freya?” tanya Papa Felix. Mengingat El yang lahir prematur membuat Papa Felix takut jika cucunya akan mengalami hal yang sama. “Tiga puluh enam minggu, Pa.”El menatap Freya dengan tatapan kasihan. Freya tampak meringis kesakitan saat perutnya kencang. Dengan usia segitu, artinya anak akan dilahirkan prematur. Karena usia tiga puluh tujuh-baru anak dikatakan normal. Papa Felix hanya bisa berharap semua baik-baik saja. Mobil berhenti di depan Rumah sakit. El buru-buru membawa Freya keluar dari mobil. Saat keluar dari mobil, mereka sudah disambut oleh perawat. Namun, El justru membawa Freya dengan tangannya sendiri ke UGD.Papa Fe
Sebagai pengusaha muda, El mulai diperhitungkan. Namanya mulai dikenal di kalangan pengusaha. Apalagi, El terkenal membangun bisnisnya di luar negeri. Kini perusahaannya sudah bergabung dengan Julian Company. Semua proyek pembangunan di bawah tanggung jawab El. Tiga bulan sejak kematian Kakek Theo, perusahaan semakin membaik di bawah pimpinan El. Seperti yang diharapkan Kakek Theo, El berusaha keras memajukan perusahaan. Menjalin kerja sama dengan beberapa kolega sang kakek mertua. “Sayang, ingat besok aku, mama dan mommy akan pergi untuk mencari baju untuk anak kita. Jadi aku harap kamu ikut!” Freya memberi peringatan penuh pada suaminya itu. Beberapa hari belakangan ini El sibuk bekerja hingga malam. Dia takut saat libur, suaminya itu akan tetap bekerja. Kini usia kandungan Freya sudah mencapai dua puluh sembilan minggu atau setara dengan tujuh bulan satu minggu. Semua persiapan mulai dilakukan oleh keluarga, termasuk membeli perlengkapan dari mulai baju dan pe
Beberapa hari ini El disibukkan dengan kepindahannya kantor. Kini kantornya berada di kantor Julian Company. El bertanggung jawab atas perusahaan istrinya karena sang istri yang sedang hamil dan tidak bisa mengurusi perusahaan. Namun, nanti saat sang istri sudah bisa bekerja kembali, dia akan menyerahkannya kembali. Keluarga yang lain pun tidak masalah. Mereka menyerahkan pada El. Terutama Papa Felix. Dia yakin El bisa mengurus perusahaan peninggalan papanya itu. Tidak terasa kandungan Freya sudah mencapai dua puluh minggu. Perutnya semakin hari semakin membesar. Semakin bertambahnya usia kandungannya, mual yang dirasakan Freya semakin berkurang. Dia pun sudah mulai bisa makan seperti biasanya. Justru dia sangat lahap saat makan.El keluar dari kamar mandi. Menggosok-gosokan rambutnya yang basah. Melihat istrinya yang sedang berada di depan cermin. Tampak istrinya itu sedang melihat wajahnya yang terlihat sangat gembil. “Semakin hari, kamu sema
Freya hanya bisa menangis di atas makam sang kakek. Perasaannya hancur ketika tak bisa ikut mengantarkan kakeknya ke peristirahatannya terakhirnya. Dia yang harus pingsan, justru menghabiskan waktu di Rumah sakit.“Jangan bersedih terus. Kamu harus kuat.” El mencoba menenangkan sang istri. Membelai punggung lembut sang istri. Berharap istrinya dapat tenang. El dapat merasakan betapa sedihnya istrinya, tidak bisa menemani sang kakek untuk terakhir kalinya. “Kakek bilang dia ingin bermain dengan cicitnya.” Freya menoleh ke arah suaminya. Matanya yang sudah sembab-menandakan jika dia terus menangis tanpa henti. Freya mengingat apa saja yang dia rencanakan dengan sang kakek sewaktu di Rumah sakit. Namun, rencana tinggal rencana, karena kini sang kakek pergi untuk selama-lamanya. “Iya, dan dia tidak akan senang jika kamu membuat cicitnya kenapa-kenapa. Jadi jangan terus bersedih.” El membawa istrinya dalam pelukan. Manusia hanya bisa berharap dan Tuhanlah yan
Papa Felix merasa cemas dengan keadaan papanya. Pikirannya menerka-nerka apa yang terjadi dengan papanya. Ada sedikit ketakutan dalam hatinya karena apa yang sudah dilakukannya kemarin yang menjadi papanya itu masuk Rumah sakit. Turun dari mobil, Papa Felix langsung menghubungi sekretaris papanya, menanyakan keberadaan papanya. “Apa yang terjadi?” Tepat di depan ruang rawat, Papa Felix bertanya pada sekretaris papanya. Pandangannya penuh ketakutan dan kecemasan. “Pak Theo sudah masuk ke Rumah sakit sejak tiga hari yang lalu, dan sekarang kondisinya menurun.” “Sudah tiga hari dan kamu baru memberitahu sekarang!” Papa Felix ingin melayangkan bogem mentah pada sekretaris papanya itu, tetapi ditahan oleh Daddy Bryan. Temannya itu membawa Felix untuk duduk. Tubuh Felix begitu lemas. Tiga hari artinya di saat dirinya bertemu dengan papanya dan pastinya papanya sakit karena semua ucapannya. “Maaf, Pak, selama ini Pak Theo melarang untuk men
Papa Felix kembali ke Rumah sakit setelah puas mengungkapkan semua perasaan dalam hatinya. Dia sedikit menyesali karena tidak melakukannya sejak lama dan justru membiarkan papanya melakukan apa yang dia mau. Namun, kini Felix tidak akan membiarkannya. Dia akan menjaga anak dan cucunya. Sampai di Rumah sakit sudah banyak orang yang datang. Ada kedua orang El yang ada di sana. Istrinya pun turut hadir di sana. “Kamu dari mana?” tanya Mama Chika pada suaminya. “Dari kantor papa.” Wajah Felix tampak masih terlihat kesal. Masih ada amarah yang meliputinya. “Papa marah dengan kakek?” tanya Freya cepat ketika mendengar ucapan dari papanya. “Dia tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ini sudah melampaui batas. Harusnya dia tidak seenaknya memintamu mengecek proyek langsung karena kamu sedang hamil. Lagi pula masih banyak karyawan yang bisa dia suruh untuk mengecek.” “Ta—”Freya masih mau menyanggah, tetapi El memegangi lenganny