Shea dan Chika pun hanya tersenyum. “Emm ....” Shea berdeham untuk mengalihkan pandangan El dan membuka mata Freya.
El terkejut saat melihat mommy dan mamanya berjajar menontonnya. Pandangan mereka seolah penuh tanda tanya. Tak butuh waktu lama, dia bangkit. “Tadi kursinya goyang,” elaknya.“Iya, aku tidak memegangi dengan benar.” Freya yang merasa tidak enak.“Benarkan kursinya dan selesaikan pekerjaanmu,” ucap Shea tegas. Kemudian berbalik dan mengajak Selly dan Chika kembali ke dapur. Senyum mereka bertiga terhias di wajah cantik yang sudah semakin menua saat melihat aksi anak-anak mereka.El dan Freya yang merasa tidak enak saat melihat pandangan orang tua mereka jadi salah tingkah.“Kamu bagaimana El? Kenapa bisa jatuh?” protes Freya.“Harusnya aku yang bertanya, kenapa bisa kamu tidak memegangi dengan benar kursinya?”“Kenapa aku yang salah?” tanya Freya menatap kesel pada El.“Lalu aku mau menyalahkan siapa jika bukan kamu? Kita hanya berdua berada di sini” El tetap tak mau kalah.Mereka berdua memang berteman dan dekat, tetapi bukan berarti tidak pernah terjadi perdebatan. Untuk hal remeh pasti selalu menimbulkan perdebatan. Mewarnai pertemanan mereka.Karena kesal, mereka berpisah. El memilih ke kamar, sedangkan Freya memilih pulang. Sejak kecil mereka selalu begitu jika marah. Cara itu adalah cara ampuh meredam emosi. Memilih untuk tidak bertemu. Karena saat bertemu dalam keadaan marah, yang ada justru menambah keruh pertengkaran.El yang sudah puas di kamar menyendiri dan meredakan emosinya keluar dari kamar. Di luar sudah ramai orang-orang yang sedang bersiap untuk pesta. Tampak Ghea yang sedang membantu mommy-nya merapikan makanan.“Pulang dengan siapa kamu tadi?” tanya El pada Ghea.“Dengan Kak Dean siapa lagi,” celetuk Bian. Dia yang sedang menonton balap motor di televisi masih saja ikut pembicaraan Ghea dan El.“Dasar!” jawab Ghea kesal.“Daddy belum pulang?” El meraih apel yang berada di meja dan memakannya.“Paling sebentar lagi.” Dean kembali menjawab.El yang gemas menghampiri Dean. “Saat fokus menonton, masih sempat saja kamu menjawab.” Dia duduk tepat di samping Bian.“Fokus pada tujuan bukan berarti lupa lingkungan sekitar, bukan?”Mata El membulat, tak menyangka adiknya bijak menjawab. “Dasar!” Dia tersenyum seraya mengacak rambut Bian. Merasa gemas dengan adiknya.Saat sedang menikmati suasana hangat dan kesibukan mempersiapkan, terdengar suara nyaring dari pintu luar.“Selamat sore.”El yang penasaran menoleh ke arah pintu masuk.“Itu Kak Cia, tidak perlu menoleh,” ucap Bian.“Kamu sensitif sekali dengan Ghea dan Cia?” tanya El tersenyum.“Mereka berisik, aku malas.”El tersenyum.“Hai Kak El ...,“ sapa Cia.“Hai ... ada apa kemari?”“Mengantarkan kue.”“Kamu yang buat?” Ghea dan Bian langsung bertanya. Penasaran kue buatan siapa yang diberikan oleh Cia.“Nenek yang buat.” Cia meletakkan kue di atas meja makan.Ghea dan Bian menghembuskan napas, merasa lega karena ternyata bukan Cia yang membuat kue tersebut.“Terima kasih,” ucap Ghea.“Memang kenapa jika Cia yang membuat?” tanya El berbisik pada Bian. Dia merasa heran dengan reaksi adik-adiknya.“Rasanya benar-benar tidak enak,” jawab Bian berbisik.El masih tidak menyangka, karena setahunya nenek Cia seorang koki kue, dan Cia juga sekolah untuk meneruskan usaha neneknya. “Jangan membuat isu kamu,” tegurnya.“Lain kali Kak El harus coba kue buatanku,” ucap Cia menghampiri El.“Silakan mencoba dan buktikan sendiri,” bisik Bian seraya menatap Cia.“Oh ... iya Cia, aku akan mencobanya nanti jika kamu membuat.”“Baiklah aku akan buat nanti spesial untuk Kak El.”Bian dan Ghea saling pandang. Mereka menahan tawa. Tak sabar melihat reaksi El saat makan kue buatan Cia.Cia duduk di samping El ikut menonton dengan El dan Bian yang sedang mengomentari balap motor.“Kak El tahu tidak Kak Freya kenapa?” Cia bertanya sambil makan kacang yang berada di meja.“Memang kenapa?” El masih mode makan apel yang dari tadi di tangannya.“Sewaktu aku pulang, aku mengetuk pintu kamarnya, tetapi dia tidak membuka pintu.”Sejenak El terdiam. Ingatannya kembali pada pertengkaran tadi. Pasti dia kesal, batinnya. Tanpa mengatakan apa-apa El berdiri dan keluar dari rumah.Bian dan Cia yang duduk dengan El, merasa heran dengan yang dilakukan El. “Aku tadi hanya bertanya, kenapa dia pergi begitu saja?” gumam Cia.El yang keluar dari rumah langsung menuju ke rumah Freya. Menyapa Chika yang membuka pintu, El meminta izin ke kamar Freya. Karena sudah menjadi hal biasa El ke rumah, Chika mengizinkan.Di depan kamar Chika, El mengetuk pintu. “Frey ...,“ panggil El. Tidak ada jawaban dari dalam kamar hingga El mengulang kembali.“Frey, buka pintunya, aku ingin bicara.”“Fre—“ Tangan El mengetuk pintu kembali.“Apa?” potong Freya yang membuka pintu.El dengan wajah polosnya masuk ke dalam kamar. “Kamu marah?”Freya tidak menjawab. Dia langsung merebahkan tubuhnya tengkurap di atas tempat tidur. Dia masih sangat kesal karena El menyalahkannya.“Maaf, tadi aku emosi. Aku hanya kaget saja karena jatuh.” El merebahkan tubuhnya, mencoba membujuk Freya. “Coba bayangkan jika tubuhku jatuh, tubuhmu tinggal diberikan sambal dan jadilah ayam geprek. ““El ...,“ panggil Freya seraya memukul El.El pasrah dipukul, tetapi sesaat kemudian dia memegangi tangan Freya. Menatap gadis cantik yang berada di hadapannya. “Maaf ....” Meminta maaf saat menyadari kesalahan adalah hal biasa yang dilakukan El. Tak pernah malu karena sebuah permintaan maaf.Seketika Freya luluh. El selalu tak bisa membuatnya marah terlalu lama. “Aku yang harusnya minta maaf. Aku harusnya memegangi kursi dengan baik. Aku ....”El menghentikan Freya yang terus berbicara. Dengan jarinya, dia menghentikan Freya berbicara. Mata birunya menatap dengan tajam. “Tidak ada yang salah karena memang takdir yang membuatku terjatuh.”Entah kenapa Freya melihat El tampak lain saat memandanginya. Namun, buru-buru dia menghilangkan pertanyaan dalam hatinya itu.Saat mereka sedang asyik dengan saling memandang, pintu kamar terbuka. Tampak Felix yang baru pulang kerja melihat anak gadisnya dengan anak laki-laki-tetangga sebelah.“El ... Freya ... apa yang kalian lakukan?” teriak Felix.El dan Freya seketika menoleh. Melihat Felix yang tampak sangar, membuat mereka langsung bangkit dari tempat tidur.“Pa, kami tidak melakukan apa-apa.”“Mana bisa Papa percaya saat laki-laki dan perempuan berada di dalam satu kamar yang sama.” Wajah Felix memerah marah.“Pa, dengarkan penjelasan kami.” Freya mendekat pada papanya.“Menjelaskan apa? Bahwa kalian baru saja berciuman?” Dari apa yang dilihat Felix, dia menangkap jika anaknya baru saja berciuman.“Pa, aku tidak melakukan hal itu,” elak Freya.“Pa, kami tidak melakukan hal itu. Tadi Freya marah, dan aku membujuknya. Itu saja.” El merasa takut Papa Freya tidak percaya padanya.Felix menatap El dan Freya bergantian. Mencari kebohongan dari sorot mata mereka. “Kali ini Papa percaya, tetapi jika Papa temukan kalian di kamar berdua, Papa nikahkan kalian!”Mata Freya membulat. “Kenapa dinikahkan? Bukannya kami sering di kamar berdua?”Felix menatap lekat anaknya. “Apa kamu lupa jika kalian sudah dewasa? Dulu kalian bisa tidur berdua karena masih kecil, tetapi jika kalian tidur berdua lagi, yang ada kalian membuat anak kecil.”“Pa ....” Freya malu dengan ucapan papanya.El tak kalah malu mendengar ucapan Felix. Daddy dan Papanya itu memang asal jika berbicara, tetapi tetap saja membuat pipinya merona.“Sudah-sudah, “ ucap Felix, “kalian pergi bersiap untuk pesta. Sudah ada nenek dan kakek yang datang.”Freya dan El mengangguk. Kemudian El keluar dari kamar Freya dan pulang ke rumah untuk bersiap.***Pesta dimulai. Beberapa orang datang ke rumah Bryan dan Shea, sengaja untuk merayakan kedatangan El dan Freya. Sebenarnya bukan pesta besar karena hanya dihadiri oleh keluarga saja, tetapi tetap saja ramai. Dari mana lagi jika bukan ramai karena suara Ghea dan Cia yang sedari tadi tak berhenti berbicara.“Lihat siapa yang datang, pemilik pesta,” ucap Felix saat melihat Freya datang ke rumah El.Gadis cantik itu tampil cantik dengan gaun tanpa lengan dengan potongan sampai di lutut. Gaun dengan tule di pundaknya, pundak mulusnya sedikit tertutup.Al yang melihat Freya, terpaku. Dulu sewaktu di London, dia memang tidak pernah memerhatikan Freya. Sekalipun mereka berpapasan bertemu, dia lebih sering melihat Freya dengan tampilan casual.Freya mengayunkan langkahnya menghampiri orang-orang yang sedang berkumpul di taman belakang. Melewati Al, dia mencoba tersenyum. Di luar dugaan Freya, senyumannya dibalas oleh Al. Itu adalah kali pertamanya dia melihat Al tersenyum. Entah perasaan apa yang melingkupi hatinya. Perasaannya begitu senang.“Cantik sekali kamu.” Melisa yang melihat Freya langsung membelai wajah cantik Freya.“Terima kasih, Nek.”“Kalau cantik, bisa dijadikan calon cucu mantu, Bi,” goda Felix pada Melisa.“Kamu itu ada-ada saja.” Melisa tertawa.Freya hanya bisa memasang senyuman di wajahnya saat papanya dengan sengajanya mengatakan hal itu. Tak mau membuat wajahnya semakin memerah, Freya berpamitan untuk mengambil minum.Berjalan dari rumahnya ke rumah El membuatnya tenggorokannya kering. Menuju salah satu meja, dia mengambil minuman dan meminumnya. Matanya sesekali menyapu pandangan, mencari El yang belum tampak batang hidungnya.“Hai ...,“ sapa Al yang menghampiri.Karena terkejut dengan suara yang tiba-tiba dari belakang, membuat Freya tersedak. Tangan Al langsung bergerak membelai punggung Freya untuk meredakan.“Kamu tidak apa-apa?” Al memberikan sapu tangannya pada Freya untuk mengusap bibirnya yang basah.Tanpa penolakan, Freya menerima, kemudian mengusap bibirnya yang basah. “Terima kasih.”“Maaf aku mengagetkanmu.”“Iya, Kak Al datang secara tiba-tiba dari belakang, jadi wajar aku kaget.”“Kamu yang terlalu fokus minum hingga tidak melihat sekitar,” ucap Al.“Iya, aku sedang mencari El, kenapa dia belum kelihatan.” Freya masih mengedarkan pandangan mencari El.“Sepertinya tinggal di London membuat kalian tak bisa jauh.” Al tersenyum, menyadari sedekat apa El dan Al.“Mungkin karena kami memang berteman saja dari kecil, jadi kami dekat.”“Apa ....”“Hai ...,“ sapa Cia menghampiri Al, menghentikan kalimat yang akan keluar dari mulut Al.“Apa kalian mau coba kue ini.” Cia menyodorkan kue buatannya pada Al dan Freya.Al dan Freya saling pandang. Mereka sudah tahu seperti apa rasa kue buatan Cia. Bisa dipastikan kue buatan Cia tidak akan enak di lidah.“Aku akan mencari El dulu.” Freya memilih menghindari. Tak mau jadi tumbal mencicipi kue. Mengayunkan langkahnya, dia buru-buru pergi untuk mencari El.Di sana tinggallah Al sendiri. Tak mau jadi sasaran untuk mencicip kue, Al juga ikut mencari alasan. “Sepertinya mommy tadi meminta tolong padaku,” ucapnya. Matanya menangkap Dean yang sedang berjalan menghampiri mereka. “Sebaiknya Dean saja yang kamu suruh mencobanya.”Al langsung memanggil Dean. Menarik tangan sepupunya itu. “De, coba cicipi kue buatan Cia, aku harus menemui mommy.” Tanpa berbasa-basi lagi, Al langsung meninggalkan Dean dengan Cia.Cia menyodorkan kue dengan tersenyum manis. Berharap Dean akan mencoba kue buatannya.“Apa jika kue ini tidak enak, kamu akan menjaminku tidak akan kenapa-kenapa?”“Bukannya kamu calon dokter, jika makan kue buatanku dan sakit, bukankah kamu bisa cari obatnya sendiri,” sindir Cia.“Sekalipun aku calon dokter, jika aku sakit tetap saja aku harus diperiksa dokter.““Sudah nanti biar Ghea yang periksa.” Cia menyuapi Dean dengan kue buatannya.Dean pasrah saat harus dipaksa makan. Berdoa tidak akan terjadi apa-apa setelah makan kue buatan Cia. Tapi benar saja, baru saja kue masuk ke mulut Dean. Dean buru-buru mencari tisu dan membuangnya. “Apa kami masukkan minuman soda ke kue?”“Iya, aku memasukkan minuman soda tadi.”Dean menepuk dahinya. Merasa bingung dengan ide Cia yang semakin hari semakin aneh. Namun, dia memilih diam. “Jangan berikan pada yang lain,” ucap Dean sebelum pergi.Cia memanyunkan bibirnya. Kemudian mencicipi kue buatannya yang sebenarnya belum dia cicipi. Wajahnya langsung berubah karena merasakan rasa tidak enak. “Pantas tidak ada yang suka dengan kue buatanku.” Akhirnya Cia menyadari kenapa banyak yang tidak suka kue buatannya.***Freya yang menghindari adiknya mencari El. Sedari tadi dia tidak melihat El sama sekali. Jadi dia tahu temannya itu ada di mana. Di mana lagi jika bukan di kamar.Mengetuk pintu Freya memanggil El. Namun, sayangnya tidak ada jawaban dari dalam kamar. Karena terlalu lama menunggu akhirnya Freya masuk ke dalam kamar.Saat masuk, aroma maskulin menguap ke udara. Mungkin begitulah kamar pria, selalu memberikan sensasi yang menunjukkan jati diri mereka.Freya terakhir ke kamar EL adalah sewaktu El belum ke London. Di kamar ada beberapa foto yang berjajar di atas meja dan menarik matanya untuk memandang. Foto dirinya dan El berjajar rapi di atas meja. Ada Al, Ghea, Cia, dan Dean juga di sana. Masa kecil adalah masa-masa paling indah yang tak bisa dilupakannya.“Sedang apa kamu di sini?” tanya El yang baru keluar dari kamar mandi.Mendengar suara El, Freya menoleh. Alangkah terkejutnya saat melihat El hanya mengenakan handuk di pinggang saja. Buru-buru Freya berbalik, merasa malu melihat El dalam keadaan seperti itu.“Kenapa kamu tidak memakai baju?” protes Freya.“Aku memang biasa mengganti baju di luar kamar mandi, kenapa kamu protes?” cibir El.“Kamu merusak mata suciku dengan melihat tubuhmu itu.”“Salah siapa kamu masuk tanpa permisi?” El tetap tak mau kalah.“Aku sudah mengetuk pintu tadi, karena kamu tadi tidak kunjung membuka pintu, akhirnya aku masuk.”El melangkah mendekat pada Freya. Berdiri tepat di belakang Freya. Deru napas mint yang tercium membuat tubuh Freya gemetar. Hawa dingin dari tubuh El yang berjarak beberapa inci dari tubuhnya juga begitu terasa.“Apa kamu lupa jika tadi papa baru saja mengatakan jika kita berdua bukan anak kecil lagi. Jika kamu berada di kamarku seperti ini, aku akan jamin akan ada bayi kecil di antara kita.”Mata Freya membulat mengingat kata-kata papanya. Belum lagi cara El yang berbicara tepat di telinganya membuatnya begitu gemetar. Tak berkata apa-apa lagi, Freya memilih untuk pergi.El yang melihat Freya pergi langsung tergelak. Niatnya menggoda membuatnya temannya itu justru takut. “Akan seperti apa anak yang akan kita buat?” gumam El. Namun, seketika El menyadari gumamannya. “Bicara apa aku,” ucapnya seraya mengusap kepalanya.Tak mau berlama-lama ke pesta, El buru-buru memakai baju dan bersiap untuk ke pesta. Bergabung dengan keluarga lain yang sedang merayakan kedatangannya.El yang selesai keluar dari kamar dan menuju taman belakang di mana diadakannya pesta. Bergabung dengan keluarga yang sudah berkumpul.Memilih tempat duduk di samping Freya, membuat gadis cantik itu berada di antar dua pria tampan.Freya yang melihat El masih dalam mode malu. Sejauh ini dia kenal El memang baru kali ini dia melihat El dengan handuk di pinggang.Walaupun dia pernah melihat El saat berenang dengan celana renang, entah kenapa terasa berbeda. Dia sedikit membenarkan ucapan papanya yang mengatakan jika dia sudah besar dan memang akan jadi lain jika berdua.Sesaat El duduk. Tampak Theo Julian-kakek Freya datang. Dia memang sengaja diundang oleh Bryan, mengingat dia adalah kakek dari Freya.“Silakan, Paman,” ucap Bryan pada Theo.“Terima kasih sudah mengundangku, Bry.” Theo duduk di samping Daniel. Dia sudah cukup lama berteman dengan Daniel. Hingga akhirnya pertemanannya menurun pada anak
Di kantor lain, Freya masih menunggu Al datang. Tadi sekretaris Al mengatakan jika Al sedang ada urusan pagi ini, jadi dia datang ke kantor terlambat. Kemarin Freya memang sudah mendengar jika dia akan menjadi asisten Al selama bekerja di Maxton. Namun, dia belum mengetahui pekerjaan apa yang harus dilakukan oleh Freya.Sekitar tiga puluh menit Freya menunggu, akhirnya Al datang. Terbiasa melihat Al dengan pakaian casual membuat Freya terpesona dengan Al. Setelan jas yang melekat di tubuh Al begitu pas di tubuh pria itu. Rambut yang tertata rapi membuat penampilan Al terlihat begitu rapi.“Pagi Pak Aaron,” sapa sekretarisnya.Freya baru tahu jika Al dipanggil dengan nama depannya. Dia yang duduk di sofa, berdiri dan menyapa Al. “Pagi, Pak,” sapa Freya.Al tersenyum saat mendengar sapaan Freya.“Pagi, Frey, ayo masuk ke dalam.” Mengayunkan langkahnya, Al masuk ke ruangannya. “Duduk!” perintah Al seraya menunjuk ke kurs
Sampai di rumah. Freya turun dari mobil. Senyumnya tak susut dari wajahnya. El selalu saja bisa membuatnya tersenyum.“Terima kasih, El,” ucap Freya yang masih menatap El dari balik pintu mobil.“Iya, Tuan putri, sama-sama.”Tepat saat mereka sedang mengobrol, mobil Al melintas. Mobil El dan Al yang saling berhadapan membuat El dan Al berada di satu garis lurus.Al membuka kaca mobilnya. “El mau main basket?” tanyanya. Di seberang sana Al melihat Freya dari balik pintu mobil El.Freya tersenyum pada Al. Merasa tidak enak bertemu dengan atasannya di rumah. Masih terasa aneh dan belum terlalu bisa beradaptasi.“Tentu saja, nanti kita ketemu di lapangan biasa ya,” ucap El.“Baiklah, aku tunggu.” Al menaikkan kaca mobilnya dan melajukan mobilnya.“Baiklah, aku juga pergi,” ucap Freya.“Masuklah dan istirahatlah.”Freya masuk ke dalam rumah sedangkan El melajukan mobilnya sekitar dua meter ke dep
El memulai meeting dengan Bryan dan Felix. Proposal yang diajukan sudah disetujui oleh Bryan. Sebenarnya tanpa memberikan proposal pun, Bryan akan menyetujui proyek kerja sama itu. Mengingat anaknya sendiri yang mengerjakan.“Jadi kapan kita bisa mulai?” tanya Bryan.“Secepatnya, Pak.” Karena sedang banyak orang di ruang meeting, El menyematkan panggilan yang pas untuk Bryan.“Baiklah, kalau begitu.”Bryan mengakhiri meeting. Staf dan manager keluar dari ruangan meeting. Meninggalkan El, Bryan, Felix dan sekretaris El. Mereka melanjutkan membicarakan beberapa hal tentang proyek.“Jadi setelah makan siang kamu akan meninjau lahan di sana?” tanya Bryan saat baru saja mendengar cerita anaknya.“Iya, Dad. Setelah makan siang dengan Freya aku akan meninjau proyek.”“Wah ... mau makan dengan calon mantu,” goda Bryan.Felix hanya menarik senyuman di wajahnya. Sudah mulai terbiasa den
“Sudah jam lima,” ucap Luna saat melihat jam tangannya yang melingkar di pergelangan tangan.Freya yang sedang asyik mengerjakan pekerjaan menoleh dan tersenyum. “Tapi Pak Aaron belum keluar.” Lidah Freya sudah mulai terbiasa memanggil Al dengan nama Aaron, mengingat hanya orang rumah saja yang memanggil Al.“Iya, padahal aku ada janji,” ucap Luna seraya merapikan meja kerjanya.“Tunggu saja sebentar, Kak," ucap Freya dan mendapati anggukan dari Luna.Selang beberapa saat Al keluar dari ruangannya. Dia menatap Freya dan Luna. “Kalian sudah mau pulang?” tanya Al.“Iya, Pak,” jawab Freya dan Luna bersamaan. ““Baiklah, kalau begitu aku pulang lebih dahulu,” ucap Al berlalu meninggalkan Freya dan Luna.Tadi sepulang dari kantor Freya meminta Al untuk tidak terlalu mencolok saat mengajaknya pulang. Dia merasa tidak enak dengan karyawan lain jika terlihat dengan Al. Akhirnya memilih untuk be
El menghembuskan napas kasarnya. “Apa kamu tahu Frey, andai reaksimu tadi tak seperti itu, mungkin aku akan mengatakan jika apa yang aku katakan serius.”Sejak pertanyaan yang di lontarkan Ghea waktu itu. El Merasa memang benar adanya jika kini dia tidak menganggap Freya sebagai teman saja. Ada terselip rasa cinta di dalamnya. Perasaan yang tak pernah dia sadari sama sekali.Selalu bersama Freya membuatnya tak menyadari semua itu. Menganggap jika perasaannya hanya perasaan kakak dan adik seperti perasaannya ke Ghea maupun Cia. Perasaan kasih sayang sesama teman yang memang tumbuh dari kecil.Jika waktu diputar kembali. Bagaimana dia berusaha untuk selalu dekat dengan Fryea, memang membuktikan jika sebenarnya ada perasaan yang tak menggambarkan sebagai teman. Terlebih lagi, saat Freya tinggal dengannya dulu di London. Perhatiannya timbul berlebih. Namun, sayangnya dia baru menyadarinya sekarang.El menyadari jika mengubah hubungan pertemanan menjad
El tak dapat berkata apa-apa. Rasa sesak tiba-tiba menyelimuti hatinya, begitu menyakitkan, hingga seolah nafasnya terasa sulit sekali.“Aku merasa melihat dia sebagai sosok pria dewasa yang begitu memesona. Membuat jantungku berdesir saat melihatnya. Membuat tubuhku gemetar saat bersamanya. Saat dia memberikan perhatian, aku begitu senang. Achh ... aku jatuh cinta, El.” Freya mengguncang tubuh El merasakan bahagia.Wajah bahagia Freya, tak bisa membuat El mengatakan jika dia mencintainya. El takut Freya justru akan kecewa saat persahabatannya diwarnai cinta. Apa lagi cintanya bertepuk sebelah tangan. Jadi tidak ada gunanya juga dia mengatakan cinta.Freya yang begitu senang mengungkapkan perasaannya, tak menyadari sama sekali perubahan wajah El. Dia terlampau lupa memerhatikan ekspresi wajah El.“Sekarang giliranmu, katakan apa yang ingin kamu katakan.”El seolah sudah tak berdaya. Berniat mengatakan jika dia mencintainya, hal itu tak bi
“Sore, Mom,” sapa Al seraya menautkan pipinya pada Shea.“Sore, Sayang. Anak Mommy semakin tampan saja,” pujinya seraya membelai pipi Al.“Em ....” Al merogoh saku celananya.“Cari apa?” tanya Shea.“Cari uang receh untuk Mommy,” godanya tersenyum.“Anak nakal,” ucap Shea seraya memukul lengan Al.Al tersenyum. Hanya dengan orang terdekat seperti mommy-nya, dia bisa tersenyum lepas. Selebihnya wajahnya datar saja.“Hai, Kak Al,” sapa Bian yang haru saja masuk ke dalam rumah. Dia melambaikan tangannya pada Al seraya melangkah menuju dapur. Tenggorokannya yang kering ingin segera diredakan.“Bian, cuci tangan dulu.” Shea yang melihat anaknya mengambil minum.“Nanti kalau aku cuci tangan lebih dulu, aku tidak akan bisa membedakan mana air minum dan air kran. Aku haus Mom,” teriaknya dari dapur.“Kalian semua sama saja,” keluh Shea.“Kenap
“Kamu yakin menitipkan anak-anak ke daddy dan mommy?” tanya Freya memastikan. “Iya.” El tersenyum menyeringai. Dia memanfaatkan situasi dengan benar seperti yang dikatakan oleh daddy-nya.“Aku malu. Kalau mereka tanya mau apa kita, kita jawab apa?” Freya merasa malu ketika harus menitipkan anak-anaknya. “Mereka lebih paham. Tidak perlu menjelaskan panjang kali lebar.” El tahu jika orang tua mereka lebih paham akan hal itu. “Baiklah, aku akan pastikan yang akan dibawa.” Freya tidak mau ada yang sampai ketinggalan. Yang ada dirinya pasti tidak akan tenang bersama dengan El nanti ketika pergi. “Baiklah, aku akan lihat anak-anak dulu.” El mengayunkan langkah ke kamar sebelah. Mengecek anak-anak yang masih tidur lelap. El tersenyum. Dia merasa waktu bergulir begitu cepatnya. Anak-anak tumbuh begitu cepatnya. Belum lama El mengendong mereka bergantian. Kini mereka sudah bisa digendong bersamaan. Tepat saat El sedang meme
Suara tangis yang saling bersahutan terdengar mengisi keheningan malam. Di saat orang-orang sedang terlelap tidur, sepasang orang tua baru itu tampak sibuk menenangkan dua bayi yang kini sudah berusia lima bulan tersebut. Biasanya Kean akan anteng ketika malam hari, tetapi kali ini dia ikut menangis juga. Freya yang menyusui Lean harus pasrah ketika Kean menangis. El langsung mengambil susu yang disiapkan dan menghangatkannya. Sambil menunggu menghangatkannya, El mengajak main anaknya. Dia meletakkan Kean di atas bahunya, memanggulnya seraya memegangi tangannya. Seketika bayi kecil itu terdiam.El mengayun-ayunkan tubuh Kean hingga membuat melayang-layang. Kean langsung tertawa terbahak merasakan tubuhnya diayun-ayunkan. Tawa Kean itu menarik perhatian Lean. Adiknya itu langsung menoleh. Mulutnya yang masih menyesap puncak dada mommy-nya, tanpa sadar menariknya begitu saja sambil melepaskannya. Membuat mommy-nya mengaduh kesakitan dengan aksi si bungsu. Bola
Waktu bergulir dengan cepatnya. Semua menanti kelahiran penerus dari dua keluarga. Setelah kejadian kemarin, semua keluarga menjaga Freya. Apalagi sudah menjelang melahirkan, pastinya Freya perlu pengawasan penuh. Mommy Shea dan Mama Chika selalu berganti menjaga Freya di saat El bekerja. Tak mau sampai anak dan cucu mereka kenapa-kenapa. El yang biasanya pulang larut malam pun, kini pulang lebih awal. Tak mau sampai kehilangan momen. Mengingat Freya sudah akan melahirkan dan di saat itu, dia ingin selalu ada di sisi istrinya.“Ini sudah jalan berapa minggu?” El yang merebahkan tubuhnya, meletakkan kepalanya di kaki istrinya. Menghadap ke arah perut Freya yang semakin membesar. “Tiga puluh sembilan.” “Kenapa lama sekali mereka keluar. Bukankah harusnya mereka keluar di antara waktu tiga puluh tujuh minggu sampai empat puluh minggu.” El selalu dengan saksama mendengarkan ucapan dokter. Jadi dia selalu tahu perkembangan ibu hamil. “Enta
“Pa, cepat!” El menepuk kursi kemudi dari belakang. Meminta untuk papa mertuanya bergegas untuk melajukan mobilnya. “Sabar, El.” Rasanya, Felix benar-benar mengulang kepanikan sewaktu El lahir. Temannya-Bryan juga menepuk kemudinya, hingga membuatnya lemas. “Berapa bulan sebenarnya usia kandungan anak Freya?” tanya Papa Felix. Mengingat El yang lahir prematur membuat Papa Felix takut jika cucunya akan mengalami hal yang sama. “Tiga puluh enam minggu, Pa.”El menatap Freya dengan tatapan kasihan. Freya tampak meringis kesakitan saat perutnya kencang. Dengan usia segitu, artinya anak akan dilahirkan prematur. Karena usia tiga puluh tujuh-baru anak dikatakan normal. Papa Felix hanya bisa berharap semua baik-baik saja. Mobil berhenti di depan Rumah sakit. El buru-buru membawa Freya keluar dari mobil. Saat keluar dari mobil, mereka sudah disambut oleh perawat. Namun, El justru membawa Freya dengan tangannya sendiri ke UGD.Papa Fe
Sebagai pengusaha muda, El mulai diperhitungkan. Namanya mulai dikenal di kalangan pengusaha. Apalagi, El terkenal membangun bisnisnya di luar negeri. Kini perusahaannya sudah bergabung dengan Julian Company. Semua proyek pembangunan di bawah tanggung jawab El. Tiga bulan sejak kematian Kakek Theo, perusahaan semakin membaik di bawah pimpinan El. Seperti yang diharapkan Kakek Theo, El berusaha keras memajukan perusahaan. Menjalin kerja sama dengan beberapa kolega sang kakek mertua. “Sayang, ingat besok aku, mama dan mommy akan pergi untuk mencari baju untuk anak kita. Jadi aku harap kamu ikut!” Freya memberi peringatan penuh pada suaminya itu. Beberapa hari belakangan ini El sibuk bekerja hingga malam. Dia takut saat libur, suaminya itu akan tetap bekerja. Kini usia kandungan Freya sudah mencapai dua puluh sembilan minggu atau setara dengan tujuh bulan satu minggu. Semua persiapan mulai dilakukan oleh keluarga, termasuk membeli perlengkapan dari mulai baju dan pe
Beberapa hari ini El disibukkan dengan kepindahannya kantor. Kini kantornya berada di kantor Julian Company. El bertanggung jawab atas perusahaan istrinya karena sang istri yang sedang hamil dan tidak bisa mengurusi perusahaan. Namun, nanti saat sang istri sudah bisa bekerja kembali, dia akan menyerahkannya kembali. Keluarga yang lain pun tidak masalah. Mereka menyerahkan pada El. Terutama Papa Felix. Dia yakin El bisa mengurus perusahaan peninggalan papanya itu. Tidak terasa kandungan Freya sudah mencapai dua puluh minggu. Perutnya semakin hari semakin membesar. Semakin bertambahnya usia kandungannya, mual yang dirasakan Freya semakin berkurang. Dia pun sudah mulai bisa makan seperti biasanya. Justru dia sangat lahap saat makan.El keluar dari kamar mandi. Menggosok-gosokan rambutnya yang basah. Melihat istrinya yang sedang berada di depan cermin. Tampak istrinya itu sedang melihat wajahnya yang terlihat sangat gembil. “Semakin hari, kamu sema
Freya hanya bisa menangis di atas makam sang kakek. Perasaannya hancur ketika tak bisa ikut mengantarkan kakeknya ke peristirahatannya terakhirnya. Dia yang harus pingsan, justru menghabiskan waktu di Rumah sakit.“Jangan bersedih terus. Kamu harus kuat.” El mencoba menenangkan sang istri. Membelai punggung lembut sang istri. Berharap istrinya dapat tenang. El dapat merasakan betapa sedihnya istrinya, tidak bisa menemani sang kakek untuk terakhir kalinya. “Kakek bilang dia ingin bermain dengan cicitnya.” Freya menoleh ke arah suaminya. Matanya yang sudah sembab-menandakan jika dia terus menangis tanpa henti. Freya mengingat apa saja yang dia rencanakan dengan sang kakek sewaktu di Rumah sakit. Namun, rencana tinggal rencana, karena kini sang kakek pergi untuk selama-lamanya. “Iya, dan dia tidak akan senang jika kamu membuat cicitnya kenapa-kenapa. Jadi jangan terus bersedih.” El membawa istrinya dalam pelukan. Manusia hanya bisa berharap dan Tuhanlah yan
Papa Felix merasa cemas dengan keadaan papanya. Pikirannya menerka-nerka apa yang terjadi dengan papanya. Ada sedikit ketakutan dalam hatinya karena apa yang sudah dilakukannya kemarin yang menjadi papanya itu masuk Rumah sakit. Turun dari mobil, Papa Felix langsung menghubungi sekretaris papanya, menanyakan keberadaan papanya. “Apa yang terjadi?” Tepat di depan ruang rawat, Papa Felix bertanya pada sekretaris papanya. Pandangannya penuh ketakutan dan kecemasan. “Pak Theo sudah masuk ke Rumah sakit sejak tiga hari yang lalu, dan sekarang kondisinya menurun.” “Sudah tiga hari dan kamu baru memberitahu sekarang!” Papa Felix ingin melayangkan bogem mentah pada sekretaris papanya itu, tetapi ditahan oleh Daddy Bryan. Temannya itu membawa Felix untuk duduk. Tubuh Felix begitu lemas. Tiga hari artinya di saat dirinya bertemu dengan papanya dan pastinya papanya sakit karena semua ucapannya. “Maaf, Pak, selama ini Pak Theo melarang untuk men
Papa Felix kembali ke Rumah sakit setelah puas mengungkapkan semua perasaan dalam hatinya. Dia sedikit menyesali karena tidak melakukannya sejak lama dan justru membiarkan papanya melakukan apa yang dia mau. Namun, kini Felix tidak akan membiarkannya. Dia akan menjaga anak dan cucunya. Sampai di Rumah sakit sudah banyak orang yang datang. Ada kedua orang El yang ada di sana. Istrinya pun turut hadir di sana. “Kamu dari mana?” tanya Mama Chika pada suaminya. “Dari kantor papa.” Wajah Felix tampak masih terlihat kesal. Masih ada amarah yang meliputinya. “Papa marah dengan kakek?” tanya Freya cepat ketika mendengar ucapan dari papanya. “Dia tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ini sudah melampaui batas. Harusnya dia tidak seenaknya memintamu mengecek proyek langsung karena kamu sedang hamil. Lagi pula masih banyak karyawan yang bisa dia suruh untuk mengecek.” “Ta—”Freya masih mau menyanggah, tetapi El memegangi lenganny