“Hai, Kak Freya.” Ghea beralih pada Freya. Memeluknya erat. Dari kecil Freya dan adiknya adalah temannya, jadi mereka sangat dekat.
“Kakak semakin cantik saja.”“Kamu juga.” Freya tersenyum.“Pantas Kak El betah di London,” goda Ghea seraya melirik ke arah El.Wajah Freya memerah mendengar ucapan Ghea, merasa sangat malu sekali. El tak kalah malu dengan ucapan adiknya.“Sembarangan saja kalau bicara!” El menghampiri Ghea, tetapi gadis cantik itu justru bersembunyi di belakang Freya, membuat El dan Freya saling menatap. Entah kenapa El merasakan perasaan aneh saat menatap Freya.Mungkin hanya perasaan malu saja.“Kalian ini sudah lama tidak bertemu, tetap saja bertengkar,” tegur Shea.“Apa Mommy tidak sadar jika bertengkar itu tanda sayang?” Ghea yang bersembunyi di belakang Freya menghampiri El dan memeluk tangannya. Senyum manis ditampilkan di wajah cantiknya untuk membujuk kakaknya.“Dasar!” El mengacak-acak rambut Ghea.“Teori dari mana itu?” sindir Shea.“Dari Mommy,” jawab El dan Ghea bersamaan.Shea seketika terdiam. Di saat dia berdebat dengan Bryan, hal itu yang dikatakan pada anaknya, agar anak-anaknya tidak mengira jika mereka sedang bermusuhan. “Sudah pintar ya sekarang kalian!” tegur Shea.El dan Ghea tertawa. Membuat Bryan ikut menertawakan istrinya. Namun, saat istrinya menatap kesal, pria lima puluh tahun itu langsung menghentikan tawanya dan membawa istrinya ke dalam pelukannya. Meredakan kemarahan ibu tiga anak itu bukanlah perkara suli lagi sekarang. Semakin tua, mereka sudah saling paham masing-masing.Pemandangan indah itu jadi tontonan, El, Freya dan Ghea. Mereka sangat senang melihat keharmonisan keluarga mereka.Di saat sedang menikmati momen indah itu, sebuah mobil datang. Mereka semua sudah tahu mobil siapa itu jika bukan mobil Felix dan Chika.“Freya ... “ panggil wanita paruh baya menghampiri Freya. Siapa lagi kalau bukan sang mama dengan suara cemprengnya.“Mama.” Freya merentangkan tangan untuk memeluk mamanya. Rasanya dia begitu rindu. Terakhir dia pulang adalah dua tahun lalu. Sejak El tidak memutuskan pulang, dia ikut tidak pulang.“Mama rindu sekali.”“Freya juga, Ma.”“Apa Mama saja yang dipeluk?” Felix yang keluar dari mobil, menghampiri anaknya.“Papa ....” Freya melepas pelukan dari mamanya dan beralih pada papanya.“Apa kabar, Sayang?” tanyanya seraya membelai lembut rambut Freya.“Baik, Pa.”“Sebaiknya kita langsung pulang saja, sebelum nanti diusir petugas, karena terlalu lama parkir di sini.” Bryan yang merasa sudah lama di Bandara mengajak yang lain untuk segera kembali.“Ya sudah, ayo.” Felix melepas pelukannya dan membantu memasukkan koper milik anaknya.El berada di dalam mobil bersama dengan kedua orang tuanya dan adiknya, sedangkan Freya bersama dengan kedua orang tuanya. Mereka saling beriringan menuju ke rumah.“Mommy begitu merindukanmu.” Shea yang berada di kursi belakang tak henti-hentinya mengungkapkan perasaan senangnya.“Mommy sudah mengatakan itu puluhan kali,” protes Ghea. Dia melihat mommy dan kakaknya dari kaca depan.Bryan yang fokus menyetir, tersenyum tipis. Istrinya memang begitu merindukan anak sulungnya itu. Hingga kata rindu sekali saja tak bisa menggambarkan bagaimana besar rasa rindunya.“Nanti, kalau kamu punya anak, kamu akan merasakan,” ucap Shea menepuk kursi yang diduduki Ghea lembut.“Nanti aku tidak akan izinkan anak aku pergi ke luar negeri seperti Mommy dan Daddy.”Bryan dan Shea terdiam. Memang mereka melarang putri mereka ke luar negeri. Bryan yang takut terjadi apa-apa dengan anaknya, mengingat kelakuannya dulu buruk. Tak mau sampai anaknya jadi korban pria sepertinya dulu.“Di luar negeri terlalu berbahaya untuk kamu.” Shea mencoba memberikan penjelasannya.“Buktinya, Kak Freya bisa keluar negeri.” Ghea masih tetap dengan pendiriannya. Kesal karena tidak diizinkan ke kuliah di luar negeri seperti kakaknya.“Bukan begitu.” Shea merasa bingung menjelaskan.“Cari saja suami yang mau membawamu ke luar negeri. Pasti Mommy dan Daddy akan mengizinkan, mengingat kamu sudah menjadi tanggung jawab suamimu, jadi mereka tak akan bisa melarang.” El yang mendengar perdebatan, mengambil jalan tengah.“Itu ide bagus.”“Kamu ini!” ucap Shea kesal melihat anaknya yang memberikan adiknya ide. Jauh dari Ghea sangatlah sulit untuk Shea, mengingat jika mereka begitu dekat. Lagi pula, Ghea anak perempuan satu-satunya yang harus dijaganya.“Sudah-sudah, jangan berdebat.” Bryan tak mau memperpanjang masalah kecil. Semakin tua, dia semakin bijak menanggapi masalah.“Kenapa Mommy Selly dan Al tidak datang, Mom?”“Mommy Selly di rumah sedang menyiapkan kedatangan kamu, sedangkan Al membantunya.”“Wah-wah sepertinya aku sudah seperti raja Inggris disambut dengan sangat spesial.”Bryan, Shea, Ghea memutar bola mata malas mendengar hal yang disombongkan oleh El. Namun, seketika mereka tertawa bersama. Keempat keluarga itu begitu bahagia bisa bertemu dan bercengkerama. Hanya kurang si bungsu Bian, yang sedang pergi bermain dengan teman-temannya.***Di mobil yang berbeda, Felix sudah seperti sopir yang mengantarkan dua atasannya yang duduk di kursi belakang. Mereka saling bercerita tentang banyak hal yang berada di London.“Andai saja Papamu itu tidak sibuk terus, pasti Mama akan ke sana,” ucap Chika menyindir Felix.Freya hanya tersenyum, melihat papanya mati kutu saat mamanya marah.“Kita sudah sering ke sana saat anak-anak kecil, lalu untuk apa pergi ke sana lagi, memangnya tidak ada tempat lain yang harus dikunjungi.” Felix tak mau kalah dengan istrinya.“Iya, tetapi apa kamu tidak ingat jika cintaku hadir di sana. Jadi tempat itu menjadi sangat bersejarah.” Chika ingat waktu masa mudanya dulu mulai menyukai suaminya saat berjalan-jalan ke London.“Iya, aku tahu.” Felix yang sedang menyetir, melihat istrinya dari pantulan kaca depan.Freya menepuk dahinya. Dia pikir setelah ditinggal lama, papa dan mamanya tidak akan sering berdebat. Sejenak Freya mengingat kata-kata Ghea jika bertengkar tanda sayang. Mungkin itulah yang dianggap sayang juga oleh orang tuanya.“Ke mana Cia?” Freya mengalihkan pembicaraan menanyakan adiknya-Felicia.“Dia sedang membuat kue.”Mata Freya berbinar. Dari kecil adiknya itu memang jago sekali membuat kue. Hingga akhirnya dia bercita-cita menjadi chef terkenal. Lagi pula adiknya itu kelak akan melanjutkan bisnis sang nenek di bidang bakery. Toko kue dari neneknya sudah mempunya beberapa cabang dan sangat terkenal.“Aku sudah tidak sabar untuk makan kue buatan Cia.”“Makanlah sepuasnya nanti,” ucap Chika pada anaknya. Wanita berumur empat puluh delapan itu tersenyum. Di usianya yang hampir masuk setengah abad itu masih terlihat sangat cantik.Mobil sampai di perumahan. Chika melihat keluar, memerhatikan tempat-tempat yang menjadi kenangan sewaktu kecil.Mobil berhenti di depan rumah masing-masing. Namun, karena rumah mereka bersebelahan, mobil tampak terparkir berjajar di depan rumah.Semua keluar dari mobil masing-masing. El membuka pintu dan keluar dari mobil. Di depan rumah Al yang sedang berusaha membuka party popper. Wajah Al kelihatan kesal sekali karena ternyata semburan kertas itu tidak keluar.“Al, mana?” tanya Selly. Dialah yang memberikan ide memberikan kejutan pada El.“Iya, Mom, sebentar.” Dari awal Al memang tidak mau menggunakan alat-alat tidak jelas itu. Namun, apa boleh buat karena titah sang mommy tidak bisa ditolak.Akhirnya setelah bersusah payah, tepat saat El keluar party popper itu menyemburkan kertas-kertas. El yang sedari tadi di dalam mobil tersenyum. Sudah tahu ide siapa itu.“Terima kasih, Mom.” El langsung menghampiri Selly yang sudah menyambutnya. Wajah wanita paruh baya itu hampir sama dengan mommy-nya yang masih sangat cantik di usia yang hampir setengah abad.Sambil memeluk Selly, dia melihat Al yang tampak kesal. Sudah bisa dia pastikan jika kakak sepupunya itu sedang kesal harus mengikuti ide kejutan dari mommy-nya.“Apa kamu sehat-sehat saja, Sayang?” tanya Selly seraya melepas pelukannya. Tangannya menangkup wajah El.“Aku sehat, terlampau sehat mungkin,” ucapnya seraya memamerkan otot tangannya.“Lihatlah tubuhmu bengkak semua,” goda Selly.“Ini atletis,” elak El dan mendapati tawa dari semua yang ada. Saat sedang tertawa El melihat Regan yang menghampiri. Wajahnya datar tanpa ekspresi, tetapi saat berjarak dekat dengan El, dia tersenyum.“Apa kabar El?” tanyanya seraya memeluk.“Baik, Dad.” Bagi El, Regan adalah daddy keduanya setelah Bryan. Dari kecil, dia memang diasuh oleh dua pasang suami istri. Selly yang merupakan kakak daddy-nya, membuat hubungan begitu dekat.Mommy Shea selalu mengatakan jika Al adalah kakaknya, karena El dan Al saudara sepersusuan juga.Al yang sedari tadi diam, mengayunkan langkahnya, menghampiri El. “Hai, Bro,” sapanya seraya memeluk El. Pria dua puluh lima tahun itu tampak tersenyum tipis pada adiknya.“Hai ....” El mengeratkan pelukan. “CEO Maxton ternyata sekarang tampan sekali,” pujinya seraya menyelipkan canda.Aaron Alexander Maxton atau biasa dipanggil Al adalah CEO di Maxton Company. Dia meneruskan perusahaan yang dibangun oleh kakeknya. Pria tampan dengan darah Inggris itu sangat cakap dalam memimpin perusahaan. Terbukti perusahaan begitu semakin maju.Setahun yang lalu, Al juga mendapatkan penghargaan sebagai pengusaha muda terbaik karena hasil kerjanya begitu nyata. Beberapa mal dengan apartemen dibangunnya dan penjualan apartemennya laris manis di kalangan pasangan muda.Namun, berbeda dengan El, Al lebih diam. Dia tak suka banyak bicara, tetapi sangat menyangyangi adik-adiknya. Sebagai kakak tertua, penjaga paling depan.Selly yang melihat kedekatan kakak-adik itu merasa senang. Sebagai orang tua dia berharap anak-anaknya rukun dan saling sayang.Saat melihat Freya, dia menghampiri gadis cantik itu. “Sayang, tidak menyangka kamu cantik sekali sekarang,” ucapnya seraya menautkan pipinya.“Terima kasih, Mom.”“Anak siapa dulu, cantik. Kalau sudah bilang cantik, jadikan calon mantu,” goda Felix.Chika langsung memukul legan Felix karena berbicara tidak jelas.“Dengan siapa saja nanti Freya, itu pasti yang terbaik.” Regan menjawab apa yang di ucapkan Felix. Dia mengulurkan tangan pada Freya. “Apa kabar?”“Baik, Dad.” Dari ayah El dan Al, pada Reganlah Freya merasa sungkan-daddy dari Al.Regan tersenyum. Kemudian mengajak semua untuk masuk ke dalam rumah masing-masing. Membiarkan anak-anak untuk beristirahat.Semua orang membubarkan diri. Keluarga El masuk ke dalam rumah sendiri, sedangkan keluarga Freya juga melakukan hal yang sama.“Biar aku saja yang ambil kopermu, El. Masuklah!” Al tak tega melihat adiknya yang pasti sangat lelah karena perjalanan.El tak menolak tawaran dari Al, mengingat dia ingin sekali segera duduk manis di rumah.Di saat semua orang masuk ke dalam rumah, Al mengambil koper dari bagasi. Dia berpapasan dengan Freya yang sedang mengambil sesuatu di dalam mobil.“Hai, Frey ... “ sapa Al.Freya terpaku. Dia hafal betul jika selama ini Al jarang sekali berbicara dengannya. Saat di London saja, dia hanya akan bicara hal-hal penting saja. Sangat jarang dia berbasa-basi.Mata birunya yang begitu tajam menatapnya membuat Freya tak dapat menjawab.“Kakak ... “ panggil Cia-adik Freya. Dia berlari menghampiri Freya. Tadi dia sibuk membuat kue. Saat mama dan papanya masuk, dia mencari keberadaan kakaknya yang ternyata masih di luar.Cia langsung memeluk Freya, meluapkan kerinduannya. “Kita lama sekali tidak bertemu. Kakak jahat sekali liburan, tetapi justru pergi jalan-jalan dengan Kak El.”Freya terdiam, matanya masih fokus pada El.“Kak ... “ panggil Cia.“Iya,” jawab Freya.“Aku berbicara, tetapi kakak tidak menjawab.”“Iya, aku juga merindukanmu.”Cia tersenyum, kemudian menyadari jika ada Al di sampingnya. “Kak Al ambil apa?”“Ambil koper El.”“Kakak, ingat ya nanti harus coba kue baru buatan aku?” celetuk Cia.“Aku harap tidak akan gagal seperti tempo hari.”Cia tersenyum memamerkan deretan giginya. Setiap libur, Al, Ghea dan Bian adalah sasarannya mencicipi kue inovasinya. Resep baru selalu saja perlu beberapa kali percobaan hingga benar-benar sempurna. “Tenang, kali ini aman.”Al tersenyum tipis. “Ajaklah Kakakmu itu dulu mencicipi kue buatanmu,” ucap Al menatap Freya.“Tentu, dia akan jadi korbanku selanjutnya,” jawab Cia tersenyum.“Korban?” Freya bingung dengan obrolan dua orang di depannya.“Masuklah!” perintah Al seraya meninggalkan Freya dan Cia. Menarik koper milik El ke dalam rumah.Freya masih terpaku, melihat Al. Entah magnet apa yang membuatnya memandangi pria yang berbeda dua tahun darinya itu.“Ayo, Kak masuk!” ajak Cia menarik tangan Freya.Mereka masuk ke dalam rumah. Menyusul papa dan mamanya yang sudah lebih dahulu berada di dalam rumah.Freya langsung masuk ke dalam kamarnya. Tubuhnya yang lengket ingin segera dia segarkan.Membuka pintu kamarnya, Freya tersenyum. Rasanya dia rindu sekali dengan kamar yang menjadi tempatnya menghabiskan hari.“Kamarmu masih tetapi sama. Mama tidak boleh aku masuk karena takut merusak barang-barangmu.” Cia yang berada di belakang Freya memberitahu kakaknya itu.“Iya, kamu selalu saja rusuh,” ledek Freya.Cia mendengus kesal mendengar kakaknya meledek.Freya masuk dan mengambil handuk. Namun, langkahnya terhenti saat hendak ke kamar mandi. “Kamu sepertinya dekat dengan Kak Al?” tanyanya berbalik menatap Cia.“Siapa aku?” tanya Cia menunjuk dirinya.“Memang siapa lagi yang di kamar ini?”Cia tertawa. “Karena kami sering sekali berkumpul.”“Berkumpul?” Dahi Freya berkerut dalam. Seingatnya di London, Al tipe yang tidak suka berkumpul dengan orang lain.“Lebih tepatnya menjaga aku dan Ghea.”“Menjaga?” tanyanya bingung.“Iya, aku dan Ghea sering sekali pergi, dan Kak Al yang menemani kami, sesuai permintaan Mommy Shea.”Freya baru mengerti bagaimana cara adiknya itu bisa dekat.“Cepat mandi, aku mau Kakak mencoba kue buatanku.” Cia mendorong tubuh Freya untuk masuk ke kamar mandi.“Iya,” jawab Freya malas. Dia masuk ke kamar mandi dan melanjutkan niatnya untuk mandi.Di rumah sebelah kehebohan juga tercipta. Shea dan Selly yang sudah menyiapkan makanan meminta El untuk makan terlebih dahulu, tetapi El memilih untuk menyegarkan tubuhnya terlebih dahulu.Mau tak mau ibu-ibu harus menunggu putra mereka mandi terlebih dahulu. Mereka memilih sambil mengobrol di ruang keluarga.El masuk ke dalam kamarnya. Kamar yang sudah lama sekali dia tidak tempati. Saat masuk, El melihat kamar tampak bersih dan tertata rapi. Dia tahu sekali jika mommy-nya menjaga kamarnya dengan baik.Tak berlama-lama, El masuk ke dalam kamar mandi. Tubuhnya yang lengket ingin sekali dia segera bersihkan. Di bawah kucuran air, dia membasahi tubuhnya. Rasanya segar sekali saat air mengalir di tubuhnya.Menyelesaikan mandi, dia keluar dari kamar. Namun, saat keluar dia dikejutkan dengan Al yang sudah berada diq kamarnya. “Kamu di sini?” tanyanya seraya mengayunkan langkahnya ke lemari, mengambil pakaian dan memakainya.“Aku mengantarkan k
Pagi ini rumah El begitu riuh. Bagaimana tak riuh saat suara mommy-nya menggelar, menyambut pagi. El yang dari kamar mendengar suara berisik, mau tak mau bangun.Dengan malas, dia membuka pintu kamarnya. Saat membuka pintu, mommy-nya sedang mengetuk pintu kamar Bian yang tak kunjung bangun.“Bian ... bangun.” Shea terus saja membangunkan anak bungsunya.“Bian belum bangun?” tanya El.“Adikmu ini memang susah sekali dibangunkan.” Shea terus mengetuk pintu agar anaknya bangun.“Biar El saja, Mom.”Shea yang masih harus menyiapkan sarapan, mau tak mau akhirnya mengizinkan El membangunkan Bian. Menyerahkan tugas pagi ini pada anak sulungnya.“Bi ....” El mengetuk pintu.Sekitar tiga kali El memanggil dan mengetuk, akhirnya Bian membukakan pintu juga. Namun, adiknya itu justru kembali ke tempat tidur, kembali memejamkan matanya lagi. El hanya bisa menggeleng. Kemudian dia ikut merebahkan tubuhnya ke tempat tidur.
El yang melajukan mobilnya, menuju ke kantor daddy-nya. Semua karyawan melihat terheran-heran melihat pria dengan pakaian casual datang ke kantor. Untung El membawa jaket kulit hitam untuk menutupi kaos yang di pakainya, jadi masih terlihat tak seperti ingin jalan-jalan. Selain fokus pada pakaian El, mereka fokus pada wajah tampan El.“Dia anak Pak Bryan,” ucap salah satu karyawan.El yang melewati tersenyum manis. Dia langsung menuju ke ruangan daddy-nya mengingat dia adalah anak dari pemilik perusahaan. El sedikit merutuki karena dia datang dengan pakaian biasa saja. Merasa tidak enak dengan karyawan lain.El sampai di depan ruangan daddy-nya. Di depan ada sekretarisnya yang sudah menyapanya dan mengantarkan El untuk ke ruangan daddy-nya.“Hai El ... “ sapa Felix yang melihat El masuk.Felix Julian yang dulu bekerja sebagai asisten CEO Adion, kini sudah berganti jabatan sebagai COO (chief operating officer) dari Adion. Lebih mudah diar
Shea dan Chika pun hanya tersenyum. “Emm ....” Shea berdeham untuk mengalihkan pandangan El dan membuka mata Freya.El terkejut saat melihat mommy dan mamanya berjajar menontonnya. Pandangan mereka seolah penuh tanda tanya. Tak butuh waktu lama, dia bangkit. “Tadi kursinya goyang,” elaknya.“Iya, aku tidak memegangi dengan benar.” Freya yang merasa tidak enak.“Benarkan kursinya dan selesaikan pekerjaanmu,” ucap Shea tegas. Kemudian berbalik dan mengajak Selly dan Chika kembali ke dapur. Senyum mereka bertiga terhias di wajah cantik yang sudah semakin menua saat melihat aksi anak-anak mereka.El dan Freya yang merasa tidak enak saat melihat pandangan orang tua mereka jadi salah tingkah.“Kamu bagaimana El? Kenapa bisa jatuh?” protes Freya.“Harusnya aku yang bertanya, kenapa bisa kamu tidak memegangi dengan benar kursinya?”“Kenapa aku yang salah?” tanya Freya menatap kesel pada El.
El yang selesai keluar dari kamar dan menuju taman belakang di mana diadakannya pesta. Bergabung dengan keluarga yang sudah berkumpul.Memilih tempat duduk di samping Freya, membuat gadis cantik itu berada di antar dua pria tampan.Freya yang melihat El masih dalam mode malu. Sejauh ini dia kenal El memang baru kali ini dia melihat El dengan handuk di pinggang.Walaupun dia pernah melihat El saat berenang dengan celana renang, entah kenapa terasa berbeda. Dia sedikit membenarkan ucapan papanya yang mengatakan jika dia sudah besar dan memang akan jadi lain jika berdua.Sesaat El duduk. Tampak Theo Julian-kakek Freya datang. Dia memang sengaja diundang oleh Bryan, mengingat dia adalah kakek dari Freya.“Silakan, Paman,” ucap Bryan pada Theo.“Terima kasih sudah mengundangku, Bry.” Theo duduk di samping Daniel. Dia sudah cukup lama berteman dengan Daniel. Hingga akhirnya pertemanannya menurun pada anak
Di kantor lain, Freya masih menunggu Al datang. Tadi sekretaris Al mengatakan jika Al sedang ada urusan pagi ini, jadi dia datang ke kantor terlambat. Kemarin Freya memang sudah mendengar jika dia akan menjadi asisten Al selama bekerja di Maxton. Namun, dia belum mengetahui pekerjaan apa yang harus dilakukan oleh Freya.Sekitar tiga puluh menit Freya menunggu, akhirnya Al datang. Terbiasa melihat Al dengan pakaian casual membuat Freya terpesona dengan Al. Setelan jas yang melekat di tubuh Al begitu pas di tubuh pria itu. Rambut yang tertata rapi membuat penampilan Al terlihat begitu rapi.“Pagi Pak Aaron,” sapa sekretarisnya.Freya baru tahu jika Al dipanggil dengan nama depannya. Dia yang duduk di sofa, berdiri dan menyapa Al. “Pagi, Pak,” sapa Freya.Al tersenyum saat mendengar sapaan Freya.“Pagi, Frey, ayo masuk ke dalam.” Mengayunkan langkahnya, Al masuk ke ruangannya. “Duduk!” perintah Al seraya menunjuk ke kurs
Sampai di rumah. Freya turun dari mobil. Senyumnya tak susut dari wajahnya. El selalu saja bisa membuatnya tersenyum.“Terima kasih, El,” ucap Freya yang masih menatap El dari balik pintu mobil.“Iya, Tuan putri, sama-sama.”Tepat saat mereka sedang mengobrol, mobil Al melintas. Mobil El dan Al yang saling berhadapan membuat El dan Al berada di satu garis lurus.Al membuka kaca mobilnya. “El mau main basket?” tanyanya. Di seberang sana Al melihat Freya dari balik pintu mobil El.Freya tersenyum pada Al. Merasa tidak enak bertemu dengan atasannya di rumah. Masih terasa aneh dan belum terlalu bisa beradaptasi.“Tentu saja, nanti kita ketemu di lapangan biasa ya,” ucap El.“Baiklah, aku tunggu.” Al menaikkan kaca mobilnya dan melajukan mobilnya.“Baiklah, aku juga pergi,” ucap Freya.“Masuklah dan istirahatlah.”Freya masuk ke dalam rumah sedangkan El melajukan mobilnya sekitar dua meter ke dep
El memulai meeting dengan Bryan dan Felix. Proposal yang diajukan sudah disetujui oleh Bryan. Sebenarnya tanpa memberikan proposal pun, Bryan akan menyetujui proyek kerja sama itu. Mengingat anaknya sendiri yang mengerjakan.“Jadi kapan kita bisa mulai?” tanya Bryan.“Secepatnya, Pak.” Karena sedang banyak orang di ruang meeting, El menyematkan panggilan yang pas untuk Bryan.“Baiklah, kalau begitu.”Bryan mengakhiri meeting. Staf dan manager keluar dari ruangan meeting. Meninggalkan El, Bryan, Felix dan sekretaris El. Mereka melanjutkan membicarakan beberapa hal tentang proyek.“Jadi setelah makan siang kamu akan meninjau lahan di sana?” tanya Bryan saat baru saja mendengar cerita anaknya.“Iya, Dad. Setelah makan siang dengan Freya aku akan meninjau proyek.”“Wah ... mau makan dengan calon mantu,” goda Bryan.Felix hanya menarik senyuman di wajahnya. Sudah mulai terbiasa den
“Kamu yakin menitipkan anak-anak ke daddy dan mommy?” tanya Freya memastikan. “Iya.” El tersenyum menyeringai. Dia memanfaatkan situasi dengan benar seperti yang dikatakan oleh daddy-nya.“Aku malu. Kalau mereka tanya mau apa kita, kita jawab apa?” Freya merasa malu ketika harus menitipkan anak-anaknya. “Mereka lebih paham. Tidak perlu menjelaskan panjang kali lebar.” El tahu jika orang tua mereka lebih paham akan hal itu. “Baiklah, aku akan pastikan yang akan dibawa.” Freya tidak mau ada yang sampai ketinggalan. Yang ada dirinya pasti tidak akan tenang bersama dengan El nanti ketika pergi. “Baiklah, aku akan lihat anak-anak dulu.” El mengayunkan langkah ke kamar sebelah. Mengecek anak-anak yang masih tidur lelap. El tersenyum. Dia merasa waktu bergulir begitu cepatnya. Anak-anak tumbuh begitu cepatnya. Belum lama El mengendong mereka bergantian. Kini mereka sudah bisa digendong bersamaan. Tepat saat El sedang meme
Suara tangis yang saling bersahutan terdengar mengisi keheningan malam. Di saat orang-orang sedang terlelap tidur, sepasang orang tua baru itu tampak sibuk menenangkan dua bayi yang kini sudah berusia lima bulan tersebut. Biasanya Kean akan anteng ketika malam hari, tetapi kali ini dia ikut menangis juga. Freya yang menyusui Lean harus pasrah ketika Kean menangis. El langsung mengambil susu yang disiapkan dan menghangatkannya. Sambil menunggu menghangatkannya, El mengajak main anaknya. Dia meletakkan Kean di atas bahunya, memanggulnya seraya memegangi tangannya. Seketika bayi kecil itu terdiam.El mengayun-ayunkan tubuh Kean hingga membuat melayang-layang. Kean langsung tertawa terbahak merasakan tubuhnya diayun-ayunkan. Tawa Kean itu menarik perhatian Lean. Adiknya itu langsung menoleh. Mulutnya yang masih menyesap puncak dada mommy-nya, tanpa sadar menariknya begitu saja sambil melepaskannya. Membuat mommy-nya mengaduh kesakitan dengan aksi si bungsu. Bola
Waktu bergulir dengan cepatnya. Semua menanti kelahiran penerus dari dua keluarga. Setelah kejadian kemarin, semua keluarga menjaga Freya. Apalagi sudah menjelang melahirkan, pastinya Freya perlu pengawasan penuh. Mommy Shea dan Mama Chika selalu berganti menjaga Freya di saat El bekerja. Tak mau sampai anak dan cucu mereka kenapa-kenapa. El yang biasanya pulang larut malam pun, kini pulang lebih awal. Tak mau sampai kehilangan momen. Mengingat Freya sudah akan melahirkan dan di saat itu, dia ingin selalu ada di sisi istrinya.“Ini sudah jalan berapa minggu?” El yang merebahkan tubuhnya, meletakkan kepalanya di kaki istrinya. Menghadap ke arah perut Freya yang semakin membesar. “Tiga puluh sembilan.” “Kenapa lama sekali mereka keluar. Bukankah harusnya mereka keluar di antara waktu tiga puluh tujuh minggu sampai empat puluh minggu.” El selalu dengan saksama mendengarkan ucapan dokter. Jadi dia selalu tahu perkembangan ibu hamil. “Enta
“Pa, cepat!” El menepuk kursi kemudi dari belakang. Meminta untuk papa mertuanya bergegas untuk melajukan mobilnya. “Sabar, El.” Rasanya, Felix benar-benar mengulang kepanikan sewaktu El lahir. Temannya-Bryan juga menepuk kemudinya, hingga membuatnya lemas. “Berapa bulan sebenarnya usia kandungan anak Freya?” tanya Papa Felix. Mengingat El yang lahir prematur membuat Papa Felix takut jika cucunya akan mengalami hal yang sama. “Tiga puluh enam minggu, Pa.”El menatap Freya dengan tatapan kasihan. Freya tampak meringis kesakitan saat perutnya kencang. Dengan usia segitu, artinya anak akan dilahirkan prematur. Karena usia tiga puluh tujuh-baru anak dikatakan normal. Papa Felix hanya bisa berharap semua baik-baik saja. Mobil berhenti di depan Rumah sakit. El buru-buru membawa Freya keluar dari mobil. Saat keluar dari mobil, mereka sudah disambut oleh perawat. Namun, El justru membawa Freya dengan tangannya sendiri ke UGD.Papa Fe
Sebagai pengusaha muda, El mulai diperhitungkan. Namanya mulai dikenal di kalangan pengusaha. Apalagi, El terkenal membangun bisnisnya di luar negeri. Kini perusahaannya sudah bergabung dengan Julian Company. Semua proyek pembangunan di bawah tanggung jawab El. Tiga bulan sejak kematian Kakek Theo, perusahaan semakin membaik di bawah pimpinan El. Seperti yang diharapkan Kakek Theo, El berusaha keras memajukan perusahaan. Menjalin kerja sama dengan beberapa kolega sang kakek mertua. “Sayang, ingat besok aku, mama dan mommy akan pergi untuk mencari baju untuk anak kita. Jadi aku harap kamu ikut!” Freya memberi peringatan penuh pada suaminya itu. Beberapa hari belakangan ini El sibuk bekerja hingga malam. Dia takut saat libur, suaminya itu akan tetap bekerja. Kini usia kandungan Freya sudah mencapai dua puluh sembilan minggu atau setara dengan tujuh bulan satu minggu. Semua persiapan mulai dilakukan oleh keluarga, termasuk membeli perlengkapan dari mulai baju dan pe
Beberapa hari ini El disibukkan dengan kepindahannya kantor. Kini kantornya berada di kantor Julian Company. El bertanggung jawab atas perusahaan istrinya karena sang istri yang sedang hamil dan tidak bisa mengurusi perusahaan. Namun, nanti saat sang istri sudah bisa bekerja kembali, dia akan menyerahkannya kembali. Keluarga yang lain pun tidak masalah. Mereka menyerahkan pada El. Terutama Papa Felix. Dia yakin El bisa mengurus perusahaan peninggalan papanya itu. Tidak terasa kandungan Freya sudah mencapai dua puluh minggu. Perutnya semakin hari semakin membesar. Semakin bertambahnya usia kandungannya, mual yang dirasakan Freya semakin berkurang. Dia pun sudah mulai bisa makan seperti biasanya. Justru dia sangat lahap saat makan.El keluar dari kamar mandi. Menggosok-gosokan rambutnya yang basah. Melihat istrinya yang sedang berada di depan cermin. Tampak istrinya itu sedang melihat wajahnya yang terlihat sangat gembil. “Semakin hari, kamu sema
Freya hanya bisa menangis di atas makam sang kakek. Perasaannya hancur ketika tak bisa ikut mengantarkan kakeknya ke peristirahatannya terakhirnya. Dia yang harus pingsan, justru menghabiskan waktu di Rumah sakit.“Jangan bersedih terus. Kamu harus kuat.” El mencoba menenangkan sang istri. Membelai punggung lembut sang istri. Berharap istrinya dapat tenang. El dapat merasakan betapa sedihnya istrinya, tidak bisa menemani sang kakek untuk terakhir kalinya. “Kakek bilang dia ingin bermain dengan cicitnya.” Freya menoleh ke arah suaminya. Matanya yang sudah sembab-menandakan jika dia terus menangis tanpa henti. Freya mengingat apa saja yang dia rencanakan dengan sang kakek sewaktu di Rumah sakit. Namun, rencana tinggal rencana, karena kini sang kakek pergi untuk selama-lamanya. “Iya, dan dia tidak akan senang jika kamu membuat cicitnya kenapa-kenapa. Jadi jangan terus bersedih.” El membawa istrinya dalam pelukan. Manusia hanya bisa berharap dan Tuhanlah yan
Papa Felix merasa cemas dengan keadaan papanya. Pikirannya menerka-nerka apa yang terjadi dengan papanya. Ada sedikit ketakutan dalam hatinya karena apa yang sudah dilakukannya kemarin yang menjadi papanya itu masuk Rumah sakit. Turun dari mobil, Papa Felix langsung menghubungi sekretaris papanya, menanyakan keberadaan papanya. “Apa yang terjadi?” Tepat di depan ruang rawat, Papa Felix bertanya pada sekretaris papanya. Pandangannya penuh ketakutan dan kecemasan. “Pak Theo sudah masuk ke Rumah sakit sejak tiga hari yang lalu, dan sekarang kondisinya menurun.” “Sudah tiga hari dan kamu baru memberitahu sekarang!” Papa Felix ingin melayangkan bogem mentah pada sekretaris papanya itu, tetapi ditahan oleh Daddy Bryan. Temannya itu membawa Felix untuk duduk. Tubuh Felix begitu lemas. Tiga hari artinya di saat dirinya bertemu dengan papanya dan pastinya papanya sakit karena semua ucapannya. “Maaf, Pak, selama ini Pak Theo melarang untuk men
Papa Felix kembali ke Rumah sakit setelah puas mengungkapkan semua perasaan dalam hatinya. Dia sedikit menyesali karena tidak melakukannya sejak lama dan justru membiarkan papanya melakukan apa yang dia mau. Namun, kini Felix tidak akan membiarkannya. Dia akan menjaga anak dan cucunya. Sampai di Rumah sakit sudah banyak orang yang datang. Ada kedua orang El yang ada di sana. Istrinya pun turut hadir di sana. “Kamu dari mana?” tanya Mama Chika pada suaminya. “Dari kantor papa.” Wajah Felix tampak masih terlihat kesal. Masih ada amarah yang meliputinya. “Papa marah dengan kakek?” tanya Freya cepat ketika mendengar ucapan dari papanya. “Dia tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ini sudah melampaui batas. Harusnya dia tidak seenaknya memintamu mengecek proyek langsung karena kamu sedang hamil. Lagi pula masih banyak karyawan yang bisa dia suruh untuk mengecek.” “Ta—”Freya masih mau menyanggah, tetapi El memegangi lenganny