Di rumah sebelah kehebohan juga tercipta. Shea dan Selly yang sudah menyiapkan makanan meminta El untuk makan terlebih dahulu, tetapi El memilih untuk menyegarkan tubuhnya terlebih dahulu.
Mau tak mau ibu-ibu harus menunggu putra mereka mandi terlebih dahulu. Mereka memilih sambil mengobrol di ruang keluarga.El masuk ke dalam kamarnya. Kamar yang sudah lama sekali dia tidak tempati. Saat masuk, El melihat kamar tampak bersih dan tertata rapi. Dia tahu sekali jika mommy-nya menjaga kamarnya dengan baik.Tak berlama-lama, El masuk ke dalam kamar mandi. Tubuhnya yang lengket ingin sekali dia segera bersihkan. Di bawah kucuran air, dia membasahi tubuhnya. Rasanya segar sekali saat air mengalir di tubuhnya.Menyelesaikan mandi, dia keluar dari kamar. Namun, saat keluar dia dikejutkan dengan Al yang sudah berada diq kamarnya. “Kamu di sini?” tanyanya seraya mengayunkan langkahnya ke lemari, mengambil pakaian dan memakainya.“Aku mengantarkan kopermu dan aku pikir, aku ingin merasakan kasur ini.” Al merebahkan tubuhnya di kasur empuk milik El. Sejak kecil dia suka sekali menghabiskan waktu dengan El di kamar.El menghampiri Al. Bergabung merebahkan tubuh di atas tempat tidur.“Sepertinya kamu benar-benar betah di London?” tanya Al menoleh pada El yang berada di sebelahnya.“Ada banyak keindahan yang tak bisa dilewatkan?”“Termasuk tetangga sebelah?” goda Al.Dahi El berkerut dalam mendengar ucapan Al. “Freya maksudmu?”“Iya, siapa lagi.”El tertawa. “Apa kamu berpikir aku di sana karena dia?”“Iya, semua berpikir karena itu,” jawab Al.Tawa El semakin kencang.“Apa kamu menyukainya?” tanya Al yang penasaran.“Kamu tahu bukan jika kita sudah berteman dengan Freya sejak kecil, aku mengganggapnya seperti Ghea dan Cia.”“Benarkah?” Al menatap El mencari kebohongan di dalam bola matanya.“Iya.” El mengalihkan pandangannya. Tak mau Al melihatnya.Untung saja secara bersamaan suara pintu dibuka dan tampak Ghea masuk ke dalam kamar.“Kalian sedang apa?”“Tidak sedang apa-apa,” elak El.Ghea berada di antara dua kakaknya. Membuat El dan Al memberikan celah untuk adik perempuannya itu. Tubuh Ghea yang tengkurap membuat dia bisa memandangi wajah kakaknya. “Senang sekali aku sekarang punya dua kakak.”“Berarti mulai sekarang tugasku akan sedikit berkurang,” ucap Al.“Tugas apa?” tanya El menatap Al bingung.“Tugas menjaga mereka berdua,” jawab Al malas.“Berdua dengan siapa?” tanya El masih dengan mode bingung.“Dengan Cia. Siapa lagi? Selama ini Kak Al jadi bodyguard kami.”El sudah bergidik ngeri membayangkan jika dia akan melakukan hal yang sama dengan Al, menjaga adik-adiknya yang super cerewet.“Jadi mulai besok, Kak El akan bergantian menemani kami saat pergi di akhir pekan.”“Tidak mau,” elak El.“Harus mau!” seru Ghea.“Kamu pergi dengan Al saja.”“Kenapa aku? Bukannya harusnya kini giliranmu.” Al tak terima.“Sudah-sudah jangan bertengkar untuk menemani aku. Kalian berdua boleh saja agar adil.” Ghea tersenyum puas saat mengatakan jika kedua kakaknya akan menemaninya.Al dan El mendengus kesal. Namun, pasrah karena memang mereka berdua berkewajiban menjaga adiknya. Apa lagi adiknya adalah seorang perempuan.Saat mengingat adiknya, El teringat dengan adiknya satu lagi. Sejak tadi datang dia belum melihat. “Ke mana Bian?” tanyanya.Al dan Ghea saling pandang. Mereka sudah sangat hafal jika Bian sedang pergi keluar. Untuk apa lagi jika bukan untuk balapan.“Dia sedang di sirkuit,” jawab Ghea.“Apa balap motor?” tanya El memastikan.“Iya, apa lagi,” jawab Ghea malas.Enam tahun ternyata memang begitu cepat. Hingga akhirnya dia menemukan jika adiknya sudah beranjak dewasa semua. Ghea yang berusia dua puluh satu dan Bian yang berusaha delapan belas tahun.Pembicaraan mereka terhenti saat suara pintu kembali terbuka. Kali ini sang mommy Shea yang datang.“Ghe ... Mommy minta kamu panggil Kak Al dan El, kamu justru ikut bersantai dengan mereka.”“Maaf, Mom, aku lupa,” jawab Ghea polos.“Dasar!” ucap Shea, “sudah ayo kalau begitu nenek dan kakek sudah datang. Mereka ingin bertemu denganmu.El bangun dari tidurnya. Kemudian disusul oleh Al dan Ghea. Mereka bersama-sama menemui nenek dan kakeknya.“Baby El, Sayang,” panggil Melisa melihat cucunya. Menghampiri El yang sedang menuruni anak tangga. Satu pelukan dia berikan pada cucu tercinta.El malas sekali dipanggil baby El, serasa anak kecil. Al yang berada di sebelah El hanya tertawa. Perlakuan neneknya memanglah seperti itu, menganggap cucu-cucunya masih kecil.“Apa kabar, Nek?” tanya El.“Baik, Sayang. Kamu apa kabar?” tanya Melisa seraya melepas pelukan.Daniel yang melihat cucunya, ikut menghampiri. Rasanya dia begitu merindukan cucunya itu. “Apa kabar, Sayang?” Dia memeluk cucu kesayangannya itu.“Aku baik, Kek.”“Sudah-sudah, ayo makan dulu.” Selly yang melihat suasana begitu haru mengakhirinya. Sambil meletakan makanan di atas meja, dia mengajak mereka semua memulai makan malam.Semua berada di meja makan dan memulai makan.“Makanlah ini, Mommy masak spesial untuk kamu.” Shea memberikan ayam kecap untuk El.El tersenyum. Dia selalu suka ayam kecap buatan sang Mommy. Perpaduan manis dan gurih begitu memanjakan lidah. Dari sekian banyak makanan, inilah makanan yang disukai El. Dari cerita mommy-nya, dulu sewaktu hamil, mommy-nya ingin sekali makan ayam kecap, dan akhirnya daddy-nya membuatkan.Dengan lahap El memakan makanannya. Sesekali menyelipkan cerita tentang perjalanan tadi dari London-Indonesia.Usai makan, mereka semua berkumpul di ruang keluarga. Melanjutkan cerita yang memang belum selesai karena diselingi dengan makan.“Apa kamu akan membantu Daddy-mu bekerja di Adion Company?” tanya Daniel pada cucunya.“Tidak, Kek.”Daniel terkejut dengan jawab cucunya. Dia pikir cucunya akan melanjutkan usahanya itu. “Lalu?”“Aku akan membuat perusahaan sendiri. Lagi pula Daddy masih kuat mengurus perusahaan sendiri.”Bryan tersenyum tipis. Anaknya memang sudah mengatakan akan hal ini jauh-jauh hari.“Wah ... Daddy berasa melihat El yang begitu dewasa.” Regan yang biasa diam membuka suaranya. Merasa bangga dengan apa yang diinginkan El.“Kenapa tidak meneruskan seperti yang dilakukan Al?” Daniel masih tak terima. Dia ingin anak dan cucunya masih bisa meneruskan usahanya.“Al hanya sendiri, Kek. Mau tidak mau perusahaan akan jatuh ke tangannya, dan dia harus mempersiapkan diri untuk meneruskan, tetapi aku masih punya Ghea dan Bian yang kelak bisa meneruskan. Jika aku juga meneruskan, aku rasa aku akan bertengkar kelak dengan mereka karena warisan,” ucap El.Bryan tersenyum. Anaknya begitu dewasa beda sekali dengannya dulu. Bersyukur aku memiliki istri yang bisa mengajari anakku apa arti keluarga, kelak dia akan memikirkan akan hal itu dan meredam egonya saat menyangkut keluarga.“Aku iri denganmu,” ucap Al seraya menepuk bahu El. Sedari kecil, El selalu mengalah untuk adik-adiknya. Menghindari pertengkaran untuk menciptakan suasana damai di keluarga. Jika harus memberi, dia akan rela memberikan apa saja untuk adik-adiknya.“Kalau kamu iri, berikan sahammu untukku.” El tertawa terbahak.“Jangankan saham, jika bisa akan aku berikan, tetapi sayangnya itu belum milikku sepenuhnya.” Jabatan Al yang CEO Maxton Company memang masih di bawah kekuasaan daddy-nya sebagai owner.“Itu artinya kamu tidak punya apa-apa sekarang!” El semakin tergelak, membuat semua yang ada ikut tertawa.Bryan dan Regan menatap anak mereka. Melihat dua pria muda yang tubuh dengan nasib berbeda, tetapi menyikapi dengan santai. El yang harus berbagi tak pernah mempermasalahkan, sedangkan Al yang memiliki sendiri tak pernah pamer dengan apa yang dimiliki.***Saat sedang asyik mengobrol, tampak Bian datang. Pria delapan belas tahun itu tampak membawa helm dan menghampiri keluarganya.“Lihatlah siapa yang datang, pembalap kita!” seru El. Adiknya itu adalah adik bungsunya. Tadi mereka sudah saling bercerita tentang Bian. El baru tahu jika ternyata daddy-nya memintanya masuk ke klub balapan yang sudah terdaftar. Daddy-nya menyalurkan hobi Bian dengan benar agar tidak terjadi hal buruk. Apalagi menyebabkan orang lain meninggal.“Kakak sudah sampai,” ucapnya seraya memeluk kakaknya.“Iya, dan kamu tidak menyambutku.”“Maaf, aku tadi ada pertandingan.”“Apa kamu menang?” teriak Ghea yang sedang membantu mommy-nya membawa camilan.“Tentu saja!” ucap Bian. Tangannya mengambil makanan yang dibawa oleh Ghea. Namun, urung dilakukan saat tangannya dipukul oleh mommy-nya.“Cuci tanganmu dulu sebelum makan!” ucap Shea.Bian mendengus kesal tak boleh mengambil makanan.“Mandi sana, dan cepat makan.” El menepuk bahu adiknya.Tak menunggu lama, Bian berbalik. Tubuhnya memang begitu lengket jadi dia ingin segera membersihkan.Sepeninggal El, Daniel menatap El yang hendak duduk. “Apa kamu yakin adikmu bisa mengurus perusahaan?”“Pa ... “ tegur Selly. Dia menatap papanya yang sedang berusaha membandingkan anak adiknya. Memutar kembali ingatan, Bryan muda juga sangat buruk dan itu karena sang papa yang suka membandingkan.“Aku hanya khawatir saja,” elak Daniel.“Aku tahu bagaimana mendidik anak, tidak perlu Papa takut. Kalau pun nanti dia tidak bisa meneruskan perusahaan, aku akan mengurusnya hingga nanti ajal menjemputku.”Bryan sangat tidak suka anaknya dibandingkan satu dengan yang lain. Dia sadar betul memiliki tiga anak, pasti akan timbul rasa iri. Bersama dengan istrinya-Shea, dia mendidik anaknya sesuai dengan bakat dan minat dan tidak membandingkan.“Ada aku juga, Kakek tidak perlu khawatir.”“Iya-iya.” Daniel pasrah. Sebagai orang tua dia hanya khawatir, mengingat Bryan yang membebaskan dan justru mendukung anaknya untuk balapan.“Sudah-sudah, kita cerita yang lain saja.” Melisa yang melihat kondisi sudah mulai tegang, mengakhiri agar tidak terjadi perdebatan panjang.Sama dengan rumah El yang sedang tegang membahas Bian, di rumah Freya juga terjadi ketegangan. Freya yang dipaksa adiknya untuk makan kue inovasinya.“Mana enak itu kue coklat jahe?” tanya Freya yang bergidik ngeri dengan inovasi aneh adiknya.“Coba dulu, Kak, baru nanti beri komentar.”“Tidak mau!”“Ayo coba dulu!”Freya berlari saat adiknya memaksa memakan kue aneh buatannya. Di belakang sang papa dia bersembunyi. “Pa, Freya tidak mau makan kue buatan Cia.”Felix tertawa. Dia sudah jadi korban anak bungsunya, jadi dia tidak justru membantu Cia menangkap Freya. Berbalik, Felix menangkap tubuh Freya agar Cia bisa memasukkan kue buatannya ke dalam mulut kakaknya.“Papa, kenapa membantu Cia?”“Biar kamu merasakan seberapa kami tersiksa memakan makanan aneh buatan Cia.”“Papa!” seru Cia saat papanya mengatakan makanannya aneh. Karena kesal, dia langsung memasukkan kue buatannya.Freya berusaha menutup rapat mulutnya, tetapi Cia begitu memaksa hingga akhirnya membuat Freya pasrah dan membuka mulut. Rasa manis coklat pada kue bercampur rasa pedas jahe begitu aneh di lidahnya.Felix yang melihat anaknya, tak tega dan melepaskannya. Dapat melepaskan diri, Freya buru-buru mengambil minum. Rasa jahe yang terkandung dalam kue begitu banyak, hingga membuat Freya kepedasan.“Berapa banyak kamu beri jahe tadi?”“Aku tidak menakarnya.”Freya menepuk dahinya. Adiknya benar-benar menyebalkan. Membuat kue tanpa takaran sama sekali.Di saat sedang kesal, Liana-nenek Freya datang. Freya yang melihat begitu berbinar. Kemudian menghampiri neneknya.“Cucu Neneknya sudah pulang.” Liana memeluk Freya erat meluapkan rasa rindunya.“Aku merindukan Nenek.” Freya senang sekali bisa bertemu dengan orang-orang yang disayanginya.“Nenek juga merindukanmu.” Liana membelai lembut rambut cucunya.“Nenek bawa apa?” Freya yang melihat tas kecil yang dibawa neneknya, bertanya.“Bawa kue.”“Wah ... pasti ini kuenya enak,” ucap Freya seraya melirik adiknya.“Cih ... menyebalkan.” Cia yang melihat kakaknya sedang menggodanya kesal.“Tapi sepertinya lebih enak kue buatan Cia,” lanjut Freya.Wajah kesal Cia seketika berganti senang.“Iya, asal tidak banyak jahenya,” ucap Freya seraya memeluk adiknya.“Kalau begitu ayo makan lagi.”Dengan wajah pasrah, akhirnya dia memakannya. Namun, tetap saja setelahnya dia berlari mengambil air minum.Pemandangan itu begitu seru hingga membuat Chika, Felix dan Liana tertawa.Setelah tadi makan malam dan berlanjut bercerita, Freya masuk ke dalam kamar. Hal pertama yang dilakukan adalah menghubungi El. Dia ingin tahu apa yang dilakukan oleh pria itu.“Halo, El ...,“ panggil Freya.“El sedang di kamar mandi.”Suara datar terdengar dan Freya tahu siapa pemilik suara itu. Siapa lagi jika buka Al. Pria yang tadi ditemui saat mengambil barang.“Ada yang ingin di sampaikan?” tanya Al.“Tidak, aku hanya ingin tahu dia sedang apa.”“Oh ... baiklah, kalau begitu aku akan sampaikan jika kamu menghubungi ... bye.”Freya terkejut Al ingin mematikan sambungan telepon. Saat jarang sekali mendengar suara Al, dia ingin sekali mendengar lebih lama suara pria di seberang sana. “Kak Al ...,“ panggil Freya.“Iya.” Al yang ingin mematikan sambungan telepon, mengurungkan niatnya.“Tidak, tidak jadi.” Freya bingung untuk apa dia mencegah Al untuk mematikan sambungan telepon.“Baiklah, aku matikan kalau begitu.”“Baiklah.” Freya pasrah saat Al mematikan sambungan telepon.Freya terdiam, melihat layar ponselnya. Dia merasa aneh dengan apa yang dirasakannya.Saat sedang asyik melihat ponselnya, suara adiknya terdengar dan membuat Freya menoleh. Cia yang membuka pintu masuk ke dalam kamar.“Aku mau tidur dengan Kakak.” Cia naik ke atas tempat tidur, menyusul Freya.Melihat Freya sedang memegang ponselnya, Cia menggoda, “Sedang telepon Kak El?”“Hah ....” Freya terkejut dengan pertanyaan yang tanpa filter dari Cia.“Kakak ada hubungan dengan Kak El?” Cia tersenyum menyeringai.“Sembarangan. Kami hanya berteman.”“Oh ....” Cia mengangguk-anggukan kepalanya, tetapi masih tidak percaya.Freya yang teringat dengan Al yang mau berbicara, merasa heran dan penasaran. Akhirnya dia memilih bertanya pada adiknya, “Apa Kak Al sekarang banyak bicara?”“Kak Al?” tanya Cia memastikan.“Iya, tadi aku menghubungi El, tetapi dia yang mengangkat. Aku hanya merasa dia sekarang jauh lebih banyak bicara.”“Oh itu ... wajar dia banyak bicara. Karena setiap hari bersama aku dan Ghea.” Cia tertawa membayangkan hari-hari Al yang dipenuhi dengan dua wanita cerewet itu.“Apa kalian itu semacam virus yang menular, sampai bisa membuat Kak Al, berbicara banyak.”“Mungkin.”Freya merasa tidak mungkin, Al bisa berubah seperti itu. “Sudah ayo tidur, aku lelah.” Tak mau memikirkan akan hal itu, Freya memutuskan untuk tidur. Tubuhnya yang lelah karena perjalanan sudah tak tertahankan lagi.Pagi ini rumah El begitu riuh. Bagaimana tak riuh saat suara mommy-nya menggelar, menyambut pagi. El yang dari kamar mendengar suara berisik, mau tak mau bangun.Dengan malas, dia membuka pintu kamarnya. Saat membuka pintu, mommy-nya sedang mengetuk pintu kamar Bian yang tak kunjung bangun.“Bian ... bangun.” Shea terus saja membangunkan anak bungsunya.“Bian belum bangun?” tanya El.“Adikmu ini memang susah sekali dibangunkan.” Shea terus mengetuk pintu agar anaknya bangun.“Biar El saja, Mom.”Shea yang masih harus menyiapkan sarapan, mau tak mau akhirnya mengizinkan El membangunkan Bian. Menyerahkan tugas pagi ini pada anak sulungnya.“Bi ....” El mengetuk pintu.Sekitar tiga kali El memanggil dan mengetuk, akhirnya Bian membukakan pintu juga. Namun, adiknya itu justru kembali ke tempat tidur, kembali memejamkan matanya lagi. El hanya bisa menggeleng. Kemudian dia ikut merebahkan tubuhnya ke tempat tidur.
El yang melajukan mobilnya, menuju ke kantor daddy-nya. Semua karyawan melihat terheran-heran melihat pria dengan pakaian casual datang ke kantor. Untung El membawa jaket kulit hitam untuk menutupi kaos yang di pakainya, jadi masih terlihat tak seperti ingin jalan-jalan. Selain fokus pada pakaian El, mereka fokus pada wajah tampan El.“Dia anak Pak Bryan,” ucap salah satu karyawan.El yang melewati tersenyum manis. Dia langsung menuju ke ruangan daddy-nya mengingat dia adalah anak dari pemilik perusahaan. El sedikit merutuki karena dia datang dengan pakaian biasa saja. Merasa tidak enak dengan karyawan lain.El sampai di depan ruangan daddy-nya. Di depan ada sekretarisnya yang sudah menyapanya dan mengantarkan El untuk ke ruangan daddy-nya.“Hai El ... “ sapa Felix yang melihat El masuk.Felix Julian yang dulu bekerja sebagai asisten CEO Adion, kini sudah berganti jabatan sebagai COO (chief operating officer) dari Adion. Lebih mudah diar
Shea dan Chika pun hanya tersenyum. “Emm ....” Shea berdeham untuk mengalihkan pandangan El dan membuka mata Freya.El terkejut saat melihat mommy dan mamanya berjajar menontonnya. Pandangan mereka seolah penuh tanda tanya. Tak butuh waktu lama, dia bangkit. “Tadi kursinya goyang,” elaknya.“Iya, aku tidak memegangi dengan benar.” Freya yang merasa tidak enak.“Benarkan kursinya dan selesaikan pekerjaanmu,” ucap Shea tegas. Kemudian berbalik dan mengajak Selly dan Chika kembali ke dapur. Senyum mereka bertiga terhias di wajah cantik yang sudah semakin menua saat melihat aksi anak-anak mereka.El dan Freya yang merasa tidak enak saat melihat pandangan orang tua mereka jadi salah tingkah.“Kamu bagaimana El? Kenapa bisa jatuh?” protes Freya.“Harusnya aku yang bertanya, kenapa bisa kamu tidak memegangi dengan benar kursinya?”“Kenapa aku yang salah?” tanya Freya menatap kesel pada El.
El yang selesai keluar dari kamar dan menuju taman belakang di mana diadakannya pesta. Bergabung dengan keluarga yang sudah berkumpul.Memilih tempat duduk di samping Freya, membuat gadis cantik itu berada di antar dua pria tampan.Freya yang melihat El masih dalam mode malu. Sejauh ini dia kenal El memang baru kali ini dia melihat El dengan handuk di pinggang.Walaupun dia pernah melihat El saat berenang dengan celana renang, entah kenapa terasa berbeda. Dia sedikit membenarkan ucapan papanya yang mengatakan jika dia sudah besar dan memang akan jadi lain jika berdua.Sesaat El duduk. Tampak Theo Julian-kakek Freya datang. Dia memang sengaja diundang oleh Bryan, mengingat dia adalah kakek dari Freya.“Silakan, Paman,” ucap Bryan pada Theo.“Terima kasih sudah mengundangku, Bry.” Theo duduk di samping Daniel. Dia sudah cukup lama berteman dengan Daniel. Hingga akhirnya pertemanannya menurun pada anak
Di kantor lain, Freya masih menunggu Al datang. Tadi sekretaris Al mengatakan jika Al sedang ada urusan pagi ini, jadi dia datang ke kantor terlambat. Kemarin Freya memang sudah mendengar jika dia akan menjadi asisten Al selama bekerja di Maxton. Namun, dia belum mengetahui pekerjaan apa yang harus dilakukan oleh Freya.Sekitar tiga puluh menit Freya menunggu, akhirnya Al datang. Terbiasa melihat Al dengan pakaian casual membuat Freya terpesona dengan Al. Setelan jas yang melekat di tubuh Al begitu pas di tubuh pria itu. Rambut yang tertata rapi membuat penampilan Al terlihat begitu rapi.“Pagi Pak Aaron,” sapa sekretarisnya.Freya baru tahu jika Al dipanggil dengan nama depannya. Dia yang duduk di sofa, berdiri dan menyapa Al. “Pagi, Pak,” sapa Freya.Al tersenyum saat mendengar sapaan Freya.“Pagi, Frey, ayo masuk ke dalam.” Mengayunkan langkahnya, Al masuk ke ruangannya. “Duduk!” perintah Al seraya menunjuk ke kurs
Sampai di rumah. Freya turun dari mobil. Senyumnya tak susut dari wajahnya. El selalu saja bisa membuatnya tersenyum.“Terima kasih, El,” ucap Freya yang masih menatap El dari balik pintu mobil.“Iya, Tuan putri, sama-sama.”Tepat saat mereka sedang mengobrol, mobil Al melintas. Mobil El dan Al yang saling berhadapan membuat El dan Al berada di satu garis lurus.Al membuka kaca mobilnya. “El mau main basket?” tanyanya. Di seberang sana Al melihat Freya dari balik pintu mobil El.Freya tersenyum pada Al. Merasa tidak enak bertemu dengan atasannya di rumah. Masih terasa aneh dan belum terlalu bisa beradaptasi.“Tentu saja, nanti kita ketemu di lapangan biasa ya,” ucap El.“Baiklah, aku tunggu.” Al menaikkan kaca mobilnya dan melajukan mobilnya.“Baiklah, aku juga pergi,” ucap Freya.“Masuklah dan istirahatlah.”Freya masuk ke dalam rumah sedangkan El melajukan mobilnya sekitar dua meter ke dep
El memulai meeting dengan Bryan dan Felix. Proposal yang diajukan sudah disetujui oleh Bryan. Sebenarnya tanpa memberikan proposal pun, Bryan akan menyetujui proyek kerja sama itu. Mengingat anaknya sendiri yang mengerjakan.“Jadi kapan kita bisa mulai?” tanya Bryan.“Secepatnya, Pak.” Karena sedang banyak orang di ruang meeting, El menyematkan panggilan yang pas untuk Bryan.“Baiklah, kalau begitu.”Bryan mengakhiri meeting. Staf dan manager keluar dari ruangan meeting. Meninggalkan El, Bryan, Felix dan sekretaris El. Mereka melanjutkan membicarakan beberapa hal tentang proyek.“Jadi setelah makan siang kamu akan meninjau lahan di sana?” tanya Bryan saat baru saja mendengar cerita anaknya.“Iya, Dad. Setelah makan siang dengan Freya aku akan meninjau proyek.”“Wah ... mau makan dengan calon mantu,” goda Bryan.Felix hanya menarik senyuman di wajahnya. Sudah mulai terbiasa den
“Sudah jam lima,” ucap Luna saat melihat jam tangannya yang melingkar di pergelangan tangan.Freya yang sedang asyik mengerjakan pekerjaan menoleh dan tersenyum. “Tapi Pak Aaron belum keluar.” Lidah Freya sudah mulai terbiasa memanggil Al dengan nama Aaron, mengingat hanya orang rumah saja yang memanggil Al.“Iya, padahal aku ada janji,” ucap Luna seraya merapikan meja kerjanya.“Tunggu saja sebentar, Kak," ucap Freya dan mendapati anggukan dari Luna.Selang beberapa saat Al keluar dari ruangannya. Dia menatap Freya dan Luna. “Kalian sudah mau pulang?” tanya Al.“Iya, Pak,” jawab Freya dan Luna bersamaan. ““Baiklah, kalau begitu aku pulang lebih dahulu,” ucap Al berlalu meninggalkan Freya dan Luna.Tadi sepulang dari kantor Freya meminta Al untuk tidak terlalu mencolok saat mengajaknya pulang. Dia merasa tidak enak dengan karyawan lain jika terlihat dengan Al. Akhirnya memilih untuk be
“Kamu yakin menitipkan anak-anak ke daddy dan mommy?” tanya Freya memastikan. “Iya.” El tersenyum menyeringai. Dia memanfaatkan situasi dengan benar seperti yang dikatakan oleh daddy-nya.“Aku malu. Kalau mereka tanya mau apa kita, kita jawab apa?” Freya merasa malu ketika harus menitipkan anak-anaknya. “Mereka lebih paham. Tidak perlu menjelaskan panjang kali lebar.” El tahu jika orang tua mereka lebih paham akan hal itu. “Baiklah, aku akan pastikan yang akan dibawa.” Freya tidak mau ada yang sampai ketinggalan. Yang ada dirinya pasti tidak akan tenang bersama dengan El nanti ketika pergi. “Baiklah, aku akan lihat anak-anak dulu.” El mengayunkan langkah ke kamar sebelah. Mengecek anak-anak yang masih tidur lelap. El tersenyum. Dia merasa waktu bergulir begitu cepatnya. Anak-anak tumbuh begitu cepatnya. Belum lama El mengendong mereka bergantian. Kini mereka sudah bisa digendong bersamaan. Tepat saat El sedang meme
Suara tangis yang saling bersahutan terdengar mengisi keheningan malam. Di saat orang-orang sedang terlelap tidur, sepasang orang tua baru itu tampak sibuk menenangkan dua bayi yang kini sudah berusia lima bulan tersebut. Biasanya Kean akan anteng ketika malam hari, tetapi kali ini dia ikut menangis juga. Freya yang menyusui Lean harus pasrah ketika Kean menangis. El langsung mengambil susu yang disiapkan dan menghangatkannya. Sambil menunggu menghangatkannya, El mengajak main anaknya. Dia meletakkan Kean di atas bahunya, memanggulnya seraya memegangi tangannya. Seketika bayi kecil itu terdiam.El mengayun-ayunkan tubuh Kean hingga membuat melayang-layang. Kean langsung tertawa terbahak merasakan tubuhnya diayun-ayunkan. Tawa Kean itu menarik perhatian Lean. Adiknya itu langsung menoleh. Mulutnya yang masih menyesap puncak dada mommy-nya, tanpa sadar menariknya begitu saja sambil melepaskannya. Membuat mommy-nya mengaduh kesakitan dengan aksi si bungsu. Bola
Waktu bergulir dengan cepatnya. Semua menanti kelahiran penerus dari dua keluarga. Setelah kejadian kemarin, semua keluarga menjaga Freya. Apalagi sudah menjelang melahirkan, pastinya Freya perlu pengawasan penuh. Mommy Shea dan Mama Chika selalu berganti menjaga Freya di saat El bekerja. Tak mau sampai anak dan cucu mereka kenapa-kenapa. El yang biasanya pulang larut malam pun, kini pulang lebih awal. Tak mau sampai kehilangan momen. Mengingat Freya sudah akan melahirkan dan di saat itu, dia ingin selalu ada di sisi istrinya.“Ini sudah jalan berapa minggu?” El yang merebahkan tubuhnya, meletakkan kepalanya di kaki istrinya. Menghadap ke arah perut Freya yang semakin membesar. “Tiga puluh sembilan.” “Kenapa lama sekali mereka keluar. Bukankah harusnya mereka keluar di antara waktu tiga puluh tujuh minggu sampai empat puluh minggu.” El selalu dengan saksama mendengarkan ucapan dokter. Jadi dia selalu tahu perkembangan ibu hamil. “Enta
“Pa, cepat!” El menepuk kursi kemudi dari belakang. Meminta untuk papa mertuanya bergegas untuk melajukan mobilnya. “Sabar, El.” Rasanya, Felix benar-benar mengulang kepanikan sewaktu El lahir. Temannya-Bryan juga menepuk kemudinya, hingga membuatnya lemas. “Berapa bulan sebenarnya usia kandungan anak Freya?” tanya Papa Felix. Mengingat El yang lahir prematur membuat Papa Felix takut jika cucunya akan mengalami hal yang sama. “Tiga puluh enam minggu, Pa.”El menatap Freya dengan tatapan kasihan. Freya tampak meringis kesakitan saat perutnya kencang. Dengan usia segitu, artinya anak akan dilahirkan prematur. Karena usia tiga puluh tujuh-baru anak dikatakan normal. Papa Felix hanya bisa berharap semua baik-baik saja. Mobil berhenti di depan Rumah sakit. El buru-buru membawa Freya keluar dari mobil. Saat keluar dari mobil, mereka sudah disambut oleh perawat. Namun, El justru membawa Freya dengan tangannya sendiri ke UGD.Papa Fe
Sebagai pengusaha muda, El mulai diperhitungkan. Namanya mulai dikenal di kalangan pengusaha. Apalagi, El terkenal membangun bisnisnya di luar negeri. Kini perusahaannya sudah bergabung dengan Julian Company. Semua proyek pembangunan di bawah tanggung jawab El. Tiga bulan sejak kematian Kakek Theo, perusahaan semakin membaik di bawah pimpinan El. Seperti yang diharapkan Kakek Theo, El berusaha keras memajukan perusahaan. Menjalin kerja sama dengan beberapa kolega sang kakek mertua. “Sayang, ingat besok aku, mama dan mommy akan pergi untuk mencari baju untuk anak kita. Jadi aku harap kamu ikut!” Freya memberi peringatan penuh pada suaminya itu. Beberapa hari belakangan ini El sibuk bekerja hingga malam. Dia takut saat libur, suaminya itu akan tetap bekerja. Kini usia kandungan Freya sudah mencapai dua puluh sembilan minggu atau setara dengan tujuh bulan satu minggu. Semua persiapan mulai dilakukan oleh keluarga, termasuk membeli perlengkapan dari mulai baju dan pe
Beberapa hari ini El disibukkan dengan kepindahannya kantor. Kini kantornya berada di kantor Julian Company. El bertanggung jawab atas perusahaan istrinya karena sang istri yang sedang hamil dan tidak bisa mengurusi perusahaan. Namun, nanti saat sang istri sudah bisa bekerja kembali, dia akan menyerahkannya kembali. Keluarga yang lain pun tidak masalah. Mereka menyerahkan pada El. Terutama Papa Felix. Dia yakin El bisa mengurus perusahaan peninggalan papanya itu. Tidak terasa kandungan Freya sudah mencapai dua puluh minggu. Perutnya semakin hari semakin membesar. Semakin bertambahnya usia kandungannya, mual yang dirasakan Freya semakin berkurang. Dia pun sudah mulai bisa makan seperti biasanya. Justru dia sangat lahap saat makan.El keluar dari kamar mandi. Menggosok-gosokan rambutnya yang basah. Melihat istrinya yang sedang berada di depan cermin. Tampak istrinya itu sedang melihat wajahnya yang terlihat sangat gembil. “Semakin hari, kamu sema
Freya hanya bisa menangis di atas makam sang kakek. Perasaannya hancur ketika tak bisa ikut mengantarkan kakeknya ke peristirahatannya terakhirnya. Dia yang harus pingsan, justru menghabiskan waktu di Rumah sakit.“Jangan bersedih terus. Kamu harus kuat.” El mencoba menenangkan sang istri. Membelai punggung lembut sang istri. Berharap istrinya dapat tenang. El dapat merasakan betapa sedihnya istrinya, tidak bisa menemani sang kakek untuk terakhir kalinya. “Kakek bilang dia ingin bermain dengan cicitnya.” Freya menoleh ke arah suaminya. Matanya yang sudah sembab-menandakan jika dia terus menangis tanpa henti. Freya mengingat apa saja yang dia rencanakan dengan sang kakek sewaktu di Rumah sakit. Namun, rencana tinggal rencana, karena kini sang kakek pergi untuk selama-lamanya. “Iya, dan dia tidak akan senang jika kamu membuat cicitnya kenapa-kenapa. Jadi jangan terus bersedih.” El membawa istrinya dalam pelukan. Manusia hanya bisa berharap dan Tuhanlah yan
Papa Felix merasa cemas dengan keadaan papanya. Pikirannya menerka-nerka apa yang terjadi dengan papanya. Ada sedikit ketakutan dalam hatinya karena apa yang sudah dilakukannya kemarin yang menjadi papanya itu masuk Rumah sakit. Turun dari mobil, Papa Felix langsung menghubungi sekretaris papanya, menanyakan keberadaan papanya. “Apa yang terjadi?” Tepat di depan ruang rawat, Papa Felix bertanya pada sekretaris papanya. Pandangannya penuh ketakutan dan kecemasan. “Pak Theo sudah masuk ke Rumah sakit sejak tiga hari yang lalu, dan sekarang kondisinya menurun.” “Sudah tiga hari dan kamu baru memberitahu sekarang!” Papa Felix ingin melayangkan bogem mentah pada sekretaris papanya itu, tetapi ditahan oleh Daddy Bryan. Temannya itu membawa Felix untuk duduk. Tubuh Felix begitu lemas. Tiga hari artinya di saat dirinya bertemu dengan papanya dan pastinya papanya sakit karena semua ucapannya. “Maaf, Pak, selama ini Pak Theo melarang untuk men
Papa Felix kembali ke Rumah sakit setelah puas mengungkapkan semua perasaan dalam hatinya. Dia sedikit menyesali karena tidak melakukannya sejak lama dan justru membiarkan papanya melakukan apa yang dia mau. Namun, kini Felix tidak akan membiarkannya. Dia akan menjaga anak dan cucunya. Sampai di Rumah sakit sudah banyak orang yang datang. Ada kedua orang El yang ada di sana. Istrinya pun turut hadir di sana. “Kamu dari mana?” tanya Mama Chika pada suaminya. “Dari kantor papa.” Wajah Felix tampak masih terlihat kesal. Masih ada amarah yang meliputinya. “Papa marah dengan kakek?” tanya Freya cepat ketika mendengar ucapan dari papanya. “Dia tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ini sudah melampaui batas. Harusnya dia tidak seenaknya memintamu mengecek proyek langsung karena kamu sedang hamil. Lagi pula masih banyak karyawan yang bisa dia suruh untuk mengecek.” “Ta—”Freya masih mau menyanggah, tetapi El memegangi lenganny