Home / Romansa / Labuhan Cinta / Bersedekah Waktu

Share

Bersedekah Waktu

Author: Myafa
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

El memandangi langit-langit kamarnya. Saat matanya hendak terpejam, suara ponsel terdengar dan mengurungkan niatnya. Dengan malas El meraih ponselnya. Melihat siapa yang menghubunginya malam-malam.

“Hai Al ... “ sapanya saat mengangkat sambungan telepon.

“Kapan kamu pulang?” Suara datar yang mengandung seribu perhatian.

“Apa kamu merindukan aku?” goda El.

“Cih ... siapa yang merindukanmu.”

El langsung tertawa. Walaupun kakak sepupunya itu tidak mengatakan rindu, tetapi dia tahu jika sebenarnya ada kerinduan terselip, karena jika tidak, tidak mungkin pria dingin itu mau menghubungi.

“Lalu untuk apa kamu menghubungi?”

“Mommy menyuruh menanyakan.”

El tahu mommy siapa yang dimaksud oleh Al. Siapa lagi jika bukan Mommy Selly. Kakak dari daddy-nya itu memang sudah seperti ibunya sendiri. “Sampaikan pada mommy untuk menyambutku lusa.”

“Baiklah, kami akan menunggumu. Sampai berjumpa di sini."

“Iya, sampai jumpa.” El mematikan sambungan telepon dan meletakan ponselnya di nakas.

Mata yang tadi ingin terpejam, kini justru terjaga. Memandangi langit-langit kamar, El mengingat jika dua tahun lalu dia memutuskan untuk menerima pekerjaan dari temannya.

Temannya itu sama dengannya berdarah Inggris-Indonesia. Namun, bedanya dia menetap di Inggris. Temannya itu ingin membangun perusahaan properti dan El memutuskan untuk membantu. Selama dua tahun, mereka sudah bisa membangun perumahan hingga apartemen. Pencapaian yang luar biasa untuk sebuah perusahaan baru.

Kini dia akan kembali ke tanah air. Membangun perusahaannya sendiri seperti impiannya. Pria lulusan bisnis dan manajemen Universitas Oxford itu sudah merencanakan dengan matang apa yang akan dilakukannya sampai di tanah air.

Sesuai dengan rencananya kemarin, pagi ini El dan Freya pergi ke kantor El. Freya memilih untuk menunggu di lobi saat El mengambil beberapa barangnya.

El berpamitan pada karyawan dan terutama temannya. Baginya dua tahun bekerja sama begitu luar biasa. Banyak hal yang begitu penuh tantangan yang dialami El dan temannya.

Dengan membawa box di tangannya, El menuju ke lobi. Di sana sudah ada gadis manis yang menunggunya.

“Butuh bantuan?” tanya Freya.

“Jika wanita terlalu banyak membantu, aku rasa para pria akan sangat senang. Namun, sayangnya para pria yang kuat tidak akan menyusahkan wanita.”

Freya memutar bola mata malas. Entah kalimat dari mana yang didapat El. “Itu semacam penolakan dengan sedikit rayuan,” ledek Freya.

“Apa kamu tergoda?” tanya El tersenyum.

“Tidak,” jawab Freya dengan pasti.

El hanya tersenyum. Jawaban seperti itu sudah menjadi hal biasa yang diterima El, tetapi tak pernah dia permasalahkan.

Entah sejak kapan perasaan nyamannya pada Freya itu timbul. Kadang terlintas di pikiran El jika rasa yang ada di dalam hatinya itu bukan hanya sekedar rasa cinta biasa. Bertambahnya usia mereka, kini El tak memandang Freya sebagai adik lagi, tetapi sebagai seorang gadis cantik. Namun, sekuat tenaga El menepisnya. Tak mau merusak persahabatannya.

“Jangan memandangi aku seperti itu, kamu seolah terpesona padaku,” ledek Freya.

“Jika iya, apa yang kamu lakukan?”

Freya salah tingkah dengan jawaban El yang tampak serius. Biasanya El berbicara dengan nada bercanda. “Sudah ayo, banyak yang harus kita kerjakan.” Tak mau berlama-lama akhirnya Freya dan El kembali ke rumah. Mereka harus segera merapikan barang-barang mereka sebelum nanti malam, melakukan penerbangan ke Indonesia.

El mengangguk, menuruti keinginan Freya untuk pulang.

Menuju ke rumah, mereka menaiki bus. Bus Double Daker yang terkenal dari Inggris itu menjadi salah satu alternatif penduduk untuk transportasi harian. El mempersilakan Freya untuk duduk di dekat jendela, hal yang selalu dia suka, karena memandangi bangunan yang dilewati sepanjang jalan adalah hal yang begitu mengasyikkan.

Untuk mencapai rumah, mereka harus berjalan kaki terlebih dahulu. Sepanjang jalan, mata dimanjakan dengan rumah-rumah dengan dinding bata dengan dua lantai. Setiap rumah memiliki cerobong asap yang akan mereka gunakan saat musim dingin. Beberapa pepohonan di depan rumah membuat rumah begitu asri.

“Aku mau punya rumah seperti di sini,” ucap Freya.

Kalimat itu sudah sering El dengar. Freya memang menyukai hal berbau asri. Menurutnya rumah harus ada banyak pohon. Selain untuk menciptakan oksigen, rumah menjadi sangat nyaman.

“Tapi sayangnya tidak ada di Ibu kota.” Freya menambahi keluhannya tentang rumah di perkotaan yang memang jarang sekali ada pepohonan.

“Memang harus menepi dari Ibu kota. Karena di Ibu kota sudah tak ada lahan lagi.” Kota metropolitan memang sudah sangat padat dengan kantor dan gedung-gedung tinggi. Alih-alih menawarkan perumahan dengan pepohonan, lebih banyak apartemen yang ditawarkan untuk kepraktisan.

“Iya, kamu benar.”

Tak terasa, langkah mereka akhirnya sampai di rumah. Sejenak mereka mengistirahatkan kaki yang begitu lelah sebelum kembali mengecek barang-barang yang akan mereka bawa.

Tak membuang waktu, El dan Freya menyelesaikan beberapa barang yang mereka bawa. Mengumpulkannya di ruang tengah agar mudah untuk dibawa. Asisten rumah tangga yang selama ini tinggal di rumah, membantu El dan Freya.

“Ada lagi?” tanya El pada Freya.

“Tidak, hanya ini saja.” Freya memandangi koper miliknya yang berjumlah tiga koper dan milik El dua koper. Dia berpikir ternyata barang-barang miliknya itu masih sangat banyak. Padahal beberapa sudah dia kirim ke Indonesia bulan lalu.

“Mau menikmati teh sebelum pulang?” tanya El dan mendapatkan anggukan dari Freya.

Di taman belakang, mereka berdua menikmati secangkir teh sambil melihat bunga-bunga yang bermekaran di taman belakang. Menyesap secangkir teh membuat tubuh berelaksasi dengan baik.

“Terima kasih,” ucap Freya seraya meletakan cangkir yang baru saja dia minum.

El yang sedang menempelkan cangkir ke bibirnya, menghentikan gerakannya ketika mendengar ucapan Freya. Mata birunya langsung menatap Freya. “Terima kasih untuk apa?”

“Karena menemaniku di sini.”

“Apa kamu lupa aku bekerja di sini, bukan menemanimu?” ledek El.

“Iya, tetapi secara tidak langsung kamu menemani aku.” Freya menyadari jika tidak ada El di kota London ini, mungkin dia akan sendiri. Walaupun mungkin perjalanan kuliahnya sisa dua tahun, dengan kesendirian pasti akan sangat membosankan.

“Anggap saja aku bersedekah waktu padamu.” El masih dengan mode tertawa.

Freya langsung melempar bantal yang berada di punggungnya. El selalu saja tidak bisa serius dan itu sangat menyebalkan. Tawa El justru menular pada Freya. Membuat dua insan itu saling membalas tawa. Namun, sejenak mereka menghentikan aksi mereka. Melanjutkan menikmati sore dengan secangkir teh.

Di balik cangkir yang sedang disesapnya, El memandangi Freya. Dua tahun lalu di saat yang tepat, El mendapati tawaran pekerjaan. Padahal seharusnya dia pulang bersama Al dan meninggalkan Freya sendiri. Mungkin begitulah takdir, datang di saat yang tepat. Sambil bekerja, El bisa menjaga Freya. Menemani gadis itu yang masih melanjutkan kuliahnya.

Malam hari, Freya menarik kopernya meninggalkan rumah yang sudah empat tahun ditinggalinya. Banyak hal yang sudah dilalui di rumah ini.

Menyusul El dan Al untuk kuliah, dia mengingat bagaimana di merengek untuk kuliah di London pada papanya. Menurut papanya lebih baik dia kuliah di Jakarta saja karena banyak universitas yang bagus yang bisa menjadi pilihan.

Namun, Freya yang selalu mendapatkan cerita dari El tentang bagaimana London membuatnya begitu jatuh cinta.

Benar saja, saat dia tinggal, dia dibuat jatuh cinta dengan jatuh cinta. Akan tetapi, kini dia harus segera kembali untuk bertemu dengan mama, papa dan adiknya. Meneruskan bisnis yang kakeknya berikan.

“Ayo,” ajak El.

Mereka masuk ke dalam mobil yang mengantarkan ke Bandara. Sepanjang jalan, Freya masih memandangi jalanan yang dilalui, sedangkan El sibuk dengan ponselnya. Sedari tadi adiknya mengiriminya pesan, jadi dia menjawab pesan tersebut, padahal di Indonesia sudah jam dua belas malam.

Pesawat lepas landas di jam tujuh malam waktu London. Diperkirakan perjalanan akan memakan waktu enam belas jam. El dan Freya menikmati waktu selama perjalanan.

“Apa yang akan kamu lakukan sesampainya di Indonesia?” tanya El pada Freya.

“Bekerja di perusahaan kakek.”

“Jadi kamu akhirnya menerima?” tanya El. Dia tahu pasti jika hubungan antara papa Freya dengan kakeknya tidak baik. Papa Felix sengaja tidak mau menjadi CEO di Julian Company. Alih-alih menjadi CEO, dia justru masih setia bekerja di Adion Company.

“Mama membujuk papa untuk mengizinkan aku. Lagi pula hanya anak papa yang bisa mengurus perusahaan itu.”

El mengangguk-anggukan kepalanya. Dia berpikir tidak mungkin adik Freya yang melanjutkan, mengingat adiknya itu melanjutkan usaha bakery sang nenek.

“Lalu kamu?” tanya Freya.

“Membangun perusahaan baru.”

“Kamu tidak mau melanjutkan usaha Daddy Bryan?”

“Tidak, aku akan buat perusahaan sendiri.”

Freya mengangguk. Dia sangat tahu keahlian El memang tidak perlu diragukan lagi. Pengalaman El bekerja pada temannya sudah bisa membuat El membangun perusahaannya sendiri.

Perjalanan dilalui oleh El dan Freya dengan bercerita rencana-rencana yang akan mereka lakukan nanti.

Tak terasa enam belas jam berlalu. Pesawat mendarat dengan sempurna di Bandara Internasional. Waktu menunjukan jam tiga sore saat El dan Freya datang.

Perubahan cuaca yang drastis membuat tubuh harus menyesuaikan. Terbiasa dengan udara dingin London, mereka harus merasakan panasnya Ibu kota.

Dibantu oleh porter, mereka keluar dari Bandara. Sepanjang jalan, mereka mencari keluarga yang menjemput. Namun, sayangnya mereka tidak menemukan siapa-siapa.

“Apa mereka lupa kita pulang?” tanya Freya pada El.

El mengedikkan bahunya. Tidak tahu harus berkata apa. Seingatnya dia sudah mengatakan pada keluarganya, terutama adik perempuannya.

Tak mau menunggu lama, akhirnya El menghubungi mommy-nya. Karena jika tidak ada yang menjemput, dia akan memilih menaiki taxi saja.

“Halo, Mom, kalian di mana?” tanya El.

“Di rumah.”

“Di rumah? Apa mommy tidak menjemputku?”

“Bukannya kamu sampai di Bandara jam tujuh?”

El menepuk dahinya karena ternyata mommy-nya mengira jika pesawat mendarat jam tujuh.

“Kata Ghea kalian sampai jam tujuh malam.”

El benar-benar merutuki kebodohan adiknya. Semalam dia membahas jika dia berangkat jam tujuh malam, tetapi tampaknya adiknya itu salah tangkap dan mengira dia dan Freya sampai jam tujuh.

“Aku sudah di Bandara, Mom.”

“Astaga, Sayang. Kamu sudah sampai.” Shea tampak panik mendengar ucapan El.“Bagaimana Ghea ini, salah memberitahu?”

“Sudahlah, aku dan Freya akan naik taxi saja.”

“Tunggulah saja, Mommy akan ke sana.” Shea udah panik mendengar anaknya akan naik taxi.

“Sudahlah, Mom. Kami akan naik taxi saja. Kita bertemu di rumah saja.”

“Tapi—“

“Sudah, Mom. Aku akan segera pulang.” El buru-buru mematikan sambungan telepon agar tak berlama-lama di Bandara.

“Kenapa?” tanya Freya.

“Mereka mengira jika kita sampai jam tujuh malam.” El tampak kesal karena ternyata tak ada satu orang pun yang menjemputnya.

“Tapi jika mommy dan daddy salah, bukannya harusnya papa dan mama tidak salah.” Seingat Freya, dia sudah mengatakan jika jam tiga sore sudah tiba Bandara, tetapi tak tampak juga mereka.

Akhirnya, El dan Freya memilih untuk menaiki taxi saja. Tak mau berlama-lama di Bandara. El mencari taxi, tetapi saat ingin menghentikan taxi, dia melihat sebuah mobil berhenti di depannya.

“Kejutan ... “ ucap Ghea saat membuka kaca mobil. Dia yang duduk di kursi belakang memasang wajah polosnya.

El malas sekali saat tahu ternyata sedang dikerjai.

“Sayang ....” Shea langsung keluar saat melihat anaknya. Satu pelukan dia berikan pada El yang masih berdiri kesal.

Perasaan kesal yang dirasakan El, seketika menghilang setelah dapat pelukan hangat dari mommy-nya. Pelukan itu tetap sama dari dulu, selalu memberikan ketenangan layaknya teh yang biasa dia minum di sore hari.

Tangan El mendekap kembali tubuh ibunya. Rasa rindunya memang teramat sangat besar. Dua tahun ini, dia memang tidak pulang. Cuti kuliahnya dia pakai untuk pergi berjalan-jalan dengan Freya.

“Mommy rindu.” Air mata Shea mengalir saat memeluk putranya. Tubuh kecil yang dulu berada di dalam dekapannya sekarang menjadi sangat besar, hingga membuat tangannya tak muat lagi.

“Mom, jangan menangis, aku paling tidak suka.” El melepaskan pelukannya dan menatap wajah mommy-nya. Wajah cantik yang sekarang dihiasi guratan kecil, menandakan jika dia sudah mulai menua.

“Iya, Mommy tidak akan menangis.” Shea menghapus air matanya.

“Kakak ....” Ghea turun dari mobil dan memeluk kakaknya. Gadis dua puluh satu tahun itu sangat merindukan kakaknya.

El balas memeluk Ghea. Rindu dengan adiknya yang super iseng. “Ini idemu bukan?” tanyanya mengeratkan pelukan karena gemas.

“Siapa lagi jika bukan aku.” Ghea tertawa puas, mengerjai kakaknya.

Shea yang melihat Freya langsung menghampiri. “Halo anak Mommy.” Satu pelukan dia berikan pada Freya.

“Halo, Mommy Sayang.”

“Apa mama dan papa datang?” tanyanya ragu-ragu.

Shea melepas pelukannya dan melihat ke arah mobil datang, tetapi tidak tampak temannya itu datang. “Sepertinya mereka terjebak kemacetan.”

Freya mengangguk dan menunggu.

Di saat Freya sedang menunggu papa dan mamanya. Bryan turun menghampiri anaknya. “Hai, Boy.”

“Dad ....” El memeluk Bryan. Orang yang dirindukannya setelah mommy-nya adalah daddy-nya.

“Tubuhmu sepertinya tambah kekar saja.” Bryan tertawa melihat anaknya yang makin hari makin seperti binaragawan.

“Aku tidak mau kurus seperti Daddy.”

“Jangan salah, kurus-kurus begini Daddy masih bisa beberapa ronde.”

“Sayang ... “ panggil Shea. Pipi wanita paru baya itu memerah malu.

“Anak kita sudah besar, Sayang. Lambat laun dia juga akan mengerti.”

“Tetap saja tidak bisa begitu.”

“Bisa.” Bryan masih keyakinannya.

El menggeleng melihat perdebatan kecil antara kedua orang tuanya. Dia pikir setelah bertahun-tahun, mereka akan berhenti. “Apa mereka masih tetap seperti itu?” bisiknya bertanya pada Ghea.

“Itu tanda cinta.”

El membulatkan matanya, mendengar adiknya membahas cinta. “Tahu apa kamu cinta?” tanyanya.

“Cinta itu sesuatu perasaan di dalam hati yang perlu diungkapkan.”

“Cih ....” El tak menyangka adiknya sudah mengerti cinta. “Kuliah yang benar!” Tangan El menyentil dahi adiknya.

“Aku sudah benar kuliah,” jawabnya polos.

Related chapters

  • Labuhan Cinta    Tanda Sayang

    “Hai, Kak Freya.” Ghea beralih pada Freya. Memeluknya erat. Dari kecil Freya dan adiknya adalah temannya, jadi mereka sangat dekat.“Kakak semakin cantik saja.”“Kamu juga.” Freya tersenyum.“Pantas Kak El betah di London,” goda Ghea seraya melirik ke arah El.Wajah Freya memerah mendengar ucapan Ghea, merasa sangat malu sekali. El tak kalah malu dengan ucapan adiknya.“Sembarangan saja kalau bicara!” El menghampiri Ghea, tetapi gadis cantik itu justru bersembunyi di belakang Freya, membuat El dan Freya saling menatap. Entah kenapa El merasakan perasaan aneh saat menatap Freya.Mungkin hanya perasaan malu saja.“Kalian ini sudah lama tidak bertemu, tetap saja bertengkar,” tegur Shea.“Apa Mommy tidak sadar jika bertengkar itu tanda sayang?” Ghea yang bersembunyi di belakang Freya menghampiri El dan memeluk tangannya. Senyum manis ditampilkan di wajah cantiknya untuk membujuk kakaknya.“Dasar!” El mengac

  • Labuhan Cinta    Suasana Dua rumah

    Di rumah sebelah kehebohan juga tercipta. Shea dan Selly yang sudah menyiapkan makanan meminta El untuk makan terlebih dahulu, tetapi El memilih untuk menyegarkan tubuhnya terlebih dahulu.Mau tak mau ibu-ibu harus menunggu putra mereka mandi terlebih dahulu. Mereka memilih sambil mengobrol di ruang keluarga.El masuk ke dalam kamarnya. Kamar yang sudah lama sekali dia tidak tempati. Saat masuk, El melihat kamar tampak bersih dan tertata rapi. Dia tahu sekali jika mommy-nya menjaga kamarnya dengan baik.Tak berlama-lama, El masuk ke dalam kamar mandi. Tubuhnya yang lengket ingin sekali dia segera bersihkan. Di bawah kucuran air, dia membasahi tubuhnya. Rasanya segar sekali saat air mengalir di tubuhnya.Menyelesaikan mandi, dia keluar dari kamar. Namun, saat keluar dia dikejutkan dengan Al yang sudah berada diq kamarnya. “Kamu di sini?” tanyanya seraya mengayunkan langkahnya ke lemari, mengambil pakaian dan memakainya.“Aku mengantarkan k

  • Labuhan Cinta    Mengajari

    Pagi ini rumah El begitu riuh. Bagaimana tak riuh saat suara mommy-nya menggelar, menyambut pagi. El yang dari kamar mendengar suara berisik, mau tak mau bangun.Dengan malas, dia membuka pintu kamarnya. Saat membuka pintu, mommy-nya sedang mengetuk pintu kamar Bian yang tak kunjung bangun.“Bian ... bangun.” Shea terus saja membangunkan anak bungsunya.“Bian belum bangun?” tanya El.“Adikmu ini memang susah sekali dibangunkan.” Shea terus mengetuk pintu agar anaknya bangun.“Biar El saja, Mom.”Shea yang masih harus menyiapkan sarapan, mau tak mau akhirnya mengizinkan El membangunkan Bian. Menyerahkan tugas pagi ini pada anak sulungnya.“Bi ....” El mengetuk pintu.Sekitar tiga kali El memanggil dan mengetuk, akhirnya Bian membukakan pintu juga. Namun, adiknya itu justru kembali ke tempat tidur, kembali memejamkan matanya lagi. El hanya bisa menggeleng. Kemudian dia ikut merebahkan tubuhnya ke tempat tidur.

  • Labuhan Cinta    Kebahagiaan Berasal Dari Rumah

    El yang melajukan mobilnya, menuju ke kantor daddy-nya. Semua karyawan melihat terheran-heran melihat pria dengan pakaian casual datang ke kantor. Untung El membawa jaket kulit hitam untuk menutupi kaos yang di pakainya, jadi masih terlihat tak seperti ingin jalan-jalan.  Selain fokus pada pakaian El, mereka fokus pada wajah tampan El.“Dia anak Pak Bryan,” ucap salah satu karyawan.El yang melewati tersenyum manis. Dia langsung menuju ke ruangan daddy-nya mengingat dia adalah anak dari pemilik perusahaan. El sedikit merutuki karena dia datang dengan pakaian biasa saja. Merasa tidak enak dengan karyawan lain.El sampai di depan ruangan daddy-nya. Di depan ada sekretarisnya yang sudah menyapanya dan mengantarkan El untuk ke ruangan daddy-nya.“Hai El ... “ sapa Felix yang melihat El masuk.Felix Julian yang dulu bekerja sebagai asisten CEO Adion, kini sudah berganti jabatan sebagai COO (chief operating officer) dari Adion. Lebih mudah diar

  • Labuhan Cinta    Bukan Anak Kecil

    Shea dan Chika pun hanya tersenyum. “Emm ....” Shea berdeham untuk mengalihkan pandangan El dan membuka mata Freya.El terkejut saat melihat mommy dan mamanya berjajar menontonnya. Pandangan mereka seolah penuh tanda tanya. Tak butuh waktu lama, dia bangkit. “Tadi kursinya goyang,” elaknya.“Iya, aku tidak memegangi dengan benar.” Freya yang merasa tidak enak.“Benarkan kursinya dan selesaikan pekerjaanmu,” ucap Shea tegas. Kemudian berbalik dan mengajak Selly dan Chika kembali ke dapur. Senyum mereka bertiga terhias di wajah cantik yang sudah semakin menua saat melihat aksi anak-anak mereka.El dan Freya yang merasa tidak enak saat melihat pandangan orang tua mereka jadi salah tingkah.“Kamu bagaimana El? Kenapa bisa jatuh?” protes Freya.“Harusnya aku yang bertanya, kenapa bisa kamu tidak memegangi dengan benar kursinya?”“Kenapa aku yang salah?” tanya Freya menatap kesel pada El.

  • Labuhan Cinta    Alasan Klasik

    El yang selesai keluar dari kamar dan menuju taman belakang di mana diadakannya pesta. Bergabung dengan keluarga yang sudah berkumpul.Memilih tempat duduk di samping Freya, membuat gadis cantik itu berada di antar dua pria tampan.Freya yang melihat El masih dalam mode malu. Sejauh ini dia kenal El memang baru kali ini dia melihat El dengan handuk di pinggang.Walaupun dia pernah melihat El saat berenang dengan celana renang, entah kenapa terasa berbeda. Dia sedikit membenarkan ucapan papanya yang mengatakan jika dia sudah besar dan memang akan jadi lain jika berdua.Sesaat El duduk. Tampak Theo Julian-kakek Freya datang. Dia memang sengaja diundang oleh Bryan, mengingat dia adalah kakek dari Freya.“Silakan, Paman,” ucap Bryan pada Theo.“Terima kasih sudah mengundangku, Bry.” Theo duduk di samping Daniel. Dia sudah cukup lama berteman dengan Daniel. Hingga akhirnya pertemanannya menurun pada anak

  • Labuhan Cinta    Hari Pertama Bekerja

    Di kantor lain, Freya masih menunggu Al datang. Tadi sekretaris Al mengatakan jika Al sedang ada urusan pagi ini, jadi dia datang ke kantor terlambat. Kemarin Freya memang sudah mendengar jika dia akan menjadi asisten Al selama bekerja di Maxton. Namun, dia belum mengetahui pekerjaan apa yang harus dilakukan oleh Freya.Sekitar tiga puluh menit Freya menunggu, akhirnya Al datang. Terbiasa melihat Al dengan pakaian casual membuat Freya terpesona dengan Al.  Setelan jas yang melekat di tubuh Al begitu pas di tubuh pria itu. Rambut yang tertata rapi membuat penampilan Al terlihat begitu rapi.“Pagi Pak Aaron,” sapa sekretarisnya.Freya baru tahu jika Al dipanggil dengan nama depannya. Dia yang duduk di sofa, berdiri dan menyapa Al. “Pagi, Pak,” sapa Freya.Al tersenyum saat mendengar sapaan Freya.“Pagi, Frey, ayo masuk ke dalam.” Mengayunkan langkahnya, Al masuk ke ruangannya. “Duduk!” perintah Al seraya menunjuk ke kurs

  • Labuhan Cinta    Membayangkan

    Sampai di rumah. Freya turun dari mobil. Senyumnya tak susut dari wajahnya. El selalu saja bisa membuatnya tersenyum.“Terima kasih, El,” ucap Freya yang masih menatap El dari balik pintu mobil.“Iya, Tuan putri, sama-sama.”Tepat saat mereka sedang mengobrol, mobil Al melintas. Mobil El dan Al yang saling berhadapan membuat El dan Al berada di satu garis lurus.Al membuka kaca mobilnya. “El mau main basket?” tanyanya. Di seberang sana  Al melihat Freya dari balik pintu mobil El.Freya tersenyum pada Al. Merasa tidak enak bertemu dengan atasannya di rumah.  Masih terasa aneh dan belum terlalu bisa beradaptasi.“Tentu saja, nanti  kita ketemu di lapangan biasa ya,” ucap El.“Baiklah, aku tunggu.” Al menaikkan kaca mobilnya dan melajukan mobilnya.“Baiklah, aku juga pergi,” ucap Freya.“Masuklah dan istirahatlah.”Freya masuk ke dalam rumah sedangkan El melajukan mobilnya sekitar dua meter ke dep

Latest chapter

  • Labuhan Cinta    Bonchap 2

    “Kamu yakin menitipkan anak-anak ke daddy dan mommy?” tanya Freya memastikan. “Iya.” El tersenyum menyeringai. Dia memanfaatkan situasi dengan benar seperti yang dikatakan oleh daddy-nya.“Aku malu. Kalau mereka tanya mau apa kita, kita jawab apa?” Freya merasa malu ketika harus menitipkan anak-anaknya. “Mereka lebih paham. Tidak perlu menjelaskan panjang kali lebar.” El tahu jika orang tua mereka lebih paham akan hal itu. “Baiklah, aku akan pastikan yang akan dibawa.” Freya tidak mau ada yang sampai ketinggalan. Yang ada dirinya pasti tidak akan tenang bersama dengan El nanti ketika pergi. “Baiklah, aku akan lihat anak-anak dulu.” El mengayunkan langkah ke kamar sebelah. Mengecek anak-anak yang masih tidur lelap. El tersenyum. Dia merasa waktu bergulir begitu cepatnya. Anak-anak tumbuh begitu cepatnya. Belum lama El mengendong mereka bergantian. Kini mereka sudah bisa digendong bersamaan. Tepat saat El sedang meme

  • Labuhan Cinta    Bonchap 1

    Suara tangis yang saling bersahutan terdengar mengisi keheningan malam. Di saat orang-orang sedang terlelap tidur, sepasang orang tua baru itu tampak sibuk menenangkan dua bayi yang kini sudah berusia lima bulan tersebut. Biasanya Kean akan anteng ketika malam hari, tetapi kali ini dia ikut menangis juga. Freya yang menyusui Lean harus pasrah ketika Kean menangis. El langsung mengambil susu yang disiapkan dan menghangatkannya. Sambil menunggu menghangatkannya, El mengajak main anaknya. Dia meletakkan Kean di atas bahunya, memanggulnya seraya memegangi tangannya. Seketika bayi kecil itu terdiam.El mengayun-ayunkan tubuh Kean hingga membuat melayang-layang. Kean langsung tertawa terbahak merasakan tubuhnya diayun-ayunkan. Tawa Kean itu menarik perhatian Lean. Adiknya itu langsung menoleh. Mulutnya yang masih menyesap puncak dada mommy-nya, tanpa sadar menariknya begitu saja sambil melepaskannya. Membuat mommy-nya mengaduh kesakitan dengan aksi si bungsu. Bola

  • Labuhan Cinta    Labuhan Terakhir

    Waktu bergulir dengan cepatnya. Semua menanti kelahiran penerus dari dua keluarga. Setelah kejadian kemarin, semua keluarga menjaga Freya. Apalagi sudah menjelang melahirkan, pastinya Freya perlu pengawasan penuh. Mommy Shea dan Mama Chika selalu berganti menjaga Freya di saat El bekerja. Tak mau sampai anak dan cucu mereka kenapa-kenapa. El yang biasanya pulang larut malam pun, kini pulang lebih awal. Tak mau sampai kehilangan momen. Mengingat Freya sudah akan melahirkan dan di saat itu, dia ingin selalu ada di sisi istrinya.“Ini sudah jalan berapa minggu?” El yang merebahkan tubuhnya, meletakkan kepalanya di kaki istrinya. Menghadap ke arah perut Freya yang semakin membesar. “Tiga puluh sembilan.” “Kenapa lama sekali mereka keluar. Bukankah harusnya mereka keluar di antara waktu tiga puluh tujuh minggu sampai empat puluh minggu.” El selalu dengan saksama mendengarkan ucapan dokter. Jadi dia selalu tahu perkembangan ibu hamil. “Enta

  • Labuhan Cinta    Karena Kamu

    “Pa, cepat!” El menepuk kursi kemudi dari belakang. Meminta untuk papa mertuanya bergegas untuk melajukan mobilnya. “Sabar, El.” Rasanya, Felix benar-benar mengulang kepanikan sewaktu El lahir. Temannya-Bryan juga menepuk kemudinya, hingga membuatnya lemas. “Berapa bulan sebenarnya usia kandungan anak Freya?” tanya Papa Felix. Mengingat El yang lahir prematur membuat Papa Felix takut jika cucunya akan mengalami hal yang sama. “Tiga puluh enam minggu, Pa.”El menatap Freya dengan tatapan kasihan. Freya tampak meringis kesakitan saat perutnya kencang. Dengan usia segitu, artinya anak akan dilahirkan prematur. Karena usia tiga puluh tujuh-baru anak dikatakan normal. Papa Felix hanya bisa berharap semua baik-baik saja. Mobil berhenti di depan Rumah sakit. El buru-buru membawa Freya keluar dari mobil. Saat keluar dari mobil, mereka sudah disambut oleh perawat. Namun, El justru membawa Freya dengan tangannya sendiri ke UGD.Papa Fe

  • Labuhan Cinta    Tidak Akan Jauh Darimu

    Sebagai pengusaha muda, El mulai diperhitungkan. Namanya mulai dikenal di kalangan pengusaha. Apalagi, El terkenal membangun bisnisnya di luar negeri. Kini perusahaannya sudah bergabung dengan Julian Company. Semua proyek pembangunan di bawah tanggung jawab El. Tiga bulan sejak kematian Kakek Theo, perusahaan semakin membaik di bawah pimpinan El. Seperti yang diharapkan Kakek Theo, El berusaha keras memajukan perusahaan. Menjalin kerja sama dengan beberapa kolega sang kakek mertua. “Sayang, ingat besok aku, mama dan mommy akan pergi untuk mencari baju untuk anak kita. Jadi aku harap kamu ikut!” Freya memberi peringatan penuh pada suaminya itu. Beberapa hari belakangan ini El sibuk bekerja hingga malam. Dia takut saat libur, suaminya itu akan tetap bekerja. Kini usia kandungan Freya sudah mencapai dua puluh sembilan minggu atau setara dengan tujuh bulan satu minggu. Semua persiapan mulai dilakukan oleh keluarga, termasuk membeli perlengkapan dari mulai baju dan pe

  • Labuhan Cinta    Satu bayi laki-laki, satu lagi ....

    Beberapa hari ini El disibukkan dengan kepindahannya kantor. Kini kantornya berada di kantor Julian Company. El bertanggung jawab atas perusahaan istrinya karena sang istri yang sedang hamil dan tidak bisa mengurusi perusahaan. Namun, nanti saat sang istri sudah bisa bekerja kembali, dia akan menyerahkannya kembali. Keluarga yang lain pun tidak masalah. Mereka menyerahkan pada El. Terutama Papa Felix. Dia yakin El bisa mengurus perusahaan peninggalan papanya itu. Tidak terasa kandungan Freya sudah mencapai dua puluh minggu. Perutnya semakin hari semakin membesar. Semakin bertambahnya usia kandungannya, mual yang dirasakan Freya semakin berkurang. Dia pun sudah mulai bisa makan seperti biasanya. Justru dia sangat lahap saat makan.El keluar dari kamar mandi. Menggosok-gosokan rambutnya yang basah. Melihat istrinya yang sedang berada di depan cermin. Tampak istrinya itu sedang melihat wajahnya yang terlihat sangat gembil. “Semakin hari, kamu sema

  • Labuhan Cinta    Sangat Berarti

    Freya hanya bisa menangis di atas makam sang kakek. Perasaannya hancur ketika tak bisa ikut mengantarkan kakeknya ke peristirahatannya terakhirnya. Dia yang harus pingsan, justru menghabiskan waktu di Rumah sakit.“Jangan bersedih terus. Kamu harus kuat.” El mencoba menenangkan sang istri. Membelai punggung lembut sang istri. Berharap istrinya dapat tenang. El dapat merasakan betapa sedihnya istrinya, tidak bisa menemani sang kakek untuk terakhir kalinya. “Kakek bilang dia ingin bermain dengan cicitnya.” Freya menoleh ke arah suaminya. Matanya yang sudah sembab-menandakan jika dia terus menangis tanpa henti. Freya mengingat apa saja yang dia rencanakan dengan sang kakek sewaktu di Rumah sakit. Namun, rencana tinggal rencana, karena kini sang kakek pergi untuk selama-lamanya. “Iya, dan dia tidak akan senang jika kamu membuat cicitnya kenapa-kenapa. Jadi jangan terus bersedih.” El membawa istrinya dalam pelukan. Manusia hanya bisa berharap dan Tuhanlah yan

  • Labuhan Cinta    Saat Terakhir

    Papa Felix merasa cemas dengan keadaan papanya. Pikirannya menerka-nerka apa yang terjadi dengan papanya. Ada sedikit ketakutan dalam hatinya karena apa yang sudah dilakukannya kemarin yang menjadi papanya itu masuk Rumah sakit. Turun dari mobil, Papa Felix langsung menghubungi sekretaris papanya, menanyakan keberadaan papanya. “Apa yang terjadi?” Tepat di depan ruang rawat, Papa Felix bertanya pada sekretaris papanya. Pandangannya penuh ketakutan dan kecemasan. “Pak Theo sudah masuk ke Rumah sakit sejak tiga hari yang lalu, dan sekarang kondisinya menurun.” “Sudah tiga hari dan kamu baru memberitahu sekarang!” Papa Felix ingin melayangkan bogem mentah pada sekretaris papanya itu, tetapi ditahan oleh Daddy Bryan. Temannya itu membawa Felix untuk duduk. Tubuh Felix begitu lemas. Tiga hari artinya di saat dirinya bertemu dengan papanya dan pastinya papanya sakit karena semua ucapannya. “Maaf, Pak, selama ini Pak Theo melarang untuk men

  • Labuhan Cinta    Kenapa Kakek?

    Papa Felix kembali ke Rumah sakit setelah puas mengungkapkan semua perasaan dalam hatinya. Dia sedikit menyesali karena tidak melakukannya sejak lama dan justru membiarkan papanya melakukan apa yang dia mau. Namun, kini Felix tidak akan membiarkannya. Dia akan menjaga anak dan cucunya. Sampai di Rumah sakit sudah banyak orang yang datang. Ada kedua orang El yang ada di sana. Istrinya pun turut hadir di sana. “Kamu dari mana?” tanya Mama Chika pada suaminya. “Dari kantor papa.” Wajah Felix tampak masih terlihat kesal. Masih ada amarah yang meliputinya. “Papa marah dengan kakek?” tanya Freya cepat ketika mendengar ucapan dari papanya. “Dia tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ini sudah melampaui batas. Harusnya dia tidak seenaknya memintamu mengecek proyek langsung karena kamu sedang hamil. Lagi pula masih banyak karyawan yang bisa dia suruh untuk mengecek.” “Ta—”Freya masih mau menyanggah, tetapi El memegangi lenganny

DMCA.com Protection Status