“Maura, ini serius?!” Rangga mendongak lagi dan mendapati wajah cantik istrinya sudah basah oleh airmata. “Kemarilah.” Rangga merentangkan dua lengannya lebar-lebar, menaymbut tubuh mungil Maura yang merapat padanya.
“I love you, Ra. Thankyou!” bisik Rangga di telinga Maura seraya mendaratkan ciuman bertubi-tubi di pipi.
“Tunggu, kenapa tiba-tiba kamu berinisiatif untuk memeriksakan diri?”
Maura dengan berani duduk di atas pangkuan Rangga. “Kamu ingat saat kita pergi ke swalayan bersama Yuki?” Rangga mengangguk, “Saat itu aku bilang kalau tingkahmu mirip wanita yang sedang datang bulan. Dan seketika aku teringat bahwa periodeku belum datang.”
“Lalu ketika suster berkata bahwa suaminya bertingkah aneh sepertimu saat dia hamil anak pertama, aku rasa, aku perlu memastikan semua dugaanku dan memberimu kejutan. Apa kamu bahagia, Kak?”
“Sangat, hingga tak b
Hai, Dear. Terima kasih masih setia mengikuti kelanjutan cerita Maura dan Rangga. Jangan lupa tinggalkan komen dan rate bintang 5, ya. Maturnuwun.
Kediaman DanutirtaTiga hari menjelang pertunangan.Rangga turun pertama kali, kemudian berbalik dan mengulurkan tangan kirinya membantu Maura turun dari mobil sedang tangan kanannya melindungi kepala istrinya agar tidak terantuk kap mobil diiringi senyuman Asep dari kaca spion. Jajang yang kebetulan sedang membantu menurunkan berbagai macam bunga dari truk besar, sengaja menghentikan aktivitasnya hanya untuk melihat kejadian langka itu.“Hati-hati. Perhatikan langkahmu,” ucap Rangga memperingatkan.“Kak, aku bukan anak kecil yang ceroboh, bukan juga wanita renta hingga perlu kamu bantu dan lindungi sedemikian rupa. Aku hanya sedang hamil. H-A-M-I-L.”“Andai kamu anak kecil atau wanita renta, aku akan lebih leluasa menggendongmu masuk tanpa harus berdebat lebih dulu,” bantah Rangga. “Atau kamu memang memintaku menggendongmu masuk? Sini.”“Tidak. Aku masih sanggup berjalan,” ujar Mau
Sejak bertemu dan bersalaman dengan Maura, Anggita Sandra Danutirta yakin betul bahwa tebakannya selama ini tepat. Wanita yang beberapa bulan belakangan menjadi bahan obrolan keluarganya di waktu senggang karena pernikahannya dengan Rangga yang terkesan mendadak adalah wanita yang sama yang telah membuatnya gagal mempertahankan cinta Evander.Anggi sengaja menyembunyikan diri di balik punggung paman dan ayahnya agar Maura tidak bisa mengenalinya. Melihatnya lagi, membuat Anggi merasakan kembali sakit hati dicampakkan Evander dengan alasan bahwa hati dokter tampan itu hanya milik Maura, gadis muda sahabat adiknya.Mendengar akhirnya gadis itu berhasil mendapatkan Rangga karena mengandung anak pewaris GD Grup, Anggi merasa, gadis bernama Maura itu begitu pandai menggunakan potensinya. Ketika akhirnya Maura meninggalkan meja makan, Anggi merasa ini saat yang tepat untuk membalas sakit hatinya.“Di sini rupanya,” ujar Anggi seraya berjalan mendekat.
Ketika keluar dari kamar mandi, Rangga celingukan mencari istrinya. Sekilas tadi dilihatnya Maura berjalan keluar menuju halaman belakang. Namun, ketika ia mencari keberadaan Maura di taman belakang, tempat itu kosong. “Cari siapa, Den?” Jajang yang sedang membereskan sisa makanan menyapa. “Mang Jajang lihat Maura?” “Tadi saya lihat jalan keluar, Den. Mungkin jalan-jalan sekitaran rumah.” Rangga bergegas keluar setelah mendengar keterangan Jajang. Instingnya mengatakan, terjadi sesuatu yang tidak diketahuinya. Panik menyerangnya saat Rangga tidak bisa menemukan Maura di sekitaran rumah dan panggilan yang tak kunjung dijawab. “Kamu ke mana, sih?!” geram Rangga. Rangga kembali ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobilnya ketika berpapasan dengan Anggi dan tidak sengaja melihat seringai di bibir merah sepupunya itu. “Kamu lihat Maura?” “Ya, aku melihatnya keluar rumah dan masuk ke dalam sebuah mobil SUV warna putih. Coba
Café CemmanaMaura menatap bingung pada Evan dan bangunan di depannya. “Kenapa membawaku kemari, Kak? Ini sudah terlalu malam untuk makan dessert. Tolong antarkan aku pulang!” tegas Maura.“Ada yang perlu kita bicarakan, Ra. Kita turun dulu, ini tidak akan lama.” Evan mematikan mesin mobilnya dan mencabut kunci dari tempatnya. “Aku akan menunggumu di dalam.” Evan turun dari mobil dan meninggalkan Maura yang masih duduk tegak di atas kursi.“Apa maunya coba? Mana gak bawa HP. Rangga bisa kebingungan mencariku nanti.” Maura mendengus keras, membuang kesalnya. “Sebaiknya aku segera turun agar semua segera selesai,” putusnya seraya melepas sabuk pengaman dan turun dari mobil.Maura melangkah masuk ke dalam café, walau dengan berat hati karena trauma masa lalu dan waktu yang tidak tepat. Evan duduk di pojok café sambil membolak-balik buku menu.“Akhirnya mau
Rangga membawa Maura yang pingsan dalam dekapannya menyelinap masuk ke dalam kamar. Kebetulan, sebagian besar keluarga Danutirta yang hadir saat makan malam tadi sudah kembali ke hotel. Siska sudah menunggunya di kamar, lengkap dengan tas kerja warna hitam yang selalu dia bawa saat mengunjungi pasien.“Ada apa dengannya?”“Dia hamil, Tan. Barusan ada sedikit kejadian yang memicu emosinya dan membuatnya hilang kesadaran.”“Kamu?” tuduh Siska menatap Rangga tajam.“Jelas bukan lah!” sergah Rangga cepat. “Apa ada yang melihat Tante naik ke sini?”Siska menggeleng sambil terus memeriksa dada Maura dengan teliti. “Dia baik-baik saja. Ini bawaan kehamilannya. Sudah berapa minggu usia kehamilannya?”“Kami belum sempat periksa. Dia hanya melakukan tes darah saat menemaniku dirawat di Bandung.”“Oke, setelah acara pertunangan Alina, bawa dia ke tempatku.
“Pa,” sapa Rangga sopan dan penuh hormat. “Duduk.” Galih melepas kacamata bacanya seraya berdiri. “Mendengar caramu menyapa, Papa tebak kamu sudah tahu apa yang ingin Papa bicarakan.” Galih memilih sofa yang paling besar di antara sofa lainnya. Pertanda bahwa ia sedang menunjukkan kedudukannya dalam keluarga besar Danutirta, pemimpin dari semua keluarga yang menyandang nama besar Danutirta di belakang namanya. Galih tidak bersuara sampai Rangga duduk tenang di kursinya. “Apa yang terjadi dengan Maura? Siska bilang dia pingsan, benar begitu?” “Benar, Pa. Ada yang mengganggu pikirannya dan kondisi awal kehamilan membuatnya mudah lelah dan pingsan.” “Besok, bawa dia menemui Tante Siska.” “Ya, Pa.” Masalah tentang Evan, Maura dan Anggita akan segera masuk ke telinga Galih. Oleh karena itu, Rangga memilih bungkam, tapi otaknya berputar mencari jalan agar tidak membuat papanya kecewa. “Ranggapati, apa yang sedang kamu rencana
Maura menyambutnya dengan senyuman lemah, ketika Rangga kembali ke kamar. Pria itu berusaha membalas senyuman Maura dan meraih tangan Maura yang terulur padanya.“Sudah bangun? Maaf, aku membiarkanmu sendirian di kamar.”“Kenapa mukanya kusut begitu? Cemas karena aku tiba-tiba pingsan atau karena kesal aku bertemu Evan tanpa memberitahumu?”“Kita bahas besok saja.” Rangga naik ke atas ranjang, menyusupkan lengannya ke bawah leher Maura dan menariknya mendekat. “Sebaiknya kita tidur. Kalau besok pagi kita tidak turun untuk sarapan, aku pastikan Mama akan naik ke sini dan mencecarmu dengan berbagai pertanyaan.”Rangga pura-pura memejamkan mata sambil menguap lebar agar Maura tidak mengajaknya bicara, tapi triknya tidak berhasil.“Kalau kamu bisa menemukanku, berarti Papa sudah tahu tentang pertemuanku malam ini dengan Evan. Sama seperti Papa tahu bahwa Vivian ada di Bandung dan dia sepupu Reno. Be
Rangga tertegun menatap istrinya. Wanita itu jelas-jelas menyimpan sesuatu di balik kata-katanya. “Andai keputusan Papa bertentangan denganmu, apa yang akan kamu lakukan?” “Aku tidak bisa mengatakannya sekarang, karena nyatanya aku belum mengalaminya. Tapi yang jelas, manusia diciptakan lengkap dengan otak dan mulut untuk berpikir dan bicara. Jadi, aku rasa semuanya bisa dibicarakan baik-baik.” “Wah, ternyata di dalam kepalamu yang mungil, kamu punya pikiran untuk mendebat Galih Danutirta. Mengejutkan!” ucap Rangga dengan nada kagum yang dilebih-lebihkan. “Bukan mendebat, hanya berargumen. Tidak selalu, semua yang kita pikir baik dan benar, sama dengan yang orang lain pikirkan. Bukan begitu?” Rangga mengangguk. “Ya, kamu benar.” “Lalu, apa yang terjadi dengan Evan? Seingatku, terakhir kali aku masih berdiri berhadapan dengannya sebelum aku pingsan. Apa kamu melukainya, Kak?” “Tidak ada yang terjadi karena dua tanganku sibuk menangkap t
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s