Café Cemmana
Maura menatap bingung pada Evan dan bangunan di depannya. “Kenapa membawaku kemari, Kak? Ini sudah terlalu malam untuk makan dessert. Tolong antarkan aku pulang!” tegas Maura.
“Ada yang perlu kita bicarakan, Ra. Kita turun dulu, ini tidak akan lama.” Evan mematikan mesin mobilnya dan mencabut kunci dari tempatnya. “Aku akan menunggumu di dalam.” Evan turun dari mobil dan meninggalkan Maura yang masih duduk tegak di atas kursi.
“Apa maunya coba? Mana gak bawa HP. Rangga bisa kebingungan mencariku nanti.” Maura mendengus keras, membuang kesalnya. “Sebaiknya aku segera turun agar semua segera selesai,” putusnya seraya melepas sabuk pengaman dan turun dari mobil.
Maura melangkah masuk ke dalam café, walau dengan berat hati karena trauma masa lalu dan waktu yang tidak tepat. Evan duduk di pojok café sambil membolak-balik buku menu.
“Akhirnya mau
Rangga membawa Maura yang pingsan dalam dekapannya menyelinap masuk ke dalam kamar. Kebetulan, sebagian besar keluarga Danutirta yang hadir saat makan malam tadi sudah kembali ke hotel. Siska sudah menunggunya di kamar, lengkap dengan tas kerja warna hitam yang selalu dia bawa saat mengunjungi pasien.“Ada apa dengannya?”“Dia hamil, Tan. Barusan ada sedikit kejadian yang memicu emosinya dan membuatnya hilang kesadaran.”“Kamu?” tuduh Siska menatap Rangga tajam.“Jelas bukan lah!” sergah Rangga cepat. “Apa ada yang melihat Tante naik ke sini?”Siska menggeleng sambil terus memeriksa dada Maura dengan teliti. “Dia baik-baik saja. Ini bawaan kehamilannya. Sudah berapa minggu usia kehamilannya?”“Kami belum sempat periksa. Dia hanya melakukan tes darah saat menemaniku dirawat di Bandung.”“Oke, setelah acara pertunangan Alina, bawa dia ke tempatku.
“Pa,” sapa Rangga sopan dan penuh hormat. “Duduk.” Galih melepas kacamata bacanya seraya berdiri. “Mendengar caramu menyapa, Papa tebak kamu sudah tahu apa yang ingin Papa bicarakan.” Galih memilih sofa yang paling besar di antara sofa lainnya. Pertanda bahwa ia sedang menunjukkan kedudukannya dalam keluarga besar Danutirta, pemimpin dari semua keluarga yang menyandang nama besar Danutirta di belakang namanya. Galih tidak bersuara sampai Rangga duduk tenang di kursinya. “Apa yang terjadi dengan Maura? Siska bilang dia pingsan, benar begitu?” “Benar, Pa. Ada yang mengganggu pikirannya dan kondisi awal kehamilan membuatnya mudah lelah dan pingsan.” “Besok, bawa dia menemui Tante Siska.” “Ya, Pa.” Masalah tentang Evan, Maura dan Anggita akan segera masuk ke telinga Galih. Oleh karena itu, Rangga memilih bungkam, tapi otaknya berputar mencari jalan agar tidak membuat papanya kecewa. “Ranggapati, apa yang sedang kamu rencana
Maura menyambutnya dengan senyuman lemah, ketika Rangga kembali ke kamar. Pria itu berusaha membalas senyuman Maura dan meraih tangan Maura yang terulur padanya.“Sudah bangun? Maaf, aku membiarkanmu sendirian di kamar.”“Kenapa mukanya kusut begitu? Cemas karena aku tiba-tiba pingsan atau karena kesal aku bertemu Evan tanpa memberitahumu?”“Kita bahas besok saja.” Rangga naik ke atas ranjang, menyusupkan lengannya ke bawah leher Maura dan menariknya mendekat. “Sebaiknya kita tidur. Kalau besok pagi kita tidak turun untuk sarapan, aku pastikan Mama akan naik ke sini dan mencecarmu dengan berbagai pertanyaan.”Rangga pura-pura memejamkan mata sambil menguap lebar agar Maura tidak mengajaknya bicara, tapi triknya tidak berhasil.“Kalau kamu bisa menemukanku, berarti Papa sudah tahu tentang pertemuanku malam ini dengan Evan. Sama seperti Papa tahu bahwa Vivian ada di Bandung dan dia sepupu Reno. Be
Rangga tertegun menatap istrinya. Wanita itu jelas-jelas menyimpan sesuatu di balik kata-katanya. “Andai keputusan Papa bertentangan denganmu, apa yang akan kamu lakukan?” “Aku tidak bisa mengatakannya sekarang, karena nyatanya aku belum mengalaminya. Tapi yang jelas, manusia diciptakan lengkap dengan otak dan mulut untuk berpikir dan bicara. Jadi, aku rasa semuanya bisa dibicarakan baik-baik.” “Wah, ternyata di dalam kepalamu yang mungil, kamu punya pikiran untuk mendebat Galih Danutirta. Mengejutkan!” ucap Rangga dengan nada kagum yang dilebih-lebihkan. “Bukan mendebat, hanya berargumen. Tidak selalu, semua yang kita pikir baik dan benar, sama dengan yang orang lain pikirkan. Bukan begitu?” Rangga mengangguk. “Ya, kamu benar.” “Lalu, apa yang terjadi dengan Evan? Seingatku, terakhir kali aku masih berdiri berhadapan dengannya sebelum aku pingsan. Apa kamu melukainya, Kak?” “Tidak ada yang terjadi karena dua tanganku sibuk menangkap t
H-1 Pertunangan Reno dan AlinaAlina sedang menerima tamu, rekan-rekannya sesama model, saat Aldo datang dengan menggandeng seorang wanita cantik dan melambai pada pemilik rumah.“Hai, Al!” seru Aldo riang.“Waduh, si Aldo. Udah gercep aja, nih.” Gadis cantik berambut ikal sepunggung mencibir.“Iya, nih. Cepet banget move on dari Alina. Gua pikir dia bakalan nangis di pojokan begitu tahu kesempatannya untuk dapetin Alina udah hangus,” cibir lainnya ikut menimpali.“Iya, dong. Masa’ iya, udah milik orang lain masih aja gua kejar? Bunuh diri itu namanya. Mana calon suaminya Alina serem, bbrrr … bikin jiper!” seloroh Aldo dengan gaya menggigil yang berlebihan. “Kenalin, ini Mayang, sepupu gua.”Sontak semua yang berkumpul terbahak. “Pantesan cepet dapetnya, sepupu, hhuuu …!” sorak yang lain serempak.“Mana bisa pindah ke lain hati d
Reno turun dari mobil, mengeluarkan sebuah koper besar dan kecil dari bagasi kemudian melangkah cepat masuk ke dalam rumah. Di belakangnya, dua kaki kecil setengah berlari mengekori langkahnya. Reno sudah mengirim pesan sebelum turun, meminta calon kakak iparnya membantunya mengkondisikan sesuatu, seseorang lebih tepatnya.Rangga melirik ponselnya yang sedang bergetar karena sebuah pesan masuk. “Sebentar lagi, kamu juga akan menjadi pusat perhatian. Walau aku sangsi kamu akan merasa bahagia.”“Apaan, sih? Misterius banget.”“Penasaran? Sana, segera ke depan. Kejutanmu sudah datang.” Rangga menggerakkan dagunya mengusir Alina.Bibirnya yang mancung sejajar hidung, menunjukkan bahwa Alina kesal dengan sikap abangnya. Namun, tak urung ia menuruti perintah Rangga.“Kejutan apa yang kamu siapkan untuk Alina, Kak?” tanya Maura ikut penasaran.“Mau tahu? Makan dulu serealmu atau kamu akan keting
“Sini, duduk sini.” Alina menarik Reno agar duduk di sampingnya. “Apa yang terjadi? Kenapa kamu bawa Yuki bersamamu?”“Pak Galih—.”“Papa. Biasakan memanggil Pak Galih dengan sebutan papa,” potong Alina cepat.“Nanti, kalau kita sudah resmi menikah.” Reno melirihkan suaranya.“Kenapa lemes?”“Hanya kurang yakin bahwa acara ini akan terus berlangsung seperti harapan kita,” jawab Reno jujur.“Hei, kenapa pesimis begitu? Apa ada yang belum aku tahu?” selidik Alina.“Tidak ada, semuanya sudah aku ceritakan. Setelah semua yang terjadi, aku tidak berani berharap banyak atas hubungan kita. Kesalahanku terlalu besar untuk dimaafkan.” Reno tertunduk lesu.“Tahu diri itu bagus, tapi tidak dengan pesimis. Anggap saja menikahiku dan menjamin kebahagiaanku adalah bentuk penebus kesalahan. Hmm?”“Kau tida
Rumah Sakit LoveHealth “Paman, apa rasanya akan sakit?” tanya Yuki takut-takut, jemari kecilnya menggenggam tangan Reno erat. “Aku belum pernah pergi ke dokter gigi.” Jawaban Reno membuat jemari kecil itu makin kuat meremat. “Yuki, apa kau takut?” Maura berjongkok di depan gadis kecil yang menyembunyikan separuh dirinya di belakang kaki kokoh pamannya. “Emm, sedikit.” Suara kecil mirip cicitan keluar dari bibir kecil Yuki yang mulai bergetar. “Sini, ikut aku. Kau akan makin ketakutan bila berlindung di belakang penakut seperti Paman Reno.” Maura mengulurkan tangannya dan berdiri seraya mendelik ke arah Reno yang sengaja membuang muka menghindari tatapan tajam calon kakak iparnya. Dokter gigi yang Rangga pilih adalah dokter ramah dan jenaka, selain tampan pastinya. Pria muda dengan kacamata bedah yang menutup setengah wajahnya itu, menyapa Yuki dengan gaya yang lucu di mata Maura. “Hai, Yuki. Kenalkan, aku Daren. Apa kau takut?”
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s