Maura menyambutnya dengan senyuman lemah, ketika Rangga kembali ke kamar. Pria itu berusaha membalas senyuman Maura dan meraih tangan Maura yang terulur padanya.
“Sudah bangun? Maaf, aku membiarkanmu sendirian di kamar.”
“Kenapa mukanya kusut begitu? Cemas karena aku tiba-tiba pingsan atau karena kesal aku bertemu Evan tanpa memberitahumu?”
“Kita bahas besok saja.” Rangga naik ke atas ranjang, menyusupkan lengannya ke bawah leher Maura dan menariknya mendekat. “Sebaiknya kita tidur. Kalau besok pagi kita tidak turun untuk sarapan, aku pastikan Mama akan naik ke sini dan mencecarmu dengan berbagai pertanyaan.”
Rangga pura-pura memejamkan mata sambil menguap lebar agar Maura tidak mengajaknya bicara, tapi triknya tidak berhasil.
“Kalau kamu bisa menemukanku, berarti Papa sudah tahu tentang pertemuanku malam ini dengan Evan. Sama seperti Papa tahu bahwa Vivian ada di Bandung dan dia sepupu Reno. Be
Rangga tertegun menatap istrinya. Wanita itu jelas-jelas menyimpan sesuatu di balik kata-katanya. “Andai keputusan Papa bertentangan denganmu, apa yang akan kamu lakukan?” “Aku tidak bisa mengatakannya sekarang, karena nyatanya aku belum mengalaminya. Tapi yang jelas, manusia diciptakan lengkap dengan otak dan mulut untuk berpikir dan bicara. Jadi, aku rasa semuanya bisa dibicarakan baik-baik.” “Wah, ternyata di dalam kepalamu yang mungil, kamu punya pikiran untuk mendebat Galih Danutirta. Mengejutkan!” ucap Rangga dengan nada kagum yang dilebih-lebihkan. “Bukan mendebat, hanya berargumen. Tidak selalu, semua yang kita pikir baik dan benar, sama dengan yang orang lain pikirkan. Bukan begitu?” Rangga mengangguk. “Ya, kamu benar.” “Lalu, apa yang terjadi dengan Evan? Seingatku, terakhir kali aku masih berdiri berhadapan dengannya sebelum aku pingsan. Apa kamu melukainya, Kak?” “Tidak ada yang terjadi karena dua tanganku sibuk menangkap t
H-1 Pertunangan Reno dan AlinaAlina sedang menerima tamu, rekan-rekannya sesama model, saat Aldo datang dengan menggandeng seorang wanita cantik dan melambai pada pemilik rumah.“Hai, Al!” seru Aldo riang.“Waduh, si Aldo. Udah gercep aja, nih.” Gadis cantik berambut ikal sepunggung mencibir.“Iya, nih. Cepet banget move on dari Alina. Gua pikir dia bakalan nangis di pojokan begitu tahu kesempatannya untuk dapetin Alina udah hangus,” cibir lainnya ikut menimpali.“Iya, dong. Masa’ iya, udah milik orang lain masih aja gua kejar? Bunuh diri itu namanya. Mana calon suaminya Alina serem, bbrrr … bikin jiper!” seloroh Aldo dengan gaya menggigil yang berlebihan. “Kenalin, ini Mayang, sepupu gua.”Sontak semua yang berkumpul terbahak. “Pantesan cepet dapetnya, sepupu, hhuuu …!” sorak yang lain serempak.“Mana bisa pindah ke lain hati d
Reno turun dari mobil, mengeluarkan sebuah koper besar dan kecil dari bagasi kemudian melangkah cepat masuk ke dalam rumah. Di belakangnya, dua kaki kecil setengah berlari mengekori langkahnya. Reno sudah mengirim pesan sebelum turun, meminta calon kakak iparnya membantunya mengkondisikan sesuatu, seseorang lebih tepatnya.Rangga melirik ponselnya yang sedang bergetar karena sebuah pesan masuk. “Sebentar lagi, kamu juga akan menjadi pusat perhatian. Walau aku sangsi kamu akan merasa bahagia.”“Apaan, sih? Misterius banget.”“Penasaran? Sana, segera ke depan. Kejutanmu sudah datang.” Rangga menggerakkan dagunya mengusir Alina.Bibirnya yang mancung sejajar hidung, menunjukkan bahwa Alina kesal dengan sikap abangnya. Namun, tak urung ia menuruti perintah Rangga.“Kejutan apa yang kamu siapkan untuk Alina, Kak?” tanya Maura ikut penasaran.“Mau tahu? Makan dulu serealmu atau kamu akan keting
“Sini, duduk sini.” Alina menarik Reno agar duduk di sampingnya. “Apa yang terjadi? Kenapa kamu bawa Yuki bersamamu?”“Pak Galih—.”“Papa. Biasakan memanggil Pak Galih dengan sebutan papa,” potong Alina cepat.“Nanti, kalau kita sudah resmi menikah.” Reno melirihkan suaranya.“Kenapa lemes?”“Hanya kurang yakin bahwa acara ini akan terus berlangsung seperti harapan kita,” jawab Reno jujur.“Hei, kenapa pesimis begitu? Apa ada yang belum aku tahu?” selidik Alina.“Tidak ada, semuanya sudah aku ceritakan. Setelah semua yang terjadi, aku tidak berani berharap banyak atas hubungan kita. Kesalahanku terlalu besar untuk dimaafkan.” Reno tertunduk lesu.“Tahu diri itu bagus, tapi tidak dengan pesimis. Anggap saja menikahiku dan menjamin kebahagiaanku adalah bentuk penebus kesalahan. Hmm?”“Kau tida
Rumah Sakit LoveHealth “Paman, apa rasanya akan sakit?” tanya Yuki takut-takut, jemari kecilnya menggenggam tangan Reno erat. “Aku belum pernah pergi ke dokter gigi.” Jawaban Reno membuat jemari kecil itu makin kuat meremat. “Yuki, apa kau takut?” Maura berjongkok di depan gadis kecil yang menyembunyikan separuh dirinya di belakang kaki kokoh pamannya. “Emm, sedikit.” Suara kecil mirip cicitan keluar dari bibir kecil Yuki yang mulai bergetar. “Sini, ikut aku. Kau akan makin ketakutan bila berlindung di belakang penakut seperti Paman Reno.” Maura mengulurkan tangannya dan berdiri seraya mendelik ke arah Reno yang sengaja membuang muka menghindari tatapan tajam calon kakak iparnya. Dokter gigi yang Rangga pilih adalah dokter ramah dan jenaka, selain tampan pastinya. Pria muda dengan kacamata bedah yang menutup setengah wajahnya itu, menyapa Yuki dengan gaya yang lucu di mata Maura. “Hai, Yuki. Kenalkan, aku Daren. Apa kau takut?”
Sementara itu, di ruang baca kediaman Danutirta, Hanna dan Alina sedang duduk berdua. Hanna termenung memikirkan apa yang barusan Alina katakan perihal Anggita.“Siapa saja yang tahu tentang ini?”“Hanya aku dan Aldo. Tapi aku rasa, Papa dan Bang Rangga pasti sudah tahu, hanya tidak cerita. Dari apa yang Papa katakan ke Alina semalam tentang pertemuan Maura dan Evan di depan gerbang, sepertinya ada campur tangan Anggita di dalamnya.”“Hhh, apa maunya anak itu? Papa sudah beberapa kali kecewa padanya. Kuliah kedokteran tidak selesai, kuliah bisnis ditinggal begitu saja, malah memilih terjun ke dunia hiburan. Mas Burhan juga begitu, seringkali gagal menang proyek dan penjualannya makin menurun. Menyusahkan Mama saja.”“Ma ….”“Kamu tahu sendiri, Papa memang segan tapi bukan kasihan. Kalau bukan Papa yang bertindak, masih ada Rangga dan Reno atau yang lain. Dan kali ini, tidak ada yang bisa
Rumah Sakit Kanker SingapuraDi hari pertamanya menjalani perawatan, dokter Allen—ketua tim dokter yang bertanggungjawab atas pengobatan Vivian, menjelaskan beberapa prosedur yang akan Vivian jalani. Mulai tes darah, aspirasi sumsum tulang, pungsi lumbal hingga tes genetik. Leukemia limfoblastik akut (LLA) yang dideritanya perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk memastikan tidak ada penyebab lain dari penyakit ini.“Dok, saya sudah pernah menjalani pemeriksaan di salah satu Rumah Sakit di Sidney. Apa masih perlu dilakukan lagi?” Vivian sudah terbayang bagaimana sakitnya ketika tulang belakangnya ditusuk jarum saat pungsi.“Nyonya, itu anda lakukan hampir satu tahun lalu. Kita harus mengulangnya agar dapat memastikan stadium kanker dan tidak ada penyebab lain. Selain itu, kami bisa menentukan pengobatan apa yang tepat untuk anda melalui hasil tes yang anda jalani.”Vivian tertunduk lemas.“Saya tahu, ini akan m
Hari ketiga dirawat inap, Allen memanggil Vivian untuk datang ke ruangannya dan menjelaskan hasil pemeriksaan. “Bagaimana hasil pemeriksaannya, Dok?” Allen menyodorkan beberapa lembar kertas ke hadapan Vivian. “Perkembangan sel kankernya lumayan cepat. Apa anda merasa ada benjolan di leher atau ketiak?” Vivian mengernyit seraya menggelengkan kepalanya. “Boleh saya periksa?” Allen mengulurkan kedua tangannya setelah Vivian mengangguk. Dokter wanita dengan wajah dipenuhi bintik kecokelatan itu mulai meraba bawah rahang, bergerak perlahan ke leher dengan jari-jarinya. “Tidak ada benjolan.” “Lalu bagaimana selanjutnya?” “Nyonya, agar hasilnya maksimal, saya sarankan melakukan kemo dan radioterapi bersamaan, mengingat kita berkejaran dengan waktu.” “Lakukan saja semua yang terbaik, Dok.” Ada secercah harapan di binar mata sayu Vivian. “Dengar, kemo dan radiasi masing-masing memiliki efek samping pada tubuh. Terlebih bila dil