Griya Tawang Hotel Galaksi
Masih dengan berbalut jubah mandi dan rambut basah, Rangga duduk termenung di sofa, berusaha mengingat peristiwa semalam. Di selingi umpatan penuh amarah, Rangga mengambil ponselnya dan menekan beberapa angka. “Ren, ke kamarku sekarang.”
Tak berapa lama, seseorang mengetuk pintu kamar.
“Masuk.”
Pintu terbuka, seorang pria bertubuh sama besar seperti Rangga masuk. “Selamat pagi, Bos. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Reno, asisten sekaligus pengawal Ranggapati Danutirta, eksekutif muda dunia properti. Bisa dikatakan Rangga adalah raja bisnis properti Asia Tenggara. Pemilik sejumlah kawasan hunian elit yang tersebar di Asia Tenggara di bawah naungan GD Grup.
“Ren, tolong kamu cek rekaman CCTV.” Rangga memberi perintah.
“Baik, Bos. Saya akan kembali satu jam lagi.” Tanpa menunggu jawaban Rangga, Reno melangkah pergi.
Reno awalnya memimpin sebuah perusahaan keamanan swasta terbesar, tetapi karena dalam sebuah operasi pengamanan klien, dia mengalami cedera tempurung lutut. Maka dengan kesadaran diri memilih berada di balik layar.
Rangga merekrutnya bukan sebagai asisten pribadinya pada awalnya, tetapi sebagai pelatih beladiri. Selama lima tahun bekerja, cederanya tidak pernah menghambat kinerja Reno. Karena lebih banyak menggunakan otaknya daripada ototnya. Tugas utama Reno adalah memastikan segala sesuatu berjalan sesuai kehendak tuannya.
Rangga termenung seraya menunggu Reno menyelesaikan tugas darinya. Tanpa sadar, Rangga bergidik sendiri, mengingat kejadian di mana dia bisa dikatakan memperkosa gadis belia. Namun, tak dapat dipungkiri, sikap gadis itu ketika menghadapi masalah besar membuat Rangga terpesona. Matanya memandang ke arah ranjang besar, tempatnya melampiaskan hasrat di bawah pengaruh obat.
Dari apa yang dilihatnya selama berbincang dengan gadis itu, Rangga bisa menyimpulkan bahwa gadis itu bukan tipe yang sering dijumpainya, penggoda. Keberanian dan ketenangannya, membuat Rangga berdecak kagum, lawan yang imbang untuknya.
Sebagai pebisnis muda dan sukses, Rangga tidak kekurangan teman wanita. Masa aktif mereka di samping Rangga tidak kurang dan tidak lebih dari satu bulan. Rangga bukan tipe pria yang mudah tergoda oleh pesona fisik wanita. Namun, tetap memerlukan teman wanita yang bisa dibawa menghadiri acara tertentu yang akan canggung bila dihadiri seorang diri.
Reno telah kembali dengan membawa rekaman CCTV. “Bos, rekaman CCTV sejak Anda masuk lobi hotel sampai tadi malam telah dihapus. Yang tersisa hanya saat seorang gadis keluar dari kamar ini sambil mengacungkan jari tengahnya.” Reno menahan diri untuk tidak terkikik.
“Tunjukkan padaku.”
Reno menyerahkan gawainya.
“Gadis pemberani,” gumam Rangga. “Ren, cari tahu tentang gadis ini. Aku ingin tahu latar belakangnya.” Rangga memberi perintah.
“Baik, Bos. Ada lagi yang bisa saya bantu?” tanya Reno yang disambut lambaian tangan Rangga.
Reno menatap pintu di belakangnya. “Sikapnya kali ini berbeda dari biasanya. Wanita seperti apa sebenarnya kamu, hingga bos bersusah payah mencarimu?” Reno bergumam seraya menatap gadis cantik yang wajahnya hanya terlihat dari samping.
“Potter, cari tahu semua hal tentang wanita yang ada dalam video. Laporkan padaku secepatnya.” Reno memberi perintah bawahannya melalui ponsel.
“Baik, Pak. Laksanakan,” jawab Potter.
Pria muda kepercayaan Reno itu memutar video kiriman atasannya untuk yang keempat kali sambil memijat tengkuknya yang terasa pegal. Tidak ada yang bisa dilihat dari rekaman itu selain sisi samping seorang wanita dan jari tengah yang teracung. Potter mengulum senyum melihat jari ramping wanita itu.
“Wanita pemberani,” gumamnya, masih tersenyum.
Pantang menyerah sebelum perang, begitu pesan Reno pada anak buahnya setiap menjalankan sebuah tugas. Terutama, klien tetap mereka adalah Ranggapati Danutirta, Mr. Perfect. Tidak ada kata gagal.
****
Kantor Direktur Pemasaran Hotel Orion
Clarissa sudah dua kali mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Ragu-ragu, dibukanya perlahan pintu di depannya. Maura ada di dalam, sedang duduk termenung mengetukkan pena di tangannya ke permukaan meja.
“Bu,” tegurnya.
Maura bergeming. Rissa berjalan pelan menghampiri atasannya, berusaha tidak menimbulkan suara. Setelah dekat, Rissa berdeham.
“Astaga, Rissa! Ketuk pintu dulu sebelum masuk, bisa? Jangan main masuk begini, nyaris lepas jantung saya,” cerocos Maura tanpa jeda.
Rissa hanya tersenyum simpul. “Saya sudah mengetuk pintu, tidak ada jawaban. Saya kira Ibu sedang tidak di tempat. Saya masuk hendak meletakkan hasil rapat di meja Ibu, ternyata ada yang sedang melamun.”
Giliran Maura yang berdehem mengusir malu. “Maafkan saya.”
“Ini hasil rapat tentang acara tutup tahun, Bu. Mohon diperiksa.” Rissa mengangsurkan sebuah map.
“Letakkan saja di meja,” sahut Maura lesu.
Rissa melirik arlojinya. “Ini sudah masuk jam istirahat.” Rissa duduk tanpa menunggu Maura mempersilakan. “Sebenarnya apa yang sedang kamu pikirkan, Ra? Tadi Toni bilang kalau kamu banyak melamun selama rapat dengan tim Humas.”
Maura mendesah dan menyandarkan diri ke kursi. “Belakangan aku sering merasa cepat lelah. Kadang demam, walau sedang tidak sakit. Dan, yang paling mengganggu adalah rasa mual dan pening di pagi hari,” keluhnya.
“Hmm, bukankah itu tanda-tanda anemia, Ra? Aku perhatikan, kamu sering melewatkan waktu makan belakangan ini.”
Maura mengangguk lemah. “Aku sedang ada masalah di rumah. Malas berlama-lama bersama orang rumah.”
“Amelia?”
“Kamu tahu lah .…” Maura kembali mendesah. “Tolong bantu aku cari apartemen, tidak perlu mewah, cukup nyaman dan yang penting dekat dengan kantor.”
“Kenapa repot-repot cari apartemen? Tuh, kamar paling atas kosong, kenapa gak kamu pakai aja?” Rissa menunjuk ke atap.
“Penthouse?” Rissa mengangguk. “Nggak,” sergahnya.
“Kenapa? Bukannya sesuai dengan kriteria yang kamu inginkan, dekat dengan kantor.”
‘Kenapa? Penthouse mengingatkanku pada kejadian malam itu. Sebuah penthouse hotel Galaksi. Apa aku datangi saja pria itu dan bertanya padanya? Tidak, tidak. Akan sangat memalukan. Lalu, dari mana aku mulai mencari?’ Maura bergumam sendiri sambil menggelengkan kepala berulang kali.
“Hei, malah dicuekin. Mikirin apa, sih?”
“Hmm? Eh, aku mau tanya. Ada dua orang wanita nongkrong di sebuah café. Lalu, salah satunya tertidur dan saat bangun dia berada dalam pelukan seorang pria dalam sebuah kamar. Menurutmu, apa yang terjadi pada wanita tadi? Siapa pelakunya?”
Dahi Rissa berkerut, menandakan sedang berpikir keras.
“Malah bengong.”
“Tunggu, aku sedang memikirkannya. Apa wanita itu kamu dan Amel?”
Maura terbeliak, tidak menyangka Rissa bisa menebaknya secepat ini. Namun, sejurus kemudian kepalanya mengangguk.
“Hahh?! Kapan itu?!”
Maura mendelik marah. “Pelankan suaramu! Apa kamu mau seluruh isi kantor ini mendengarmu?!”
“Maaf,” bisik Rissa. “Kapan itu? Bagaimana bisa, Ra?” ulangnya dengan suara mirip bisikan.
“Bulan lalu. Kalau kamu balik tanya ke aku, lalu aku tanya siapa?”
“Bukan begitu, maksudku bagaimana itu bisa terjadi padamu?”
“Itu yang aku bingung. Otakku buntu.”
“Oke, nanti kita bicarakan lagi.” Rissa melirik arlojinya. “Aku harus menghadap Bu Amanda membicarakan rencana anggaran yang akan kita pakai.” Rissa berdiri, mengangguk sekilas dan berbalik pergi.
“Baru juga mau cerita, udah pergi. Hhh .…” Maura memutar kursinya menghadap jendela kaca besar di belakangnya. “Aku mulai saja dari café tempat pertemuanku dengan Kak Amel.” Jarinya mengetuk pegangan kursi.
Selepas jam kerja, Maura memacu mobilnya ke Café Zoom, tempatnya bertemu Amel sebelum malam mengerikan itu. Maura memarkir mobilnya dan bergegas turun. Café masih sepi pengunjung.
“Mas, permisi,” sapanya pada petugas kebersihan yang sedang mengepel lobi.
“Ya, ada yang bisa saya bantu, Mbak?”
“Bisa saya bertemu dengan manajer café?”
“Kalau boleh tahu, ada perlu apa ya?” tanya pria itu menghentikan aktivitasnya.
“Saya ingin melihat rekaman CCTV bulan lalu.”
“Mohon maaf, Mbak. Kebetulan sudah satu bulan lebih CCTV kami rusak.”
“Kalau manajernya bisa saya temui?” desak Maura.
“Wah … kebetulan Pak manajer sedang cuti karena istrinya melahirkan.”
Maura mendesah kesal. “Kok, bisa kebetulan begini, ya?”
“Kalau tidak ada lagi yang mau ditanyakan, saya mau lanjut kerja dulu. Permisi.” Pria itu meninggalkan Maura yang sedang kecewa.
“Haish!” Maura mengacak rambutnya kesal. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” erangnya.
Di luar café, sebuah mobil sport warna merah berhenti mendadak hingga decit ban membuat telinga pekak, menunjukkan pengemudinya sedang marah dan tidak sabar.
Brak!
Rangga mengeluarkan ponselnya dan menekan beberapa angka, tetapi tidak tersambung. Amarahnya makin memuncak. Ini ketiga kalinya dia mendatangi tempat kerja Bayu, teman SMA-nya sekaligus bartender utama café, setelah dua kali sebelumnya gagal bertemu.
Rangga masuk ke café. Langsung menuju sudut ruangan, tetapi yang dicari belum juga terlihat batang hidungnya.
“Mau sembunyi kamu rupanya? Sikapmu ini makin membuatku yakin kalau kamu terlibat, Bay,” desisnya marah.
“Eh, Mas Rangga. Tumben datang jam segini?” Seorang wanita bertubuh molek dengan rok hitam yang hanya mampu menutup setengah pahanya, datang seraya membelai lengan Rangga dengan gerakan menggoda.
Rangga menepis tangan yang bertengger di lengannya. “Pergi.”
“Aduh, galak banget. Cari siapa, sih?” wanita itu tidak menunjukkan ketersinggungan atas sikap penolakan Rangga.
“Mana Bayu?” Rangga memicingkan mata menatap wanita di sampingnya.
“Owh, cari Bayu. Dia sudah resign bulan lalu. Pulang kampung katanya.”
“Damned!” Rahang kokoh itu mengeras.
“Astaga, so sexy.” Jemari wanita itu mengulang sentuhannya, kali ini rahang kokoh dengan rambut halus yang jadi targetnya.
Rangga menangkap tangan ramping itu sebelum sempat menjelajah lebih jauh di wajahnya. “Jaga tanganmu atau aku patahkan,” geramnya seraya meremas tangan lancang yang sudah berani menyentuh wajahnya.
“Awww ... sakit, Mas. Pelan dikit, dong!” rintih wanita itu dengan suara manja, masih berusaha keras menggoda.
Rangga semakin jijik dan melepas tangan ramping dalam genggamannya dengan kasar. Tanpa membuang waktu lagi, Rangga berbalik pergi. Namun, ekor matanya menangkap sosok yang dikenalnya dan langkahnya terhenti demi memastikan bahwa matanya tidak salah mengenali.
Akan tetapi, belum sempat memastikan, wanita bertubuh molek tadi sudah keburu meraih lengannya. “Kenapa buru-buru, sih, Mas? Duduk dulu, nanti aku siapkan menu kesukaanmu.”
Rangga menarik napas dalam, melepaskan tangan yang memeluk lengannya dan melanjutkan langkahnya. “Sial. Sial. Sial!” umpatnya sambil menutup pintu mobilnya dengan keras.
“Ren, cari Bayu. Pelayan café bilang, dia pulang ke Tasik,” titahnya melalui sambungan ponsel.
****
Kediaman Danutirta “Pagi, semua,” Alina menyapa semua yang sedang berada di meja makan. “Pagi, Sayang, tumben udah rapi. Biasanya baru nanti agak siangan turunnya.” Hanna mengerling menggoda putrinya yang paling susah bangun pagi dan sarapan bersama mereka. “Ih, Mama. Bisa, gak, sehari aja gak ngeledek?!” Alina menarik kursi di samping abangnya. Cup! “Ih, jorok banget, sih!” omel Rangga. “Jorok dari mana coba? Mandi udah, gosok gigi udah, parfum udah. Sayang itu pipi dianggurin.” Senyum Alina mengembang melihat Rangga mengusap pipi bekas ciumannya dengan punggung tangan. “Bukan sayang pipinya, itu bibir sudah lama gak nyium pipi cowok. Gatel jadinya.” “Abang, sadis banget, sih.” “Sudah, kalian ini tiap kali ketemu selalu saja ribut. Kalau jauhan bentar, kangen.” Hanna menghentikan perdebatan keduanya. “Al, kamu belum jawab Mama. Pagi begini udah rapi, mau ke mana?” “Alina dapat undangan menghadi
“Maaf, aku sungguh minta maaf,” ucap Maura demi melihat snelli Evan terkena cairan lambungnya.“It’s okay,” jawab Evan setengah meringis. “Aku bersihkan dulu.”“Maaf.”“Lho, Kak. Mau ke mana?” Rissa bingung melihat Evan melangkah cepat melewatinya. “Kenapa lagi dia?” tanya Rissa yang hanya dijawab dengan gerakan bahu dan ekspresi canggung.“Aku sudah urus administrasinya, sebentar lagi kita pindah ke kamar.” Maura mengangguk. “Apa kamu sudah memberitahu orang rumah kalau kamu sakit?” Maura menggeleng.“Mereka tidak akan mencariku.” Maura kembali berbaring. Namun, perutnya kembali bergolak. “Ris ….” Tangannya melambai dengan panik.“Kenapa?”Cairan yang sama keluar lagi.“Astaga …!” Rissa panik, tangannya dengan cepat meraih baskom plastik yang disediakan di
Maura baru selesai menghabiskan potongan apel terakhirnya dengan susah payah ketika Evan masuk dengan raut datar. Dengan canggung, diusap bibirnya dengan tisu, hanya untuk mengurangi rasa gugup yang tiba-tiba menghampirinya. “Sendirian, Kak?” sapanya canggung. ‘Bodoh kamu, Ra. Jelas dia sendirian. Memangnya siapa yang akan datang bersamanya menjengukmu? Bodoh!’ Maura merutuki kebodohannya dalam hati. “Nggak, berdua sama kamu.” Sedetik kemudian, mereka berdua tersenyum malu menyadari kecanggungan yang terjadi. “Maafkan aku, Kak.” Maura memberanikan diri menatap Evan yang masih berdiri di dekat pintu kamar. “Jawab aku, Ra. Apa dia anakmu dengan kekasihmu?” Evan tidak berkedip menatap Maura, wanita yang selama tiga tahun terakhir dicintainya diam-diam. Maura menggeleng, matanya berkaca-kaca, terharu. Perasaan yang sudah lama tak lagi pernah dirasakannya. Ternyata, Evan masih peduli padanya. “Aku tidak punya kekasih.”
Rangga menerobos masuk ke dalam kamar Alina. Beruntung pemilik kamar sedang tidak ada, kalau tidak, wanita itu akan marah dan memukul Rangga. Pelanggaran teritorial, begitu dia menyebutnya.“Ma, Alina mana?”“Dia ada jadwal pemotretan untuk video klip terbarunya.”“Video klip? Tumben?”“Acara pergantian tahun di hotel kemarin itu, Alina ketemu dengan manajer Peterpena dan ditawari menjadi model video klip lagu terbaru mereka.”“Pantas ….” Rangga menggigit sepotong tempe goreng hangat yang baru saja Hanna sajikan. “Di mana lokasinya?”“Mana ya? Kok Mama lupa, padahal Alina tadi sempat bilang.”“Nanti biar Rangga sendiri yang tanya Alina. Rangga berangkat ke kantor dulu.” Rangga mencium tangan Hanna dan mengecup kedua pipinya.“Selamat pagi, Bos.” Reno menyapanya seraya membuka pintu mobil untuknya.“Kit
Armand Bagaskara kembali ke rumah besarnya dengan lesu dan kepala tertunduk. Soraya yang sengaja menunggu kepulangannya di ruang tamu, segera bergegas menghampirinya. “Pa, pulang makan malam bisnis, bukannya senang malah sedih begini. Kenapa?” Soraya mengelus lengan suaminya dan menggandengnya masuk. Dari desahan napas yang terdengar berat, Soraya tahu bahwa perjamuan kali ini tidak membawa hasil sesuai harapan. Pijatan lembut di bahu membuat Armand menoleh ke samping. “Tolong panggilkan Maura, Ma. Papa tunggu di ruang kerja.” Soraya segera naik ke lantai dua, menuju kamar Maura. Pintu sedikit terbuka, menandakan pemilik kamar belum tidur. “Ra, mama masuk ya?” “Ya, Ma. Masuk aja,” sahut Maura dari dalam. “Ra, Papa bilang mau bicara sama kamu. Papa tunggu di ruang kerja.” Maura yang sedang tengkurap dan memainkan ponselnya, segera berbalik dan duduk. “Tumben, Ma. Ada yang penting memangnya?” “Mama kurang ta
Selama hampir tiga bulan, Bayu bersembunyi hanya mengandalkan uang tunai yang Amelia berikan padanya. Kini persediaannya makin menipis, sedangkan Amelia tidak bisa dihubungi, Bayu mulai kebingungan. Lebih lagi, orang kepercayaannya memberi kabar kalau ada orang yang mencarinya ke kampung asalnya.“Kalau begini keadaannya, bisa mati kelaparan aku,” gerutunya sambil terus berusaha menghubungi Amelia.****Kelopak matanya begitu berat setelah semalam Maura tidak bisa tidur nyenyak. Benar kata papanya bahwa menemui Rangga bukan keputusan tepat. Maura turun ke bawah, bergabung dengan yang lain untuk sarapan.“Pagi.” Maura mengambil sepotong roti lapis dan memakannya dalam satu suapan besar.“Bagaimana perkembangan masalah hotel, Ra?”“Maaf, Maura tidak berhasil menemuinya kemarin.” Bohong adalah keputusan terbaik saat ini.“Papa lupa bilang padamu, dewan direksi sudah sepakat mengadakan
Aroma desinfektan dan cairan pembersih yang menyengat mengganggu penciuman Maura. Atap putih menyambut matanya yang segera terpejam rapat karena kepalanya kembali berdenyut.“Ish … di mana ini?”“Kamu di Rumah Sakit, Ra.” Sentuhan lembut di lengannya membuat Maura menoleh.“Ris, apa yang terjadi? Seingatku,”“Kamu pingsan setelah berteriak histeris dan kamu tahu, Rangga dengan sigap menggendongmu dan membawamu ke sini. Coba kamu bayangkan, sepuluh lantai plus lobi, apa gak pegel tuh? Menakjubkan!” Rissa begitu bersemangat menceritakan sikap heroik yang Rangga lakukan.“Cukup. Ocehanmu membuat telingaku berdenging!” sungutnya sembari menutup kupingnya.Rissa mencolek lengannya, menyeringai jenaka dan mengerjap. “Best couple ever.”“Diam!” Maura semakin marah.Pintu kamar terbuka, Armand masuk diikuti Rangga.“Rissa, b
“Kami mendapat telepon dari kantor sekretaris anda, memberitahukan bahwa anda akan melakukan konferensi pers tentang akuisisi Hotel Orion.” Salah satu reporter membuka suara.“Ya, benar. Maaf karena kalian harus jauh-jauh datang ke sini.”“Tidak masalah, Pak. Bapak adalah salah satu pebisnis sukses yang jarang bisa ditemui untuk wawancara, kami tersanjung menerima kesempatan ini.” Seorang reporter wanita menatap kagum ke arah Rangga.“Tentang akuisisi Orion, saya nyatakan dihentikan.”“Bisa anda berikan penjelasan mengapa dihentikan, Pak?”“Tujuan utama saya membeli dua puluh lima persen saham Orion adalah untuk mendapatkan cinta.” Rangga menyeringai merasakan Maura mencubit perutnya dengan keras.“Wah, siapa wanita beruntung itu, Pak? Boleh kami tahu?”“Maura Andromeda, putri pemilik Hotel Orion. Saham itu akan saya pakai sebagai mahar pernikaha
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s