Kediaman Danutirta
“Pagi, semua,” Alina menyapa semua yang sedang berada di meja makan.
“Pagi, Sayang, tumben udah rapi. Biasanya baru nanti agak siangan turunnya.” Hanna mengerling menggoda putrinya yang paling susah bangun pagi dan sarapan bersama mereka.
“Ih, Mama. Bisa, gak, sehari aja gak ngeledek?!” Alina menarik kursi di samping abangnya.
Cup!
“Ih, jorok banget, sih!” omel Rangga.
“Jorok dari mana coba? Mandi udah, gosok gigi udah, parfum udah. Sayang itu pipi dianggurin.” Senyum Alina mengembang melihat Rangga mengusap pipi bekas ciumannya dengan punggung tangan.
“Bukan sayang pipinya, itu bibir sudah lama gak nyium pipi cowok. Gatel jadinya.”
“Abang, sadis banget, sih.”
“Sudah, kalian ini tiap kali ketemu selalu saja ribut. Kalau jauhan bentar, kangen.” Hanna menghentikan perdebatan keduanya. “Al, kamu belum jawab Mama. Pagi begini udah rapi, mau ke mana?”
“Alina dapat undangan menghadiri perayaan tutup tahun di Hotel Orion, Mam. Mama mau ikut, gak? Ada banyak musisi tanah air, lho. Mulai yang generasi lama sampai yang lagi ngetop.” Alina mengambil sepotong roti dan mulai mengolesnya dengan selai cokelat.
“Kusminus ada?” Galih yang sedari tadi hanya menjadi penikmat obrolan pagi, akhirnya buka suara.
“Ada, dong, Pa. Kusminus, Peterpena, Trio Diva, banyak deh, penyanyi favorit Papa.”
“Oh, pantes kamu dateng, ada Peterpena. Sejak SMA kamu penggemar garis keras Peterpena. Tapi, serius mereka undang kamu? Jangan-jangan mau menyusup.”
“Enak aja. Abang kenapa, sih? Sirik banget. Bilang aja kalau minta diajak.” Alina menjulurkan lidahnya. “Pa, harusnya kita juga adakan acara seperti itu sekaligus promosi hunian baru daerah Serpong. Mantap itu.”
“Gak perlu promosi, sudah banyak yang berebut, antri ingin membeli,” sinis Rangga.
“Beli apa? Tiket komedi putar? Antri segala,” balas Alina.
“Sudah, sudah. Ayo, lanjutkan makannya. Rangga, setelah ini, Papa mau bicara.” Rangga mengangguk seraya menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
Raut muka Rangga berubah keruh ketika berada dalam ruang kerja Galih. Matanya bergerak cepat menekuri laporan tahunan yang dikirim salah satu karyawan bagian keuangan.
“Papa minta, kamu ke Semarang hari ini. Selesaikan semuanya dengan baik.”
Rangga masih diam.
“Papa tidak sampai hati melakukannya,” imbuh Galih dengan wajah sendu.
“Jadi, ini tugas rahasia yang Reno kerjakan untuk Papa, sampai Rangga tidak bisa menghubunginya?” Rangga menatap lurus papanya meminta penjelasan.
“Papa minta maaf. Papa tidak ingin kamu bertindak gegabah dan mengambil keputusan sepihak. Maka Papa minta Reno untuk menyelidiki secara tuntas sebelum Papa memberitahukannya padamu.”
“Rangga berangkat sore nanti. Masih ada rapat direksi yang harus Rangga hadiri.”
Dari jawaban putranya, Galih paham betul bahwa Rangga sedang menahan marah. Galih maju dan menepuk bahu Rangga yang berada di atasnya. “Papa minta tolong, selesaikan tanpa yang lain tahu. Om Wira itu teman Papa SMA.”
Amarah Rangga makin tersulut. Hampir dua bulan lalu, ia mengalami peristiwa yang belum bisa diselesaikan akibat ulah teman SMA-nya. Kini, giliran papanya yang mengalami kerugian hampir mencapai 2M, juga karena kelicikan teman SMA papanya.
“Rangga gak bisa janji, Pa.”
“Rangga, ini bukan murni kesalahan Om Wira. Papa yang terlalu percaya padanya dan lengah. Papa juga ikut andil dalam kejadian ini.”
Ucapan Galih seperti tamparan untuknya. ‘Papa benar, ini bukan murni kesalahan Bayu, tapi aku juga andil karena aku yang melakukannya pada gadis itu. Sial!’
“Rangga,”
“Oke, Rangga janji akan melakukannya sebaik dan seadil mungkin.” Rangga keluar dari ruangan papanya. Tangannya merogoh saku bagian dalam jasnya, mengambil ponsel.
“Ren, kenapa masih belum ada laporan masuk?!”
[Maaf, Bos. Saya sudah menemukan siapa gadis itu, tapi sebaiknya saya sampaikan saat kita bertemu.]
“Oke. Saya ke Semarang sore ini. Kita ketemu nanti malam.”
Reno sudah satu bulan berada di Semarang, menjalankan tugas rahasia dari Galih, bahkan Rangga sebagai pimpinannya tidak bisa menghubungi orang kepercayaannya itu.
****
Hall Hotel Orion
Hari berganti minggu. Malam pergantian tahun sebentar lagi tiba. Beberapa kamar sudah penuh oleh tamu undangan yang sedianya akan mengisi acara, memeriahkan momen pergantian tahun. Hampir semua karyawan hotel antusias melayani tamu dan tidak sabar menunggu puncak acara malam nanti.
Berbeda dengan Maura, sejak semalam badannya demam dan perutnya mual. Ditambah pagi ini, ia melewatkan sarapan karena telat bangun. ‘Kenapa akhir-akhir ini aku sering sial, ya? Tidak ada hal yang berjalan lancar seperti biasanya. Sejak malam itu, konsentrasiku sering buyar. Hhh,’ desahnya. Kantuk menghampirinya, sampai ketukan di pintu tidak terdengar.
Rissa melongokkan kepala, sedikit takjub melihat Maura memejamkan mata di kursinya dengan tangan masih memegang pena. Pasalnya, Maura bukan tipe orang yang mudah puas sebelum hasil akhir membuktikan kesuksesan. Rissa menduga, Maura sedang memikirkan sesuatu sambil memejamkan mata.
“Bu, semua sudah onset. Asal tahun barunya tidak ganti tanggal, maka semuanya beres.” Merasa diabaikan, Rissa melangkah lebih dekat lagi.
“Ra, Maura.” Rissa mengguncang bahu Maura pelan, tetapi kepala Maura tiba-tiba terkulai karena guncangan tadi. “Astaga, Maura! Ra …!”
Rissa meraih ponsel dalam sakunya dan segera menghubungi Yatno, sopir kantor. Tak lama, Yatno datang dengan membawa kursi roda yang tersedia di lobi.
“Bantu saya memindahkan Ibu ke kursi, Pak.”
Yatno mengangguk dan segera melaksanakan perintah Rissa. Dengan cekatan, Rissa menyelimuti tubuh Maura dan memakaikan topi agar tidak timbul spekulasi negatif, mengingat Maura adalah penanggungjawab acara malam ini.
“Pak, pastikan lift kosong.” Lagi-lagi Yatno mengangguk paham.
Sepuluh menit kemudian, mereka bertiga sudah ada dalam mobil.
“Tolong antarkan ke Rumah Sakit Sehati, Pak.” Rissa memeluk Maura sambil sesekali mengusap peluh yang terus mengalir di dahi Maura.
Begitu sampai di depan IGD, Rissa segera memanggil bantuan sambil tangannya sibuk menekan beberapa angka. “Kak, tolong aku.”
[Kamu di mana? Kenapa?] Suara bariton terdengar panik di seberang sana.
“Aku ada di bawah, IGD. Cepetan ke sini.”
“Keluarga pasien yang baru datang mana, ya?” Seorang suster berteriak, sepertinya mencari wali pasien baru.
“Kak, aku tunggu.” Rissa memutus sambungan dan segera berlari menemui suster yang sedang kebingungan mencari orang.
“Sus, maaf. Saya keluarga pasien yang baru masuk.”
“Silakan ikut saya, dokter ingin bicara.”
Rissa mengikuti langkah cepat suster di depannya. Sampai di sebuah bilik, Rissa melihat Maura sedang diperiksa oleh dokter.
“Maura kenapa, Dok?”
“Anda siapanya?” Wanita cantik dengan jas putih berpaling menatap Rissa.
“Saya sekretarisnya.”
“Sejak kapan pasien mengalami demam?”
“Saya kurang tahu pasti, tapi beberapa hari lalu Maura sempat mengeluh mudah lelah, pening, mual dan kadang demam.”
Dokter itu manggut-manggut mengerti. “Baik, kalau begitu kita kirim sampel darah ke laborat dulu. Saya curiga pasien menderita typhoid (tifus) dan dehidrasi.”
“Baik, Dok. Silakan lakukan semua yang dirasa perlu.”
Tirai kembali tersibak. “Rissa?”
“Dokter Evan.” Dokter muda tadi sedikit terkejut. “Kenal?”
Evan meraih bahu Rissa dalam pelukan. “Dia adik saya. Ada apa dengan temannya?”
“Saya curiga pasien terkena typhoid, jadi saya sarankan untuk cek lab.”
“Oke, lakukan saja.”
Dokter dan suster yang memeriksa Maura sudah menghilang di balik tirai, tersisa Rissa, Evan dan Maura yang masih tak sadarkan diri.
“Kak, apa ini berbahaya?”
“Kita tunggu saja hasil lab keluar. Kenapa bisa begini, sih?” Evan menatap Rissa tajam.
“Kamu tahu sendiri gimana Maura kalau sudah kerja, mungkin dia sering melewatkan jam makan.” Rissa duduk di samping ranjang Maura seraya menggenggam tangannya.
“Kamu sebagai sekretaris sekaligus teman dekatnya, kenapa bisa ikutan teledor?”
Rissa menoleh ke arah Evan. “Kak, aku sekretarisnya, bukan ibunya. Kamu sendiri, kenapa gak segera menyatakan perasaan padanya? Kalau ada kamu di sampingnya, tugasku jadi lebih ringan,” sungutnya marah.
“Engh ….” Maura mengerang sambil memegang kepalanya.
“Ra, kamu sudah sadar?”
“Kita di mana?”
“Rumah Sakit. Kamu pingsan, Ra.”
Maura berusaha untuk duduk dengan bantuan Rissa. “Aku pingsan?”
“Halo, Ra!” sapa Evan mengagetkan.
“Kak,” balasnya canggung.
“Kalian sudah mirip ABG yang ketahuan mencuri ciuman di halaman sekolah. Bersikaplah sewajarnya.”
Maura melebarkan matanya mendengar ocehan Rissa. Teringat tahun lalu, ketika Rissa merayakan ulang tahunnya hanya bertiga dengan Evan. Kemudian, pria tampan itu menyatakan cintanya pada Maura tanpa Rissa tahu dan belum dijawabnya sampai sekarang.
“Kenapa pipimu makin merona, Ra? Kamu demam lagi?” Rissa menyentuh dahi Maura. “Nggak, tuh.”
“Permisi!” Dokter tadi sudah kembali dengan selembar kertas di tangannya. “Sepertinya Anda harus dirawat beberapa hari, hasil pemeriksaan Widal Anda sangat tinggi dan juga Anda mengalami dehidrasi.”
“Ya, Dok. Saya setuju.” Maura terpaksa setuju untuk dirawat setelah melihat Rissa sedang melotot padanya.
“Ini kado akhir tahun dariku.” Rissa terkekeh. “Aku tinggal mengurus kamar dulu. Kak Evan akan menemanimu.”
Belum sempat Maura mengajukan keberatan, Rissa sudah menghilang di balik tirai.
“Ra, bagaimana kabarmu?” tanya Evan bego.
“Sakit, Kak,” sahut Maura seraya mengangkat tangan yang terpasang infus.
Mereka berdua tertawa canggung karena pertanyaan Evan yang aneh dan jawaban spontan Maura.
“Kak, maaf. Aku .…”
“Tidak perlu dibahas. Kita fokus pada kesembuhanmu dulu.”
Tiba-tiba saja, Maura menggeleng panik sembari menutup mulutnya. Namun, terlambat, Maura keburu menumpahkan isi perutnya.
****
“Maaf, aku sungguh minta maaf,” ucap Maura demi melihat snelli Evan terkena cairan lambungnya.“It’s okay,” jawab Evan setengah meringis. “Aku bersihkan dulu.”“Maaf.”“Lho, Kak. Mau ke mana?” Rissa bingung melihat Evan melangkah cepat melewatinya. “Kenapa lagi dia?” tanya Rissa yang hanya dijawab dengan gerakan bahu dan ekspresi canggung.“Aku sudah urus administrasinya, sebentar lagi kita pindah ke kamar.” Maura mengangguk. “Apa kamu sudah memberitahu orang rumah kalau kamu sakit?” Maura menggeleng.“Mereka tidak akan mencariku.” Maura kembali berbaring. Namun, perutnya kembali bergolak. “Ris ….” Tangannya melambai dengan panik.“Kenapa?”Cairan yang sama keluar lagi.“Astaga …!” Rissa panik, tangannya dengan cepat meraih baskom plastik yang disediakan di
Maura baru selesai menghabiskan potongan apel terakhirnya dengan susah payah ketika Evan masuk dengan raut datar. Dengan canggung, diusap bibirnya dengan tisu, hanya untuk mengurangi rasa gugup yang tiba-tiba menghampirinya. “Sendirian, Kak?” sapanya canggung. ‘Bodoh kamu, Ra. Jelas dia sendirian. Memangnya siapa yang akan datang bersamanya menjengukmu? Bodoh!’ Maura merutuki kebodohannya dalam hati. “Nggak, berdua sama kamu.” Sedetik kemudian, mereka berdua tersenyum malu menyadari kecanggungan yang terjadi. “Maafkan aku, Kak.” Maura memberanikan diri menatap Evan yang masih berdiri di dekat pintu kamar. “Jawab aku, Ra. Apa dia anakmu dengan kekasihmu?” Evan tidak berkedip menatap Maura, wanita yang selama tiga tahun terakhir dicintainya diam-diam. Maura menggeleng, matanya berkaca-kaca, terharu. Perasaan yang sudah lama tak lagi pernah dirasakannya. Ternyata, Evan masih peduli padanya. “Aku tidak punya kekasih.”
Rangga menerobos masuk ke dalam kamar Alina. Beruntung pemilik kamar sedang tidak ada, kalau tidak, wanita itu akan marah dan memukul Rangga. Pelanggaran teritorial, begitu dia menyebutnya.“Ma, Alina mana?”“Dia ada jadwal pemotretan untuk video klip terbarunya.”“Video klip? Tumben?”“Acara pergantian tahun di hotel kemarin itu, Alina ketemu dengan manajer Peterpena dan ditawari menjadi model video klip lagu terbaru mereka.”“Pantas ….” Rangga menggigit sepotong tempe goreng hangat yang baru saja Hanna sajikan. “Di mana lokasinya?”“Mana ya? Kok Mama lupa, padahal Alina tadi sempat bilang.”“Nanti biar Rangga sendiri yang tanya Alina. Rangga berangkat ke kantor dulu.” Rangga mencium tangan Hanna dan mengecup kedua pipinya.“Selamat pagi, Bos.” Reno menyapanya seraya membuka pintu mobil untuknya.“Kit
Armand Bagaskara kembali ke rumah besarnya dengan lesu dan kepala tertunduk. Soraya yang sengaja menunggu kepulangannya di ruang tamu, segera bergegas menghampirinya. “Pa, pulang makan malam bisnis, bukannya senang malah sedih begini. Kenapa?” Soraya mengelus lengan suaminya dan menggandengnya masuk. Dari desahan napas yang terdengar berat, Soraya tahu bahwa perjamuan kali ini tidak membawa hasil sesuai harapan. Pijatan lembut di bahu membuat Armand menoleh ke samping. “Tolong panggilkan Maura, Ma. Papa tunggu di ruang kerja.” Soraya segera naik ke lantai dua, menuju kamar Maura. Pintu sedikit terbuka, menandakan pemilik kamar belum tidur. “Ra, mama masuk ya?” “Ya, Ma. Masuk aja,” sahut Maura dari dalam. “Ra, Papa bilang mau bicara sama kamu. Papa tunggu di ruang kerja.” Maura yang sedang tengkurap dan memainkan ponselnya, segera berbalik dan duduk. “Tumben, Ma. Ada yang penting memangnya?” “Mama kurang ta
Selama hampir tiga bulan, Bayu bersembunyi hanya mengandalkan uang tunai yang Amelia berikan padanya. Kini persediaannya makin menipis, sedangkan Amelia tidak bisa dihubungi, Bayu mulai kebingungan. Lebih lagi, orang kepercayaannya memberi kabar kalau ada orang yang mencarinya ke kampung asalnya.“Kalau begini keadaannya, bisa mati kelaparan aku,” gerutunya sambil terus berusaha menghubungi Amelia.****Kelopak matanya begitu berat setelah semalam Maura tidak bisa tidur nyenyak. Benar kata papanya bahwa menemui Rangga bukan keputusan tepat. Maura turun ke bawah, bergabung dengan yang lain untuk sarapan.“Pagi.” Maura mengambil sepotong roti lapis dan memakannya dalam satu suapan besar.“Bagaimana perkembangan masalah hotel, Ra?”“Maaf, Maura tidak berhasil menemuinya kemarin.” Bohong adalah keputusan terbaik saat ini.“Papa lupa bilang padamu, dewan direksi sudah sepakat mengadakan
Aroma desinfektan dan cairan pembersih yang menyengat mengganggu penciuman Maura. Atap putih menyambut matanya yang segera terpejam rapat karena kepalanya kembali berdenyut.“Ish … di mana ini?”“Kamu di Rumah Sakit, Ra.” Sentuhan lembut di lengannya membuat Maura menoleh.“Ris, apa yang terjadi? Seingatku,”“Kamu pingsan setelah berteriak histeris dan kamu tahu, Rangga dengan sigap menggendongmu dan membawamu ke sini. Coba kamu bayangkan, sepuluh lantai plus lobi, apa gak pegel tuh? Menakjubkan!” Rissa begitu bersemangat menceritakan sikap heroik yang Rangga lakukan.“Cukup. Ocehanmu membuat telingaku berdenging!” sungutnya sembari menutup kupingnya.Rissa mencolek lengannya, menyeringai jenaka dan mengerjap. “Best couple ever.”“Diam!” Maura semakin marah.Pintu kamar terbuka, Armand masuk diikuti Rangga.“Rissa, b
“Kami mendapat telepon dari kantor sekretaris anda, memberitahukan bahwa anda akan melakukan konferensi pers tentang akuisisi Hotel Orion.” Salah satu reporter membuka suara.“Ya, benar. Maaf karena kalian harus jauh-jauh datang ke sini.”“Tidak masalah, Pak. Bapak adalah salah satu pebisnis sukses yang jarang bisa ditemui untuk wawancara, kami tersanjung menerima kesempatan ini.” Seorang reporter wanita menatap kagum ke arah Rangga.“Tentang akuisisi Orion, saya nyatakan dihentikan.”“Bisa anda berikan penjelasan mengapa dihentikan, Pak?”“Tujuan utama saya membeli dua puluh lima persen saham Orion adalah untuk mendapatkan cinta.” Rangga menyeringai merasakan Maura mencubit perutnya dengan keras.“Wah, siapa wanita beruntung itu, Pak? Boleh kami tahu?”“Maura Andromeda, putri pemilik Hotel Orion. Saham itu akan saya pakai sebagai mahar pernikaha
Bayu rela berganti kendaraan umum melintasi kota demi melakukan penarikan tunai di sebuah bank. Uang di tangan sudah menipis. Dia harus mengambil resiko tertangkap kalau tidak ingin mati kelaparan. Pesannya melalui kotak masuk sebuah sosial media milik Amelia, belum juga mendapat respon.“Kamu pikir, setelah mengirimku ke tempat terpencil begini, aku akan berhenti mengganggumu? Cih, selama uang yang aku minta belum kamu kirimkan, aku akan terus mengirim pesan padamu,” gerutunya pada layar ponsel.Di tempat berbeda, Amelia juga sedang memutar otak bagaimana cara mendapatkan uang yang Bayu minta. Sejak kejadian beberapa waktu lalu, praktis Amelia tidak diberikan mengakses keuangan hotel. Hanya menerima gaji sesuai dengan yang tercantum dalam kontrak kerja.“Kalau aku tidak bisa mendapatkan uangnya, aku khawatir Bayu akan muncul dan buka mulut. Habis aku.”Amel keluar kamar dan mencari Soraya. Hanya mamanya yang bisa menolongnya sekar
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s