“Maaf, aku sungguh minta maaf,” ucap Maura demi melihat snelli Evan terkena cairan lambungnya.
“It’s okay,” jawab Evan setengah meringis. “Aku bersihkan dulu.”
“Maaf.”
“Lho, Kak. Mau ke mana?” Rissa bingung melihat Evan melangkah cepat melewatinya. “Kenapa lagi dia?” tanya Rissa yang hanya dijawab dengan gerakan bahu dan ekspresi canggung.
“Aku sudah urus administrasinya, sebentar lagi kita pindah ke kamar.” Maura mengangguk. “Apa kamu sudah memberitahu orang rumah kalau kamu sakit?” Maura menggeleng.
“Mereka tidak akan mencariku.” Maura kembali berbaring. Namun, perutnya kembali bergolak. “Ris ….” Tangannya melambai dengan panik.
“Kenapa?”
Cairan yang sama keluar lagi.
“Astaga …!” Rissa panik, tangannya dengan cepat meraih baskom plastik yang disediakan di bawah ranjang. “Sini.” Rissa membantu Maura memijit tengkuknya.
“Hhh … apa sakitku parah?” tanya Maura lemas.
“Tunggu, aku panggilkan dokter. Mungkin ada obat untuk mengurangi mual.”
Sepeninggal Rissa, Maura mulai berpikir tentang hal lain. Sudah dua bulan ini siklus haidnya terlambat datang.
‘Apa mungkin …?’
“Kenapa? Muntah, ya? Ini saya masukkan obat lewat infus, ya.” Seorang suster berperawakan subur menjelaskan.
“Tunggu.” Maura mencegah tangan suster. “Saya takut disuntik, Sus. Bisa tidak tunggu sebentar?”
Walau keberatan, suster itu tetap mengangguk dan memaksa tersenyum. “Panggil saya kalau anda sudah siap.”
“Kenapa?” bisik Rissa.
“Tolong panggilkan Kak Evan, please,” pinta Maura memelas.
“Oke, oke. Aku panggilkan.”
Sepuluh menit kemudian, Evan dsudah berdiri di samping Maura. “Kenapa, Ra?”
Maura melambai, meminta Evan mendekat padanya. “Kak, tolong aku. Sepertinya aku hamil.”
Evan tersentak dengan mata lebar. “Apa maksudmu?”
“Aku akan ceritakan nanti, tapi tolong bantu aku memastikannya.”
Evan bergeming. Kepalanya berdenyut mendengar penuturan Maura. Wanita yang dicintainya, yang bahkan belum menjawab ungkapan cintanya, sekarang berkata padanya bahwa dirinya kemungkinan sedang hamil.
“Kak, kok malah bengong?” Rissa yang baru kembali, menyikut rusuk Evan sedikit keras membuat pria itu meringis kesakitan.
“Nanti, setelah kamu dipindahkan, aku akan membawa alatku ke kamarmu.” Evan berbalik pergi setelah berkata demikian.
“Astaga, sebenarnya kalian ini kenapa, sih?”
Keduanya hanya diam, tidak berniat menjawab pertanyaan Rissa. Dan ketika Evan kembali ke kamar Maura dengan membawa USG portable, mata Rissa membulat sempurna.
“Jangan bilang, kalau sejak tadi kamu muntah itu bukan karena sakit, tapi karena hamil.”
Maura hanya diam. Bahkan ketika Evan menyibak kemeja bagian perutnya ke atas dan memberi perut ratanya gel dingin, Maura tetap diam. Tapi, begitu di layar kecil hitam muncul gambar sesuatu yang bulat sedang sibuk berenang dan menendang, disertai bunyi berisik mirip detak jantungnya, airmata Maura tumpah.
“Astaga, apa itu bayi?” Rissa yang pertama kali membuka suara. “Dia sangat lucu,” Suaranya tercekat. “Ra, ini luar biasa. Dia bergerak ….” Rissa makin takjub.
Evan buru-buru menyudahi pemeriksaannya. “Sepuluh minggu,” ujarnya singkat dengan wajah keruh. “Aku harus kembali bekerja,” pamitnya.
Rissa hanya bisa bengong melihat sikap Evan yang berubah dingin, sedangkan Maura masih terisak sambil memalingkan wajahnya.
“Kalian ini sebenarnya kenapa, sih?!” Rissa tak tahan lagi melihat keanehan abang dan sahabatnya.
Bukannya menjawab, Evan malah pergi meninggalkan Maura dan Rissa.
“Ra,”
Rissa duduk di tepian ranjang, bingung harus bersikap. Maura bangkit dengan cepat dan memeluknya erat, melanjutkan tangisnya tanpa suara. Ketika mulai tenang, Maura mengendurkan pelukannya dan menyusut hidungnya.
“Jadi yang kamu ceritakan beberapa waktu lalu, itu benar terjadi? Tentang café, Amelia dan tertidur dalam pelukan pria asing?” Maura mengangguk. “Lalu, Evan?” Rissa menautkan kedua alisnya.
“Evan kecewa padaku.”
“Ayolah, jangan membuatku semakin tersiksa karena penasaran.”
“Saat kita bertiga merayakan ulang tahunku di tempatmu, Evan menyatakan perasaannya, namun aku belum menjawabnya hingga hari ini. Sikap apa yang menurutmu tepat selain marah dan kecewa, melihatku sekarang hamil?”
“Wah, kalian memang sesuatu. Evan tidak punya daya juang, sedangkan kamu tidak punya perasaan.”
“Maaf.”
“Lupakan tentang Evan, pria seharusnya tidak mudah menyerah. Lalu, tentang bayi ini, apa kamu tahu siapa pria itu?”
Maura menggeleng. “Aku bahkan tidak ingin mencari tahu siapa pria itu. Aku hanya ingin membuktikan bahwa semua ini adalah ulah Amel.”
“Lalu bagaimana dengan bayi ini?” Maura mengendikkan bahu tak mengerti. “Kamu tidak bisa membiarkannya begitu saja, semua orang akan tahu ketika dia mulai menyembul dari perutmu.”
“Aku akan membuatnya tidak sampai menyembul dan terlihat.”
****
Bandara Semarang
“Selamat datang, Bos,” sapa Reno begitu melihat pria tegap melangkah mendekat.
“Aku benar-benar tidak mengerti tentangmu.” Rangga mengibaskan jas dan berkacak pinggang dengan anggun. “Aku yang membayar gaji dan bonusmu, bisa-bisanya kau bekerja untuk ayahku tanpa memberitahuku,” sungutnya.
Sejak masuk ke dalam pesawat yang membawanya ke Semarang, Rangga menahan emosinya sekuat tenaga. Marah karena ternyata Reno sudah berhasil mengetahui identitas gadis misteriusnya sejak bulan lalu, marah karena Reno menghilang tanpa kabar dan terahir, Rangga marah karena malam akhir tahunnya harus dia habiskan berdua bersama Reno di Semarang.
“Maafkan saya, Bos.” Reno setengah membungkuk.
“Aku benar-benar marah padamu.” Tangan kanannya mengepal mengarah lurus ke arah Reno. “Ayo, kita pergi.”
Reno segera membuka pintu mobil dan masuk ke belakang kemudi. “Bos, tentang gadis misterius itu, dia adalah salah satu orang penting di Hotel Orion. Menurut penyelidikan Potter, dia adalah putri pemilik hotel,” lapor Reno sembari mengarahkan mobilnya ke tengah lalu lintas yang padat.
“Apa katamu?! Hotel Orion?!” Rangga memajukan duduknya.
“Ya benar, Hotel Orion.”
Dug!
Rangga meninju bagian belakang sandaran kepala Reno. “Kau benar-benar sialan, Ren!”
Reno hanya bisa menggumamkan kata maaf melihat kemarahan Rangga, walau tidak sepenuhnya mengerti alasan kemarahan bosnya. Begitu sampai di kamar hotelnya, Rangga segera membaca semua laporan yang Reno susun berdasarkan hasil penyelidikannya selama satu bulan.
“Besok, begitu matahari terbit, kita temui Om Wira.” Rangga masuk ke dalam kamarnya dan melemparkan tubuhnya ke ranjang. “Hotel Orion. Tunggu aku, Nona.” Matanya mulai terpejam.
Pagi hari, hari pertama di awal tahun, Rangga mengadakan rapat darurat dewan direksi, membahas tentang pemecatan Wira Sentanu sebagai CEO anak perusahaan GD Grup yang bergerak di bidang furnitur. Mengatur tentang pemberian biaya hidup dan pendidikan untuk keluarganya, serta mengurus masalah hukum yang ditimbulkannya.
“Kita kembali ke Jakarta sekarang,” ucap Rangga tepat pukul sembilan malam.
Reno hanya diam, tangannya sibuk mencari tiket pesawat melalui ponsel pintarnya. “Bos,”
“Aku tidak mau dengar kegagalan.”
“Hanya tersisa kelas ekonomi untuk malam ini. Atau kita berangkat besok dengan penerbangan pertama?” tawar Reno.
“Kita pulang malam ini.” Rangga menatap asistennya dengan tatapan tajam yang bisa mengoyak daging.
“Baik, Bos.”
Jakarta
Tepat pukul satu dini hari, Rangga merebahkan tubuh penatnya di atas ranjang penthouse mewahnya. Ranjang yang selalu membuatnya terjaga karena aroma yang tersisa dari kejadian dua bulan lalu.
“Dasar Reno sialan!” Rangga memukul tempat kosong di sampingnya. “Kenapa pagi begitu lama?” Rangga berguling ke kiri, mengelus sprei dingin dengan lengannya. “Aku akan melihatmu pagi ini, Nona,” gumamnya dengan mata terpejam.
****
“Ra, aku harus ke kantor. Aku usahakan secepatnya kembali.”
“Tenang saja, aku akan baik-baik saja.”
“Jangan melakukan hal-hal bodoh selama aku pergi. Aku akan minta Evan,”
“Tidak, sebaiknya jangan. Aku tidak ingin semakin melukainya,” lirih Maura dengan wajah tertunduk.
Rissa merangkul bahu Maura. “Hei, kenapa jadi melow begini? Bukankah Maura yang aku kenal sangat realistis?”
Maura tersenyum kecut.
“Oke, aku tinggal dulu.” Rissa meraih tasnya dan keluar.
Sesampainya di ruangan Maura, Rissa segera memeriksa beberapa dokumen terkait laporan kegiatan tutup tahun dua hari lalu. Selesai dengan itu semua, Rissa duduk di kursi Maura dan bersandar. Dalam kondisi tenang begini, otaknya mulai mencerna peristiwa yang terjadi dengan cepat dua hari ini.
Kehamilan Maura, sikap Evan dan keputusan Maura tentang bayinya.
“Apa yang harus aku lakukan?”
Suara gaduh di depan pintu membuatnya mendongak.
“Maaf, Bu Maura sedang tidak berada di tempat.”
“Minggir!” suara pria sedang membentak begitu lantang terdengar.
Brakk!
“Bu, maaf.” Stella menunduk ketika pintu ruangan terbuka.
“Tidak apa-apa. Kembalilah ke tempatmu.” Rissa bangkit dari kursi dan melangkah menghampiri tamunya. ‘Siapa pria ini? Seperti tidak asing.’
Begitu Stella menutup pintu, pria itu melangkah cepat menghampiri Rissa dan mencekal lengannya dengan kasar. “Katakan. Di mana Maura?!”
“Lepaskan. Anda menyakiti lengan saya.”
“Jawab pertanyaanku!” bentak Rangga
“Lepaskan tanganmu, Tuan!” Rissa menghentak lengannya dengan keras hingga terlepas. “Jaga sikap anda.”
“Di mana Maura?!”
“Beliau sedang tidak berada di tempat. Siapa anda? Saya akan sampaikan pada Bu Maura tentang kedatangan anda.”
“Tidak perlu. Aku bisa mencarinya sendiri.”
Rangga berbalik, bermaksud akan keluar ketika pintu ruangan kembali terbuka. Menyuguhkan sosok molek berbaluk kain kurang bahan di beberapa tempat.
“Oh, ada tamu rupanya. Selamat pagi,” sapa Amelia dengan suara mendayu. Matanya beralih menatap Rissa. “Sikapmu buruk sekali dalam menyambut tamu, Nona,” sinisnya.
“Maaf.”
“Silakan duduk, Tuan Tampan. Anda bisa menyampaikan keperluan anda sambil kita obrolkan perlahan. Adik saya sudah dua hari tidak pulang ke rumah, jadi saya yang mewakilinya.”
Rangga kembali berbalik. “Ke mana dia?”
“Mungkin sedang menghabiskan malam panjang bersama kekasihnya. Penghujung dan awal tahun adalah momen tepat bersama orang terkasih, bukan?”
“Kalau begitu, tidak ada alasan bagi saya untuk tinggal lebih lama.” Rangga berbalik dan benar-benar pergi kali ini.
Amelia menoleh ke arah Rissa. “Siapa dia? Apa hubungannya dengan Maura? Salah satu klien?”
“Maaf, saya kurang tahu. Saya permisi.”
“Hei!” Amel menghadang jalan Rissa. “Maura sangat beruntung memiliki pengikut setia sepertimu.”
Rissa tersenyum sekilas. “Terima kasih. Saya tersanjung karena pujian anda.”
Amel mendecih marah karena Rissa bahkan tidak terpancing untuk membuka mulut. “Ke mana gadis itu? Sudah dua hari tidak pulang. Di kantor juga tidak ada,” gumamnya sambil melihat Rissa menutup pintu.
Ketika sosok wanita yang ditunggunya keluar dari lobi hotel dan masuk ke dalam sebuah mobil, Rangga tidak membuang kesempatan, memacu mobilnya mengikuti mobil hitam di depannya.
“Aku tidak akan kehilanganmu lagi, Maura.”
****
Maura baru selesai menghabiskan potongan apel terakhirnya dengan susah payah ketika Evan masuk dengan raut datar. Dengan canggung, diusap bibirnya dengan tisu, hanya untuk mengurangi rasa gugup yang tiba-tiba menghampirinya. “Sendirian, Kak?” sapanya canggung. ‘Bodoh kamu, Ra. Jelas dia sendirian. Memangnya siapa yang akan datang bersamanya menjengukmu? Bodoh!’ Maura merutuki kebodohannya dalam hati. “Nggak, berdua sama kamu.” Sedetik kemudian, mereka berdua tersenyum malu menyadari kecanggungan yang terjadi. “Maafkan aku, Kak.” Maura memberanikan diri menatap Evan yang masih berdiri di dekat pintu kamar. “Jawab aku, Ra. Apa dia anakmu dengan kekasihmu?” Evan tidak berkedip menatap Maura, wanita yang selama tiga tahun terakhir dicintainya diam-diam. Maura menggeleng, matanya berkaca-kaca, terharu. Perasaan yang sudah lama tak lagi pernah dirasakannya. Ternyata, Evan masih peduli padanya. “Aku tidak punya kekasih.”
Rangga menerobos masuk ke dalam kamar Alina. Beruntung pemilik kamar sedang tidak ada, kalau tidak, wanita itu akan marah dan memukul Rangga. Pelanggaran teritorial, begitu dia menyebutnya.“Ma, Alina mana?”“Dia ada jadwal pemotretan untuk video klip terbarunya.”“Video klip? Tumben?”“Acara pergantian tahun di hotel kemarin itu, Alina ketemu dengan manajer Peterpena dan ditawari menjadi model video klip lagu terbaru mereka.”“Pantas ….” Rangga menggigit sepotong tempe goreng hangat yang baru saja Hanna sajikan. “Di mana lokasinya?”“Mana ya? Kok Mama lupa, padahal Alina tadi sempat bilang.”“Nanti biar Rangga sendiri yang tanya Alina. Rangga berangkat ke kantor dulu.” Rangga mencium tangan Hanna dan mengecup kedua pipinya.“Selamat pagi, Bos.” Reno menyapanya seraya membuka pintu mobil untuknya.“Kit
Armand Bagaskara kembali ke rumah besarnya dengan lesu dan kepala tertunduk. Soraya yang sengaja menunggu kepulangannya di ruang tamu, segera bergegas menghampirinya. “Pa, pulang makan malam bisnis, bukannya senang malah sedih begini. Kenapa?” Soraya mengelus lengan suaminya dan menggandengnya masuk. Dari desahan napas yang terdengar berat, Soraya tahu bahwa perjamuan kali ini tidak membawa hasil sesuai harapan. Pijatan lembut di bahu membuat Armand menoleh ke samping. “Tolong panggilkan Maura, Ma. Papa tunggu di ruang kerja.” Soraya segera naik ke lantai dua, menuju kamar Maura. Pintu sedikit terbuka, menandakan pemilik kamar belum tidur. “Ra, mama masuk ya?” “Ya, Ma. Masuk aja,” sahut Maura dari dalam. “Ra, Papa bilang mau bicara sama kamu. Papa tunggu di ruang kerja.” Maura yang sedang tengkurap dan memainkan ponselnya, segera berbalik dan duduk. “Tumben, Ma. Ada yang penting memangnya?” “Mama kurang ta
Selama hampir tiga bulan, Bayu bersembunyi hanya mengandalkan uang tunai yang Amelia berikan padanya. Kini persediaannya makin menipis, sedangkan Amelia tidak bisa dihubungi, Bayu mulai kebingungan. Lebih lagi, orang kepercayaannya memberi kabar kalau ada orang yang mencarinya ke kampung asalnya.“Kalau begini keadaannya, bisa mati kelaparan aku,” gerutunya sambil terus berusaha menghubungi Amelia.****Kelopak matanya begitu berat setelah semalam Maura tidak bisa tidur nyenyak. Benar kata papanya bahwa menemui Rangga bukan keputusan tepat. Maura turun ke bawah, bergabung dengan yang lain untuk sarapan.“Pagi.” Maura mengambil sepotong roti lapis dan memakannya dalam satu suapan besar.“Bagaimana perkembangan masalah hotel, Ra?”“Maaf, Maura tidak berhasil menemuinya kemarin.” Bohong adalah keputusan terbaik saat ini.“Papa lupa bilang padamu, dewan direksi sudah sepakat mengadakan
Aroma desinfektan dan cairan pembersih yang menyengat mengganggu penciuman Maura. Atap putih menyambut matanya yang segera terpejam rapat karena kepalanya kembali berdenyut.“Ish … di mana ini?”“Kamu di Rumah Sakit, Ra.” Sentuhan lembut di lengannya membuat Maura menoleh.“Ris, apa yang terjadi? Seingatku,”“Kamu pingsan setelah berteriak histeris dan kamu tahu, Rangga dengan sigap menggendongmu dan membawamu ke sini. Coba kamu bayangkan, sepuluh lantai plus lobi, apa gak pegel tuh? Menakjubkan!” Rissa begitu bersemangat menceritakan sikap heroik yang Rangga lakukan.“Cukup. Ocehanmu membuat telingaku berdenging!” sungutnya sembari menutup kupingnya.Rissa mencolek lengannya, menyeringai jenaka dan mengerjap. “Best couple ever.”“Diam!” Maura semakin marah.Pintu kamar terbuka, Armand masuk diikuti Rangga.“Rissa, b
“Kami mendapat telepon dari kantor sekretaris anda, memberitahukan bahwa anda akan melakukan konferensi pers tentang akuisisi Hotel Orion.” Salah satu reporter membuka suara.“Ya, benar. Maaf karena kalian harus jauh-jauh datang ke sini.”“Tidak masalah, Pak. Bapak adalah salah satu pebisnis sukses yang jarang bisa ditemui untuk wawancara, kami tersanjung menerima kesempatan ini.” Seorang reporter wanita menatap kagum ke arah Rangga.“Tentang akuisisi Orion, saya nyatakan dihentikan.”“Bisa anda berikan penjelasan mengapa dihentikan, Pak?”“Tujuan utama saya membeli dua puluh lima persen saham Orion adalah untuk mendapatkan cinta.” Rangga menyeringai merasakan Maura mencubit perutnya dengan keras.“Wah, siapa wanita beruntung itu, Pak? Boleh kami tahu?”“Maura Andromeda, putri pemilik Hotel Orion. Saham itu akan saya pakai sebagai mahar pernikaha
Bayu rela berganti kendaraan umum melintasi kota demi melakukan penarikan tunai di sebuah bank. Uang di tangan sudah menipis. Dia harus mengambil resiko tertangkap kalau tidak ingin mati kelaparan. Pesannya melalui kotak masuk sebuah sosial media milik Amelia, belum juga mendapat respon.“Kamu pikir, setelah mengirimku ke tempat terpencil begini, aku akan berhenti mengganggumu? Cih, selama uang yang aku minta belum kamu kirimkan, aku akan terus mengirim pesan padamu,” gerutunya pada layar ponsel.Di tempat berbeda, Amelia juga sedang memutar otak bagaimana cara mendapatkan uang yang Bayu minta. Sejak kejadian beberapa waktu lalu, praktis Amelia tidak diberikan mengakses keuangan hotel. Hanya menerima gaji sesuai dengan yang tercantum dalam kontrak kerja.“Kalau aku tidak bisa mendapatkan uangnya, aku khawatir Bayu akan muncul dan buka mulut. Habis aku.”Amel keluar kamar dan mencari Soraya. Hanya mamanya yang bisa menolongnya sekar
“Aku mau bicara, Ra. Kamu ada waktu?” ‘Astaga, Kak! Kamu sedang menggali kuburmu sendiri.’ Kali ini mulut Rissa ikut bergerak mengisyaratkan bahaya, tapi Evan melangkah makin dekat dengan percaya diri. “Kebetulan.” Maura menatap Rissa, melemparkan senyum lebar ala badut Ancol yang berhasil membuat Rissa tercengang. “Tolong tinggalkan kami berdua,” imbuhnya dengan tatapan tegas mengarah pada sekretaris andalannya yang masih diam. Rissa mengangguk cepat, menepuk bahu Evan dua kali ketika melewatinya. “Tabahkan hatimu,” bisiknya. Evan hanya tersenyum tanpa tahu maksud perkataan adiknya. Sepeninggal Rissa, Maura mempersilakan Evan duduk di sofa, berhadapan dengan tempatnya duduk. “Silakan bicara.” ‘Kenapa Maura bersikap formal? Apa karena ini di kantor?’ Evan berusaha menebak sambil mendaratkan pantatnya di kursi. “Apa Rissa sudah memberitahumu tentang solusi yang aku punya?” “Belum. Solusi tentang apa?” “Semalam, a
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s