“Sayang, kok diam di sini? Yuk, kita ke bawah!” Armand mengulurkan tangan kanannya ke arah gadis kecil berambut ikal dengan ekor kuda yang sedang meringkuk di atas ranjang, memeluk boneka panda yang ukurannya lebih besar dari tubuhnya.
Gadis itu hanya menggeleng tanpa suara.
Armand mendudukkan diri di tepi ranjang seraya mengusap kepala Maura—putri semata wayangnya. “Ada Kak Amel mau ketemu Maura. Yuk!”
“Pa! Apa benar mama Kak Amel mau jadi mamanya Maura?” tanya Maura polos.
Armand tersenyum memandang putrinya lembut. “Apa Maura keberatan?”
“Apa boleh Maura keberatan?”
Armand mengangkat Maura dalam pangkuannya. “Boleh Papa tahu alasannya?”
“Maura gak mau punya mama baru, Pa. Maura gak mau Papa sayang sama orang lain selain Maura dan Mama.”
“Sayang! Papa janji tidak akan mengurangi sayang Papa ke Maura.” Armand mengulurkan jari kelingkingnya sebagaimana biasa.
“Benarkah? Maura akan sangat sedih kalau papa tidak menepati janji.”
Armand mengangguk sungguh-sungguh, membuat Maura kecil luluh dan ikut turun menemui calon keluarga barunya.
Namun, semua itu hanya janji di bibir yang tak mungkin ditepati sepenuhnya. Armand hanya manusia biasa yang harus membagi perhatiannya pada keluarga barunya, walau tidak sepenuhnya perhatiannya pada Maura berkurang.
Bulan pertama mereka resmi menjadi keluarga, Amelia bersikap begitu manis sebagai seorang kakak. Setiap tindakannya selalu mendahulukan Maura, selalu mengalah dan bersikap melindungi.
Pernah suatu kali, mereka bermain berdua di taman dekat rumah. Datang dua bocah laki-laki. Membawa bola sepak di tangan. Salah seorang dari mereka sengaja menendang bola dengan keras ke arah Maura. Beruntung Amel cekatan, dengan sigap menghalau bola menggunakan tubuhnya.
“Kak!” Maura kecil berteriak histeris sambil menangis melihat tubuh Amel tumbang. Dua kaki kecilnya berlari menghampiri.
“Aku gak papa, Ra. Jangan nangis, nanti cantiknya hilang!” ucap Amel sambil mengusap darah dari hidungnya dan memaksakan bibirnya tersenyum.
“Kakak, maafkan Maura, ya. Hidungnya. Jadi berdarah.” Maura menatap marah ke arah dua bocah gembul yang lari terbirit meninggalkan mereka.
“Iya, gak papa. Ayo, kita pulang.”
Sesampainya di rumah
“Astaga! Kenapa ini, Mel?”
Soraya melemparkan selang air yang sedang dipakainya menyiram tanaman ke sembarang arah, begitu melihat Amel pulang dengan hidung dan pakaian depannya penuh darah.
“Kak Amel kena bola, Ma.”
“Kalian main bola?” tanya Soraya sambil menarik Amel mendekat. “Pasti kamu yang aneh-aneh!”
“Bukan, Ma. Bukan kita yang main bola. Mereka yang menendang bola keras-keras. Pas bolanya mau kena Maura, Kakak maju ke depan, terus mukanya kena bola,” jelas Maura.
“Kamu gak papa, Nak?” Soraya beralih pada Maura, mencermati wajah dan tubuh anak tirinya.
Maura merasa sedikit risih dengan perhatian Soraya padanya. Amel yang terluka, tetapi Soraya lebih peduli pada keselamatannya.
“Maura gak papa. Permisi, Maura mau ke kamar.”
Saat menaiki tangga, samar Maura dengar Soraya menegur Amel karena mengajaknya bermain keluar tanpa pengawasan. Sehingga menyebabkannya hampir terluka.
“Ma! Yang luka itu Amel bukan Maura. Kenapa Mama marahnya ke Amel? Bukan Amel yang menendang bolanya!” Begitu protes Amel yang sempat Maura dengar.
Di lain waktu, saat mereka duduk di bangku menengah pertama, Maura memaksa Amel untuk mengajarinya mengendarai sepeda. Karena terlalu semangat dan kurang hati-hati, Maura jatuh dari sepeda. Lutut dan sikunya terluka cukup lebar. Hingga tiga hari berikutnya, Maura terpaksa diam di rumah dan tidak pergi ke sekolah.
Armand memaklumi apa yang telah terjadi, tidak menyalahkan Amelia atau menegur Maura. Karena menurutnya, wajar bila terjatuh dan luka saat mengendarai sepeda.
“Kalau tidak mau terluka, maka diam saja di rumah. Tidak perlu naik sepeda atau pergi ke sekolah,” jawab Armand ketika Soraya menceritakan kejadian sore itu.
Ketika itu, Amel mengunci diri di dalam kamar, setelah Soraya memarahinya karena ceroboh saat menemani Maura bermain sepeda. Lagi-lagi Maura merasa Soraya terlalu berlebihan dalam memperlakukannya. Terkesan berat sebelah.
“Kak, maafkan aku! Gara-gara aku tidak hati-hati, Mama jadi marah sama Kak Amel.”
Biasanya, Amel akan segera bangkit dan memeluknya, memberinya tepukan menenangkan di punggung atau senyuman manis yang berarti dia sudah memaafkan Maura. Namun, kali ini, Amel tidak menanggapi perkataan Maura, melihat saja tidak. Hubungan mereka yang makin renggang, berimbas pada jadwal belajar yang biasanya mereka lakukan bersama. Sehingga Amel sempat satu kali tinggal kelas dan menjadi setingkat dengan Maura.
Puncaknya adalah ketika Maura berhasil meraih juara umum pada ujian nasional tingkat SMA se-Indonesia. Maura mendapatkan nilai sempurna pada semua mata pelajaran yang diujikan saat itu. Soraya benar-benar marah dan malu karena Amelia nyaris tidak lulus karena nilainya berada di garis demarkasi antara lulus dan tidak. Bukan karena Amelia bodoh, tetapi masa itu, Amel lebih fokus pacaran ketimbang pelajaran.
“Kamu ... lihat adikmu! Dia rajin belajar, makanya bisa membanggakan orang tuanya. Beda lagi denganmu, pacaran aja kerjanya. Untung Papa salah satu penyandang dana sekolah! Jadi, bisa mengusahakan supaya kamu bisa lulus. Bagaimana kalau tidak?”
“Terus saja Mama banggakan Maura. Ma! Yang anak kandung Mama itu Amel, lho. Bukannya menghibur Amel, Mama malah membanggakan Maura. Apa sih, yang Mama harapkan? Sebaik dan sesayang apapun Mama, Maura itu tetap anak tiri, gak akan jadi anak kandung Mama.” Amel melengos dan berlari meninggalkan Soraya dengan perasaan marah.
“Mama hanya merasa bersalah telah memaksanya menerima kita sebagai keluarganya, Mel,” lirih Soraya dengan mata berkaca-kaca.
****
Maura mendengus sambil menyandarkan kepalanya pada kursi. Memutar kursi besar berwarna krem sambil memejamkan mata. Pada usianya yang baru genap 25 tahun, Maura sudah dipercaya menjadi Direktur Pemasaran di Hotel Orion milik keluarganya.
Tiga tahun menghabiskan waktunya menempuh magister jurusan Manajemen Perhotelan di Singapura, membuatnya menjadi wanita cerdas, mandiri, dan sekaligus keras kepala
Terpaksa berbagi cinta papanya yang paling berharga, membuat Maura selalu bersikap realistis, bahwa hidup ini butuh bukti, bukan janji.
Maura membuktikan, bahwa dia mampu menduduki jabatannya sekarang dengan meningkatkan jumlah kunjungan dan pemasukan hotel pada tahun pertamanya menjabat.
“Permisi, Bu! Sudah waktunya makan siang. Mau saya bantu pesan makanan?” tanya Clarissa, sekretarisnya.
“Hmm?” Maura tersentak dari lamunan.
“Sudah waktunya makan siang,” ulang Rissa sambil tersenyum manis.
“Kita makan di kantin saja, sekaligus evaluasi akhir tahun.”
‘Astaga! Waktunya istirahat masih juga bekerja,' keluh Rissa di dalam hati, tetapi dengan muka tetap tersenyum.
“Jangan khawatir! Aku tidak akan mengganggu waktu makanmu.”
“Ma-maaf, Bu. Saya tidak bermaksud.” Rissa berubah pias.
“Aku bisa membaca pikiranmu dan ini sudah masuk waktu istirahat.” Maura dengan cuek melenggang meninggalkan sekretaris cantik yang juga sahabatnya.
“Ra! Bisa tidak kamu santai sejenak?” Rissa menyodorkan nampan berisi nasi lengkap dengan lauk, sayur dan sebotol air mineral.
“Tidak ada kata santai dalam kamus hidupku, Ris. Kalau tidak ingin kehilangan hotel peninggalan Mama!”
Rissa hanya bisa mengernyit bingung mendengar perkataan Maura. “Setahuku, kondisi hotel sedang bagus-bagusnya. Kenapa kamu pikir akan kehilangan hotel?”
“Aku akan kehilangan bila bersantai mengikuti saranmu,” sahut Maura seraya menyuap nasi ke dalam mulutnya.
“Hanya sesekali. Tidak akan membuat hotelmu merugi.”
“Aku pernah sekali memberikan kesempatan untuk bersantai dan percaya janji. Akhirnya, aku kehilangan.” Maura mengendikkan bahu.
“Hotel? Pria? Harta?”
“Cinta dan kepercayaan.”
“Makin lapar aku jadinya, Ra.”
Maura hanya tersenyum seraya menunjuk piring Rissa dengan sendoknya, mengisyaratkan Rissa untuk melanjutkan makannya.
Sepuluh menit kemudian, Maura sudah berdiri sambil mengangkat nampan bekas makan. “Kamu selesaikan makanmu. Aku akan ke dapur meletakkan nampan sekalian evaluasi.”
Rissa hanya bisa terlolong memandangi punggung Maura yang menghilang di balik pintu.
“Ke mana dia?”
Rissa mendongak melihat ke samping kiri. Amelia sedang berdiri menatap arah yang sama dengannya sambil melipat tangan di depan dada.
“Mengembalikan nampan,” sahut Rissa singkat.
“Apa yang mau dia tunjukkan? Rajin? Ulet? Tekun? Cih!”
“Kerja keras!” Rissa berdiri sambil mengangkat nampannya menghadap Amel. “Permisi!” Bahunya dengan sengaja menyenggol bahu Amel hingga wanita itu terdorong ke samping.
“Puih!”
****
Amelia menutup pintu kantornya dengan kasar. Hatinya dongkol, dan marah setelah menghadiri rapat tahunan. Dia kembali mendengar pujian Armand sebagai presdir Hotel Orion yang ditujukan untuk Maura di depan seluruh jajaran manajerial hotel.
“Maura! Maura! Maura! Selalu saja Maura! Apa hebatnya anak itu?!”
Amelia berjalan hilir mudik mengitari ruang kantornya. Menggigit jari, menyugar rambut dengan kasar dan terus menggerutu tiada henti.
“Kenapa aku selalu saja kalah darinya? Apa yang harus aku lakukan agar bisa mendapat kepercayaan Papa dan menjadi direktur?” Amelia berkacak pinggang menghadap jendela kaca.
Tok. Tok. Tok.
“Masuk!”
“Permisi, Bu. Ibu diminta menghadap Ibu Amanda bagian keuangan.”
“Bagian keuangan? Kenapa, Tam?”
Tamara yang ditanya hanya bisa menggeleng. “Saya kurang tahu, Bu. Bu Amanda sendiri yang menghubungi saya untuk menyampaikan ini pada Ibu.”
“Oke! Makasih. Kamu bisa keluar.”
Tamara mengangguk dan berbalik pergi.
“Sial! Apalagi sekarang?” Amelia meraih ponsel dari meja dan keluar ruangan memenuhi panggilan Amanda.
Dengan anggun dan penuh wibawa, Amelia masuk ke ruang Amanda. “Permisi!”
“Hai, Mel. Masuk!” Sapa Amanda ramah. “Kita santai, aja, ya.”
Amelia memilih duduk di kursi jauh dari tempat Amanda duduk. “Ada apa, nih?” ketusnya.
“Tante dapat laporan masuk dari staf keuangan. Ada pengeluaran tidak terduga yang kamu tanda tangani bulan lalu, sebesar lima ratus juta. Boleh Tante tahu untuk apa?”
Amelia menegakkan punggungnya. “Itu bukan urusan Tante! Toh, yang Amel pakai bukan uang pribadi Tante!”
“Justru karena itu uang operasional hotel, maka Tante sebagai orang yang dipercaya untuk mengawasi keuangan, wajib tahu arus masuk dan keluar keuangan hotel.” Amanda tetap tenang menghadapi emosi Amelia yang mulai naik.
“Jadi bawa-bawa jabatan gini, sih?! Tante, apa Tante lupa siapa Amel ini?!”
Amanda menggeleng. “Justru karena Tante tahu bahwa Amel adalah salah satu putri dari pemilik hotel. Besar harapan Tante bahwa Amel bisa memberi contoh yang baik bagi karyawan lainnya.”
Amelia berdiri cepat. “Amel akan laporkan Tante pada Papa!” ancamnya garang.
“Boleh. Silakan saja kalau itu menurut Amel perlu. Jadi, Tante tidak perlu melaporkan sendiri pada presdir.” Amanda masih mempertahankan senyuman yang terlihat seperti seringai culas di mata Amel.
Sesampainya di rumah. Amelia segera menemui mamanya.
“Ma! Mama!”
“Sayang, kenapa panik begitu?” Soraya tergopoh menghampiri Amel yang sudah duduk sambil menekuk wajahnya.
“Ma! Mama harus bantu Amel bilang ke Papa,” ujar Amelia manja seraya meraih tangan mamanya.
“Bantu apa, Sayang?” Soraya bingung menanggapi permintaan Amelia yang panik.
“Ma! Amel menghilangkan uang operasional hotel.” Amelia mengaku sambil menunduk.
“Apa, Mel? Menghilangkan uang? Berapa banyak?” Soraya mengangkat dagu Amelia agar melihat padanya. “Jawab Mama, Mel.”
“Lima ratus juta.”
“Hah!” Soraya terbelalak kaget. “Bagaimana bisa?”
****
Bagai disambar petir pada siang bolong. Soraya terbeliak kaget mendengar penuturan Amel tentang uang operasional hotel yang hilang. “Bagaimana bisa itu terjadi, Mel? Uang sebanyak itu, dari mana Mama dapatkan?” “Ma, dengar dulu! Amel melakukan itu untuk Rendra, salah satu petugas kebersihan di hotel. Dia butuh banyak biaya untuk ibunya berobat. Bukan untuk Amel sendiri, Ma,” cerocos Amelia membela diri. “Rendra?” Soraya mengernyit. “Kenapa tidak kamu jelaskan saja pada mereka? Lalu sekarang, Rendranya ke mana? Minta dia segera mengembalikan uangnya!” Kini, giliran Soraya yang panik. “Itu akan sangat merepotkan. Tolong bantu aku menjelaskan pada Papa. Please ….” Amel menangkup kedua tangannya dengan mata memohon. “Apa benar yang Tante Amanda katakan tentangmu, Mel?” Tanpa mereka sadari, Armand sudah pulang dari kantor dan berjalan masuk ke rumah. Maura berjalan di belakangnya dengan wajah datar, namun tetapi melempar tatapan ta
Ranjang besar itu bergerak-gerak. Rangga merasa kepalanya pusing seiring dengan gerakan di sisi lain ranjangnya. ‘B*****k! Kenapa kepalaku seperti mau pecah? Apa yang terjadi sebenarnya? Ahhh, panas sekali. Sial! Kenapa begini rasanya?’ Samar Rangga mendengar pria dan wanita berbicara. Namun, tidak paham apa yang mereka bicarakan. Sedangkan matanya berat, tidak mau terbuka. Tangan dan kakinya lemas, tidak dapat digerakkan. Dia berusaha berteriak, tetapi yang keluar hanya rintihan samar. Amarahnya semakin membuat kepalanya berdenyut. Selang beberapa lama, terdengar pintu ditutup. Rangga merasa kesadarannya mulai kembali. Tangannya berusaha bergerak, tetapi tidak terkontrol. “Apa ini sebenarnya? Sudah matikah aku? Kenapa aku seperti mayat hidup begini?” **** Maura yang tersadar karena rasa perih di bagian bawah tubuhnya dan kepala berat, beringsut pelan sambil mendorong tubuh pria sebesar gorila di atasnya. “Apa yang terjadi?! Kenapa aku
Griya Tawang Hotel Galaksi Masih dengan berbalut jubah mandi dan rambut basah, Rangga duduk termenung di sofa, berusaha mengingat peristiwa semalam. Di selingi umpatan penuh amarah, Rangga mengambil ponselnya dan menekan beberapa angka. “Ren, ke kamarku sekarang.” Tak berapa lama, seseorang mengetuk pintu kamar. “Masuk.” Pintu terbuka, seorang pria bertubuh sama besar seperti Rangga masuk. “Selamat pagi, Bos. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Reno, asisten sekaligus pengawal Ranggapati Danutirta, eksekutif muda dunia properti. Bisa dikatakan Rangga adalah raja bisnis properti Asia Tenggara. Pemilik sejumlah kawasan hunian elit yang tersebar di Asia Tenggara di bawah naungan GD Grup. “Ren, tolong kamu cek rekaman CCTV.” Rangga memberi perintah. “Baik, Bos. Saya akan kembali satu jam lagi.” Tanpa menunggu jawaban Rangga, Reno melangkah pergi. Reno awalnya memimpin sebuah perusahaan keamanan swasta terbesar, tetapi karena dalam seb
Kediaman Danutirta “Pagi, semua,” Alina menyapa semua yang sedang berada di meja makan. “Pagi, Sayang, tumben udah rapi. Biasanya baru nanti agak siangan turunnya.” Hanna mengerling menggoda putrinya yang paling susah bangun pagi dan sarapan bersama mereka. “Ih, Mama. Bisa, gak, sehari aja gak ngeledek?!” Alina menarik kursi di samping abangnya. Cup! “Ih, jorok banget, sih!” omel Rangga. “Jorok dari mana coba? Mandi udah, gosok gigi udah, parfum udah. Sayang itu pipi dianggurin.” Senyum Alina mengembang melihat Rangga mengusap pipi bekas ciumannya dengan punggung tangan. “Bukan sayang pipinya, itu bibir sudah lama gak nyium pipi cowok. Gatel jadinya.” “Abang, sadis banget, sih.” “Sudah, kalian ini tiap kali ketemu selalu saja ribut. Kalau jauhan bentar, kangen.” Hanna menghentikan perdebatan keduanya. “Al, kamu belum jawab Mama. Pagi begini udah rapi, mau ke mana?” “Alina dapat undangan menghadi
“Maaf, aku sungguh minta maaf,” ucap Maura demi melihat snelli Evan terkena cairan lambungnya.“It’s okay,” jawab Evan setengah meringis. “Aku bersihkan dulu.”“Maaf.”“Lho, Kak. Mau ke mana?” Rissa bingung melihat Evan melangkah cepat melewatinya. “Kenapa lagi dia?” tanya Rissa yang hanya dijawab dengan gerakan bahu dan ekspresi canggung.“Aku sudah urus administrasinya, sebentar lagi kita pindah ke kamar.” Maura mengangguk. “Apa kamu sudah memberitahu orang rumah kalau kamu sakit?” Maura menggeleng.“Mereka tidak akan mencariku.” Maura kembali berbaring. Namun, perutnya kembali bergolak. “Ris ….” Tangannya melambai dengan panik.“Kenapa?”Cairan yang sama keluar lagi.“Astaga …!” Rissa panik, tangannya dengan cepat meraih baskom plastik yang disediakan di
Maura baru selesai menghabiskan potongan apel terakhirnya dengan susah payah ketika Evan masuk dengan raut datar. Dengan canggung, diusap bibirnya dengan tisu, hanya untuk mengurangi rasa gugup yang tiba-tiba menghampirinya. “Sendirian, Kak?” sapanya canggung. ‘Bodoh kamu, Ra. Jelas dia sendirian. Memangnya siapa yang akan datang bersamanya menjengukmu? Bodoh!’ Maura merutuki kebodohannya dalam hati. “Nggak, berdua sama kamu.” Sedetik kemudian, mereka berdua tersenyum malu menyadari kecanggungan yang terjadi. “Maafkan aku, Kak.” Maura memberanikan diri menatap Evan yang masih berdiri di dekat pintu kamar. “Jawab aku, Ra. Apa dia anakmu dengan kekasihmu?” Evan tidak berkedip menatap Maura, wanita yang selama tiga tahun terakhir dicintainya diam-diam. Maura menggeleng, matanya berkaca-kaca, terharu. Perasaan yang sudah lama tak lagi pernah dirasakannya. Ternyata, Evan masih peduli padanya. “Aku tidak punya kekasih.”
Rangga menerobos masuk ke dalam kamar Alina. Beruntung pemilik kamar sedang tidak ada, kalau tidak, wanita itu akan marah dan memukul Rangga. Pelanggaran teritorial, begitu dia menyebutnya.“Ma, Alina mana?”“Dia ada jadwal pemotretan untuk video klip terbarunya.”“Video klip? Tumben?”“Acara pergantian tahun di hotel kemarin itu, Alina ketemu dengan manajer Peterpena dan ditawari menjadi model video klip lagu terbaru mereka.”“Pantas ….” Rangga menggigit sepotong tempe goreng hangat yang baru saja Hanna sajikan. “Di mana lokasinya?”“Mana ya? Kok Mama lupa, padahal Alina tadi sempat bilang.”“Nanti biar Rangga sendiri yang tanya Alina. Rangga berangkat ke kantor dulu.” Rangga mencium tangan Hanna dan mengecup kedua pipinya.“Selamat pagi, Bos.” Reno menyapanya seraya membuka pintu mobil untuknya.“Kit
Armand Bagaskara kembali ke rumah besarnya dengan lesu dan kepala tertunduk. Soraya yang sengaja menunggu kepulangannya di ruang tamu, segera bergegas menghampirinya. “Pa, pulang makan malam bisnis, bukannya senang malah sedih begini. Kenapa?” Soraya mengelus lengan suaminya dan menggandengnya masuk. Dari desahan napas yang terdengar berat, Soraya tahu bahwa perjamuan kali ini tidak membawa hasil sesuai harapan. Pijatan lembut di bahu membuat Armand menoleh ke samping. “Tolong panggilkan Maura, Ma. Papa tunggu di ruang kerja.” Soraya segera naik ke lantai dua, menuju kamar Maura. Pintu sedikit terbuka, menandakan pemilik kamar belum tidur. “Ra, mama masuk ya?” “Ya, Ma. Masuk aja,” sahut Maura dari dalam. “Ra, Papa bilang mau bicara sama kamu. Papa tunggu di ruang kerja.” Maura yang sedang tengkurap dan memainkan ponselnya, segera berbalik dan duduk. “Tumben, Ma. Ada yang penting memangnya?” “Mama kurang ta
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s