Suasana di sebuah makam di dekat rumah sakit Miranti terlihat cukup ramai. Rupanya, orang-orang tersebut sedang ikut mengantar jenazah salah satu pasien yang meninggal kemarin sore akibat gagal jantung. Setelah orang-orang selesai menaburkan bunga ke atas makam itu, mereka satu persatu mulai meninggalkan daerah pemakaman.Tersisa tiga orang yang masih setia berada di dekat makam. Dua orang wanita dan seorang laki-laki. Ketiga-nya sama-sama menatap sendu ke arah makam di depan mereka. Tubuh sang laki-laki perlahan mulai merosot ke bawah. Ia terduduk di atas tanah kuburan sambil memegang batu nisan yang tertancap di ujung makam itu.“Awan, ayo kita pulang.” Ajak salah satu dari wanita di sana.“Tolong tinggalkan aku sendirian,” pinta laki-laki itu dengan suara yang serak khas orang yang menangis.Wanita yang tadi mengajak laki-laki itu hendak berucap kembali, namun wanita di samping-nya meraih bahunya dan menggelengkan kepalanya dengan pelan. Seolah memberi isyarat untuk tidak menggangg
Satu minggu kemudianAktivitas Bina kembali berjalan seperti biasanya setelah masa berkabung atas kematian Rifka. Sejujurnya ia bahkan tidak bisa menikmati masa berkabung lama-lama, karena bos tercintanya terus mengganggu-nya lewat telepon. Baru 24 jam tidak meng-aktifkan teleponnya saja, wanita gila yang kebetulan menjadi bos-nya itu sudah menelepon-nya puluhan kali diiringi ratusan pesan masuk. Karena ulah Rini, teleponnya sampai harus menginap untuk diperbaiki.Bina memandang keluar toko. Ia sedang duduk di dekat dinding toko yang terbuat dari kaca. Melihat orang yang sibuk berlalu lalang di samping toko tempatnya bekerja. Tiba-tiba perasaan rindu menyeruak di dalam hatinya sambil membayangkan wajah Awan. Sudah satu minggu ini ia jarang bertemu dengan laki-laki itu.Sejak kepergian Rifka minggu lalu, Awan terlihat terus murung. Laki-laki itu lebih sering mengurung dirinya di dalam kamar. Awan yang biasanya selalu ceria dengan banyak kata di depannya, kini berubah menjadi Awan yang
Pukul 19.00 WIBSebuah mobil terlihat berhenti di depan pekarangan rumah Bina. Di dalamnya terlihat Bina duduk di samping kemudi mobil, sedangkan Rini tentu saja berada dibalik kemudi. Kejadian tadi siang membuat bos besarnya merasa khawatir dengan keadaan Bina. Rini punya firasat kalau sudah terjadi sesuatu kepada sahabatnya tercintanya.Pasalnya semenjak Bina membuka paket ‘mengerikan’ (sebutan Rini untuk paket yang diterima oleh Bina) itu, tingkah lakunya menjadi sedikit aneh. Wanita itu sempat beberapa kali terlihat melamun dengan dahi yang berkerut seperti sedang menmikirkan sesuatu. Karena khawatir, ia akhirnya memutuskan untuk mengantar Bina pulang ke rumah secara langsung.“Kamu yakin nggak apa-apa, Bin?” Tanya Rini khawatir.Bina tersenyum menatap wajah sahabatnya yang khawatir dengan lembut dan menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Aku baik-baik saja. Kepala-k
Binamasuk ke dalam rumah dengan lesu. Keadaan rumah terlihat sepi dan gelap seperti tidak ada kehidupan sama sekali. Bina menarik napas dan mulai berjalan mengendap-endap setelah berusaha menutup pintu sepelan mungkin. Ketika ia baru lima kali melangkah dari pintu masuk, tiba-tiba saja lampu menyala di seluruh ruangan. Tubuh wanita itu membeku di tempat dengan posisi setengah membungkuk dan kaki yang berjinjit.“Kau pulang terlambat, Bina.” Itu suara paman Jo yang berasal dari belakangnya.Ia hampir melupakan keberadaan paman Jo. Lelaki itu baru saja pulang tadi pagi setelah hampir satu bulan menghabiskan hidupnya di luar kota, karena masalah kantor cabang yang tiba-tiba sistem keamanannya diretas. Bina menegapkan kembali tubuhnya dan memutar tubuh menghadap ke belakang. Kedua matanya menangkap sosok paman Jo yang tengah bersandar di pintu masuk sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan menatapnya dengan tajam.
Pukul 07.00 WIBAlarm telepon berbunyi dari atas nakas. Bina menjulurkan tangan kirinya untuk meraih telepon dan mematikan alarm dengan mata yang masih terpejam. Tubuh wanita itu bangun dari tidurnya dan terduduk diam di atas kasur. Perlahan, kedua matanya terbuka dengan sayup-sayup.Sinar matahari pagi yang masuk dari celah-celah jendela menerangi seisi penjuru kamar. Bina berdiri dari duduknya dan mulai merapikan tempat tidurnya dengan malas. Setelah memandang tempat tidurnya yang sudah rapi dengan bangga, Bina bergegas masuk ke dalam kamar mandi.Pukul 07.30 WIBBina terlihat sudah rapi dan cantik dengan pakaian kerja khas miliknya. Blouse putih lengan panjang yang dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam dan rambutnya yang dibiarkan tergerai bebas begitu saja. Wanita itu menatap pantulan dirinya di kaca selama beberapa saat, memastikan kalau riasan tipis di wajahnya sudah cukup. Setelah itu,
Beberapa wanita terlihat sedang berkumpul mengelilingi sebuah manekin sambil mendiskusikan suatu hal dengan serius di dalam sebuah toko. Beberapa dari mereka terlihat memegang sebuah papan dengan selembar kertas bergambar skesta desain pakaian.“Kita bisa membuat korsetnya sangat tipis dan menggunakan kain tulle di bagian bawah untuk memperlebar dan memberi sedikit bentuk,” jelas Bina kepada beberapa wanita yang berdiri mengelilingi-nya.TRINGGGGGTiba-tiba, bel yang terpasang di atas pintu masuk toko berbunyi. Menandakan kalau ada seseorang yang mendorong pintu toko dan masuk ke dalam. Bina sedikit berjinjit dan mengintip siapa tamu yang baru saja masuk ke dalam toko.Seorang wanita dengan mini dress berwarna peach dan mantel dengan warna senada terlihat tengah berjalan ke arahnya sambil mengibaskan tangan kirinya ke wajah. Itu adalah Rini, sahabat sekaligus bos tercintanya
Rumah sakit MirantiPukul 15.30 WIBBina terlihat sedang berdiri di balkon lantai dua rumah sakit sambil memandangi taman rumah sakit yang terlihat asri di sore hari. Dari sini, ia bisa melihat acara kecil yan sedang berlangsung di taman dengan cukup jelas. Acara dua minggu sekali yang sempat berhenti beberapa waktu yang lalu dan baru bisa diadakan lagi hari ini.“Sepertinya hubungan kalian sudah sangat membaik, ya.”Bina mengalihkan perhatiannya pada seseorang yang baru saja datang dan berdiri di sampingnya. Itu dokter Je, sahabat pamannya sekaligus dokter yang menangani Awan selama ini. Dokter muda itu menyeruput segelas kopi dari dalam cup berukuran kecil di tangannya. Bina memperhatikan tatapan dokter Je yang mengarah ke taman.“Mata Anda terlihat membengkak seperti habis menangis,” komentar Bina.Dokter wanita di sampingnya langsung terhenyak kaget. Bina tersenyum miring mendapati ucapannya langsung mengena tepat
Bina povKeesokan paginya, aku mulai bekerja keras untuk persiapan acara fashion week. Aku berangkat bekerja pagi-pagi sekali. Mulai menjahit dan merapikan desain-desain yang kemarin belum terselesaikan, karena aku yang kabur di tengah-tengah jam kerja. Ya, tentu saja Rini tidak akan mau melanjutkan pekerjaanku. Ia selalu merasa tidak memiliki bakat sepertiku.“Pagi nona Bina.”Memasuki jam 08.00, karyawan butik mulai berdatangan satu persatu dan menyapaku yang masih terlihat sibuk di ruang jahit yang berada di lantai dua bangunan ini. Aku terus disibukkan dengan desain pakaian yang aku buat sendiri dibantu dengan ke-lima penjahit butik.Pukul 12.00 WIBAku memberi izin kepada yang lainnya untuk beristirahat, sedangkan aku masih sibuk menjahit manik-manik berbentuk lonjong berwarna ke-emasan pada sebuah gaun berwarna hijau tosca. Gaun ini adalah desain utama yang aku buat dan aku memutuskan untuk menanganinya seorang diri. Tidak s