Pukul 07.00 WIB
Alarm telepon berbunyi dari atas nakas. Bina menjulurkan tangan kirinya untuk meraih telepon dan mematikan alarm dengan mata yang masih terpejam. Tubuh wanita itu bangun dari tidurnya dan terduduk diam di atas kasur. Perlahan, kedua matanya terbuka dengan sayup-sayup.
Sinar matahari pagi yang masuk dari celah-celah jendela menerangi seisi penjuru kamar. Bina berdiri dari duduknya dan mulai merapikan tempat tidurnya dengan malas. Setelah memandang tempat tidurnya yang sudah rapi dengan bangga, Bina bergegas masuk ke dalam kamar mandi.
Pukul 07.30 WIB
Bina terlihat sudah rapi dan cantik dengan pakaian kerja khas miliknya. Blouse putih lengan panjang yang dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam dan rambutnya yang dibiarkan tergerai bebas begitu saja. Wanita itu menatap pantulan dirinya di kaca selama beberapa saat, memastikan kalau riasan tipis di wajahnya sudah cukup. Setelah itu,
Beberapa wanita terlihat sedang berkumpul mengelilingi sebuah manekin sambil mendiskusikan suatu hal dengan serius di dalam sebuah toko. Beberapa dari mereka terlihat memegang sebuah papan dengan selembar kertas bergambar skesta desain pakaian.“Kita bisa membuat korsetnya sangat tipis dan menggunakan kain tulle di bagian bawah untuk memperlebar dan memberi sedikit bentuk,” jelas Bina kepada beberapa wanita yang berdiri mengelilingi-nya.TRINGGGGGTiba-tiba, bel yang terpasang di atas pintu masuk toko berbunyi. Menandakan kalau ada seseorang yang mendorong pintu toko dan masuk ke dalam. Bina sedikit berjinjit dan mengintip siapa tamu yang baru saja masuk ke dalam toko.Seorang wanita dengan mini dress berwarna peach dan mantel dengan warna senada terlihat tengah berjalan ke arahnya sambil mengibaskan tangan kirinya ke wajah. Itu adalah Rini, sahabat sekaligus bos tercintanya
Rumah sakit MirantiPukul 15.30 WIBBina terlihat sedang berdiri di balkon lantai dua rumah sakit sambil memandangi taman rumah sakit yang terlihat asri di sore hari. Dari sini, ia bisa melihat acara kecil yan sedang berlangsung di taman dengan cukup jelas. Acara dua minggu sekali yang sempat berhenti beberapa waktu yang lalu dan baru bisa diadakan lagi hari ini.“Sepertinya hubungan kalian sudah sangat membaik, ya.”Bina mengalihkan perhatiannya pada seseorang yang baru saja datang dan berdiri di sampingnya. Itu dokter Je, sahabat pamannya sekaligus dokter yang menangani Awan selama ini. Dokter muda itu menyeruput segelas kopi dari dalam cup berukuran kecil di tangannya. Bina memperhatikan tatapan dokter Je yang mengarah ke taman.“Mata Anda terlihat membengkak seperti habis menangis,” komentar Bina.Dokter wanita di sampingnya langsung terhenyak kaget. Bina tersenyum miring mendapati ucapannya langsung mengena tepat
Bina povKeesokan paginya, aku mulai bekerja keras untuk persiapan acara fashion week. Aku berangkat bekerja pagi-pagi sekali. Mulai menjahit dan merapikan desain-desain yang kemarin belum terselesaikan, karena aku yang kabur di tengah-tengah jam kerja. Ya, tentu saja Rini tidak akan mau melanjutkan pekerjaanku. Ia selalu merasa tidak memiliki bakat sepertiku.“Pagi nona Bina.”Memasuki jam 08.00, karyawan butik mulai berdatangan satu persatu dan menyapaku yang masih terlihat sibuk di ruang jahit yang berada di lantai dua bangunan ini. Aku terus disibukkan dengan desain pakaian yang aku buat sendiri dibantu dengan ke-lima penjahit butik.Pukul 12.00 WIBAku memberi izin kepada yang lainnya untuk beristirahat, sedangkan aku masih sibuk menjahit manik-manik berbentuk lonjong berwarna ke-emasan pada sebuah gaun berwarna hijau tosca. Gaun ini adalah desain utama yang aku buat dan aku memutuskan untuk menanganinya seorang diri. Tidak s
Still Bina pov Kami berangkat dari bandara Soekarno-Hatta tepat pukul 19.30 WIB. Pesawat take off dengan lancar dan tanpa mengalami kendala apapun. Aku memakai penutup mata yang sengaja aku bawa agar langsung tertidur begitu pesawat take off. Sebenarnya, ini adalah salah satu siasat agar Rini tidak mengajukan pertanyaan yang aneh-aneh seputar Awan kepada-ku. Aku membuka mata ketika seseorang mengguncangkan bahu-ku entah untuk yang ke berapa kalinya. Aku langsung melepas penutup mataku dan melihat salah seorang karyawan toko berdiri di sampingku. Aku menatapnya dengan polos, karena nyawa-ku belum sepenuhnya terkumpul setelah dibangunkan secara tiba-tiba. CTAKK CTAKK Seseorang menjentikkan jarinya sebanyak dua kali di depan wajahku untuk menyadarkan aku yang masih duduk terpaku menatap karyawan yang membangunkan aku barusan. “Ya ampun, Bina! Ayo, bangun! Pesawat udah mendarat lima menit yang lalu, tau!” Omel Rini. “Hah?
Keesok-an paginyaPukul 06.30 pagiTokyo, JepangBina terlihat sudah mengenakan pakaian rapi. Sebuah t-shirt polos berwarna putih yang dipadukan dengan outer jacket jeans dan flare jeans sebagai bawahan. Tampilan trendi yang ala-ala girl crush dengan make up yang terlihat tetap natural.. Rambutnya sendiri ia tata dengan gaya cepol dan sneakers putih yang sudah terpasang di kaki manisnya.Setelah merapikan sedikit tampilannya di depan cermin, Bina menyambar mini backpack-nya yang berwarna putih dari atas tempat tidur dan berjalan keluar kamar hotel. Wanita itu masuk ke dalam lift dan menekan tombol di sana menuju ke lantai dasar sambil bersenandung kecil.Istirahat seharian kemarin ternyata berhasil memulihkan tubuhnya dari rasa lelah.Bina berjalan keluar, begitu pintu lift terbuka. Ia berjalan menuju ke meja resepsionis dan terlihat mengedarkan pandangannya ke segala penjuru, seolah sedang mencari sesuatu di sana. Seorang wanita yang
Tokyo SkytreeTokyo Fashion WeekPukul 18.00Malam ini, gedung itu terlihat lebih ramai dari biasanya. Kebanyakan pengunjung biasa gedung itu sibuk berbelanja, melihat aquarium raksasa atau menikmati pemandangan kota Tokyo sembari menyantap makan malam dari atas ketinggian. Tapi berbeda dengan apa yang terjadi di lantai 50.Lantai itu memiliki sebuah aula yang khusus dirancang megah untuk acara-acara penting. Contohnya, seperti untuk acara Tokyo fashion week yang sedang berlangsung saat ini.Keadaan di dalam aula itu terlihat cukup ramai. Para penonton terlihat memadati tempat duduk yang sengaja di letakkan di sisi kanan dan kiri catwalk yang berbentuk huruf T. Sekitar 25 orang pria berbadan kekar dengan setelan jas hitam terlihat berjaga-jaga di dalam dan luar aula.Sedangkan para penonton yang masih belum berada di dalam aula terlihat sedang melewati beberapa pemeriksaan dari pihak panitia acara. Siapapun yang melihat hal ini akan tahu, ka
Pukul 10.00Moonlight hotel, TokyoBina terbangun dengan kepalanya yang sedikit kesakitan. Bagaimana tidak, setelah acara fashion week selesai mereka langsung mengikuti pesta perayaan yang diadakan oleh panitia dan baru selesai pukul 3 dini hari. Padahal tadinya ia berencana untuk langsung pulang ke hotel dan beristirahat, tapi Rini terus-terusan memaksa-nya untuk ikut.Bagaimana dengan Yurina?Ah beruntungnya, Rini masih mengingat jam malam anak SMA dan menyuruh sopirnya untuk mengantar Yurina pulang tepat pukul 9 malam.Bina turun dari tempat tidur dengan rasa malas. Seluruh tubuhnya baru terasa sakit sekarang setelah bekerja keras selama satu minggu penuh mempersiapkan acara dadakan yang diajukan bos tercintanya ini.Bina menyikat gigi-nya sambil menatap pantulan diri pada cermin di depan-nya. Dirinya terlihat cukup kacau! Bina bertekad untuk berkencan dengan kasur-nya seharian ini. Menikmati snack yang dibelinya sejak kemarin, tapi tidak
The university of Tokyo Hospital Pukul 08.00 Suasana pagi di rumah sakit terlihat cukup tenang. Beberapa perawat dari shift malam mulai bergantian dengan perawat dari shift pagi yang satu persatu mulai berdatangan. Kamar-kamar pasien terlihat hanya diisi oleh anggota keluarga yang bertugas untuk menjaga anggota keluarga mereka yang harus dirawat di sana. Salah satu kamar pasien bertuliskan nomor 706 di depan pintunya terlihat sepi. Hanya ada pasien di ruangan itu. Air purifier di atas meja baru saja menyemprotkan isinya untuk menjaga agar ruangan tetap higienis, Di samping air purifier, ada sebuah vas kaca berisi bunga krisan berwarna ungu yang menyegarkan mata. Juga, suara tetesan infus menggema di ruangan yang sepi itu. Oh, itu BINA! Wanita itu tengah terbaring tenang di atas ranjang pasien sejak semalam. Selang infus terjulur panjang ke bawah dan menempel di tangan kirinya. Cahaya pagi yang perlahan mulai masuk ke dalam ruangan dar
*** Pukul 09.00 Waktu Sydney, Australia Leo Park tampak ikut bertepuk tangan bersama para penonton lainnya. Pria itu kini tengah duduk di kursi penonton di Sydney Opera House dan menyaksikan penampilan seorang pianis wanita yang berbakat. "Ya, itulah penampilan dari pianis berbakat kita hari ini. Beri tepuk tangan kepada Nona Sapphire," ujar sang pembawa acara. Wanita yang disebutkan namanya barusan langsung berdiri menghadap penonton dan menundukkan tubuhnya sebagai rasa terima kasih kepada penonton. Setelah menegakkan kembali tubuhnya, ia menebarkan pandangan dan senyumnya ke arah kursi penonton. Namun sayang, senyuman manisnya itu tidak bertahan lama begitu kedua matanya menangkap sosok pria yang begitu ia kenal. Tanpa basa-basi lagi, ia segera turun begitu pembawa acara mulai menyebutkan acara selanjutnya. Wajahnya terlihat cukup panik dengan kedua rahangnya yang mulai mengeras. Tepat ketika ia baru saja masuk ke dalam ruang istirahatnya, bahkan belum sempat ia berbalik unt
*** Matahari pagi terlihat masuk menembus kaca jendela pesawat dan menimpa wajah seorang wanita. Membuat dahi wanita tersebut sedikit berkerut karena merasa risih dengan cahaya itu. Perlahan tapi pasti, kedua matanya mulai mengintip meski masih sedikit terasa mengantuk. "Pagi, putri tidur!" Sapa seorang pria yang duduk di seberangnya dengan senyuman jahil. "Sial! Mood-ku langsung hancur begitu disapa oleh orang sepertimu!" Omel wanita itu dengan tatapan yang sinis. "Ini sarapanmu, Bina." Tiba-tiba Jonathan memberikan sepiring nasi goreng hangat buatannya sendiri. "Terima kasih, paman." Balas Bina sambil menyunggingkan senyum manis. "Tch! Lihatlah keharmonisan antara paman dan keponakan di depanku ini." Leo Park berdecih sambil memasang ekspresi seolah-olah merasa jijik pada sikap Bina yang sok manis kepada pamannya, Jonathan. "Apa kau bilang?!" Bina kini mengeluarkan nada tingginya.
*** Bina kini masih berjalan mondar-mandir di ruang tengah sambil menggigiti kuku jari tangannya dengan cemas. Sedangkan anggota tim yang lain nampak sedang memandangi ukiran Budha asli yang berhasil mereka ambil dari tempat penyimpanan rahasia keluarga Rothschild dengan takjub. "Bina, kenapa kau terlihat cemas begitu?" Tanya Awan yang akhirnya menyadari kegelisahan rekannya. Bina menghentikan langkahnya. "Bagaimana tidak, meskipun misi pertama kita sukses dengan lancar, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya mengakhiri hubunganku dengan si anak konglomerat, Nathaniel Rothschild. Ditambah lagi, aku tidak memiliki pengalaman dalam sebuah hubungan sama sekali! Bagaimana bisa aku bertemu dengan ibunya? Sedangkan kita mendekati anaknya hanya untuk kelancaran misi saja! Apa yang harus aku katakan nanti?!
***Dua hari setelah makan malam Bina dengan Nathaniel Rothschild, wanita itu kembali diajak bertemu oleh si anak konglomerat. Bukan tanpa alasan pria kaya raya itu mengajaknya bertemu kembali. Ternyata, Nathaniel Rothschild menyanggupi syarat yang diberikan oleh Bina untuk membuktikan keseriusannya atas hubungan mereka.Maka dari itu, seluruh anggota tim terlihat sangat sibuk mempersiapkan segalanya. Bahkan Awan saja ikut sibuk membantu Jonathan untuk membuat sebuah alat yang akan dipakai oleh Bina nanti."Ini," ucap Awan sambil menyerahkan koin perak yang sama persis dengan koin perak tempo hari Bina dapatkan sebelum makan malam dengan Nathaniel.Bina mengerutkan keningnya. "Apa ini? Aku kan sudah mendapatkan alat pelacak yang sama beberapa hari yang lalu." Bina menunjukkan koin perak yang diberikan kepadanya beberapa hari yang lalu."Koin yang baru saja kuberikan berbeda. Koin perak baru itu bisa melacak keberadaanmu sekaligus memetaka
***Bina sedang berdiri di balkon seorang diri. Setelah celotehan Leo Park tadi, wanita itu tiba-tiba saja teringat pada tragedi yang menimpa orang tuanya dan berhasil merenggut nyawa mereka. Bina mengembuskan napas berat untuk kesekian kalinya. Bayangan kejadian itu selalu membuatnya merasa frustasi setiap kali ia mengingatnya."Maaf, aku tidak bermaksud membuka luka lama-mu itu." Tiba-tiba saja Leo Park muncul di belakangnya."Tak apa. Lagipula kau juga tidak tahu akan kejadian itu," jawab Bina dengan nada suara yang dingin.Leo Park kini mulai melangkah maju dan menyejajarkan tubuhnya di samping Bina. "Aku memang tidak tahu akan kejadian itu. Tapi aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang-orang yang sangat disayangi."Ucapan Leo Park membuat Bina langsung mengalihkan pandangannya kepada pria itu. Kedua alisnya kini saling bertaut saking penasarannya pada ucapan pria itu barusan. Raut wajah Bina yang berubah penasaran sukses membuat Leo Park menarik sudut bibir kanannya ke atas."
***Bina terbangun di pagi harinya dengan keadaan yang cukup kacau. Rambutnya berantakan dan wajahnya masih dipenuhi dengan make up yang tidak sempat ia hapus sebelum jatuh tertidur di atas tempat tidurnya. Ditambah lagi dengan kepalanya yang berdenyut sakit, pusing dan perutnya yang mual dengan hebat. Bina buru-buru pergi ke toilet dan memuntahkan isi perutnya ke westafel.Wanita itu lalu menyalakan keran air dan membersihkan mulutnya. Bina keluar dari toilet sambil memegangi perutnya yang masih terasa mual. Kakinya perlahan melangkah menuju ke dapur. Indera penciumannya tanpa sengaja menangkap bau masakan dari arah dapur. Ia mendapati ada Evelyn di sana yang sedang sibuk mengaduk sesuatu di dalam panci di atas kompor."Kukira kau hanya pandai memimpin tim saja," ucap Bina sebagai sapaan kepada atasannya. Ia berjalan menuju ke kulkas, membukanya dan mengambil sebotol air mineral dari dalam sana."Ah, ya aku juga cukup pandai memasak. Aku buatkan
***Perjalanan tim itu dimulai hari ini. Sejak dini hari sekali, ke-enam orang itu sudah berkumpul di bandara China yang terlihat sudah cukup padat dengan jadwal penerbangan. Bina baru saja kembali dari mesin kopi otomatis sambil membawa lima cup kecil kopi pesanan anggota timnya. Masing-masing dari mereka mengambil satu gelas dan mulai menyesapnya secara perlahan sebagai penghilang kantuk sekaligus sebagai penghangat dari udara dingin China di pagi hari."Wleekkkk! Kopinya tidak se-enak kopi yang biasa aku minum di kafe!" Keluh Leo Park sambil menjulurkan lidahnya keluar."Kalau mau kopi se-enak itu, silakan beli sendiri dengan kakimu." Sahut Bina ketus."Ayolah, teman-teman. Kita satu tim. Ingat, satu tim tidak boleh bertengkar apalagi sampai berkelahi," ucap Evelyn mengingatkan."Dia yang mulai duluan." Bina mempautkan bibirnya ke depan.Setelah pertengkaran kecil itu, semua anggota tim kembali terdiam di kursi tungg
***Suasana pagi yang cerah di daratan China. Jalan-jalan kota terlihat dipadati oleh lautan manusia yang hendak mencari rezeki demi keluarga mereka. Tepat di salah satu rumah di negara tempat berdirinya tembok China itu, enam orang manusia tengah duduk berkumpul di meja makan dengan tatapan mata yang keheranan."Bina, apa kau yakin kalau dia adalah Leo Park?" Jesselyn tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi dan mulai berbisik di telinga Bina yang masih duduk terdiam menatap lurus ke arah pria yang duduk di seberangnya.Bina hanya menganggukkan kepalanya dengan mantap untuk menjawab pertanyaan dari Jesselyn. "Bukannya aku tidak percaya padamu. Tapi, dilihat dari sisi manapun, wajahnya benar-benar tidak pantas untuk disebut sebagai 'pencuri bertangan kidal.' Bagaimana menyebutnya ya? Ah, wajahnya terlalu tampan! Dia juga terlalu muda untuk usia yang sedang kita cari." Jesselyn masih saja sibuk berbisik di telinga Bina."Jadi, bagaimana
***Pukul 20.10 CHNDi dalam auditorium “Tunggu! Apakah itu kau, Je? Yang menyamar sebagai Madam Lim?!” Tiba-tiba Evelyn Lee langsung bertanya dengan nada sedikit meninggi.Bina dan Jesselyn langsung melebarkan kedua mata. Kedua wanita itu hanya bisa saling melempar pandang satu sama lain sambil menunjukkan senyum kecut mereka.Gawat, mereka ketahuan!Helaan napas Evelyn Lee terdengar dengan jelas dari balik earpiece berukuran nano yang dipakai oleh kedua agen wanita tersebut. Kelihatan jelas kalau wanita di seberang sana mencoba menahan kekesalannya kepada Jesselyn dan Bina yang tidak menuruti rencananya sejak awal. “Tadi kami merasa sedikit bosan, jadi kami mencoba bertaruh sedikit dan sialnya, aku yang kalah dan harus memakai topeng jelek ini,” Jesselyn mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.Helaan napas Evelyn Lee kembali terdengar dari seberang earpiece.“Baiklah. Aku me-maklumi hal ini, karena kalian sudah terlanjur menyamar. Tapi, aku tidak akan me-maklumi satu pun k