Share

Terpukau

Penulis: Ji-Na
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-12 01:16:46

Ansel memperkenalkanku pada ibunya, “Bu, ini Claretta… Untuk sementara, dia tinggal di sini dulu ya Bu. Retta abis kecelakaan dan jauh dari keluarganya.”

Ibunya mengangguk dan tersenyum meskipun terlihat canggung.

“Saya Radhiti, ibunya Ansel. Kalo begitu, Retta tidur di kamar tamu aja ya. Kamarnya sudah bersih kok, karena setiap hari selalu dibersihkan.”

Tante Radhiti membawaku ke kamar tamu, dia juga menunjukkan baju-baju yang bisa kupakai. Baju-baju itu milik sepupunya Ansel yang kini tinggal di luar kota. Kamarnya bernuansa pink dengan sprei yang berwarna senada serta bermotif kucing, tokoh kartun kesukaan anak-anak perempuan. Kamar ini memang terlihat bersih dan rapi.

“Retta istirahat aja di sini dengan nyaman. Nanti kalo butuh sesuatu, bisa panggil Bik Inah. Dia asisten rumah tangga di sini."

“Terima kasih ya Bu, sudah mengizinkan saya tinggal disini.” Aku terharu melihat kebaikan Tante Radhiti.

Ia lantas memelukku. “Sama-sama, Retta, anggap rumah sendiri aja.”

Kubuka jendela kamar yang mengarah ke halaman belakang. Di sana ada kolam renang yang cukup luas, di sampingnya ditumbuhi pohon palem hias yang membuat suasana menjadi asri. Tak jauh dari kolam renang, ada gazebo dengan tema modern dengan kursi berwarna putih. Di sana ada Ansel sedang bernyanyi dan memainkan gitarnya. Suaranya sangat merdu selaras dengan petikan dari gitarnya. Aku terhanyut dengan suaranya. Kuputuskan keluar dari kamar dan menyusul Ansel ke gazebo.

Ansel begitu asyik memainkan gitarnya dan tak menyadari kehadiranku, hingga suara tepukan tanganku berhasil menyadarkannya.

“Retta, kok kamu di sini?” tanya Ansel.

“Aku bosen di kamar terus. By the way…, suara kamu bagus ya. Jago lagi main gitarnya," ujarku kagum dengan suaranya.

Alhasil, pujianku membuat Ansel tersenyum malu, ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Pipinya yang bersemu merah membuatku gemas melihatnya.

“Ah, aku jadi malu,” ujar Ansel.

“Keliatan kok, tuh pipi kamu merah kayak kepiting rebus… Hahaha….” Aku tergelak melihat dia semakin salah tingkah.

“Kamu bisa nyanyi gak? Atau main gitar? Kita collab,” ajak Ansel.

“Aku ga bisa nyanyi. Kalo denger suaraku, bisa-bisa nanti kamu pingsan. Suaraku mirip kayak Giant di Doraemon,” timpalku.

Ansel terkekeh mendengar jawabanku. “Hahahaha…, kamu ada-ada aja.”

“Kalau main gitar bisa?”sambung Ansel. Aku menggeleng dan menunduk malu.

“Sini aku ajarin,” ucap Ansel sambil menepuk-nepuk tempat di sebelahnya. Aku menghampirinya dan duduk di sampingnya.

Ansel memberikan gitarnya padaku. Dia memegang tanganku dan meletakkannya di atas senar gitar, menjelaskan kunci nada gitar. Tangannya tepat berada di atas tanganku, posisi kami sangat dekat hingga aroma tubuhnya bisa tercium olehku, aroma parfum yang maskulin. Kupandangi wajahnya yang begitu dekat dengan wajahku, Pesona ketampanannya membuat aku terpukau.Ada getaran aneh menjalar di jantungku, baru kali ini aku sedekat ini dengan seorang lelaki.

Aku baru menyadari, Kalo Ansel memiliki paras yang menarik. Kulitnya yang putih bersih, matanya yang berwarna cokelat membuatku tersihir ingin menatap dia lebih dalam. Hidungnya yang mancung dan mulutnya yang tipis, terlebih lagi saat ia tersenyum, membuatku semakin terpesona dengan ketampanannya.

‘Retta, kendalikan dirimu, kenapa kau terpesona dengan ketampanannya?’ aku membatin. Segera kualihkan pandanganku dari wajahnya dan fokus dengan gitar yang kini kupegang. Kuakui, memang sulit untuk tetap fokus jika Ansel benar-benar dekat denganku. Jantungku berdebar sejak tadi dan sulit kukendalikan.

“Gimana? Udah ngerti kan?” tanya Ansel.

Aku mengangguk cepat karena tak ingin berlama-lama lagi dengannya.

“Aku mandi dulu ya Sel, udah sore,” aku pamit dan segera masuk ke kamar.

Kubuka pintu kamar mandi, menyalakan keran dan mengisi bathtub sampai penuh. Kurendam tubuhku dan melepas segala penat, ditemani lilin aromaterapi dengan wangi bunga lavender, membuat rileks seketika. Aku memejamkan mata sejenak untuk menikmati rileksasi ini, tapi bayangan Ansel terus saja muncul di pikiranku. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri.

'Ah Retta, kenapa kau terus saja memikirkan Ansel?' ucapku dalam hati. Aku terus saja memukul-mukul kepalaku, berharap bayangan Ansel keluar dari otakku. Konyol memang, tapi aku kehabisan akal untuk menghilangkan bayangan Ansel.

Selepas mandi, kuambil handuk yang tergantung di kapstok belakang pintu kamar mandi. Saat sedang memilih-milih baju di lemari, ketukan dari pintu sedikit membuatku kaget. Kuraih kenop pintu dan membukanya.

“Ini Non, ada titipan dari Tuan Ansel.” Bik Inah menyerahkan sebuah paper bag.

“Makasih ya, Bik.”

Kukeluarkan isi paper bag, ternyata sebuah dress casual cantik berwarna putih dengan aksen renda di pinggiran lengannya. Selain itu ada kartu di dalamnya.

‘Retta, siap-siap ya. Jam 7 nanti kita makan bareng di luar.’

Aku tersenyum membacanya, kulirik jam masih di angka 6.20. Masih ada waktu untuk bersiap-siap. Kubuka laci meja rias, berharap ada kosmetik yang  tertinggal di dalamnya. Ternyata ada kosmetik yang lengkap, senang sekali rasanya. Segera kupakai dress pemberian dari Ansel, alhamdulillah ternyata pas. Tubuhku memang tergolong ideal, jadi tidak sulit untuk memilih baju.  

Selepas itu, kupoles wajahku dengan riasan yang sederhana. Aku memang lebih suka riasan wajah yang flawless. Rambutku kubiarkan tergerai, hanya kupasang jepit bentuk pita kecil di samping kiri. Kulirik kakiku, aku lupa kalau aku tidak punya sepatu. Saat pulang dari rumah sakit, aku hanya mengenakan sandal. Tak mungkin aku harus mengenakan sandal malam ini. Rasanya akan sangat kontras dengan penampilanku. Segera kucari di setiap sudut kamar, namun aku tak menemukan sepatu satu pun.

“Retta…. Ta…” Ansel mengetuk pintu dari luar dan segera kubuka. Ansel memakai kemeja panjang berwarna putih dan bagian lengannya dilipat sampai ke siku, celana berwarna abu serta sneaker berwarna putih. Ketampanannya semakin paripurna hingga aku terpana dibuatnya.

“Hello…. Ta…. Claretta….” Ansel menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajahku. Aku segera tersadar.

“Udah Sel, tapi ini….” Aku menunjukkan kakiku sambil meringis.

“Ah iya! Kenapa aku bisa lupa?” Ansel menepuk jidatnya sendiri. Segera ia mencari Bik Inah. Tak lama ia datang sambil menenteng flatshoes berwarna abu dengan aksen pita.

“Kamu cobain dulu ya, ini punya Ibu. Gayanya emang kadang suka kayak anak muda, mudah mudahan cukup di kamu.”

Ansel membungkuk dan memakaikan sepatu itu di kakiku, rasanya seperti Cinderella yang dipakaikan sepatu kaca oleh sang pangeran.

Ternyata sepatu itu cukup di kakiku, aku bernapas lega. Ansel menggenggam tanganku, mengajak untuk pergi setelah sebelumnya berpamitan pada Bik Inah karena Tante Radhiti sedang keluar.

Ansel mengajakku ke sebuah restoran yang berada di hotel mewah. Baru kali ini aku makan di tempat mewah seperti ini. Biasanya aku makan di cafe bersama Nathan atau temanku yang lain. Seorang pelayan mengantarkan buku menu.

“Saya pesan tenderloin steak ya Mba, sama minumnya blue ocean.  Kamu apa, Ta?”

“Saya pesan sirloin steak, sama minumnya samain aja.”  

Pesanan pun datang, tapi aku heran saat Ansel mengambil pesananku. Ternyata dia memotong-motong steak itu, agar aku lebih mudah memakannya. Aku terharu dibuatnya, baru kali ini ada pria yang memperlakukanku dengan istimewa. Kami menikmati makanan diselingi obrolan-obrolan yang ringan dan santai, hingga tak sadar malam sudah semakin larut. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang.

“Sel, makasih ya, udah ngajak aku makan malam.”

“Iya, sama-sama. Aku seneng kok makan bareng kamu.” Ansel tersenyum dan mengusap kepalaku dengan lembut.

Kulihat pemandangan di sisi jalan yang kulalui. Kota ini begitu megah, gedung pencakar langit berdiri di sepanjang jalan. Kota ini pun begitu tertib, semua tertata rapi. Lampu berwarna-warni menghiasi jalan saat malam, membuat suasana malam menjadi indah.

"Ta, kamu suka ga sama kota ini?"

"Emh, aku suka sel. Kayaknya baru kali ini aku datang ke tempat sebagus ini. Malah menurutku, Jakarta masih kalah jauh deh daripada Saranjana ini," jawabku sambil menikmati pemandangan di malam hari.

Ansel tertawa kecil, "Kota ini memang punya keistimewaannya sendiri.  Disini sistem pemerintahannya kerajaan, beda sama di kota manapun."

Mendengar penuturan Ansel, sebenarnya aku merasa sangsi mendengarnya. Setahuku di Indonesia ini, kota yang bentuknya kerajaan cuma Yogyakarta, itu pun disebutnya kesultanan. Tapi kutepis pikiranku, mungkin wawasanku saja yang kurang luas. Lagipula aku baru pindah ke Borneo ini 5 tahun sejak ayah menikah, jadi aku tidak terlalu mengenal daerah ini.

"Selain itu Ta, disini juga kamu akan menemukan sesuatu yang gak bisa ditemukan di tempat lain,"

"Sesuatu?sesuatu  apa maksudnya?"tanyaku.

"Cinta sejati misalnya," goda Ansel sambil tersenyum memamerkan gigi putihnya yang rapi.

Aku tak menjawab dan tersipu malu.

Tiba di rumah, kami segera turun dari mobil. Tante Radhiti yang membukakan pintu. Namun aku merasa heran dengan perlakuan Tante Radhiti sangat berbeda dengan tadi siang. Sekarang dia melihatku dengan tatapan tidak suka.

“Tante, Retta masuk kamar dulu ya,” ucapku. Tante Radhiti hanya menjawab dengan anggukan kepalanya tanpa sepatah kata pun.

Aku menoleh ke arah Ansel. Rupanya Ansel sedang menatap ibunya yang memperlakukanku dengan sinis. Karena tak enak hati, aku segera masuk kamar dan tak ingin ikut campur dengan masalah mereka.

Bab terkait

  • LOVE IN A LOST CITY   Cinta dan Luka

    “Ansel, sampai kapan kamu menahan gadis itu di sini?” tanya Radhiti.Ansel menghela napas panjang dan terdiam sesaat. Sejujurnya ia pun tak tahu jawabannya. Sulit baginya membiarkan gadis itu pergi darinya. Gadis yang telah mencuri hatinya sejak awal bertemu.“Ansel suka sama Claretta, Bu. Ansel ga mau dia pergi dari sini.” Ansel menundukkan kepalanya dan tak berani memandang ibunya.“Tapi kamu gak bisa memisahkan gadis itu dengan keluarganya. Kalian itu berbeda, Nak,” balas Radhiti, seorang wanita paruh baya yang kecantikannya terlihat tak memudar dan termakan usia.“Cinta tak mengenal perbedaan, Bu. Lagipula Claretta juga menyukai Ansel,” bela Ansel. Ia menatap dalam pada ibunya, berharap ibunya bisa mengerti perasaannya.Kini terdengar helaan napas dari Radhiti. “Apa kamu yakin dia akan tetap menyukaimu setelah tahu siapa kita sebenarnya?”Bukannya Radhiti tak mengerti pera

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-12
  • LOVE IN A LOST CITY   Pulang

    Kuraih tangannya.“Ansel, kamu mau permainkan aku? Setelah kamu nyatain cinta,sekarang kamu ngusir aku?” tanyaku dengan penuh penekanan. “Kamu pikir aku mainan, yang bisa kamubuang begitu saja saat kamu bosan,hah?” aku berteriak kesal. “Retta, kamu sadar ga sih? Tempat kamu bukan di sini,” jawab Ansel. “Terus di mana tempatku? Kamu yang bawa aku ke sini!” balasku dengan ketus. “Kembali pada keluargamu.” Ansel menatapku dengan tatapan dingin. Ia melepaskan tanganku. Lantas ia berlalu begitu saja dan meninggalkanku seorang diri di taman ini. "Tadi kamu bilang ingin menjagaku dan melindungiku? belum satu jam berlalu dan sekarang kamu tiba-tiba berubah," sambungku. "Sekarang aku sadar, ternyata aku gak pernah benar-benar menginginkan kamu," jawab Ansel dan berlalu begitu saja. Sungguh sulit dipercaya, perkataanya barusan benar-benar membuat hatiku hancur berkeping-keping. Aku pernah merasa dicampakkan saat Ay

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-12
  • LOVE IN A LOST CITY   Sosok yang Kukenal

    Dering di ponsel membuatku terbangun, kulihat jam sudah menunjukkan angka tujuh. Rupanya sejak semalam, aku tertidur. Kemarin memang hari yang melelahkan buatku. Kulihat nama Nathan sedang memanggil. “Halo, Nath...Ada apa sih pagi-pagi udah nelpon?” tanyaku malas. “Ya elah, bangun Non. Keburu rezeki dipatok ayam, jam segini baru bangun.” “Dipatok kamu tuh yang ada, jam segini udah nelpon” jawabku ketus “Beneran nih, mau dipatok sama aku?” Nathan menggodaku. Aku berdecak kesal, ‘Ini anak, kayaknya minta dipecat jadi sahabatku,’ aku mengomel dalam hati “Hari ini kita bimbingan lagi yuk! Judul skripsi kamu kan udah di acc, cuma keburu kamu menghilang aja jadinya mangkrak deh kayak pembangunan jalan provinsi,” ajak Nathan. Aku termenung, kejadian kemarin pasti telah membuat suasana geger di kampus. Seorang maha

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • LOVE IN A LOST CITY   Keinginan yang Tertunda

    Sementara itu di kota Saranjana, Ansel merasa menyesal dengan keputusannya. Membiarkan Retta pergi kembali ke dunianya, membuat batinnya tersiksa sendiri. Waktu yang telah ia lewati bersama Retta, terasa begitu singkat. Hal yang paling ia sesali adalah bahwa ia telah menyakiti gadis yang dicintainya. ‘Aku harus meminta maaf pada Retta,’ kata Ansel dalam hati. Ia menyelinap keluar dari kamarnya, tak ingin langkahnya diketahui oleh ibunya. Jika Radhiti tahu, ia pasti akan melarang anaknya itu untuk berhubungan lagi dengan Retta. Ansel membuka pintu depan dengan perlahan dan berjalan dengan mengendap-endap. Namun ternyata Radhiti memergokinya dan mencurigainya. “Mau kemana kamu Ansel?” hardi Radhiti dengan sorot mata yang tajam. Keringat dingin membasahi pelipis Ansel, “Ansel mau ke rumah sakit Bu, sebentar lagi ada rapat internal.” Sesungguhnya pemuda itu tidak bera

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-07
  • LOVE IN A LOST CITY   Gadis yang Sama

    “Kamu? Ngapain kamu ada disini?” tanya Ansel, Ia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Sedangkan sosok yang kini berada di depannya hanya menyeringai, tanpa sepatah katapun. “Ayolah Helena, kenapa kamu bisa ada disini?” Ansel masih penasaran dengan kedatangan sepupunya yang tiba-tiba saja datang di hadapannya. “Apa kamu terkejut dengan kedatanganku?” tanya Helena dengan senyum mengejek. “Tentu saja, kamu datang tiba-tiba lalu menculikku.” jawab Ansel. “Apa kamu kagum dengan kekuatanku? Hanya dengan satu gerakan, aku berhasil menculikmu,” cemooh Helena.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-11
  • LOVE IN A LOST CITY   Hari yang Buruk

    “Retta, tadi kamu cari siapa? Laki-laki itu?” tanya Nathan meminta penjelasan Aku mengangguk pelan, Nathan terlihat menghela nafasnya dengan berat. Mungkin ia kecewa padaku karena masih saja teringat tentang Ansel. Tapi bagaimana lagi, semua hal tentang Saranjana termasuk Ansel, masing terbayang-bayang di ingatanku. Sampai saat ini, aku merasa bahwa itu semua nyata. Meskipun aku sedikit ragu dengan perasaanku pada Ansel, entah nyata atau tidak. “Retta, bukankah kamu janji padaku?” tanya Nathan, “Untuk melupakan semua hal tentang Saranjana termasuk laki-laki itu.” “Tapi bukan salahku Nath, kalau bayangan Ansel tiba-tiba muncul di hadapanku.” tukasku. “Kenapa sih kamu selalu mikirin laki-laki itu?” keluh Nathan. Aku memalingkan muka, memilih untuk tak menjawab pertanyaan Nathan. Nathan menatapku dengan sorot mata yang tajam. “Kamu ada perasaan sama dia?”

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-15
  • LOVE IN A LOST CITY   Persahabatan Claretta dan Nathan

    Teeeeeet … bel sekolah sudah berbunyi, seluruh siswa sudah masuk ke kelas masing-masing untuk memulai jam pelajaran. Seorang guru perempuan bernama Bu Sovia, memasuki kelas XII IPA 2, Ketua kelas memberikan aba-aba pada siswa lainnya untuk memberikan salam pada sang guru. Usai menjawab salam dari semua siswa, pandangan guru tersebut menyisiri seisi ruangan. Pandangannya berhenti pada seorang siswa yang duduk di dekat jendela, tampaknya siswa tersebut masih asyik didunia mimpinya. Ia tidak terbangun, meskipun jam pelajaran sudah dimulai. Bu Sovia menghampiri siswa tersebut, dan mengambil buku dari salah satu siswa. Alih-alih menghukum siswa tersebut, guru tersebut justru mengipasi siswa itu. Semua siswa tertawa melihat tingkah laku siswa laki-laki tersebut. Tapi ia tak kunjung bangun juga. Bu sovia duduk di kursi sampingnya yang memang kosong dan menepuk pipinya dengan lembut. “Nathan, banguu

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-18
  • LOVE IN A LOST CITY   Bayangan di Paviliun

    ‘Kenapa jalan ini terasa asing bagiku?’ batinku. saat aku tiba di Pulau Laut. Kutepikan mobilku di dekat pantai, suasana disini terasa sepi. Terlebih lagi disini mulai senja, sejujurnya aku sedikit merasa takut berada di tempat ini seorang diri. Tapi aku tak punya tempat lagi untuk ku singgahi. Bodohnya aku berharap bisa menemui Ansel disini. Hanya dia satu-satunya yang orang yang membuatku merasa nyaman. Aku terduduk di tepi pantai, menertawakan nasibku sendiri. Aku merasa bodoh dan merasa dikhianati oleh orang-orang terdekatku. Tak terasa butiran-butiran kristal pun terjatuh dari sudut mataku. Kubenamkan kepala di antara tangan dan kakiku, melepaskan semua kesedihanyang menyesakkan dada. Setidaknya suara deburan ombak, menemaniku malam ini. Tiba-tiba sebuah tangan, membelai rambutku dengan lembut. Aku terkejut dan segera menoleh ke samping. Seorang pria bermata coklat tengah memandangku dengan tatapan matanya yang teduh.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-24

Bab terbaru

  • LOVE IN A LOST CITY   Elvira?

    “Claretta … ,” panggil Ansel, membuatku tersadar dari lamunanku. Tubuhku masih kaku, tak percaya dengan kenyataan yang terjadi di hadapanku. Ansel masih saja berusaha mendekatiku, Namun kali ini aku merasa takut berada di dekatnya. Aku menghindarinya dengan mundur beberapa langkah, tanpa sadar aku sudah berada di tepi bukit ini. Hampir saja aku hilang keseimbangan, beruntungnya Ansel segera meraih tanganku. Ansel memang berhasil menyelamatkanku, tapi aku masih syok dengan kejadian barusan. Jika Ansel terlambat beberapa detik saja menyelamatkanku mungkin aku sudah jatuh ke jurang. Tubuhku bergetar, menahan sesak di dada. Aku menangis kencang, seperti anak kehilangan induknya. Ya, aku merasa kehilangan arah hidupku. Semua tidak seperti yang kuharapkan. Ansel memelukku dan berusaha menenangkanku tapi tangisku belum juga reda. Ansel segera membawaku pulang. Sesampainya di rumah, Helena menungguku dengan wajah yan

  • LOVE IN A LOST CITY   Cinta Claretta dan Ansel

    Aku masih penasaran, dengan paviliun itu. ‘Sebenarnya bayangan apa yang tadi kulihat?’ pikirku. Saat Helena sudah keluar, aku kembali membuka tirai di jendela. Kulihat Helena pergi menuju paviliun dengan mengendap-endap. Sungguh aneh, ia berjalan dengan mengendap-endap di rumahnya sendiri, tak mungkin ia bersembunyi dari seseorang. aku harus mengikuti Helena dan mencari tahu apa yang sedang Helena lakukan di luar sana. Aku membuka pintu kamar dengan hati-hati. Di dalam rumah, sudah sedikit gelap. Lampu di sekitar ruangan sudah padam, hanya beberapa lampu sudut yang dibiarkan menyala. Praang … aku mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Baru saja beberapa langkah menuju dapur, tiba-tiba terdengar suara mobil dari arah depan. Penasaran, kubuka tirai yang ada di ruang tamu, rupanya Ansel yang datang. Segera kuraih kenop pintu dan membukakan pintu untuk Ansel. “Ansel, kok balik lagi? Ada yang ket

  • LOVE IN A LOST CITY   Dimana Nathan?

    Seorang pemuda terkapar tak sadarkan diri di pinggiran pantai, seorang gadis berambut pendek sebahu, menghampiri pemuda itu. Ia memeriksa denyut nadi pemuda tersebut untuk memeriksa keadaannya. Setelah memastikan kondisinya baik-baik saja, gadis itu memapah pemuda itu menuju mobil untuk membawanya pulang. Pemuda tersebut akhirnya mulai tersadar dan mengerjapkan matanya beberapa kali, saat menyadari dirinya berada di tempat yang asing. “Kamu udah bangun?” tanya gadis yang sedang duduk di kursi sebelahnya. Nathan mengangguk pelan, “kamu siapa?aku ada dimana?” “Aku Helena, sepupunya Ansel. Kamu tadi pingsan di pinggir pantai, jadinya aku bawa kamu kesini deh,” jawab Helena. “Ansel?” Nathan seperti tidak asing dengan nama itu. “Ya, Ansel yang saat ini bersama Claretta. Aku tahu semua tentang Claretta, termasuk soal sahabatnya yang diam-diam menc

  • LOVE IN A LOST CITY   Bayangan di Paviliun

    ‘Kenapa jalan ini terasa asing bagiku?’ batinku. saat aku tiba di Pulau Laut. Kutepikan mobilku di dekat pantai, suasana disini terasa sepi. Terlebih lagi disini mulai senja, sejujurnya aku sedikit merasa takut berada di tempat ini seorang diri. Tapi aku tak punya tempat lagi untuk ku singgahi. Bodohnya aku berharap bisa menemui Ansel disini. Hanya dia satu-satunya yang orang yang membuatku merasa nyaman. Aku terduduk di tepi pantai, menertawakan nasibku sendiri. Aku merasa bodoh dan merasa dikhianati oleh orang-orang terdekatku. Tak terasa butiran-butiran kristal pun terjatuh dari sudut mataku. Kubenamkan kepala di antara tangan dan kakiku, melepaskan semua kesedihanyang menyesakkan dada. Setidaknya suara deburan ombak, menemaniku malam ini. Tiba-tiba sebuah tangan, membelai rambutku dengan lembut. Aku terkejut dan segera menoleh ke samping. Seorang pria bermata coklat tengah memandangku dengan tatapan matanya yang teduh.

  • LOVE IN A LOST CITY   Persahabatan Claretta dan Nathan

    Teeeeeet … bel sekolah sudah berbunyi, seluruh siswa sudah masuk ke kelas masing-masing untuk memulai jam pelajaran. Seorang guru perempuan bernama Bu Sovia, memasuki kelas XII IPA 2, Ketua kelas memberikan aba-aba pada siswa lainnya untuk memberikan salam pada sang guru. Usai menjawab salam dari semua siswa, pandangan guru tersebut menyisiri seisi ruangan. Pandangannya berhenti pada seorang siswa yang duduk di dekat jendela, tampaknya siswa tersebut masih asyik didunia mimpinya. Ia tidak terbangun, meskipun jam pelajaran sudah dimulai. Bu Sovia menghampiri siswa tersebut, dan mengambil buku dari salah satu siswa. Alih-alih menghukum siswa tersebut, guru tersebut justru mengipasi siswa itu. Semua siswa tertawa melihat tingkah laku siswa laki-laki tersebut. Tapi ia tak kunjung bangun juga. Bu sovia duduk di kursi sampingnya yang memang kosong dan menepuk pipinya dengan lembut. “Nathan, banguu

  • LOVE IN A LOST CITY   Hari yang Buruk

    “Retta, tadi kamu cari siapa? Laki-laki itu?” tanya Nathan meminta penjelasan Aku mengangguk pelan, Nathan terlihat menghela nafasnya dengan berat. Mungkin ia kecewa padaku karena masih saja teringat tentang Ansel. Tapi bagaimana lagi, semua hal tentang Saranjana termasuk Ansel, masing terbayang-bayang di ingatanku. Sampai saat ini, aku merasa bahwa itu semua nyata. Meskipun aku sedikit ragu dengan perasaanku pada Ansel, entah nyata atau tidak. “Retta, bukankah kamu janji padaku?” tanya Nathan, “Untuk melupakan semua hal tentang Saranjana termasuk laki-laki itu.” “Tapi bukan salahku Nath, kalau bayangan Ansel tiba-tiba muncul di hadapanku.” tukasku. “Kenapa sih kamu selalu mikirin laki-laki itu?” keluh Nathan. Aku memalingkan muka, memilih untuk tak menjawab pertanyaan Nathan. Nathan menatapku dengan sorot mata yang tajam. “Kamu ada perasaan sama dia?”

  • LOVE IN A LOST CITY   Gadis yang Sama

    “Kamu? Ngapain kamu ada disini?” tanya Ansel, Ia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Sedangkan sosok yang kini berada di depannya hanya menyeringai, tanpa sepatah katapun. “Ayolah Helena, kenapa kamu bisa ada disini?” Ansel masih penasaran dengan kedatangan sepupunya yang tiba-tiba saja datang di hadapannya. “Apa kamu terkejut dengan kedatanganku?” tanya Helena dengan senyum mengejek. “Tentu saja, kamu datang tiba-tiba lalu menculikku.” jawab Ansel. “Apa kamu kagum dengan kekuatanku? Hanya dengan satu gerakan, aku berhasil menculikmu,” cemooh Helena.

  • LOVE IN A LOST CITY   Keinginan yang Tertunda

    Sementara itu di kota Saranjana, Ansel merasa menyesal dengan keputusannya. Membiarkan Retta pergi kembali ke dunianya, membuat batinnya tersiksa sendiri. Waktu yang telah ia lewati bersama Retta, terasa begitu singkat. Hal yang paling ia sesali adalah bahwa ia telah menyakiti gadis yang dicintainya. ‘Aku harus meminta maaf pada Retta,’ kata Ansel dalam hati. Ia menyelinap keluar dari kamarnya, tak ingin langkahnya diketahui oleh ibunya. Jika Radhiti tahu, ia pasti akan melarang anaknya itu untuk berhubungan lagi dengan Retta. Ansel membuka pintu depan dengan perlahan dan berjalan dengan mengendap-endap. Namun ternyata Radhiti memergokinya dan mencurigainya. “Mau kemana kamu Ansel?” hardi Radhiti dengan sorot mata yang tajam. Keringat dingin membasahi pelipis Ansel, “Ansel mau ke rumah sakit Bu, sebentar lagi ada rapat internal.” Sesungguhnya pemuda itu tidak bera

  • LOVE IN A LOST CITY   Sosok yang Kukenal

    Dering di ponsel membuatku terbangun, kulihat jam sudah menunjukkan angka tujuh. Rupanya sejak semalam, aku tertidur. Kemarin memang hari yang melelahkan buatku. Kulihat nama Nathan sedang memanggil. “Halo, Nath...Ada apa sih pagi-pagi udah nelpon?” tanyaku malas. “Ya elah, bangun Non. Keburu rezeki dipatok ayam, jam segini baru bangun.” “Dipatok kamu tuh yang ada, jam segini udah nelpon” jawabku ketus “Beneran nih, mau dipatok sama aku?” Nathan menggodaku. Aku berdecak kesal, ‘Ini anak, kayaknya minta dipecat jadi sahabatku,’ aku mengomel dalam hati “Hari ini kita bimbingan lagi yuk! Judul skripsi kamu kan udah di acc, cuma keburu kamu menghilang aja jadinya mangkrak deh kayak pembangunan jalan provinsi,” ajak Nathan. Aku termenung, kejadian kemarin pasti telah membuat suasana geger di kampus. Seorang maha

DMCA.com Protection Status