“Kamu? Ngapain kamu ada disini?” tanya Ansel, Ia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
Sedangkan sosok yang kini berada di depannya hanya menyeringai, tanpa sepatah katapun.
“Ayolah Helena, kenapa kamu bisa ada disini?” Ansel masih penasaran dengan kedatangan sepupunya yang tiba-tiba saja datang di hadapannya.
“Apa kamu terkejut dengan kedatanganku?” tanya Helena dengan senyum mengejek.
“Tentu saja, kamu datang tiba-tiba lalu menculikku.” jawab Ansel.
“Apa kamu kagum dengan kekuatanku? Hanya dengan satu gerakan, aku berhasil menculikmu,” cemooh Helena.
Tentu saja Ansel kalah oleh Helena, meskipun seorang wanita tapi Helena mahir beladiri. Sejak kecil, Helena menyukai olahraga beladiri sedangkan Ansel lebih unggul di bidang akademis hingga ia bisa menjadi seorang dokter. Hubungan mereka sebagai saudara memang cukup dekat. Bahkan Helena lebih dekat dengan Radhiti dan Ansel dibandingkan dengan orang tuanya. Itu sebabnya Helena mempunyai kamar sendiri di rumah Ansel. Ia lebih sering tinggal disana daripada rumahnya sendiri.
Orang tua Helena sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Kehidupan di Saranjana tak jauh beda dengan kehidupan di dunia nyata bahkan peradaban disana lebih maju. Aktivitas yang mereka lakukan sama dengan manusia pada umumnya.
“Baiklah, kau memang jagoan. Tenagamu kuat seperti Hulk, tapi hatimu seperti Hello Kitty,” kelakar Ansel. Helena tergelak mendengarnya.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku, Kenapa kamu bisa ada disini?”sambung Ansel.
Helena tersenyum kecil, “ Karena siapa lagi? Ibumu yang menyuruhku untuk nemuin kamu."
“Sudah kuduga, Ibu pasti tahu tentang kebohonganku.” jawab Ansel sambil manggut-manggut.
“Sel, kenapa sih buat masalah lagi?bikin Tante Radhiti khawatir aja deh?”
“Na, Memangnya salah aku apa? aku hanya mencintai seorang wanita?”
“Kamu tidak salah, tapi selera wanitamu yang salah. Kenapa kamu selalu menyukai wanita yang berbeda dari kita sih?” tanya Helena heran.
“Di Saranjana kan banyak wanita yang cantik-cantik dan tentu saja tidak akan menimbulkan pertentangan,” lanjut Helena.
“Tapi aku tidak suka mereka!” Ansel berdecak kesal.
Helena mengalah untuk sementara waktu, percuma berdebat dengan Ansel.Sepupunya itu memang keras kepala, butuh treatment khusus untuk menghadapi orang seperti itu. Sebenarnya Helena tahu, akan sulit untuk memisahkan Ansel dengan Claretta.
Tak sembarang orang yang bisa melihat ke Saranjana hanya orang-orang tertentu yang memiliki ilmu hikmah atau mengerti ilmu ghaib yang bisa melihat dan datang kesana. Pasti ada suatu alasan yang membuat Claretta bisa tersesat di Saranjana.
Claretta tak sengaja datang ke Saranjana dan memakan makanan disana, bahkan menginap di rumah Ansel. Akan sulit bagi Retta untuk lepas dari Saranjana. Terlebih lagi terlibat hubungan emosional dengan penduduk Saranjana. Cepat atau lambat, Claretta akan kembali ke Saranjana.
Pandangan Helena lalu teralihkan pada gadis di seberang sana,orang yang diikuti Ansel sejak tadi. Ia menyipitkan matanya dan terkejut bukan main hingga mengedipkan matanya berkali-kali.`
“Sel, bukankah ia gadis yang kamu sukai?”
“Iya, memang kenapa?” Ansel balik bertanya
“Ini bukan sebuah kebetulan kan?”
“Awalnya kebetulan, tapi akan kubuat kebetulan ini jadi kenyataan,” tegas Ansel.
Tak lama, Claretta melintas di depannya. Hanya saja ia tak melihat kehadiran Ansel dan Helena. Mereka sedang tak menampakkan dirinya. Orang-orang seperti Ansel dan Helena bisa terlihat jika mereka menghendaki untuk menampakkan dirinya. Ansel yang melihat Retta, lantas berusaha untuk menyusulnya.
Helena segera menarik paksa Ansel ke mobilnya, Ansel menolak tapi tak bisa melawan tenaga Helena yang lebih besar. Ia hanya bisa ngomel-ngomel tidak jelas. Setelah memastikan Ansel masuk ke mobil, Helena langsung tancap gas kembali ke Saranjana.
“Helena, kita mau kemana?” seru Ansel.
“Kita ke psikiater, karena kamu sudah mulai gila,” hardik Helena. Pandangan matanya tetap lurus ke depan, tanpa menoleh sedetik pun pada Ansel.
“Kamu pikir aku gila?hah?” Ansel berang merasa tak terima, nafasnya mulai memburu.
“Ya! Kamu tergila-gila pada perempuan di luar batas kewajaran,” sentak Helena.
Pertengkaran semakin memanas, kedua saudara itu saling beradu mulut dan tetap pada argumen nya masing-masing.
“Kenapa mencintai seorang wanita dianggap hal yang tidak wajar?”
“Karena kamu mencintai gadis yang sama Ansel!” Helena semakin geram.
“Mereka gadis yang berbeda!,” sanggah Ansel tak mau kalah.
“Ansel, kamu pasti tahu maksud perkataanku!” cecar Helena.
“Akan kuadukan semuanya pada Tante Radhiti!” ancam Helena.
Emosi Ansel mulai melunak, ia tak ingin ibunya tahu semua hal tentang Claretta. Jika ibunya tahu, akan semakin sulit baginya untuk mendapatkan Claretta. Dia harus mencegah Helena mengadu pada ibunya.
“Helena, bukankah kita lebih dari sekedar sepupu?” Ansel menggumam. Helena hanya diam tak menjawab
“Kamu sudah kuanggap seperti kakakku sendiri, kamu juga yang selalu membelaku di depan ibu.”
“Kamu pasti gak mau kan melihat aku bertengkar dengan ibu?” sambung Ansel.
Helena membuang muka, “udah deh, gak usah merajuk!” sungut Helena.
“Kenapa aku selalu luluh sama kamu?” keluh Helena menyesali sendiri sikapnya. Ansel tersenyum merasa menang.
“Ok, aku akan melepaskanmu kali ini. Tapi kamu segera menyelesaikan masalahmu.!” titah Helena.
Mobil Helena sudah memasuki halaman rumah Ansel, mereka segera masuk ke dalam rumah. Ansel langsung masuk ke dalam kamar, untuk menghindari ibunya. Helena mencari Radhiti ke segala ruangan, Radhiti rupanya sedang duduk di gazebo belakang rumah. Helena menghampiri wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri.
“Bagaimana sayang? kamu sudah bertemu dengan Ansel? tanya Radhiti.
Helena mengangguk pelan, “Sudah Tan, Tapi seperti yang kita tahu … Ansel orangnya keras. Kalau kita keras, dia akan semakin keras.”
“Lalu kita harus gimana Na?” tanya Radhiti dengan tatapan sendu. Kekhawatiran dari seorang jelas terlihat dari kilat di matanya.
“Biar nanti Helena yang mengawasi Ansel, Tante jangan khawatir!” Helena merangkul Radhiti untuk menenangkannya.
“Terima kasih ya Helena,” ucap Radhiti sembari mengusap lembut lengan Helena.
“Boleh Tante minta tolong lagi?” tanya Radhiti
“Boleh, minta tolong apa Tante?” Helena bertanya balik.
“Tolong selidiki latar belakang gadis itu, Tante penasaran kenapa Ansel bisa tergila-gila pada gadis itu?” Radhiti memohon.
Helena berpikir sejenak, ia bimbang antara ingin memberitahukan yang sesungguhnya atau tetap menuruti permintaan Ansel. Namun akhirnya ia menyetujui permintaan Radhiti.
‘Maaf Tan, aku harus bohong. Aku gak mau Tante terkejut dan semakin khawatir kalau tahu siapa Claretta sesungguhnya,’ sesal Helena dalam hati.
Ia berpamitan pada Radhiti untuk memastikan sesuatu. Ia pergi ke sebuah alamat yang tadi diberikan oleh Ansel. Sekarang ia sudah berada di depan pagar rumah Claretta, tapi ia tidak melihat gadis itu. Seorang wanita keluar dari dalam rumah bersama bayi yang sedang digendongnya. Pandangan matanya terbelalak, wanita itu tidak asing baginya. Meskipun mereka tidak saling mengenal tapi mereka pernah sekali bertemu.
Hai, makasih yang udah mampir ke novelku .... Banyak misteri-misteri yang terungkap di bab selanjutnya nih. Terus ikutin kisah Retta selanjutnya ya.
“Retta, tadi kamu cari siapa? Laki-laki itu?” tanya Nathan meminta penjelasan Aku mengangguk pelan, Nathan terlihat menghela nafasnya dengan berat. Mungkin ia kecewa padaku karena masih saja teringat tentang Ansel. Tapi bagaimana lagi, semua hal tentang Saranjana termasuk Ansel, masing terbayang-bayang di ingatanku. Sampai saat ini, aku merasa bahwa itu semua nyata. Meskipun aku sedikit ragu dengan perasaanku pada Ansel, entah nyata atau tidak. “Retta, bukankah kamu janji padaku?” tanya Nathan, “Untuk melupakan semua hal tentang Saranjana termasuk laki-laki itu.” “Tapi bukan salahku Nath, kalau bayangan Ansel tiba-tiba muncul di hadapanku.” tukasku. “Kenapa sih kamu selalu mikirin laki-laki itu?” keluh Nathan. Aku memalingkan muka, memilih untuk tak menjawab pertanyaan Nathan. Nathan menatapku dengan sorot mata yang tajam. “Kamu ada perasaan sama dia?”
Teeeeeet … bel sekolah sudah berbunyi, seluruh siswa sudah masuk ke kelas masing-masing untuk memulai jam pelajaran. Seorang guru perempuan bernama Bu Sovia, memasuki kelas XII IPA 2, Ketua kelas memberikan aba-aba pada siswa lainnya untuk memberikan salam pada sang guru. Usai menjawab salam dari semua siswa, pandangan guru tersebut menyisiri seisi ruangan. Pandangannya berhenti pada seorang siswa yang duduk di dekat jendela, tampaknya siswa tersebut masih asyik didunia mimpinya. Ia tidak terbangun, meskipun jam pelajaran sudah dimulai. Bu Sovia menghampiri siswa tersebut, dan mengambil buku dari salah satu siswa. Alih-alih menghukum siswa tersebut, guru tersebut justru mengipasi siswa itu. Semua siswa tertawa melihat tingkah laku siswa laki-laki tersebut. Tapi ia tak kunjung bangun juga. Bu sovia duduk di kursi sampingnya yang memang kosong dan menepuk pipinya dengan lembut. “Nathan, banguu
‘Kenapa jalan ini terasa asing bagiku?’ batinku. saat aku tiba di Pulau Laut. Kutepikan mobilku di dekat pantai, suasana disini terasa sepi. Terlebih lagi disini mulai senja, sejujurnya aku sedikit merasa takut berada di tempat ini seorang diri. Tapi aku tak punya tempat lagi untuk ku singgahi. Bodohnya aku berharap bisa menemui Ansel disini. Hanya dia satu-satunya yang orang yang membuatku merasa nyaman. Aku terduduk di tepi pantai, menertawakan nasibku sendiri. Aku merasa bodoh dan merasa dikhianati oleh orang-orang terdekatku. Tak terasa butiran-butiran kristal pun terjatuh dari sudut mataku. Kubenamkan kepala di antara tangan dan kakiku, melepaskan semua kesedihanyang menyesakkan dada. Setidaknya suara deburan ombak, menemaniku malam ini. Tiba-tiba sebuah tangan, membelai rambutku dengan lembut. Aku terkejut dan segera menoleh ke samping. Seorang pria bermata coklat tengah memandangku dengan tatapan matanya yang teduh.
Seorang pemuda terkapar tak sadarkan diri di pinggiran pantai, seorang gadis berambut pendek sebahu, menghampiri pemuda itu. Ia memeriksa denyut nadi pemuda tersebut untuk memeriksa keadaannya. Setelah memastikan kondisinya baik-baik saja, gadis itu memapah pemuda itu menuju mobil untuk membawanya pulang. Pemuda tersebut akhirnya mulai tersadar dan mengerjapkan matanya beberapa kali, saat menyadari dirinya berada di tempat yang asing. “Kamu udah bangun?” tanya gadis yang sedang duduk di kursi sebelahnya. Nathan mengangguk pelan, “kamu siapa?aku ada dimana?” “Aku Helena, sepupunya Ansel. Kamu tadi pingsan di pinggir pantai, jadinya aku bawa kamu kesini deh,” jawab Helena. “Ansel?” Nathan seperti tidak asing dengan nama itu. “Ya, Ansel yang saat ini bersama Claretta. Aku tahu semua tentang Claretta, termasuk soal sahabatnya yang diam-diam menc
Aku masih penasaran, dengan paviliun itu. ‘Sebenarnya bayangan apa yang tadi kulihat?’ pikirku. Saat Helena sudah keluar, aku kembali membuka tirai di jendela. Kulihat Helena pergi menuju paviliun dengan mengendap-endap. Sungguh aneh, ia berjalan dengan mengendap-endap di rumahnya sendiri, tak mungkin ia bersembunyi dari seseorang. aku harus mengikuti Helena dan mencari tahu apa yang sedang Helena lakukan di luar sana. Aku membuka pintu kamar dengan hati-hati. Di dalam rumah, sudah sedikit gelap. Lampu di sekitar ruangan sudah padam, hanya beberapa lampu sudut yang dibiarkan menyala. Praang … aku mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Baru saja beberapa langkah menuju dapur, tiba-tiba terdengar suara mobil dari arah depan. Penasaran, kubuka tirai yang ada di ruang tamu, rupanya Ansel yang datang. Segera kuraih kenop pintu dan membukakan pintu untuk Ansel. “Ansel, kok balik lagi? Ada yang ket
“Claretta … ,” panggil Ansel, membuatku tersadar dari lamunanku. Tubuhku masih kaku, tak percaya dengan kenyataan yang terjadi di hadapanku. Ansel masih saja berusaha mendekatiku, Namun kali ini aku merasa takut berada di dekatnya. Aku menghindarinya dengan mundur beberapa langkah, tanpa sadar aku sudah berada di tepi bukit ini. Hampir saja aku hilang keseimbangan, beruntungnya Ansel segera meraih tanganku. Ansel memang berhasil menyelamatkanku, tapi aku masih syok dengan kejadian barusan. Jika Ansel terlambat beberapa detik saja menyelamatkanku mungkin aku sudah jatuh ke jurang. Tubuhku bergetar, menahan sesak di dada. Aku menangis kencang, seperti anak kehilangan induknya. Ya, aku merasa kehilangan arah hidupku. Semua tidak seperti yang kuharapkan. Ansel memelukku dan berusaha menenangkanku tapi tangisku belum juga reda. Ansel segera membawaku pulang. Sesampainya di rumah, Helena menungguku dengan wajah yan
“Hallo, Assalamualaikum… Ada apa,Yah?” Dengan nada malas, aku mengangkat telepon dari Ayah.“Nak, Tante Sari sudah melahirkan. Kamu dateng kesiniya?”Suara Ayah terdengar dari ujung telepon sana.“Enggak ah, ngapain aku ke sana?” tolakku tegas. Malas sekali jika aku harus ke sana. Melihat Tante Sari saja sudah membuatku kesal,apalagi ditambah dengan kehadiran anaknya.“Tidak ada yang membantu Ayah di sini. Lagipula apa kamu tidak mau melihat adikmu?” balas Ayah.‘Sejak kapan aku mempunyai adik? Ish…,perkataan Ayah membuatku kesal saja,’ aku mengomel dalam hati.Bayi itu anak Ayah dari Tante Sari. Sejak dulu aku tak pernah menerima kehadirannya sebagai pengganti Bunda. Ayah selalu saja memaksakan kehendaknya, dulu aku harus menerima kehadiran perempuan itu sebagai ibu sambungku.
Aku tak tahu pria itu membawaku ke mana…. Saat aku tersadar,aku hanya merasakan tubuhku dipindahkan dari mobil menuju brankar dan terdengar suara gaduh dari orang-orang sekitarku. Seseorang memegang pergelangan tangan kiriku dan menusukkan jarum infus di sana. Namun aku masih belum bisa membuka mataku, kepalaku masih sakit hingga rasanya mau pecah. Aku kembali tak sadarkan diri.“Claretta… Claretta sayang, bangun Nak.” Perlahan kubuka mataku. Aku berada di kamarku dan ada Bunda sedang membelai pipikudengan lembut.“Bunda…. Retta kangen Bunda.” Aku langsung bangun dan menghambur ke pelukan Bunda. Pelukan yang hangat sampai sekarang sampai aku terharu dibuatnya.“Kamu kenapa nangis, Sayang?” Bunda melepaskan pelukanku dan menghapus air mata di pipiku. Kuambil tangan bunda dan kucium tangannya berkali-kali.“Bunda, jangan pergi lagi ya?” pintaku. Bunda hanya tersenyum dan memelu
“Claretta … ,” panggil Ansel, membuatku tersadar dari lamunanku. Tubuhku masih kaku, tak percaya dengan kenyataan yang terjadi di hadapanku. Ansel masih saja berusaha mendekatiku, Namun kali ini aku merasa takut berada di dekatnya. Aku menghindarinya dengan mundur beberapa langkah, tanpa sadar aku sudah berada di tepi bukit ini. Hampir saja aku hilang keseimbangan, beruntungnya Ansel segera meraih tanganku. Ansel memang berhasil menyelamatkanku, tapi aku masih syok dengan kejadian barusan. Jika Ansel terlambat beberapa detik saja menyelamatkanku mungkin aku sudah jatuh ke jurang. Tubuhku bergetar, menahan sesak di dada. Aku menangis kencang, seperti anak kehilangan induknya. Ya, aku merasa kehilangan arah hidupku. Semua tidak seperti yang kuharapkan. Ansel memelukku dan berusaha menenangkanku tapi tangisku belum juga reda. Ansel segera membawaku pulang. Sesampainya di rumah, Helena menungguku dengan wajah yan
Aku masih penasaran, dengan paviliun itu. ‘Sebenarnya bayangan apa yang tadi kulihat?’ pikirku. Saat Helena sudah keluar, aku kembali membuka tirai di jendela. Kulihat Helena pergi menuju paviliun dengan mengendap-endap. Sungguh aneh, ia berjalan dengan mengendap-endap di rumahnya sendiri, tak mungkin ia bersembunyi dari seseorang. aku harus mengikuti Helena dan mencari tahu apa yang sedang Helena lakukan di luar sana. Aku membuka pintu kamar dengan hati-hati. Di dalam rumah, sudah sedikit gelap. Lampu di sekitar ruangan sudah padam, hanya beberapa lampu sudut yang dibiarkan menyala. Praang … aku mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Baru saja beberapa langkah menuju dapur, tiba-tiba terdengar suara mobil dari arah depan. Penasaran, kubuka tirai yang ada di ruang tamu, rupanya Ansel yang datang. Segera kuraih kenop pintu dan membukakan pintu untuk Ansel. “Ansel, kok balik lagi? Ada yang ket
Seorang pemuda terkapar tak sadarkan diri di pinggiran pantai, seorang gadis berambut pendek sebahu, menghampiri pemuda itu. Ia memeriksa denyut nadi pemuda tersebut untuk memeriksa keadaannya. Setelah memastikan kondisinya baik-baik saja, gadis itu memapah pemuda itu menuju mobil untuk membawanya pulang. Pemuda tersebut akhirnya mulai tersadar dan mengerjapkan matanya beberapa kali, saat menyadari dirinya berada di tempat yang asing. “Kamu udah bangun?” tanya gadis yang sedang duduk di kursi sebelahnya. Nathan mengangguk pelan, “kamu siapa?aku ada dimana?” “Aku Helena, sepupunya Ansel. Kamu tadi pingsan di pinggir pantai, jadinya aku bawa kamu kesini deh,” jawab Helena. “Ansel?” Nathan seperti tidak asing dengan nama itu. “Ya, Ansel yang saat ini bersama Claretta. Aku tahu semua tentang Claretta, termasuk soal sahabatnya yang diam-diam menc
‘Kenapa jalan ini terasa asing bagiku?’ batinku. saat aku tiba di Pulau Laut. Kutepikan mobilku di dekat pantai, suasana disini terasa sepi. Terlebih lagi disini mulai senja, sejujurnya aku sedikit merasa takut berada di tempat ini seorang diri. Tapi aku tak punya tempat lagi untuk ku singgahi. Bodohnya aku berharap bisa menemui Ansel disini. Hanya dia satu-satunya yang orang yang membuatku merasa nyaman. Aku terduduk di tepi pantai, menertawakan nasibku sendiri. Aku merasa bodoh dan merasa dikhianati oleh orang-orang terdekatku. Tak terasa butiran-butiran kristal pun terjatuh dari sudut mataku. Kubenamkan kepala di antara tangan dan kakiku, melepaskan semua kesedihanyang menyesakkan dada. Setidaknya suara deburan ombak, menemaniku malam ini. Tiba-tiba sebuah tangan, membelai rambutku dengan lembut. Aku terkejut dan segera menoleh ke samping. Seorang pria bermata coklat tengah memandangku dengan tatapan matanya yang teduh.
Teeeeeet … bel sekolah sudah berbunyi, seluruh siswa sudah masuk ke kelas masing-masing untuk memulai jam pelajaran. Seorang guru perempuan bernama Bu Sovia, memasuki kelas XII IPA 2, Ketua kelas memberikan aba-aba pada siswa lainnya untuk memberikan salam pada sang guru. Usai menjawab salam dari semua siswa, pandangan guru tersebut menyisiri seisi ruangan. Pandangannya berhenti pada seorang siswa yang duduk di dekat jendela, tampaknya siswa tersebut masih asyik didunia mimpinya. Ia tidak terbangun, meskipun jam pelajaran sudah dimulai. Bu Sovia menghampiri siswa tersebut, dan mengambil buku dari salah satu siswa. Alih-alih menghukum siswa tersebut, guru tersebut justru mengipasi siswa itu. Semua siswa tertawa melihat tingkah laku siswa laki-laki tersebut. Tapi ia tak kunjung bangun juga. Bu sovia duduk di kursi sampingnya yang memang kosong dan menepuk pipinya dengan lembut. “Nathan, banguu
“Retta, tadi kamu cari siapa? Laki-laki itu?” tanya Nathan meminta penjelasan Aku mengangguk pelan, Nathan terlihat menghela nafasnya dengan berat. Mungkin ia kecewa padaku karena masih saja teringat tentang Ansel. Tapi bagaimana lagi, semua hal tentang Saranjana termasuk Ansel, masing terbayang-bayang di ingatanku. Sampai saat ini, aku merasa bahwa itu semua nyata. Meskipun aku sedikit ragu dengan perasaanku pada Ansel, entah nyata atau tidak. “Retta, bukankah kamu janji padaku?” tanya Nathan, “Untuk melupakan semua hal tentang Saranjana termasuk laki-laki itu.” “Tapi bukan salahku Nath, kalau bayangan Ansel tiba-tiba muncul di hadapanku.” tukasku. “Kenapa sih kamu selalu mikirin laki-laki itu?” keluh Nathan. Aku memalingkan muka, memilih untuk tak menjawab pertanyaan Nathan. Nathan menatapku dengan sorot mata yang tajam. “Kamu ada perasaan sama dia?”
“Kamu? Ngapain kamu ada disini?” tanya Ansel, Ia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Sedangkan sosok yang kini berada di depannya hanya menyeringai, tanpa sepatah katapun. “Ayolah Helena, kenapa kamu bisa ada disini?” Ansel masih penasaran dengan kedatangan sepupunya yang tiba-tiba saja datang di hadapannya. “Apa kamu terkejut dengan kedatanganku?” tanya Helena dengan senyum mengejek. “Tentu saja, kamu datang tiba-tiba lalu menculikku.” jawab Ansel. “Apa kamu kagum dengan kekuatanku? Hanya dengan satu gerakan, aku berhasil menculikmu,” cemooh Helena.
Sementara itu di kota Saranjana, Ansel merasa menyesal dengan keputusannya. Membiarkan Retta pergi kembali ke dunianya, membuat batinnya tersiksa sendiri. Waktu yang telah ia lewati bersama Retta, terasa begitu singkat. Hal yang paling ia sesali adalah bahwa ia telah menyakiti gadis yang dicintainya. ‘Aku harus meminta maaf pada Retta,’ kata Ansel dalam hati. Ia menyelinap keluar dari kamarnya, tak ingin langkahnya diketahui oleh ibunya. Jika Radhiti tahu, ia pasti akan melarang anaknya itu untuk berhubungan lagi dengan Retta. Ansel membuka pintu depan dengan perlahan dan berjalan dengan mengendap-endap. Namun ternyata Radhiti memergokinya dan mencurigainya. “Mau kemana kamu Ansel?” hardi Radhiti dengan sorot mata yang tajam. Keringat dingin membasahi pelipis Ansel, “Ansel mau ke rumah sakit Bu, sebentar lagi ada rapat internal.” Sesungguhnya pemuda itu tidak bera
Dering di ponsel membuatku terbangun, kulihat jam sudah menunjukkan angka tujuh. Rupanya sejak semalam, aku tertidur. Kemarin memang hari yang melelahkan buatku. Kulihat nama Nathan sedang memanggil. “Halo, Nath...Ada apa sih pagi-pagi udah nelpon?” tanyaku malas. “Ya elah, bangun Non. Keburu rezeki dipatok ayam, jam segini baru bangun.” “Dipatok kamu tuh yang ada, jam segini udah nelpon” jawabku ketus “Beneran nih, mau dipatok sama aku?” Nathan menggodaku. Aku berdecak kesal, ‘Ini anak, kayaknya minta dipecat jadi sahabatku,’ aku mengomel dalam hati “Hari ini kita bimbingan lagi yuk! Judul skripsi kamu kan udah di acc, cuma keburu kamu menghilang aja jadinya mangkrak deh kayak pembangunan jalan provinsi,” ajak Nathan. Aku termenung, kejadian kemarin pasti telah membuat suasana geger di kampus. Seorang maha