Aku tak tahu pria itu membawaku ke mana…. Saat aku tersadar, aku hanya merasakan tubuhku dipindahkan dari mobil menuju brankar dan terdengar suara gaduh dari orang-orang sekitarku. Seseorang memegang pergelangan tangan kiriku dan menusukkan jarum infus di sana. Namun aku masih belum bisa membuka mataku, kepalaku masih sakit hingga rasanya mau pecah. Aku kembali tak sadarkan diri.
“Claretta… Claretta sayang, bangun Nak.” Perlahan kubuka mataku. Aku berada di kamarku dan ada Bunda sedang membelai pipiku dengan lembut.
“Bunda…. Retta kangen Bunda.” Aku langsung bangun dan menghambur ke pelukan Bunda. Pelukan yang hangat sampai sekarang sampai aku terharu dibuatnya.
“Kamu kenapa nangis, Sayang?” Bunda melepaskan pelukanku dan menghapus air mata di pipiku. Kuambil tangan bunda dan kucium tangannya berkali-kali.
“Bunda, jangan pergi lagi ya?” pintaku. Bunda hanya tersenyum dan memelukku kembali.
“Sayang, Bunda kan gak kemana-mana. Bunda selalu ada di dekat Retta.”
“Pokoknya Retta mau ikut ke mana pun Bunda pergi,” aku merengek seperti anak kecil yang tak dibelikan mainan.
Bunda tersenyum tipis, melihat kelakuanku yang seperti anak kecil. Aku menidurkan kepalaku di pangkuan Bunda seperti dulu saat aku masih kecil. Bunda membelai rambutku dengan lembut.
“Claretta sekarang sudah besar… sudah bisa berpikir dengan bijak. Jangan galak sama Ayah ya, kasian Ayah…. Jangan balas kasih sayang Ayah dengan kebencian,” ucap Bunda.
“Tolong sayangi Ayah seperti Retta sayang sama Bunda. Kasih sayang Ayah sama besarnya kayak kasih sayang Bunda ke Retta. Jangan pernah tinggalin Ayah, apa pun yang terjadi. Ayah sudah pernah kehilangan Bunda, jangan sampai Ayah harus kehilangan orang yang dia sayang untuk kedua kalinya,” sambung Bunda. Ada kesedihan yang mendalam terlihat di matanya.
Aku termenung dengan perkataan Bunda, Ayah memang sangat menyayangiku, ia tak pernah marah padaku sekalipun. Apapun yang aku inginkan selalu ia beri. Aku juga sungguh sangat menyayanginya, karena hanya Ayah satu-satunya orang yang paling berharga dalam hidupku. Tapi perasaan itu berubah menjadi benci saat Ayah menikah dengan Tante Sari.
Aku sangat kecewa pada keputusan Ayah. Bukankah Ayah bilang kalau Ayah sangat mencintai Bunda, tapi Ayah kini memberikan cinta itu pada wanita lain. Perempuan yang tidak aku sukai. Walaupun begitu, aku tidak bisa menolak saat Ayah meminta izin padaku untuk menikahi Tante Sari karena aku tak ingin mengecewakannya. Tak ada satu orang pun yang mengerti perasaanku.
Kupeluk Bunda dan menangis sekencang-kencangnya. Kukeluarkan semua kesedihan yang selama ini kupendam dan kututupi dengan kebencian, karena aku berharap dengan begitu aku bisa berdiri tegar. Kami berdua pun larut dalam tangis.
Perlahan kubuka mata, aku berada di ruangan berbeda. Aku berada di ruangan berwarna putih dengan selang infus di tanganku. Kucari Bunda dan kini aku sadar, ternyata tadi hanya mimpi. Kupegang pipiku yang masih basah oleh tetesan air mata. Mimpi itu terasa begitu nyata karena aku masih merasakan sakit yang sama. Sakit saat harus kehilangan orang yang begitu kusayangi. Seakan separuh nyawaku hilang pergi bersamanya.
Kulihat pintu kamar dibuka, datang seorang perawat yang memeriksa keadaanku.
“Alhamdulillah, Mbaknya sudah sadar?” tanya perawat itu dan kubalas dengan anggukan. Karena kesadaranku belum kembali sepenuhnya.
“Sebentar ya Mbak, saya panggilkan dokter dulu.” Perawat itu pun pamit sebentar untuk memanggilkan dokter.
Tak lama, perawat itu datang dengan seorang pria masih muda dan tinggi, berpakaian dokter dengan stetoskop tergantung di lehernya. Rasanya aku pernah melihat pria itu tapi aku lupa pernah melihatnya di mana.
“Gimana keadaannya, Mbak? Mbak gak sadarkan diri dari kemarin,” tanya pria itu.
“Saya merasa pusing, Dok, dan badan saya terasa sakit semua,” jawabku dengan pelan.
“Perkenalkan saya Ansel, dokter yang merawat Mbak. Saya juga yang menolong dan membawa Mbak ke rumah sakit ini.”
“Saya Claretta, Dok. Pantas saja saya merasa pernah melihat dokter. Terima kasih sudah menyelamatkan saya.”
“Sama-sama, saya hanya kebetulan lewat saja. Sepertinya Mbak Claretta masih butuh istirahat. Nanti biar saya resepkan obat dan vitamin.”
“Kalau boleh saya tahu, saya ada di rumah sakit mana ya? Saya harus memberi tahu keluarga saya agar mereka tidak khawatir,” tanyaku.
“Mbak Retta ada di Rumah Sakit Umum Kota Saranjana. Oya, saya mau menghubungi keluarga Mbak. Tapi ponsel Mbak Claretta rusak, jadi tidak ada nomor yang bisa saya hubungi. Untuk sementara kalau ada perlu apa-apa, panggil perawat saja ya.”
“Nanti Mbak bisa tekan bel yang ada di samping tempat tidur ya. Jangan sungkan untuk panggil saya,” perawat itu menjelaskan dengan ramah. Aku mengangguk dan tersenyum.
Pelayanan di rumah sakit ini sangat baik, untuk pasien yang tidak ditunggui keluarganya. Ada perawat yang membantuku untuk makan dan minum obat atau pergi ke toilet.
Sore harinya, Dokter Ansel datang ke kamarku untuk menanyakan kabarku. Ia tidak memakai jas dokternya. Sepertinya jam kerjanya sudah selesai.
“Mbak Retta, bagaimana keadaannya?” tanya Dokter Ansel sambil duduk di kursi samping tempat tidurku.
“Alhamdulillah, agak baikan,” jawabku singkat.
Sejujurnya aku merasa kurang nyaman dekat dengan orang yang baru kukenal. Kulihat Dokter Ansel terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Mbak Retta, gimana kalo kamu dirawat di rumah saya aja? Jangan khawatir, di rumah ada ibu sama asisten rumah tangga. Nanti saya tugaskan satu perawat juga di sana. Saya ga tega ngelihat kamu sendiri.”
“Walaupun ada perawat yang bantuin kamu, tapi kalo di rumah saya ada orang yang nemenin kamu untuk sekedar temen ngobrol. Kamu di sini pasti kesepian kan?”
Sebenarnya aku tergiur dengan tawaran Dokter Ansel. Jujur, aku merasa kesepian di ruangan ini sendiri. Tapi aku juga tidak boleh percaya begitu saja pada orang yang baru kukenal. Memang dia kelihatannya baik, tapi bisa saja itu hanya pencitraan.
“Saya cuma khawatir sama kamu, gak ada maksud lain. Coba kamu tanya sama orang-orang di rumah sakit ini. Mereka pasti tahu aku orangnya seperti apa. Lagipula, kalau saya berniat jahat, kenapa saya bawa kamu ke sini?” ucap Dokter Ansel meyakinkanku, seolah dia membaca keraguanku.
‘Ah iya, tak seharusnya aku berburuk sangka pada orang yang telah menolongku,’ batinku.
Aku mengangguk setuju untuk dirawat di rumahnya. Ansel menaikkan tubuhku ke kursi roda dan mendorongnya sampai tempat parkiran. Ia membukakan pintu mobil untukku dan membantuku masuk ke dalam mobilnya, mobil sport yang mewah berwarna putih dengan edisi terbaru.
“Rumah Dokter masih jauh ya?” tanyaku memulai pembicaraan.
“Emh, gimana kalo panggil Ansel aja? Ini kan bukan di rumah sakit. Saya risih kalo dipanggil dokter saat di luar jam kerja,” balas Ansel.
“Oh iya deh Dok… eh, Ansel,” gumamku, sambil menutup mulut karena keceplosan masih terbiasa memanggil dokter pada Ansel.
“Rumah saya gak jauh dari sini kok, paling sebentar lagi sampai. Kenapa Mbak Retta? Pusing ya?” tanya Ansel khawatir.
“Enggak kok, cuma nanya. Oh iya, panggil saya juga Retta aja ya…. Karena sepertinya saya lebih muda dari Anda.”
“Wah, berarti Anda secara tidak langsung mengatakan saya sudah tua dong?” goda Ansel sambil melirikku.
“Bukan maksud gitu….” Aku jadi merasa tak enak hati.
“Iya, saya ngerti kok, saya cuma bercanda…,” jawab Ansel sambil tertawa. Suasana pun jadi mencair dan tak ada canggung lagi seperti sebelumnya.
Kami tiba di sebuah rumah yang megah, pintu pagarnya bisa terbuka sendiri. Halaman rumah yang luas dengan taman yang dihiasi bunga-bunga yang cantik. Di pinggir halaman rumah terdengar suara gemericik air yang menenangkan hati dari sebuah kolam yang dipenuhi berbagai macam ikan hias yang cantik.
Selaras dengan halamannya, rumah Ansel terlihat menarik dengan desain skandinavia. Saat masuk rumahnya, temboknya didominasi dengan warna putih, abu-abu dan cokelat muda. Terasa sangat homey ketika baru menginjakkan kaki di rumah ini.
Seorang wanita paruh baya datang menyapaku. Sepertinya ia ibunya Ansel, karena ada kemiripan dari wajah mereka. Ansel mewarisi wajah dari ibunya yang rupawan. Namun saat ibunya Ansel mendekat padaku, ia terlihat sangat terkejut dan menutup mulut dengan tangannya.
Aku bingung dan menoleh ke arah Ansel, menaikkan alis mataku. “Apa ada yang salah denganku?” tanyaku berbisik pada Ansel.
"Ansel, bukankah dia ...."Ibunya tak berhenti menatapku dari kepala hingga ujung kaki.
'kenapa ibunya melihatku, seperti melihat hantu,'batinku. Aku kembali menoleh pada Ansel untuk meminta penjelasan. Namun bukannya menjawab, ia hanya terdiam dan tersenyum dengan misterius. Senyuman yang sulit kuartikan.
Ansel memperkenalkanku pada ibunya, “Bu, ini Claretta… Untuk sementara,dia tinggal di sinidulu ya Bu. Retta abis kecelakaan dan jauh dari keluarganya.”Ibunya mengangguk dan tersenyum meskipun terlihat canggung.“Saya Radhiti, ibunya Ansel. Kalo begitu, Retta tidur di kamar tamu aja ya. Kamarnya sudah bersih kok, karena setiap hari selalu dibersihkan.”Tante Radhiti membawaku ke kamar tamu, dia juga menunjukkan baju-baju yang bisa kupakai. Baju-baju itu milik sepupunya Ansel yang kini tinggal di luar kota. Kamarnya bernuansa pink dengan sprei yang berwarna senada serta bermotif kucing, tokoh kartun kesukaan anak-anak perempuan. Kamar ini memang terlihat bersih dan rapi.“Retta istirahat aja di sini dengan nyaman. Nanti kalo butuh sesuatu,bisa panggil Bik Inah. Dia asisten rumah tangga di sini."“Terima kasih ya Bu, sudah mengizinkan saya tinggal disini.” Aku terharu melihat kebaikan
“Ansel, sampai kapan kamu menahan gadis itu di sini?” tanya Radhiti.Ansel menghela napas panjang dan terdiam sesaat. Sejujurnya ia pun tak tahu jawabannya. Sulit baginya membiarkan gadis itu pergi darinya. Gadis yang telah mencuri hatinya sejak awal bertemu.“Ansel suka sama Claretta, Bu. Ansel ga mau dia pergi dari sini.” Ansel menundukkan kepalanya dan tak berani memandang ibunya.“Tapi kamu gak bisa memisahkan gadis itu dengan keluarganya. Kalian itu berbeda, Nak,” balas Radhiti, seorang wanita paruh baya yang kecantikannya terlihat tak memudar dan termakan usia.“Cinta tak mengenal perbedaan, Bu. Lagipula Claretta juga menyukai Ansel,” bela Ansel. Ia menatap dalam pada ibunya, berharap ibunya bisa mengerti perasaannya.Kini terdengar helaan napas dari Radhiti. “Apa kamu yakin dia akan tetap menyukaimu setelah tahu siapa kita sebenarnya?”Bukannya Radhiti tak mengerti pera
Kuraih tangannya.“Ansel, kamu mau permainkan aku? Setelah kamu nyatain cinta,sekarang kamu ngusir aku?” tanyaku dengan penuh penekanan. “Kamu pikir aku mainan, yang bisa kamubuang begitu saja saat kamu bosan,hah?” aku berteriak kesal. “Retta, kamu sadar ga sih? Tempat kamu bukan di sini,” jawab Ansel. “Terus di mana tempatku? Kamu yang bawa aku ke sini!” balasku dengan ketus. “Kembali pada keluargamu.” Ansel menatapku dengan tatapan dingin. Ia melepaskan tanganku. Lantas ia berlalu begitu saja dan meninggalkanku seorang diri di taman ini. "Tadi kamu bilang ingin menjagaku dan melindungiku? belum satu jam berlalu dan sekarang kamu tiba-tiba berubah," sambungku. "Sekarang aku sadar, ternyata aku gak pernah benar-benar menginginkan kamu," jawab Ansel dan berlalu begitu saja. Sungguh sulit dipercaya, perkataanya barusan benar-benar membuat hatiku hancur berkeping-keping. Aku pernah merasa dicampakkan saat Ay
Dering di ponsel membuatku terbangun, kulihat jam sudah menunjukkan angka tujuh. Rupanya sejak semalam, aku tertidur. Kemarin memang hari yang melelahkan buatku. Kulihat nama Nathan sedang memanggil. “Halo, Nath...Ada apa sih pagi-pagi udah nelpon?” tanyaku malas. “Ya elah, bangun Non. Keburu rezeki dipatok ayam, jam segini baru bangun.” “Dipatok kamu tuh yang ada, jam segini udah nelpon” jawabku ketus “Beneran nih, mau dipatok sama aku?” Nathan menggodaku. Aku berdecak kesal, ‘Ini anak, kayaknya minta dipecat jadi sahabatku,’ aku mengomel dalam hati “Hari ini kita bimbingan lagi yuk! Judul skripsi kamu kan udah di acc, cuma keburu kamu menghilang aja jadinya mangkrak deh kayak pembangunan jalan provinsi,” ajak Nathan. Aku termenung, kejadian kemarin pasti telah membuat suasana geger di kampus. Seorang maha
Sementara itu di kota Saranjana, Ansel merasa menyesal dengan keputusannya. Membiarkan Retta pergi kembali ke dunianya, membuat batinnya tersiksa sendiri. Waktu yang telah ia lewati bersama Retta, terasa begitu singkat. Hal yang paling ia sesali adalah bahwa ia telah menyakiti gadis yang dicintainya. ‘Aku harus meminta maaf pada Retta,’ kata Ansel dalam hati. Ia menyelinap keluar dari kamarnya, tak ingin langkahnya diketahui oleh ibunya. Jika Radhiti tahu, ia pasti akan melarang anaknya itu untuk berhubungan lagi dengan Retta. Ansel membuka pintu depan dengan perlahan dan berjalan dengan mengendap-endap. Namun ternyata Radhiti memergokinya dan mencurigainya. “Mau kemana kamu Ansel?” hardi Radhiti dengan sorot mata yang tajam. Keringat dingin membasahi pelipis Ansel, “Ansel mau ke rumah sakit Bu, sebentar lagi ada rapat internal.” Sesungguhnya pemuda itu tidak bera
“Kamu? Ngapain kamu ada disini?” tanya Ansel, Ia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Sedangkan sosok yang kini berada di depannya hanya menyeringai, tanpa sepatah katapun. “Ayolah Helena, kenapa kamu bisa ada disini?” Ansel masih penasaran dengan kedatangan sepupunya yang tiba-tiba saja datang di hadapannya. “Apa kamu terkejut dengan kedatanganku?” tanya Helena dengan senyum mengejek. “Tentu saja, kamu datang tiba-tiba lalu menculikku.” jawab Ansel. “Apa kamu kagum dengan kekuatanku? Hanya dengan satu gerakan, aku berhasil menculikmu,” cemooh Helena.
“Retta, tadi kamu cari siapa? Laki-laki itu?” tanya Nathan meminta penjelasan Aku mengangguk pelan, Nathan terlihat menghela nafasnya dengan berat. Mungkin ia kecewa padaku karena masih saja teringat tentang Ansel. Tapi bagaimana lagi, semua hal tentang Saranjana termasuk Ansel, masing terbayang-bayang di ingatanku. Sampai saat ini, aku merasa bahwa itu semua nyata. Meskipun aku sedikit ragu dengan perasaanku pada Ansel, entah nyata atau tidak. “Retta, bukankah kamu janji padaku?” tanya Nathan, “Untuk melupakan semua hal tentang Saranjana termasuk laki-laki itu.” “Tapi bukan salahku Nath, kalau bayangan Ansel tiba-tiba muncul di hadapanku.” tukasku. “Kenapa sih kamu selalu mikirin laki-laki itu?” keluh Nathan. Aku memalingkan muka, memilih untuk tak menjawab pertanyaan Nathan. Nathan menatapku dengan sorot mata yang tajam. “Kamu ada perasaan sama dia?”
Teeeeeet … bel sekolah sudah berbunyi, seluruh siswa sudah masuk ke kelas masing-masing untuk memulai jam pelajaran. Seorang guru perempuan bernama Bu Sovia, memasuki kelas XII IPA 2, Ketua kelas memberikan aba-aba pada siswa lainnya untuk memberikan salam pada sang guru. Usai menjawab salam dari semua siswa, pandangan guru tersebut menyisiri seisi ruangan. Pandangannya berhenti pada seorang siswa yang duduk di dekat jendela, tampaknya siswa tersebut masih asyik didunia mimpinya. Ia tidak terbangun, meskipun jam pelajaran sudah dimulai. Bu Sovia menghampiri siswa tersebut, dan mengambil buku dari salah satu siswa. Alih-alih menghukum siswa tersebut, guru tersebut justru mengipasi siswa itu. Semua siswa tertawa melihat tingkah laku siswa laki-laki tersebut. Tapi ia tak kunjung bangun juga. Bu sovia duduk di kursi sampingnya yang memang kosong dan menepuk pipinya dengan lembut. “Nathan, banguu
“Claretta … ,” panggil Ansel, membuatku tersadar dari lamunanku. Tubuhku masih kaku, tak percaya dengan kenyataan yang terjadi di hadapanku. Ansel masih saja berusaha mendekatiku, Namun kali ini aku merasa takut berada di dekatnya. Aku menghindarinya dengan mundur beberapa langkah, tanpa sadar aku sudah berada di tepi bukit ini. Hampir saja aku hilang keseimbangan, beruntungnya Ansel segera meraih tanganku. Ansel memang berhasil menyelamatkanku, tapi aku masih syok dengan kejadian barusan. Jika Ansel terlambat beberapa detik saja menyelamatkanku mungkin aku sudah jatuh ke jurang. Tubuhku bergetar, menahan sesak di dada. Aku menangis kencang, seperti anak kehilangan induknya. Ya, aku merasa kehilangan arah hidupku. Semua tidak seperti yang kuharapkan. Ansel memelukku dan berusaha menenangkanku tapi tangisku belum juga reda. Ansel segera membawaku pulang. Sesampainya di rumah, Helena menungguku dengan wajah yan
Aku masih penasaran, dengan paviliun itu. ‘Sebenarnya bayangan apa yang tadi kulihat?’ pikirku. Saat Helena sudah keluar, aku kembali membuka tirai di jendela. Kulihat Helena pergi menuju paviliun dengan mengendap-endap. Sungguh aneh, ia berjalan dengan mengendap-endap di rumahnya sendiri, tak mungkin ia bersembunyi dari seseorang. aku harus mengikuti Helena dan mencari tahu apa yang sedang Helena lakukan di luar sana. Aku membuka pintu kamar dengan hati-hati. Di dalam rumah, sudah sedikit gelap. Lampu di sekitar ruangan sudah padam, hanya beberapa lampu sudut yang dibiarkan menyala. Praang … aku mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Baru saja beberapa langkah menuju dapur, tiba-tiba terdengar suara mobil dari arah depan. Penasaran, kubuka tirai yang ada di ruang tamu, rupanya Ansel yang datang. Segera kuraih kenop pintu dan membukakan pintu untuk Ansel. “Ansel, kok balik lagi? Ada yang ket
Seorang pemuda terkapar tak sadarkan diri di pinggiran pantai, seorang gadis berambut pendek sebahu, menghampiri pemuda itu. Ia memeriksa denyut nadi pemuda tersebut untuk memeriksa keadaannya. Setelah memastikan kondisinya baik-baik saja, gadis itu memapah pemuda itu menuju mobil untuk membawanya pulang. Pemuda tersebut akhirnya mulai tersadar dan mengerjapkan matanya beberapa kali, saat menyadari dirinya berada di tempat yang asing. “Kamu udah bangun?” tanya gadis yang sedang duduk di kursi sebelahnya. Nathan mengangguk pelan, “kamu siapa?aku ada dimana?” “Aku Helena, sepupunya Ansel. Kamu tadi pingsan di pinggir pantai, jadinya aku bawa kamu kesini deh,” jawab Helena. “Ansel?” Nathan seperti tidak asing dengan nama itu. “Ya, Ansel yang saat ini bersama Claretta. Aku tahu semua tentang Claretta, termasuk soal sahabatnya yang diam-diam menc
‘Kenapa jalan ini terasa asing bagiku?’ batinku. saat aku tiba di Pulau Laut. Kutepikan mobilku di dekat pantai, suasana disini terasa sepi. Terlebih lagi disini mulai senja, sejujurnya aku sedikit merasa takut berada di tempat ini seorang diri. Tapi aku tak punya tempat lagi untuk ku singgahi. Bodohnya aku berharap bisa menemui Ansel disini. Hanya dia satu-satunya yang orang yang membuatku merasa nyaman. Aku terduduk di tepi pantai, menertawakan nasibku sendiri. Aku merasa bodoh dan merasa dikhianati oleh orang-orang terdekatku. Tak terasa butiran-butiran kristal pun terjatuh dari sudut mataku. Kubenamkan kepala di antara tangan dan kakiku, melepaskan semua kesedihanyang menyesakkan dada. Setidaknya suara deburan ombak, menemaniku malam ini. Tiba-tiba sebuah tangan, membelai rambutku dengan lembut. Aku terkejut dan segera menoleh ke samping. Seorang pria bermata coklat tengah memandangku dengan tatapan matanya yang teduh.
Teeeeeet … bel sekolah sudah berbunyi, seluruh siswa sudah masuk ke kelas masing-masing untuk memulai jam pelajaran. Seorang guru perempuan bernama Bu Sovia, memasuki kelas XII IPA 2, Ketua kelas memberikan aba-aba pada siswa lainnya untuk memberikan salam pada sang guru. Usai menjawab salam dari semua siswa, pandangan guru tersebut menyisiri seisi ruangan. Pandangannya berhenti pada seorang siswa yang duduk di dekat jendela, tampaknya siswa tersebut masih asyik didunia mimpinya. Ia tidak terbangun, meskipun jam pelajaran sudah dimulai. Bu Sovia menghampiri siswa tersebut, dan mengambil buku dari salah satu siswa. Alih-alih menghukum siswa tersebut, guru tersebut justru mengipasi siswa itu. Semua siswa tertawa melihat tingkah laku siswa laki-laki tersebut. Tapi ia tak kunjung bangun juga. Bu sovia duduk di kursi sampingnya yang memang kosong dan menepuk pipinya dengan lembut. “Nathan, banguu
“Retta, tadi kamu cari siapa? Laki-laki itu?” tanya Nathan meminta penjelasan Aku mengangguk pelan, Nathan terlihat menghela nafasnya dengan berat. Mungkin ia kecewa padaku karena masih saja teringat tentang Ansel. Tapi bagaimana lagi, semua hal tentang Saranjana termasuk Ansel, masing terbayang-bayang di ingatanku. Sampai saat ini, aku merasa bahwa itu semua nyata. Meskipun aku sedikit ragu dengan perasaanku pada Ansel, entah nyata atau tidak. “Retta, bukankah kamu janji padaku?” tanya Nathan, “Untuk melupakan semua hal tentang Saranjana termasuk laki-laki itu.” “Tapi bukan salahku Nath, kalau bayangan Ansel tiba-tiba muncul di hadapanku.” tukasku. “Kenapa sih kamu selalu mikirin laki-laki itu?” keluh Nathan. Aku memalingkan muka, memilih untuk tak menjawab pertanyaan Nathan. Nathan menatapku dengan sorot mata yang tajam. “Kamu ada perasaan sama dia?”
“Kamu? Ngapain kamu ada disini?” tanya Ansel, Ia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Sedangkan sosok yang kini berada di depannya hanya menyeringai, tanpa sepatah katapun. “Ayolah Helena, kenapa kamu bisa ada disini?” Ansel masih penasaran dengan kedatangan sepupunya yang tiba-tiba saja datang di hadapannya. “Apa kamu terkejut dengan kedatanganku?” tanya Helena dengan senyum mengejek. “Tentu saja, kamu datang tiba-tiba lalu menculikku.” jawab Ansel. “Apa kamu kagum dengan kekuatanku? Hanya dengan satu gerakan, aku berhasil menculikmu,” cemooh Helena.
Sementara itu di kota Saranjana, Ansel merasa menyesal dengan keputusannya. Membiarkan Retta pergi kembali ke dunianya, membuat batinnya tersiksa sendiri. Waktu yang telah ia lewati bersama Retta, terasa begitu singkat. Hal yang paling ia sesali adalah bahwa ia telah menyakiti gadis yang dicintainya. ‘Aku harus meminta maaf pada Retta,’ kata Ansel dalam hati. Ia menyelinap keluar dari kamarnya, tak ingin langkahnya diketahui oleh ibunya. Jika Radhiti tahu, ia pasti akan melarang anaknya itu untuk berhubungan lagi dengan Retta. Ansel membuka pintu depan dengan perlahan dan berjalan dengan mengendap-endap. Namun ternyata Radhiti memergokinya dan mencurigainya. “Mau kemana kamu Ansel?” hardi Radhiti dengan sorot mata yang tajam. Keringat dingin membasahi pelipis Ansel, “Ansel mau ke rumah sakit Bu, sebentar lagi ada rapat internal.” Sesungguhnya pemuda itu tidak bera
Dering di ponsel membuatku terbangun, kulihat jam sudah menunjukkan angka tujuh. Rupanya sejak semalam, aku tertidur. Kemarin memang hari yang melelahkan buatku. Kulihat nama Nathan sedang memanggil. “Halo, Nath...Ada apa sih pagi-pagi udah nelpon?” tanyaku malas. “Ya elah, bangun Non. Keburu rezeki dipatok ayam, jam segini baru bangun.” “Dipatok kamu tuh yang ada, jam segini udah nelpon” jawabku ketus “Beneran nih, mau dipatok sama aku?” Nathan menggodaku. Aku berdecak kesal, ‘Ini anak, kayaknya minta dipecat jadi sahabatku,’ aku mengomel dalam hati “Hari ini kita bimbingan lagi yuk! Judul skripsi kamu kan udah di acc, cuma keburu kamu menghilang aja jadinya mangkrak deh kayak pembangunan jalan provinsi,” ajak Nathan. Aku termenung, kejadian kemarin pasti telah membuat suasana geger di kampus. Seorang maha