Sementara itu di kota Saranjana, Ansel merasa menyesal dengan keputusannya. Membiarkan Retta pergi kembali ke dunianya, membuat batinnya tersiksa sendiri. Waktu yang telah ia lewati bersama Retta, terasa begitu singkat. Hal yang paling ia sesali adalah bahwa ia telah menyakiti gadis yang dicintainya.
‘Aku harus meminta maaf pada Retta,’ kata Ansel dalam hati.
Ia menyelinap keluar dari kamarnya, tak ingin langkahnya diketahui oleh ibunya. Jika Radhiti tahu, ia pasti akan melarang anaknya itu untuk berhubungan lagi dengan Retta. Ansel membuka pintu depan dengan perlahan dan berjalan dengan mengendap-endap. Namun ternyata Radhiti memergokinya dan mencurigainya.
“Mau kemana kamu Ansel?” hardi Radhiti dengan sorot mata yang tajam.
Keringat dingin membasahi pelipis Ansel, “Ansel mau ke rumah sakit Bu, sebentar lagi ada rapat internal.”
Sesungguhnya pemuda itu tidak berani melawan ibunya. Tetapi ia sendiri tak mampu menahan gejolak dalam dirinya, ia tak ingin berpisah dengan Retta. Tentu saja ibunya tak akan semudah itu percaya pada padanya.
“Kamu gak lagi bohongin ibu kan?”gertak Radhiti tak percaya.
Ansel berusaha tenang, tak ingin terintimidasi oleh ibunya. “Apa ibu mau ikut Ansel ke rumah sakit?” tanya Ansel.
Radhiti menggeleng, “Ya sudah, hati-hati di jalan.”
Ansel pun berpamitan pada ibunya dan segera tancap gas untuk menyusul Retta. Perhitungan waktu di Saranjana berbeda dengan di dunia nyata, Seperti Retta yang tinggal di Saranjana selama tiga hari. Namun kenyataannya, Retta sudah menghilang selama tiga bulan. Baru lima belas menit sejak Retta pergi, mungkin sekarang Retta sedang dalam perjalanan pulang.
Ansel mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dalam perjalanan, ia melihat Retta dari kejauhan. Baru saja ia hendak menghampiri Retta tapi ia melihat seorang pemuda yang mengejar Retta di belakangnya. Ansel menepikan mobilnya agak jauh dari tempat Retta berdiri, tapi ia masih bisa melihat Retta dengan jelas.
‘Sepertinya pemuda itu mempunyai hubungan yang dekat dengan Retta,’ pikir Ansel.
Ia terus menatap dengan tajam ke arah Retta, wajahnya memerah, dengan nafas yang tak beraturan,ia mengepalkan tangannya di atas setir mobil. Hatinya dibakar cemburu melihat pemuda itu tengah memeluk Retta dan menghapus air matanya. Sebagai sesama pria, tentunya Ansel tahu, sikap pemuda itu pada Retta bukan sikap yang biasa. Dari sikap dan pandangan matanya pada Retta terlihat bahwa pemuda itu menyukai Retta.
Tak sabar, ia ingin menghajar pemuda yang berusaha merebut wanita yang dicintainya. Tapi ia berusaha menguasai dirinya dan sadar bahwa ia tidak boleh bertindak gegabah. Jika sedikit saja melakukan kesalahan, ia bisa kehilangan Retta. Ansel menghela napas, melepaskan amarah dalam dirinya.
Ansel melihat mereka kembali ke mobil, ia memutuskan untuk mengikuti mereka. Tak lama, mereka berhenti di sebuah rumah bercat putih, Ansel menghentikan mobilnya di samping rumah itu. Ia turun dari mobilnya, mengawasi Retta dari jauh. Terlihat seorang pria paruh baya menyambut kedatangan Retta dengan penuh haru.
‘Sepertinya itu Ayah Retta,’ batin Ansel. Tapi sepertinya terjadi pertengkaran diantara mereka. Retta beradu mulut dengan pria itu, lalu masuk ke rumah dengan berurai air mata. Ingin rasanya ia menghampiri Retta dan menghiburnya tapi ia tak mungkin melakukan itu.
Ansel lantas mengambil ponselnya dan mencari nama Retta, sejenak ia berpikir untuk menelepon Retta. Tapi akhirnya, ia memutuskan untuk mengirim pesan saja. Meskipun sebenarnya ia bingung harus mengirim pesan apa dan sempat beberapa kali menghapus pesan yang sudah diketik.
‘Are you ok?’ Ansel memutuskan untuk menanyakan keadaan Retta.
Baru saja Ansel selesai mengetik, ibunya menelepon. Ansel yang panik segera mematikan ponselnya.
‘Aku harus pulang sekarang, sebelum Ibu curiga. Lebih baik, aku kembali lagi besok,’ pikir Ansel. Ia segera memutar mobilnya dan kembali ke rumahnya.
“Ansel, kamu kemana aja?” cecar Radhiti, ketika Ansel baru sampai di rumah.
“Tadi selesai rapat, ada acara makan-makan Bu. Jadinya Ansel ga bisa langsung pulang,” jawabku asal.
Radhiti memperingatkan anaknya dengan tatapan dingin, “Ibu harap, kamu tidak sedang membohongi Ibu!”
Ansel langsung gelagapan “Eh … Enggak lah Bu, Ansel lelah mau istirahat dulu.” Ia memilih masuk kamar sebelum kebohongannya terbongkar di depan ibunya.
Radhiti menghela napas panjang, ia tahu anaknya sedang berbohong. Ia sangat mengenal tabiat putra kesayangannya itu. Terlahir sebagai anak tunggal membuat Radhiti selalu memanjakan putranya itu. Sejak kecil, Ansel selalu terbiasa mendapatkan apa yang dia inginkan. Saat ia tidak bisa mendapatkan apa yang dia inginkan, ia akan berusaha sekeras mungkin untuk mendapatkannya dengan segala cara.
Radhiti pun selalu memberikan apa yang Ansel inginkan, termasuk saat Ansel jatuh cinta pada seorang gadis bernama Vira. Sebenarnya Radhiti kurang setuju karena latar belakang gadis tersebut yang berbeda. Namun ia mengalah dengan keinginan anaknya itu dan merestui hubungan mereka. Belakangan hubungan mereka berakhir dan membuat Ansel kecewa.
Beberapa kali Radhiti mencoba untuk menjodohkan anaknya dengan anak dari kenalannya, tapi Ansel selalu menolak. Ia sulit melupakan cinta pertamanya, hingga ia bertemu dengan Retta yang ternyata wajahnya sangat mirip dengan Vira, cinta pertamanya. Seolah takdir berputar di tempat yang sama, Ansel selalu jatuh cinta pada gadis yang berbeda dunia.
Ia ambil ponsel yang tergeletak di atas meja yang tak jauh dari sana dan menelepon seseorang.
“Kamu tolong kesini ya! Tante lagi butuh bantuan kamu,” kata Radhiti dalam teleponnya.
“Cuma kamu satu-satunya harapan Tante, Na!? sambung Radhiti meyakinkan orang yang tengah berbicara dengannya lewat telepon.
“Ok, Tante tunggu kamu ya sayang,” tutur Radhiti mengakhiri teleponnya. Ia berharap orang itu bisa membantunya menyadarkan Ansel untuk menjauhi Retta.
Ansel mendengar ibunya sedang menelepon seseorang tapi dinding kamarnya yang cukup tebal membuat suara ibunya terdengar samar. Namun Ansel tidak peduli, ia sedang menunggu saat yang tepat untuk pergi lagi dengan diam-diam.
Beberapa jam ia menunggu, hingga ia terlelap dan terbangun kembali. Suasana terdengar sunyi, Dia buka pintu kamarnya untuk melihat keadaan sekitar, sepertinya ibunya sudah masuk tidur di kamar.
Ansel keluar, menghidupkan mobilnya dan kembali menemui Retta. Tiba di depan rumah Retta saat pagi hari. Ia melihat Retta pergi dengan pemuda yang kemarin ia lihat. Ia semakin tidak menyukai pemuda itu.
‘Kenapa sih dia selalu dekat dengan Retta?’ batin Ansel kesal, Ia mengikuti mobil yang dinaiki mereka berdua.
Pandangan Ansel tak lepas dari pemuda itu dan Retta, ia masih mengikuti mereka berdua hingga ke dalam kampus. Tentu saja tanpa diketahui mahasiswa lain, Ansel hanya menampakkan dirinya di dunia nyata pada orang yang dia inginkan untuk melihatnya. Melihat Retta yang sedang berbicara dengan dosennya, ia tahu kalau Retta sedang bimbingan.
Ansel menunggu Retta di luar, tak lama Retta keluar dan berjalan menuju sebuah taman. Retta duduk di kursi taman itu, sepertinya sedang menunggu seseorang. Ia menunggu saat yang tepat untuk memberi kejutan pada Retta. Jantungnya berdebar, tak sabar ingin bertemu pujaan hatinya.
Ansel mengetik pesan, ‘Gimana bimbingannya?lancar?’
Retta terlihat mengambil ponselnya dan membaca pesan yang terkirim ke ponselnya. Ia kelihatan celingukan, mencari seseorang sampai matanya tertuju pada Ansel. Baru saja Ansel ingin menghampiri Retta, seseorang menghalanginya dan membekap mulutnya lalu menariknya jauh dari pandangan Retta.
Dengan susah payah Ansel melawan dan membuka tangan yang membekap mulutnya. Saat ia berbalik, Ansel terkesiap melihat orang yang telah menculiknya.
Terima kasih sudah mampir ke novel perdanaku. Tetep support author terus ya untuk setia membaca kelajutan kisah Retta. Jangan lupa reviewnya juga! ^_^
“Kamu? Ngapain kamu ada disini?” tanya Ansel, Ia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Sedangkan sosok yang kini berada di depannya hanya menyeringai, tanpa sepatah katapun. “Ayolah Helena, kenapa kamu bisa ada disini?” Ansel masih penasaran dengan kedatangan sepupunya yang tiba-tiba saja datang di hadapannya. “Apa kamu terkejut dengan kedatanganku?” tanya Helena dengan senyum mengejek. “Tentu saja, kamu datang tiba-tiba lalu menculikku.” jawab Ansel. “Apa kamu kagum dengan kekuatanku? Hanya dengan satu gerakan, aku berhasil menculikmu,” cemooh Helena.
“Retta, tadi kamu cari siapa? Laki-laki itu?” tanya Nathan meminta penjelasan Aku mengangguk pelan, Nathan terlihat menghela nafasnya dengan berat. Mungkin ia kecewa padaku karena masih saja teringat tentang Ansel. Tapi bagaimana lagi, semua hal tentang Saranjana termasuk Ansel, masing terbayang-bayang di ingatanku. Sampai saat ini, aku merasa bahwa itu semua nyata. Meskipun aku sedikit ragu dengan perasaanku pada Ansel, entah nyata atau tidak. “Retta, bukankah kamu janji padaku?” tanya Nathan, “Untuk melupakan semua hal tentang Saranjana termasuk laki-laki itu.” “Tapi bukan salahku Nath, kalau bayangan Ansel tiba-tiba muncul di hadapanku.” tukasku. “Kenapa sih kamu selalu mikirin laki-laki itu?” keluh Nathan. Aku memalingkan muka, memilih untuk tak menjawab pertanyaan Nathan. Nathan menatapku dengan sorot mata yang tajam. “Kamu ada perasaan sama dia?”
Teeeeeet … bel sekolah sudah berbunyi, seluruh siswa sudah masuk ke kelas masing-masing untuk memulai jam pelajaran. Seorang guru perempuan bernama Bu Sovia, memasuki kelas XII IPA 2, Ketua kelas memberikan aba-aba pada siswa lainnya untuk memberikan salam pada sang guru. Usai menjawab salam dari semua siswa, pandangan guru tersebut menyisiri seisi ruangan. Pandangannya berhenti pada seorang siswa yang duduk di dekat jendela, tampaknya siswa tersebut masih asyik didunia mimpinya. Ia tidak terbangun, meskipun jam pelajaran sudah dimulai. Bu Sovia menghampiri siswa tersebut, dan mengambil buku dari salah satu siswa. Alih-alih menghukum siswa tersebut, guru tersebut justru mengipasi siswa itu. Semua siswa tertawa melihat tingkah laku siswa laki-laki tersebut. Tapi ia tak kunjung bangun juga. Bu sovia duduk di kursi sampingnya yang memang kosong dan menepuk pipinya dengan lembut. “Nathan, banguu
‘Kenapa jalan ini terasa asing bagiku?’ batinku. saat aku tiba di Pulau Laut. Kutepikan mobilku di dekat pantai, suasana disini terasa sepi. Terlebih lagi disini mulai senja, sejujurnya aku sedikit merasa takut berada di tempat ini seorang diri. Tapi aku tak punya tempat lagi untuk ku singgahi. Bodohnya aku berharap bisa menemui Ansel disini. Hanya dia satu-satunya yang orang yang membuatku merasa nyaman. Aku terduduk di tepi pantai, menertawakan nasibku sendiri. Aku merasa bodoh dan merasa dikhianati oleh orang-orang terdekatku. Tak terasa butiran-butiran kristal pun terjatuh dari sudut mataku. Kubenamkan kepala di antara tangan dan kakiku, melepaskan semua kesedihanyang menyesakkan dada. Setidaknya suara deburan ombak, menemaniku malam ini. Tiba-tiba sebuah tangan, membelai rambutku dengan lembut. Aku terkejut dan segera menoleh ke samping. Seorang pria bermata coklat tengah memandangku dengan tatapan matanya yang teduh.
Seorang pemuda terkapar tak sadarkan diri di pinggiran pantai, seorang gadis berambut pendek sebahu, menghampiri pemuda itu. Ia memeriksa denyut nadi pemuda tersebut untuk memeriksa keadaannya. Setelah memastikan kondisinya baik-baik saja, gadis itu memapah pemuda itu menuju mobil untuk membawanya pulang. Pemuda tersebut akhirnya mulai tersadar dan mengerjapkan matanya beberapa kali, saat menyadari dirinya berada di tempat yang asing. “Kamu udah bangun?” tanya gadis yang sedang duduk di kursi sebelahnya. Nathan mengangguk pelan, “kamu siapa?aku ada dimana?” “Aku Helena, sepupunya Ansel. Kamu tadi pingsan di pinggir pantai, jadinya aku bawa kamu kesini deh,” jawab Helena. “Ansel?” Nathan seperti tidak asing dengan nama itu. “Ya, Ansel yang saat ini bersama Claretta. Aku tahu semua tentang Claretta, termasuk soal sahabatnya yang diam-diam menc
Aku masih penasaran, dengan paviliun itu. ‘Sebenarnya bayangan apa yang tadi kulihat?’ pikirku. Saat Helena sudah keluar, aku kembali membuka tirai di jendela. Kulihat Helena pergi menuju paviliun dengan mengendap-endap. Sungguh aneh, ia berjalan dengan mengendap-endap di rumahnya sendiri, tak mungkin ia bersembunyi dari seseorang. aku harus mengikuti Helena dan mencari tahu apa yang sedang Helena lakukan di luar sana. Aku membuka pintu kamar dengan hati-hati. Di dalam rumah, sudah sedikit gelap. Lampu di sekitar ruangan sudah padam, hanya beberapa lampu sudut yang dibiarkan menyala. Praang … aku mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Baru saja beberapa langkah menuju dapur, tiba-tiba terdengar suara mobil dari arah depan. Penasaran, kubuka tirai yang ada di ruang tamu, rupanya Ansel yang datang. Segera kuraih kenop pintu dan membukakan pintu untuk Ansel. “Ansel, kok balik lagi? Ada yang ket
“Claretta … ,” panggil Ansel, membuatku tersadar dari lamunanku. Tubuhku masih kaku, tak percaya dengan kenyataan yang terjadi di hadapanku. Ansel masih saja berusaha mendekatiku, Namun kali ini aku merasa takut berada di dekatnya. Aku menghindarinya dengan mundur beberapa langkah, tanpa sadar aku sudah berada di tepi bukit ini. Hampir saja aku hilang keseimbangan, beruntungnya Ansel segera meraih tanganku. Ansel memang berhasil menyelamatkanku, tapi aku masih syok dengan kejadian barusan. Jika Ansel terlambat beberapa detik saja menyelamatkanku mungkin aku sudah jatuh ke jurang. Tubuhku bergetar, menahan sesak di dada. Aku menangis kencang, seperti anak kehilangan induknya. Ya, aku merasa kehilangan arah hidupku. Semua tidak seperti yang kuharapkan. Ansel memelukku dan berusaha menenangkanku tapi tangisku belum juga reda. Ansel segera membawaku pulang. Sesampainya di rumah, Helena menungguku dengan wajah yan
“Hallo, Assalamualaikum… Ada apa,Yah?” Dengan nada malas, aku mengangkat telepon dari Ayah.“Nak, Tante Sari sudah melahirkan. Kamu dateng kesiniya?”Suara Ayah terdengar dari ujung telepon sana.“Enggak ah, ngapain aku ke sana?” tolakku tegas. Malas sekali jika aku harus ke sana. Melihat Tante Sari saja sudah membuatku kesal,apalagi ditambah dengan kehadiran anaknya.“Tidak ada yang membantu Ayah di sini. Lagipula apa kamu tidak mau melihat adikmu?” balas Ayah.‘Sejak kapan aku mempunyai adik? Ish…,perkataan Ayah membuatku kesal saja,’ aku mengomel dalam hati.Bayi itu anak Ayah dari Tante Sari. Sejak dulu aku tak pernah menerima kehadirannya sebagai pengganti Bunda. Ayah selalu saja memaksakan kehendaknya, dulu aku harus menerima kehadiran perempuan itu sebagai ibu sambungku.
“Claretta … ,” panggil Ansel, membuatku tersadar dari lamunanku. Tubuhku masih kaku, tak percaya dengan kenyataan yang terjadi di hadapanku. Ansel masih saja berusaha mendekatiku, Namun kali ini aku merasa takut berada di dekatnya. Aku menghindarinya dengan mundur beberapa langkah, tanpa sadar aku sudah berada di tepi bukit ini. Hampir saja aku hilang keseimbangan, beruntungnya Ansel segera meraih tanganku. Ansel memang berhasil menyelamatkanku, tapi aku masih syok dengan kejadian barusan. Jika Ansel terlambat beberapa detik saja menyelamatkanku mungkin aku sudah jatuh ke jurang. Tubuhku bergetar, menahan sesak di dada. Aku menangis kencang, seperti anak kehilangan induknya. Ya, aku merasa kehilangan arah hidupku. Semua tidak seperti yang kuharapkan. Ansel memelukku dan berusaha menenangkanku tapi tangisku belum juga reda. Ansel segera membawaku pulang. Sesampainya di rumah, Helena menungguku dengan wajah yan
Aku masih penasaran, dengan paviliun itu. ‘Sebenarnya bayangan apa yang tadi kulihat?’ pikirku. Saat Helena sudah keluar, aku kembali membuka tirai di jendela. Kulihat Helena pergi menuju paviliun dengan mengendap-endap. Sungguh aneh, ia berjalan dengan mengendap-endap di rumahnya sendiri, tak mungkin ia bersembunyi dari seseorang. aku harus mengikuti Helena dan mencari tahu apa yang sedang Helena lakukan di luar sana. Aku membuka pintu kamar dengan hati-hati. Di dalam rumah, sudah sedikit gelap. Lampu di sekitar ruangan sudah padam, hanya beberapa lampu sudut yang dibiarkan menyala. Praang … aku mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Baru saja beberapa langkah menuju dapur, tiba-tiba terdengar suara mobil dari arah depan. Penasaran, kubuka tirai yang ada di ruang tamu, rupanya Ansel yang datang. Segera kuraih kenop pintu dan membukakan pintu untuk Ansel. “Ansel, kok balik lagi? Ada yang ket
Seorang pemuda terkapar tak sadarkan diri di pinggiran pantai, seorang gadis berambut pendek sebahu, menghampiri pemuda itu. Ia memeriksa denyut nadi pemuda tersebut untuk memeriksa keadaannya. Setelah memastikan kondisinya baik-baik saja, gadis itu memapah pemuda itu menuju mobil untuk membawanya pulang. Pemuda tersebut akhirnya mulai tersadar dan mengerjapkan matanya beberapa kali, saat menyadari dirinya berada di tempat yang asing. “Kamu udah bangun?” tanya gadis yang sedang duduk di kursi sebelahnya. Nathan mengangguk pelan, “kamu siapa?aku ada dimana?” “Aku Helena, sepupunya Ansel. Kamu tadi pingsan di pinggir pantai, jadinya aku bawa kamu kesini deh,” jawab Helena. “Ansel?” Nathan seperti tidak asing dengan nama itu. “Ya, Ansel yang saat ini bersama Claretta. Aku tahu semua tentang Claretta, termasuk soal sahabatnya yang diam-diam menc
‘Kenapa jalan ini terasa asing bagiku?’ batinku. saat aku tiba di Pulau Laut. Kutepikan mobilku di dekat pantai, suasana disini terasa sepi. Terlebih lagi disini mulai senja, sejujurnya aku sedikit merasa takut berada di tempat ini seorang diri. Tapi aku tak punya tempat lagi untuk ku singgahi. Bodohnya aku berharap bisa menemui Ansel disini. Hanya dia satu-satunya yang orang yang membuatku merasa nyaman. Aku terduduk di tepi pantai, menertawakan nasibku sendiri. Aku merasa bodoh dan merasa dikhianati oleh orang-orang terdekatku. Tak terasa butiran-butiran kristal pun terjatuh dari sudut mataku. Kubenamkan kepala di antara tangan dan kakiku, melepaskan semua kesedihanyang menyesakkan dada. Setidaknya suara deburan ombak, menemaniku malam ini. Tiba-tiba sebuah tangan, membelai rambutku dengan lembut. Aku terkejut dan segera menoleh ke samping. Seorang pria bermata coklat tengah memandangku dengan tatapan matanya yang teduh.
Teeeeeet … bel sekolah sudah berbunyi, seluruh siswa sudah masuk ke kelas masing-masing untuk memulai jam pelajaran. Seorang guru perempuan bernama Bu Sovia, memasuki kelas XII IPA 2, Ketua kelas memberikan aba-aba pada siswa lainnya untuk memberikan salam pada sang guru. Usai menjawab salam dari semua siswa, pandangan guru tersebut menyisiri seisi ruangan. Pandangannya berhenti pada seorang siswa yang duduk di dekat jendela, tampaknya siswa tersebut masih asyik didunia mimpinya. Ia tidak terbangun, meskipun jam pelajaran sudah dimulai. Bu Sovia menghampiri siswa tersebut, dan mengambil buku dari salah satu siswa. Alih-alih menghukum siswa tersebut, guru tersebut justru mengipasi siswa itu. Semua siswa tertawa melihat tingkah laku siswa laki-laki tersebut. Tapi ia tak kunjung bangun juga. Bu sovia duduk di kursi sampingnya yang memang kosong dan menepuk pipinya dengan lembut. “Nathan, banguu
“Retta, tadi kamu cari siapa? Laki-laki itu?” tanya Nathan meminta penjelasan Aku mengangguk pelan, Nathan terlihat menghela nafasnya dengan berat. Mungkin ia kecewa padaku karena masih saja teringat tentang Ansel. Tapi bagaimana lagi, semua hal tentang Saranjana termasuk Ansel, masing terbayang-bayang di ingatanku. Sampai saat ini, aku merasa bahwa itu semua nyata. Meskipun aku sedikit ragu dengan perasaanku pada Ansel, entah nyata atau tidak. “Retta, bukankah kamu janji padaku?” tanya Nathan, “Untuk melupakan semua hal tentang Saranjana termasuk laki-laki itu.” “Tapi bukan salahku Nath, kalau bayangan Ansel tiba-tiba muncul di hadapanku.” tukasku. “Kenapa sih kamu selalu mikirin laki-laki itu?” keluh Nathan. Aku memalingkan muka, memilih untuk tak menjawab pertanyaan Nathan. Nathan menatapku dengan sorot mata yang tajam. “Kamu ada perasaan sama dia?”
“Kamu? Ngapain kamu ada disini?” tanya Ansel, Ia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Sedangkan sosok yang kini berada di depannya hanya menyeringai, tanpa sepatah katapun. “Ayolah Helena, kenapa kamu bisa ada disini?” Ansel masih penasaran dengan kedatangan sepupunya yang tiba-tiba saja datang di hadapannya. “Apa kamu terkejut dengan kedatanganku?” tanya Helena dengan senyum mengejek. “Tentu saja, kamu datang tiba-tiba lalu menculikku.” jawab Ansel. “Apa kamu kagum dengan kekuatanku? Hanya dengan satu gerakan, aku berhasil menculikmu,” cemooh Helena.
Sementara itu di kota Saranjana, Ansel merasa menyesal dengan keputusannya. Membiarkan Retta pergi kembali ke dunianya, membuat batinnya tersiksa sendiri. Waktu yang telah ia lewati bersama Retta, terasa begitu singkat. Hal yang paling ia sesali adalah bahwa ia telah menyakiti gadis yang dicintainya. ‘Aku harus meminta maaf pada Retta,’ kata Ansel dalam hati. Ia menyelinap keluar dari kamarnya, tak ingin langkahnya diketahui oleh ibunya. Jika Radhiti tahu, ia pasti akan melarang anaknya itu untuk berhubungan lagi dengan Retta. Ansel membuka pintu depan dengan perlahan dan berjalan dengan mengendap-endap. Namun ternyata Radhiti memergokinya dan mencurigainya. “Mau kemana kamu Ansel?” hardi Radhiti dengan sorot mata yang tajam. Keringat dingin membasahi pelipis Ansel, “Ansel mau ke rumah sakit Bu, sebentar lagi ada rapat internal.” Sesungguhnya pemuda itu tidak bera
Dering di ponsel membuatku terbangun, kulihat jam sudah menunjukkan angka tujuh. Rupanya sejak semalam, aku tertidur. Kemarin memang hari yang melelahkan buatku. Kulihat nama Nathan sedang memanggil. “Halo, Nath...Ada apa sih pagi-pagi udah nelpon?” tanyaku malas. “Ya elah, bangun Non. Keburu rezeki dipatok ayam, jam segini baru bangun.” “Dipatok kamu tuh yang ada, jam segini udah nelpon” jawabku ketus “Beneran nih, mau dipatok sama aku?” Nathan menggodaku. Aku berdecak kesal, ‘Ini anak, kayaknya minta dipecat jadi sahabatku,’ aku mengomel dalam hati “Hari ini kita bimbingan lagi yuk! Judul skripsi kamu kan udah di acc, cuma keburu kamu menghilang aja jadinya mangkrak deh kayak pembangunan jalan provinsi,” ajak Nathan. Aku termenung, kejadian kemarin pasti telah membuat suasana geger di kampus. Seorang maha