Kuraih tangannya. “Ansel, kamu mau permainkan aku? Setelah kamu nyatain cinta, sekarang kamu ngusir aku?” tanyaku dengan penuh penekanan.
“Kamu pikir aku mainan, yang bisa kamu buang begitu saja saat kamu bosan, hah?” aku berteriak kesal.
“Retta, kamu sadar ga sih? Tempat kamu bukan di sini,” jawab Ansel.
“Terus di mana tempatku? Kamu yang bawa aku ke sini!” balasku dengan ketus.
“Kembali pada keluargamu.” Ansel menatapku dengan tatapan dingin. Ia melepaskan tanganku. Lantas ia berlalu begitu saja dan meninggalkanku seorang diri di taman ini.
"Tadi kamu bilang ingin menjagaku dan melindungiku? belum satu jam berlalu dan sekarang kamu tiba-tiba berubah," sambungku.
"Sekarang aku sadar, ternyata aku gak pernah benar-benar menginginkan kamu," jawab Ansel dan berlalu begitu saja. Sungguh sulit dipercaya, perkataanya barusan benar-benar membuat hatiku hancur berkeping-keping.
Aku pernah merasa dicampakkan saat Ayah menikah lagi. Dan sekarang aku merasakan kedua kalinya sakit hati karena dicampakkan, saat Ansel pergi meninggalkanku. Kenapa dia mengambil hatiku kalau akhirnya dicampakkan? Aku terduduk sambil menangis. Biasanya saat aku sedih, ada Nathan di sampingku untuk menghiburku.
'Ah, aku jadi teringat Nathan…. Aku butuh dia,' batinku.
Kuusap air mata di pipiku, segera kunyalakan ponselku. Aku mencari nama Nathan di ponselku dan kutekan tombol panggilan tapi tak kunjung ada jawaban. Kubuka aplikasi messenger berwarna hijau dan mengirim pesan pada Nathan, tapi masih centang satu, yang artinya pesan belum terkirim pada Nathan.
Aku heran kenapa di kota sebesar ini, ponselku tidak bisa menangkap sinyal. Aku masuk ke rumah dan pergi ke lantai dua. Sinyal mulai terlihat walaupun 2G, aku membuka g****e map untuk mencari keberadaanku. Kuketikkan kota Saranjana. Alangkah terkejutnya aku saat membaca keterangan di g****e map. Di sana tertulis, Saranjana kota misterius. Aku masih tak percaya dan kubaca ulasan di g****e map, di sana ada keterangan bahwa Saranjana kota yang hilang.
‘Apa maksud Saranjana kota yang hilang? Sebenarnya di mana aku?” Otakku tak berhenti berpikir. Aku berjalan dengan terhuyung-huyung dan mencoba kembali menghubungi Nathan. Nada sambung mulai terdengar.
“Halo, Retta… Kamu ada di mana?” Nathan terdengar sangat cemas.
“Jemput aku, Nath…. Tolong jemput aku di sini,” ucapku sambil sesenggukan menahan tangis.
“Iya, kamu tenang dulu, kamu ada di mana?” Nathan berusaha menenangkanku.
“Aku ada di Saranjana….” Tiba-tiba aku merasa sangat pusing dan kehilangan kesadaran.
“Retta… Bangun, Retta!”
Kurasakan ada yang menyentuh pipiku dengan lembut, Kubuka mataku dengan perlahan. Aku melihat Nathan dengan pandangan yang samar.
Perlahan kubuka mata dan mengerjapkannya. Aku bangun dan tersadar bukan di rumah Ansel lagi. Sekarang aku ada di sebuah bukit yang dipenuhi pepohonan. Tak percaya dengan apa yang kulihat, aku semakin mengedarkan pandanganku. Di sebelah bukit, ada laut yang berbatasan langsung. Aku termenung dengan tatapan kosong.
“Retta… Kamu sudah sadar? Alhamdulillah….” Nathan terlihat sangat bahagia melihat aku mulai sadar.
“Nathaaaan….!” teriakku dan langsung menghambur ke pelukan Nathan.
"Aku dimana, Nath?" tanyaku kebingungan.
"Kamu masih di Pulau Laut, Ta, kamu sepertinya tersesat," jawab Nathan.
Aku menggeleng. "Ga mungkin, Nath. Jadi selama ini aku masih di Pulau Laut? Perasaan kemarin aku gak lewat sini?"
“Tenang, Retta, yang penting kamu udah ketemu. Nanti aku ceritain di mobil aja ya?” ucap Nathan sambil menepuk-nepuk punggungku dengan lembut. Aku merasa lebih tenang sekarang.
Nathan segera mengajakku pergi dengan mobilnya. Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam memikirkan kejadian yang sudah aku alami.
“Kamu kemana aja sih, Ta? Menghilang gitu aja selama tiga bulan,” tanya Nathan.
“Hah, tiga bulan? Ini kan baru tiga hari sejak aku pulang dari KKN.”
“Kamu ngelantur… Ini udah tiga bulan, Ta. Dan yang bikin aku khawatir…, ada laporan dari warga yang nemuin mobil kamu di sekitar sini. Ayah kamu panik dan lapor ke polisi. Kita sudah mencari kamu ke mana-mana tapi ga ada petunjuk. Kami pikir kamu diculik. ”
“Waktu itu aku kecelakaan, Nath. Waktu itu ada pohon besar tumbang di depan aku, sampe mobilku nabrak pohon besar.”
“Hah, kecelakaan? Tapi mobil kamu dalam kondisi baik-baik aja, Ta,” ucap Nathan tak percaya.
“Serius, Nath. Aku sampai dibawa ke rumah sakit dan dirawat di sana,” terangku untuk meyakinkan Nathan.
Nathan menatapku tak percaya. “Kalau kamu dirawat di rumah sakit, apa nama rumah sakitnya?”
Aku mengingat-ingat nama rumah sakit itu. ”Ah iya, Rumah Sakit Umum Kota Saranjana.”
“Hah? Mana ada nama rumah sakit itu di sini? Kamu sehat kan?” Nathan memegang dahiku, ia kira aku sakit dan bicara melantur.
“Beneran Nath, memang rumah sakit itu ada di kota Saranjana,”ucapku kesal. Nathan terdiam sejenak seperti sedang berpikir,
“Aku pernah dengar kota itu, Saranjana kota yang hilang. Masyarakat sini memang mempercayai keberadaan kota itu. Aku pikir itu hanya mitos, tapi mendengar ceritamu, mungkin saja kamu memang tersesat di sana,” Nathan menjelaskan dengan mimik muka serius.
"Makanya setelah kamu nelepon, aku langsung cari kamu sampai ke bukit tadi. Menurut mitos, di situ letak kota Saranjana. Tidak semua orang bisa melihat keberadaannya. Awalnya aku ragu, tapi peluang sekecil apapun bakal aku lakukan untuk nemuin kamu. Aku telusurin bukit tadi hampir satu jam. Sampai akhirnya, aku ketemu kamu," sambung Nathan.
“Tapi kota itu nyata Nath, aku berada di sana selama satu minggu. Saat kecelakaan, aku ditolong oleh seorang dokter. Dia yang sudah merawatku dengan baik.” Aku masih tak percaya perkataan Nathan.
“Dokter itu pria atau wanita? Masih muda atau sudah tua?” tanya Nathan dan menepikan mobilnya.
“Dokter itu seorang pemuda yang baik, aku dibawa ke rumahnya saat masa pemulihan,” jawabku.
“Sepertinya dia menyukaimu sampai bawa kamu ke rumahnya,” ucap Nathan dengan nada sinis. Aku terdiam dan memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Nathan.
“Jangan bilang kamu suka dia, Ta?” Nathan melirikku dengan tatapan tajam.
“Aku hanya menyukai ketulusannya saja.” Kucoba menutupi perasaanku.
“Bagus kamu ya, di sini aku kayak orang stress, kebingungan, ke sana kemari. Kamu malah asyik pacaran sama makhluk gak kasat mata!” bentak Nathan. Baru kali ini aku melihat Nathan semarah ini. Selama lima tahun berteman dengannya, sekalipun aku belum pernah melihat dia marah.
“Jangan panggil Ansel seperti itu! Dia nyata! Aku bisa melihatnya, bisa merasakannya saat ia menggenggam tanganku!” teriakku.
“Oh, namanya Ansel, mahluk gak kasat mata yang kamu suka. Kamu udah gila?” tukas Nathan sinis
Aku merasa kecewa pada Nathan, setega itu dia mengatakan aku gila. Padahal dia sahabatku, tempatku berbagi cerita dan menumpahkan isi hati. Sekarang justru dia yang melukai perasaanku. Kubuka pintu mobil dan segera keluar. Sadar akan kesalahannya, Nathan langsung berlari mengejarku.
“Ta… Claretta, tolong maafin aku.” Nathan menghalangiku dengan tangannya.
Segera kutepis tangannya dan tak mengindahkan panggilannya. Nathan terus mengejarku hingga akhirnya berhasil menangkapku. Dia memelukku dengan erat dan aku menangis dalam pelukannya.
“Kamu jahat, Nath…. Aku pikir kamu sahabatku, orang yang paling mengerti aku. Tapi kamu malah jadi ngehina aku,” ucapku dalam tangis.
“Maafin aku ya Ta, aku ga bermaksud ngatain kamu gitu. Aku cuma lagi emosi aja.” Nathan melepaskan pelukannya dan menghapus air mataku. Aku mengangguk dan memeluk Nathan lagi. Semarah-marahnya aku pada Nathan, dia tetap sahabatku. Usai tangisku mereda, Nathan menuntunku kembali ke mobil.
“Ta, aku ga tau persis apa yang terjadi sama kamu di sana. Tapi aku bersyukur banget, kamu bisa kembali lagi ke sini. Aku boleh meminta sesuatu sama kamu?”
“Boleh, kamu minta apa?”
“Tolong lupakan tentang kota Saranjana termasuk pria itu. Tempat kamu di sini, bukan di sana.”
“Ada aku dan keluarga kamu yang juga sayang sama kamu. Jadi jangan pernah mengingat lagi semua hal tentang Saranjana. Urusan sama ayah kamu, nanti biar aku yang jelaskan,” lanjut Nathan sambil membelai rambutku.
Aku mengangguk karena tak ingin lagi terjadi pertengkaran dengan Nathan. Meski kutahu tak akan mudah melupakan pria yang sudah mencuri hatiku dan menyatakan perasaannya beberapa jam yang lalu. Biar nanti kucari tahu sendiri kebenarannya.
“Ya udah, kamu istirahat aja ya. Kamu pasti cape, perjalanan masih satu jam lagi. Nanti kalau udah sampai, aku bangunin,” ucapnya dengan lembut.
Nathan benar, aku memang lelah seharian menghadapi kejadian-kejadian yang penuh emosional. Aku pun tertidur hingga tak sadar mobil telah berhenti. Saat membuka mata, aku melihat Nathan tengah menatapku dengan tatapan yang tak biasa.
“Ini udah sampai dari tadi? Kok kamu gak bangunin aku?"
“Engga kok, baru aja. Mau bangunin kamu, tapi gak tega. Kayaknya kamu kecapean.”
Tak lama, pintu depan rumah dibuka. Ayah keluar bersama Tante Sari yang sedang menggendong bayinya. Dengan langkah tergesa-gesa, Ayah menghampiriku yang baru turun dari mobil.
“Retta, kamu kemana aja, Nak?” Ayah memelukku dengan haru.
"Aku dari kota ... Saranjana Yah," jawabku ragu.
"Saranjana?kamu ga bohong kan?mana ada kota Saranjana di sini Retta." Ayah tak percaya dengan ucapanku.
"Apa? Ayah tega menuduh Retta berbohong?" aku langsung berlari masuk ke dalam rumah melewati Tante Sari begitu saja, dan masuk ke dalam kamar.
"Kenapa hari ini semua begitu menyakitkan?"lirihku dalam tangis.
Tiba-tiba ponselku bergetar, sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal.
'are you ok?' Segera kutelepon nomor itu, tapi tidak terdengar nada sambung sekali. Rasanya aneh, baru saja pesan itu masuk tapi langsung tidak bisa dihubungi lagi.
Aku jadi penasaran, 'mungkinkah itu dia?' tanyaku dalam hati.
Dering di ponsel membuatku terbangun, kulihat jam sudah menunjukkan angka tujuh. Rupanya sejak semalam, aku tertidur. Kemarin memang hari yang melelahkan buatku. Kulihat nama Nathan sedang memanggil. “Halo, Nath...Ada apa sih pagi-pagi udah nelpon?” tanyaku malas. “Ya elah, bangun Non. Keburu rezeki dipatok ayam, jam segini baru bangun.” “Dipatok kamu tuh yang ada, jam segini udah nelpon” jawabku ketus “Beneran nih, mau dipatok sama aku?” Nathan menggodaku. Aku berdecak kesal, ‘Ini anak, kayaknya minta dipecat jadi sahabatku,’ aku mengomel dalam hati “Hari ini kita bimbingan lagi yuk! Judul skripsi kamu kan udah di acc, cuma keburu kamu menghilang aja jadinya mangkrak deh kayak pembangunan jalan provinsi,” ajak Nathan. Aku termenung, kejadian kemarin pasti telah membuat suasana geger di kampus. Seorang maha
Sementara itu di kota Saranjana, Ansel merasa menyesal dengan keputusannya. Membiarkan Retta pergi kembali ke dunianya, membuat batinnya tersiksa sendiri. Waktu yang telah ia lewati bersama Retta, terasa begitu singkat. Hal yang paling ia sesali adalah bahwa ia telah menyakiti gadis yang dicintainya. ‘Aku harus meminta maaf pada Retta,’ kata Ansel dalam hati. Ia menyelinap keluar dari kamarnya, tak ingin langkahnya diketahui oleh ibunya. Jika Radhiti tahu, ia pasti akan melarang anaknya itu untuk berhubungan lagi dengan Retta. Ansel membuka pintu depan dengan perlahan dan berjalan dengan mengendap-endap. Namun ternyata Radhiti memergokinya dan mencurigainya. “Mau kemana kamu Ansel?” hardi Radhiti dengan sorot mata yang tajam. Keringat dingin membasahi pelipis Ansel, “Ansel mau ke rumah sakit Bu, sebentar lagi ada rapat internal.” Sesungguhnya pemuda itu tidak bera
“Kamu? Ngapain kamu ada disini?” tanya Ansel, Ia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Sedangkan sosok yang kini berada di depannya hanya menyeringai, tanpa sepatah katapun. “Ayolah Helena, kenapa kamu bisa ada disini?” Ansel masih penasaran dengan kedatangan sepupunya yang tiba-tiba saja datang di hadapannya. “Apa kamu terkejut dengan kedatanganku?” tanya Helena dengan senyum mengejek. “Tentu saja, kamu datang tiba-tiba lalu menculikku.” jawab Ansel. “Apa kamu kagum dengan kekuatanku? Hanya dengan satu gerakan, aku berhasil menculikmu,” cemooh Helena.
“Retta, tadi kamu cari siapa? Laki-laki itu?” tanya Nathan meminta penjelasan Aku mengangguk pelan, Nathan terlihat menghela nafasnya dengan berat. Mungkin ia kecewa padaku karena masih saja teringat tentang Ansel. Tapi bagaimana lagi, semua hal tentang Saranjana termasuk Ansel, masing terbayang-bayang di ingatanku. Sampai saat ini, aku merasa bahwa itu semua nyata. Meskipun aku sedikit ragu dengan perasaanku pada Ansel, entah nyata atau tidak. “Retta, bukankah kamu janji padaku?” tanya Nathan, “Untuk melupakan semua hal tentang Saranjana termasuk laki-laki itu.” “Tapi bukan salahku Nath, kalau bayangan Ansel tiba-tiba muncul di hadapanku.” tukasku. “Kenapa sih kamu selalu mikirin laki-laki itu?” keluh Nathan. Aku memalingkan muka, memilih untuk tak menjawab pertanyaan Nathan. Nathan menatapku dengan sorot mata yang tajam. “Kamu ada perasaan sama dia?”
Teeeeeet … bel sekolah sudah berbunyi, seluruh siswa sudah masuk ke kelas masing-masing untuk memulai jam pelajaran. Seorang guru perempuan bernama Bu Sovia, memasuki kelas XII IPA 2, Ketua kelas memberikan aba-aba pada siswa lainnya untuk memberikan salam pada sang guru. Usai menjawab salam dari semua siswa, pandangan guru tersebut menyisiri seisi ruangan. Pandangannya berhenti pada seorang siswa yang duduk di dekat jendela, tampaknya siswa tersebut masih asyik didunia mimpinya. Ia tidak terbangun, meskipun jam pelajaran sudah dimulai. Bu Sovia menghampiri siswa tersebut, dan mengambil buku dari salah satu siswa. Alih-alih menghukum siswa tersebut, guru tersebut justru mengipasi siswa itu. Semua siswa tertawa melihat tingkah laku siswa laki-laki tersebut. Tapi ia tak kunjung bangun juga. Bu sovia duduk di kursi sampingnya yang memang kosong dan menepuk pipinya dengan lembut. “Nathan, banguu
‘Kenapa jalan ini terasa asing bagiku?’ batinku. saat aku tiba di Pulau Laut. Kutepikan mobilku di dekat pantai, suasana disini terasa sepi. Terlebih lagi disini mulai senja, sejujurnya aku sedikit merasa takut berada di tempat ini seorang diri. Tapi aku tak punya tempat lagi untuk ku singgahi. Bodohnya aku berharap bisa menemui Ansel disini. Hanya dia satu-satunya yang orang yang membuatku merasa nyaman. Aku terduduk di tepi pantai, menertawakan nasibku sendiri. Aku merasa bodoh dan merasa dikhianati oleh orang-orang terdekatku. Tak terasa butiran-butiran kristal pun terjatuh dari sudut mataku. Kubenamkan kepala di antara tangan dan kakiku, melepaskan semua kesedihanyang menyesakkan dada. Setidaknya suara deburan ombak, menemaniku malam ini. Tiba-tiba sebuah tangan, membelai rambutku dengan lembut. Aku terkejut dan segera menoleh ke samping. Seorang pria bermata coklat tengah memandangku dengan tatapan matanya yang teduh.
Seorang pemuda terkapar tak sadarkan diri di pinggiran pantai, seorang gadis berambut pendek sebahu, menghampiri pemuda itu. Ia memeriksa denyut nadi pemuda tersebut untuk memeriksa keadaannya. Setelah memastikan kondisinya baik-baik saja, gadis itu memapah pemuda itu menuju mobil untuk membawanya pulang. Pemuda tersebut akhirnya mulai tersadar dan mengerjapkan matanya beberapa kali, saat menyadari dirinya berada di tempat yang asing. “Kamu udah bangun?” tanya gadis yang sedang duduk di kursi sebelahnya. Nathan mengangguk pelan, “kamu siapa?aku ada dimana?” “Aku Helena, sepupunya Ansel. Kamu tadi pingsan di pinggir pantai, jadinya aku bawa kamu kesini deh,” jawab Helena. “Ansel?” Nathan seperti tidak asing dengan nama itu. “Ya, Ansel yang saat ini bersama Claretta. Aku tahu semua tentang Claretta, termasuk soal sahabatnya yang diam-diam menc
Aku masih penasaran, dengan paviliun itu. ‘Sebenarnya bayangan apa yang tadi kulihat?’ pikirku. Saat Helena sudah keluar, aku kembali membuka tirai di jendela. Kulihat Helena pergi menuju paviliun dengan mengendap-endap. Sungguh aneh, ia berjalan dengan mengendap-endap di rumahnya sendiri, tak mungkin ia bersembunyi dari seseorang. aku harus mengikuti Helena dan mencari tahu apa yang sedang Helena lakukan di luar sana. Aku membuka pintu kamar dengan hati-hati. Di dalam rumah, sudah sedikit gelap. Lampu di sekitar ruangan sudah padam, hanya beberapa lampu sudut yang dibiarkan menyala. Praang … aku mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Baru saja beberapa langkah menuju dapur, tiba-tiba terdengar suara mobil dari arah depan. Penasaran, kubuka tirai yang ada di ruang tamu, rupanya Ansel yang datang. Segera kuraih kenop pintu dan membukakan pintu untuk Ansel. “Ansel, kok balik lagi? Ada yang ket
“Claretta … ,” panggil Ansel, membuatku tersadar dari lamunanku. Tubuhku masih kaku, tak percaya dengan kenyataan yang terjadi di hadapanku. Ansel masih saja berusaha mendekatiku, Namun kali ini aku merasa takut berada di dekatnya. Aku menghindarinya dengan mundur beberapa langkah, tanpa sadar aku sudah berada di tepi bukit ini. Hampir saja aku hilang keseimbangan, beruntungnya Ansel segera meraih tanganku. Ansel memang berhasil menyelamatkanku, tapi aku masih syok dengan kejadian barusan. Jika Ansel terlambat beberapa detik saja menyelamatkanku mungkin aku sudah jatuh ke jurang. Tubuhku bergetar, menahan sesak di dada. Aku menangis kencang, seperti anak kehilangan induknya. Ya, aku merasa kehilangan arah hidupku. Semua tidak seperti yang kuharapkan. Ansel memelukku dan berusaha menenangkanku tapi tangisku belum juga reda. Ansel segera membawaku pulang. Sesampainya di rumah, Helena menungguku dengan wajah yan
Aku masih penasaran, dengan paviliun itu. ‘Sebenarnya bayangan apa yang tadi kulihat?’ pikirku. Saat Helena sudah keluar, aku kembali membuka tirai di jendela. Kulihat Helena pergi menuju paviliun dengan mengendap-endap. Sungguh aneh, ia berjalan dengan mengendap-endap di rumahnya sendiri, tak mungkin ia bersembunyi dari seseorang. aku harus mengikuti Helena dan mencari tahu apa yang sedang Helena lakukan di luar sana. Aku membuka pintu kamar dengan hati-hati. Di dalam rumah, sudah sedikit gelap. Lampu di sekitar ruangan sudah padam, hanya beberapa lampu sudut yang dibiarkan menyala. Praang … aku mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Baru saja beberapa langkah menuju dapur, tiba-tiba terdengar suara mobil dari arah depan. Penasaran, kubuka tirai yang ada di ruang tamu, rupanya Ansel yang datang. Segera kuraih kenop pintu dan membukakan pintu untuk Ansel. “Ansel, kok balik lagi? Ada yang ket
Seorang pemuda terkapar tak sadarkan diri di pinggiran pantai, seorang gadis berambut pendek sebahu, menghampiri pemuda itu. Ia memeriksa denyut nadi pemuda tersebut untuk memeriksa keadaannya. Setelah memastikan kondisinya baik-baik saja, gadis itu memapah pemuda itu menuju mobil untuk membawanya pulang. Pemuda tersebut akhirnya mulai tersadar dan mengerjapkan matanya beberapa kali, saat menyadari dirinya berada di tempat yang asing. “Kamu udah bangun?” tanya gadis yang sedang duduk di kursi sebelahnya. Nathan mengangguk pelan, “kamu siapa?aku ada dimana?” “Aku Helena, sepupunya Ansel. Kamu tadi pingsan di pinggir pantai, jadinya aku bawa kamu kesini deh,” jawab Helena. “Ansel?” Nathan seperti tidak asing dengan nama itu. “Ya, Ansel yang saat ini bersama Claretta. Aku tahu semua tentang Claretta, termasuk soal sahabatnya yang diam-diam menc
‘Kenapa jalan ini terasa asing bagiku?’ batinku. saat aku tiba di Pulau Laut. Kutepikan mobilku di dekat pantai, suasana disini terasa sepi. Terlebih lagi disini mulai senja, sejujurnya aku sedikit merasa takut berada di tempat ini seorang diri. Tapi aku tak punya tempat lagi untuk ku singgahi. Bodohnya aku berharap bisa menemui Ansel disini. Hanya dia satu-satunya yang orang yang membuatku merasa nyaman. Aku terduduk di tepi pantai, menertawakan nasibku sendiri. Aku merasa bodoh dan merasa dikhianati oleh orang-orang terdekatku. Tak terasa butiran-butiran kristal pun terjatuh dari sudut mataku. Kubenamkan kepala di antara tangan dan kakiku, melepaskan semua kesedihanyang menyesakkan dada. Setidaknya suara deburan ombak, menemaniku malam ini. Tiba-tiba sebuah tangan, membelai rambutku dengan lembut. Aku terkejut dan segera menoleh ke samping. Seorang pria bermata coklat tengah memandangku dengan tatapan matanya yang teduh.
Teeeeeet … bel sekolah sudah berbunyi, seluruh siswa sudah masuk ke kelas masing-masing untuk memulai jam pelajaran. Seorang guru perempuan bernama Bu Sovia, memasuki kelas XII IPA 2, Ketua kelas memberikan aba-aba pada siswa lainnya untuk memberikan salam pada sang guru. Usai menjawab salam dari semua siswa, pandangan guru tersebut menyisiri seisi ruangan. Pandangannya berhenti pada seorang siswa yang duduk di dekat jendela, tampaknya siswa tersebut masih asyik didunia mimpinya. Ia tidak terbangun, meskipun jam pelajaran sudah dimulai. Bu Sovia menghampiri siswa tersebut, dan mengambil buku dari salah satu siswa. Alih-alih menghukum siswa tersebut, guru tersebut justru mengipasi siswa itu. Semua siswa tertawa melihat tingkah laku siswa laki-laki tersebut. Tapi ia tak kunjung bangun juga. Bu sovia duduk di kursi sampingnya yang memang kosong dan menepuk pipinya dengan lembut. “Nathan, banguu
“Retta, tadi kamu cari siapa? Laki-laki itu?” tanya Nathan meminta penjelasan Aku mengangguk pelan, Nathan terlihat menghela nafasnya dengan berat. Mungkin ia kecewa padaku karena masih saja teringat tentang Ansel. Tapi bagaimana lagi, semua hal tentang Saranjana termasuk Ansel, masing terbayang-bayang di ingatanku. Sampai saat ini, aku merasa bahwa itu semua nyata. Meskipun aku sedikit ragu dengan perasaanku pada Ansel, entah nyata atau tidak. “Retta, bukankah kamu janji padaku?” tanya Nathan, “Untuk melupakan semua hal tentang Saranjana termasuk laki-laki itu.” “Tapi bukan salahku Nath, kalau bayangan Ansel tiba-tiba muncul di hadapanku.” tukasku. “Kenapa sih kamu selalu mikirin laki-laki itu?” keluh Nathan. Aku memalingkan muka, memilih untuk tak menjawab pertanyaan Nathan. Nathan menatapku dengan sorot mata yang tajam. “Kamu ada perasaan sama dia?”
“Kamu? Ngapain kamu ada disini?” tanya Ansel, Ia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Sedangkan sosok yang kini berada di depannya hanya menyeringai, tanpa sepatah katapun. “Ayolah Helena, kenapa kamu bisa ada disini?” Ansel masih penasaran dengan kedatangan sepupunya yang tiba-tiba saja datang di hadapannya. “Apa kamu terkejut dengan kedatanganku?” tanya Helena dengan senyum mengejek. “Tentu saja, kamu datang tiba-tiba lalu menculikku.” jawab Ansel. “Apa kamu kagum dengan kekuatanku? Hanya dengan satu gerakan, aku berhasil menculikmu,” cemooh Helena.
Sementara itu di kota Saranjana, Ansel merasa menyesal dengan keputusannya. Membiarkan Retta pergi kembali ke dunianya, membuat batinnya tersiksa sendiri. Waktu yang telah ia lewati bersama Retta, terasa begitu singkat. Hal yang paling ia sesali adalah bahwa ia telah menyakiti gadis yang dicintainya. ‘Aku harus meminta maaf pada Retta,’ kata Ansel dalam hati. Ia menyelinap keluar dari kamarnya, tak ingin langkahnya diketahui oleh ibunya. Jika Radhiti tahu, ia pasti akan melarang anaknya itu untuk berhubungan lagi dengan Retta. Ansel membuka pintu depan dengan perlahan dan berjalan dengan mengendap-endap. Namun ternyata Radhiti memergokinya dan mencurigainya. “Mau kemana kamu Ansel?” hardi Radhiti dengan sorot mata yang tajam. Keringat dingin membasahi pelipis Ansel, “Ansel mau ke rumah sakit Bu, sebentar lagi ada rapat internal.” Sesungguhnya pemuda itu tidak bera
Dering di ponsel membuatku terbangun, kulihat jam sudah menunjukkan angka tujuh. Rupanya sejak semalam, aku tertidur. Kemarin memang hari yang melelahkan buatku. Kulihat nama Nathan sedang memanggil. “Halo, Nath...Ada apa sih pagi-pagi udah nelpon?” tanyaku malas. “Ya elah, bangun Non. Keburu rezeki dipatok ayam, jam segini baru bangun.” “Dipatok kamu tuh yang ada, jam segini udah nelpon” jawabku ketus “Beneran nih, mau dipatok sama aku?” Nathan menggodaku. Aku berdecak kesal, ‘Ini anak, kayaknya minta dipecat jadi sahabatku,’ aku mengomel dalam hati “Hari ini kita bimbingan lagi yuk! Judul skripsi kamu kan udah di acc, cuma keburu kamu menghilang aja jadinya mangkrak deh kayak pembangunan jalan provinsi,” ajak Nathan. Aku termenung, kejadian kemarin pasti telah membuat suasana geger di kampus. Seorang maha